Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 11 Mei 2020

Aruna Mencari Cinta #10

Cerita bersambung

Kegelapan pekat telah sempurna menaungi bumi. Tetes-tetes air dari sang langit, bersinggungan dengan kilat yang sesekali membiaskan cahaya, membentuk urat-urat cakrawala.

Pemandangan muram, yang melukiskan batinku saat ini.
Mungkin, malam begitu enggan menghangatkanku dalam buainya di peraduan. Aku masih terjebak dalam kekalutan, seorang diri termenung di balkon kamar. Menikmati gigil yang mulai mencekik kulit.

Istri mana yang tak merasa terhina, ketika suami sendiri lebih membela wanita lain?
Pandanganku menerawang, mendekap tubuh sendiri yang sudah hampir sedingin es.
Seandainya nyaliku besar, mungkin sudah kuterobos lebatnya hujan di malam gulita ini. Pergi jauh, tanpa harus memikirkan esok hari seperti apa.
Akan tetapi, petuah Ayah lagi-lagi menjadi pedoman yang tersimpan rapi dalam memori, membuatku terjebak dalam dilema.
Pergi, atau tetap bertahan?
"Seiring berjalannya waktu, kamu akan menemukan liku hidup yang semakin terjal. Tuhan menciptakan manusia dengan bebannya masing-masing, termasuk bagimu, Aruna .... Jadilah pemenang, ketika Sang Maha Pencipta mengujimu. Hadapi, apa yang seharusnya kauhadapi. Lawan, apa yang semestinya kaulawan. Jangan jadi seorang pecundang."
Ayah menyampaikan pesan itu, ketika kami baru saja kehilangan Ibu. Wanita yang melahirkan dan menumbuhkan bibit kasih sayang padaku, meninggal karena sebuah kecelakaan, ketika usiaku masih 15 tahun.
Tabrak lari, membawa roh Ibu tercerabut dari raganya.
Aku terpukul. Begitu terpukul, hingga hidup terasa memuakkan. Jangankan kembali ceria dan beraktivitas normal, makan dan bicara pun enggan.
Ayah sama menderitanya dengan kematian Ibu yang tiba-tiba, aku tahu itu. Bahkan mungkin, dia jauh lebih merasa kehilangan. Namun, Ayah menutupi kesakitannya. Demi menguatkan aku ... separuh nyawanya yang tersisa.
Ayah mogok makan, mengikuti tindakan konyolku kala itu. Tentu saja dia sengaja. Secara tak langsung, Ayah membujuk paksa untukku menghentikan bentuk protes pada ketetapan Tuhan yang memilukan itu.
Aku pun luluh. Kembali mengembangkan senyum yang sempat hilang. Demi Ayah, satu-satu alasanku bertahan.
Dari kejadian itulah, aku sadar, bahwa seberat apa pun ujian yang Tuhan beri, memang seharusnya dijalani. Entah itu kesakitan sebesar apa pun, akan selalu ada penawarnya.
***

Tepat ketika hujan mulai mereda, sosok dengan aroma maskulin itu menghampiri dan berdiri di belakangku.
"Di luar sangat dingin. Ayo, masuk ...," ajaknya, yang sama sekali tak kuhiraukan. Jangankan menyahut, menoleh pun tidak.
Enggan sekali bertatap muka dengan pria ini. Aku masih begitu sakit menerima perlakuaannya tadi.
"Cepat masuk, Aruna!" Nadanya kini berubah menjadi perintah, tetapi aku tetap tak menggubris. Hanya terus mendekap tubuh yang tak bisa berkompromi lagi, menggigil.
Enam puluh detik, tak kudengar lagi suara perintah itu. Syukur, mungkin Mas Ibas sudah kembali keluar dari kamarku. Namun, saat aku hendak memutar tubuh, dia sudah lebih dulu berdiri di samping. Melingkarkan selimut menutupi tubuhku.
Untuk beberapa saat, aku tercenung. Tak menolak maupun berterima kasih dengan perhatian kecilnya yang tiba-tiba. Semakin hari, perangai Mas Ibas semakin sulit dipahami. Dalam raganya, aku merasa dia punya dua jiwa. Sekarang dia lembut, tapi detik berikutnya mungkin saja dia kasar.
"Ayo masuk, kita bicara di dalam." Setengah memaksa, bujukannya itu.
"Tinggalkan aku sendiri, Mas." Aku mendesah lemah, tanpa sedikit pun menoleh padanya.
"Tapi kita harus bicara."
"Aku nggak mau!" teriakku dengan membelakanginya.
Hening sejenak. Tak lagi terdengar suaranya. Semoga saja dia cepat pergi.
Namun ....
"Ahh!" Aku memekik. "Lepasin, Mas!"
Tubuhku melayang ringan, dan secara spontan--untuk menjaga keseimbangan--aku mencengkeram kuat kerah baju Mas Ibas.
Dia, pria yang selalu bertingkah seenaknya ini, menggendongku layaknya pengantin pria pada wanitanya. Dengan enteng dia membawa tubuhku ke dalam kamar.
"Lepasin aku, Mas!" Aku meronta.
Dia tak menyahut, hanya menatapku dingin.
"Lepasin!"
Tepat di atas ranjang, Mas Ibas membungkuk dan merebahkanku perlahan. Lalu berdiri tegap, menjejalkan kedua tangan dalam saku celananya.
"Kenapa kamu jadi keras kepala begini, hm?" geramnya mengedikkan dagu.
"Aku belajar banyak darimu, Mas," jawabku sekenanya, sembari membuang muka.
Dia mengembuskan napas panjang, dan terdengar dengkusan kasar ketika mendudukkan diri di pinggir ranjang.
Aku buru-buru beringsut menjauh, mencipta jarak antara kami. Kemudian bersila dan meletakkan bantal di pangkuan. Menunduk dalam kebisuan sesaat. Percuma melawan pria yang senang memerintah ini.
"Nggak ada yang bisa dibicarakan lagi, Mas. Aku takut kamu mengangkat tanganmu lagi," lirihku dengan suara bergetar.
"Ada. Ada yang harus kita bicarakan. Makanya aku mengajakmu ke sini," dalihnya. "Aku ... maaf. Aku minta maaf."
Kupejamkan mata sembari menggigit bibir kuat-kuat. Menahan isakan, mengingat kejadian saat tadi tangan kokohnya hampir mengenai wajahku, juga mengingat setiap perilaku kasarnya.
"Minta maaf untuk apa? Untuk hal yang mana? Kamu sudah banyak menyakitiku, Mas ...," cecarku sembari menatapnya nanar.
Keningnya berkerut, tetapi bukan memperlihatkan kekesalan akan celaanku. Melainkan seperti terselip penyesalan di iris matanya.
"Maaf untuk tadi." Akhirnya dia mejawab dengan nada rendah. "Aku sedang sangat lelah karena urusan pekerjaan. Makanya aku lepas kontrol."
Aku mencela, "Apa rasa lelah pantas dijadikan alasan untuk berbuat kasar pada wanita?"
Matanya terpejam sejenak.
"Terlebih, wanita itu adalah aku, istrimu, orang yang nggak pernah melawan perlakuanmu, sesakit apa pun itu, Mas," sambungku tegas.
"Maaf, Aruna."
"Maaf? Hanya itu?" Aku terkekeh dengan mata mulai berkaca-kaca. "Ayah, lelaki yang seumur hidupnya kususahkan, bahkan tak pernah membentakku, apalagi memukul. Tapi kamu, pria yang baru saja muncul di hidupku, dengan leluasa berlaku kasar padaku."
"Iya, Aruna. Aku akui tadi sikapku berlebihan. Tapi itu karena ucapanmu berlebihan," elaknya. "Aku mengenalmu selama tiga bulan ini, sebagai wanita baik dan santun. Tapi tadi ... kamu ... hah!" dengkusnya kasar, seakan mengusir amarah yang kembali menguar.
"Harusnya kamu cari tau dulu alasanku bicara begitu, Mas. Bukannya langsung menghakimi," protesku, "tapi aku sama sekali nggak merasa salah dengan menyebut wanita itu--"
"Jangan ulangi ucapan hinamu, Aruna!" ancamnya cepat, membuatku kembali tertegun melihat reaksinya.
Betapa aku tak ada artinya dibanding wanita bernama Meilan itu. Sakit rasanya.
Aku tersenyum getir. "Gigih sekali kamu membelanya, Mas. Memangnya siapa Meilan? Apa hubungan kalian?" tuntutku penuh curiga.
"Bukan siapa-siapa. Lupakan saja," balasnya datar sembari membuang muka.
"Bukan siapa-siapa? Lupakan dia?" Aku mengulang kata-katanya sebagai bentuk sindiran. Tentu saja, tanpa dijelaskan pun, aku sudah bisa menebak hubungan spesial di antara mereka.
"Kamu nggak perlu tau, Aruna."
"Kenapa?"
"Karena itu bukan urusanmu."
"Ah, lagi-lagi itu alasanmu, Mas," sahutku dengan decakan berulang kali. "Aku nggak boleh turut campur urusanmu, sementara kamu selalu marah tanpa alasan, hanya karena salah paham," sindirku yang kemudian membungkamnya sejenak.
Terciptalah jeda di antara kami. Kebisuan seakan menelan pikiran masing-masing. Melahap habis setiap prasangka menjadi begitu buruk.
Seperti air dan minyak. Dipaksa sedemikian rupa untuk saling menyatu, tetapi tak pernah bisa.
Ini adalah fase, di mana aku dan Mas Ibas bicara panjang lebar tentang hal yang benar-benar sensitif.
"Dari mana kamu mengenal Meilan?" Mas Ibas akhirnya memecah keheningan.
"Aku nggak kenal dia."
"Kalian pernah bertemu?"
"Ya." Aku mendelik, "kemarin."
"Apa yang kalian bicarakan," selidiknya seperti penuh khawatir. Entah kekhawatiran untuk apa. Mungkin takut hubungan mereka terbongkar. Entah.
"Nggak banyak."
"Apa yang Meilan katakan?"
"Hanya sedikit, tapi itu membuatku sangat sakit," batinku melirih.
"Aku kenal Meilan sudah lama. Jadi aku tau persis sifatnya seperti apa. Dia nggak seburuk yang kamu kira, Aruna."
Aku merasa tertampar. Apa Mas Ibas sedang membanggakan kedekatannya dengan wanita itu? Secara tak langsung, dia menyatakan bahwa dia memang harus lebih membela wanita itu daripada aku, istrinya sendiri.
"Maaf," sambungnya, "kalau cara bicara Meilan mungkin ketus padamu."
"Bukan, Mas. Bukan caranya bicara yang membuatku sakit hati," potongku. "Tapi kalimat yang dia ungkapkan."
"Apa?" Dia langsung bertanya. "Apa yang dia katakan?"
Kami bersitatap. Kening Mas Ibas berkerut tetapi dia bungkam, seolah memberi ruang kebebasan untuk bibirku menjelaskan segalanya.
"Meilan bilang, Mas mengeluhkan segala tentangku."
Jeda, kuembuskan napas dalam, menahan denyut di dada.
"Mas menyebutku gadis kampung yatim piatu," lanjutku dengan lirihan lemah, sembari menajamkan tatapan. "Mas juga menyebutku bukan sosok istri idamanmu. Benar begitu?"
Manik matanya berkilat, tetapi ekspresinya sulit ditebak. Dia begitu tenang, sangat tenang seolah apa yang kuucapkan bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan.
Kemudian, dia menjawab, "Ya, aku memang pernah mengatakan itu pada Meilan. Tapi sungguh, aku nggak bermaksud menghinamu. Bukankah kamu memang seorang yatim piatu yang tinggal di desa? Apa aku salah bicara? Tidak, kan?" ungkapnya datar. "Dan untuk hal yang kedua, bahwa kamu bukanlah sosok istri idamanku ... ya, itu juga benar. Tapi aku punya alasan untuk mengatakan itu."
Aku membisu, ungkapan Mas Ibas yang terdengar biasa saja baginya, justru terasa perih. Hingga akhirnya dia kembali melanjutkan.
"Aku bukan pria yang menyukai hal-hal instan, termasuk perihal wanita. Itu pun berlaku padamu. Gimana bisa jadi sosok idaman, kalau kamu belum kukenal?" Dia menegaskan. "Lagi pula, apa yang kukatakan itu, adalah seminggu setelah kita menikah. Tapi sekarang ... aku sudah mengenalmu lebih jauh. Apa kamu mengerti?"
Tercenung, kucoba memahami setiap kata-katanya. Akan tetapi, semakin aku menyelami pikirannya itu, justru semakin membawaku pada ketidaktahuan.
Hujan sepertinya sudah reda. Mas Ibas beranjak, menutup pintu aluminium kaca yang menjadi sekat antara kamar dan balkon, lalu menutup tirainya hingga langit kelam tak bisa tersentuh pandangan.
Kemudian, dia kembali duduk berhadapan denganku di ranjang.
"Sekarang, tolong jawab. Siapa yang bersamamu di foto yang kulihat tadi?" Gilirannya yang menuntutku, menatapku tajam penuh curiga.
Aku hening. Membuang muka.
"Jawab, Aruna," desisnya sembari tiba-tiba saja mencekal pergelangan tanganku. "Jawab!"
Aku mendelik. Kembali bersitatap dengan mata kelamnya.
"Bukan siapa-siapa, Mas. Cuma teman," jawabku malas.
Mas Ibas menatap lekat. Pupilnya mengecil, seolah memindai persentase kejujuran yang kuutarakan barusan.
"Kamu boleh berteman dengan siapa pun, asal jangan laki-laki," ancamnya tegas. "Aku nggak suka kalau siapa pun melangkahiku dengan seenaknya. Dan jangan pernah membuatku--"
"Marah?!" sahutku cepat. "Kenapa kamu marah kalau aku dekat dengan pria lain, Mas?"
Dia bungkam dengan kerutan kening yang semakin kentara.
"Kenapa, Mas?"
"Aku ... aku cuma khawatir kamu dimanfaatkan orang, Aruna. Kamu terlalu baik dan polos."
"Apa nggak salah? Justru kamu yang memanfaatkanku, Mas." Aku berdecak kecewa. "Kamu sangat posesif, tempramen, dan egois."
"Terserah kamu menyebutku apa, Aruna."
"Bagaimana dengan Meilan?" tanyaku lagi, bersikukuh menuntut penjelaskan. "Apa hubungan kalian?"
Tak langsung menjawab, Mas Ibas justru merangkak naik ke tempat tidur dan telentang merebahkan diri, dengan menumpukan kedua tangan di atas perutnya.
Dia menghela napas panjang, sembari memejamkan mata sesaat, lalu berkata, "Aku harus bertanggungjawab pada Meilan. Ini ... aib. Hanya itu yang bisa kuceritakan padamu, Aruna."
Sepeti benda yang menghantam dinding beton, aku terhenyak dengan ucapan Mas Ibas. Sakit luar biasa.
Tanggung jawab? Apa maksudnya ....
Ribuan pecahan beling menancap, menghasilkan perih yang berdarah-darah ketika kusimpulkan itu.
Pria ini, suamiku, sosok yang dulu selalu Ayah banggakan setiap kali menceritakannya, ternyata tak sebaik yang kuduga. Mungkin, penilaian Ayah terhadapnya salah?
"Aku mau tidur di kamar bawah."
Kuputuskan untuk menghindar, tetapi saat hendak beranjak dari tempat tidur, Mas Ibas justru menahan.
"Tidurlah di sini, denganku, Aruna ...," pintanya sembari mencengkeran lenganku. "Aku nggak akan mengganggumu."
Selang beberapa detik, akhirnya aku mengalah. Luluh, oleh karena sorot matanya yang seketika sendu dan sarat akan permohonan.
Dengan sangat berat hati, aku menurut. Perlahan, merebahkan diri di ranjang, membelakanginya.
Beberapa menit kembali suasana dilingkupi hening. Hingga akhirnya, kupejamkan mata dengan napas tercekat, ketika dia bergumam, "Adalah hal yang berat, saat dua sosok membutuhkan uluran tangan, tetapi aku hanya mampu memilih salah satunya ...."
Entah kesimpulanku benar atau tidak, tetapi aku merasa memahami maksud perkataannya. "Dua sosok" yang Mas Ibas katakan, pastilah aku dan ... wanitanya.
Apakah aku berdiri sebagai penghalang di antara Adam dan Hawa itu? Mungkin saja iya. Mungkin saja jika tak ada aku, mereka sudah hidup bahagia dalam mahligai rumah tangga. Mungkin saja Meilan memang alasan terkuat untuk Mas Ibas melepasku.
Ah ... rupanya aku yang egois. Tetap bertahan sebagai duri dalam daging di antara hubungan mereka.
Bersamaan dengan bulir bening yang menerobos dari sudut mata, aku pun melirih dalam hati ....
Mas ... jika pilihanmu sangat sulit, maka izinkan aku yang pergi.
***

Aku membuka mata, ketika pria yang berada di ranjang bersamaku ini, masih meringkuk dengan dengkuran halus. Dua guling yang diletakkan di tengah, menjadi jarak bagi tubuh kami.
Wajahnya yang setenang bayi ketika tertidur ini, tak secuil pun menampakkan perangainya yang berubah-ubah. Kadang, dia seperti desau angin sore yang menggelitik lembut, tetapi kadang juga seperti angin ribut, meluluhlantakkan jiwaku.
Perlahan, kuulurkan tangan menyibak rambut hitamnya yang berantakan. Mungkin ini kali terakhirku berhak menyentuhnya. Sebentar lagi, semuanya akan selesai. Bukan hanya untuk kebaikanku sendiri, tetapi semua demi kebahagiaannya.
Aku beranjak dari ranjang, setelah menutupi tubuh Mas Ibas dengan selimut yang semalam kupakai. Dia terdengar melenguh ketika aku berjalan menjauhinya.
***

"Masih subuh, kamu mau ke mana? Ini, kan, minggu," tanya Mas Ibas penuh selidik.
Dia masih berbaring, sepertinya baru saja membuka mata.
Sementara aku baru keluar dari kamar mandi dengan rambut basah tergerai, dan tubuh berbalut handuk kimono.
"Bukan aku yang pergi, Mas. Tapi kita," jawabku dengan seulas senyum dipaksakan.
"Kita?"
"Ya."
"Ke mana?"
Aku menoleh, setelah memilah baju di lemari.
"Ke rumah Papa, Mas."
"Ke rumah Papa? Mau apa?" Kini, dia duduk pada kepala ranjang.
Kuhela napas panjang dan berdiri menatap lurus ke arahnya.
"Kita harus bertemu orangtuamu, Mas. Keadaan Papa sudah baik. Aku rasa dia bisa menerima kabar perpisahan kita."
"Apa?!" Mas Ibas terperanjat, seketika bangkit berdiri. "Kamu bilang apa tadi?! Pisah?!"
Langkahnya mendekat. Rahangnya mengetat. Sorot matanya tak bersahabat.
Sementara aku, berusaha sekuat mungkin untuk tenang.
"Apa yang bisa dipertahankan dari hubungan kita, Mas? Aku rasa nggak ada. Dan apa yang kita bicarakan tadi malam, membulatkan tekadku."
"Tapi ...."
Kutangkap sorot cemas di wajahnya.
"Jangan khawatir dengan ancaman Papa yang akan mencoretmu dari hak waris, Mas. Aku yakin, itu hanya gertakan saja. Papa sangat menyayangimu."
Ucapanku sepertinya menohok. Mata Mas Ibas terbelalak.
"Kamu ini bicara apa?!"
"Aku janji, Mas. Aku nggak akan menceritakan apa pun tentang sikapmu selama ini. Biar kita cari alasan lain, agar perceraian kita nggak mengusik pikiran Papa dan juga nggak merugikanmu. Kalau perlu ...." Kali ini suaraku bergetar lemah. "Kamu boleh mengarang cerita tentangku pada Papa dan Mama, Mas. Bahwa aku selingkuh, sikapku buruk, atau ... ah, apa pun itu. Nggak masalah kalau aku dipandang salah di mata orangtuamu. Asalkan hubunganmu dengan mereka bisa terpelihara dengan baik," usulku begitu tegas, tetapi justru malah membuat air mata menitik.
Mas Ibas tercenung. Entah apa yang dia pikirkan.
Aku mendekap sepasang pakaian sembari berkata, "Aku mau siap-siap dulu di kamar bawah."
Langkahku menjauh dari hadapannya, tetapi belum sempat melewati pintu, tangan kokoh Mas Ibas lebih dulu menyentuh gagangnya. Dia menutup pintu dengan keras dan menguncinya.
Aku terpekik kaget dan menatapnya heran. "Mas?!"
Hening sejenak.
"Aku nggak peduli kamu menyebutku egois atau apa pun." Dia menggeram dengan sorot mata yang membuatku takut setengah mati dan melangkah mundur.
"M-mas ...."
"Tapi aku akan mendapat apa yang kumau," sambungnya dingin. "Sekalipun itu ... dengan cara licik!"

==========

Raungan, tangisan, jeritan. Semua lolos dari mulutku ketika bergelut melawannya. Dia, pria yang menikahiku, menggagahiku dengan paksa!
Bukan tak melawan, tetapi tenagaku tak ada apa-apanya dibanding pria tinggi tegap ini. Mas Ibas mengunciku dengan kaki dan tangan kokohnya.
Dia menjamah setiap lekuk tubuhku dengan menggila. Seakan memuaskan dahaga yang selama ini dia pendam. Menyecap segala sesuatu yang kumiliki.
Siapa yang mampu mengenyahkan hasrat lelaki, jika sudah memuncak seperti ini? Andai air bah menerjang pun, mungkin dia akan tetap menikmati rintihanku. Rintih sakit dan pilu.
Aku meronta! Menendang, memukul, bahkan mencakarnya, tapi sia-sia. Semua berakhir dengan kekalahanku.
Pasrah, aku kehabisan tenaga untuk melawan. Hanya isak tangis yang mengalun lirih, pertanda bahwa tubuhku ini amat lelah menolak beringasnya seorang Baskara yang seperti hilang akal.
"Aku benci kamu, Mas!"
Aku bersuara di tengah isak tangis. Detik kemudian, pria yang menindihku mengendorkan cengkeraman dan berhenti melakukan aksi bejatnya.
Kutatap mata kelam itu dengan nyalang. "Aku membencimu!" desisku untuk kedua kali dengan air mata terus berderai.
Sesaat, Mas Ibas tercenung. Seperti seorang yang baru sadar dari kerasukan, dia bangkit secara tiba-tiba.
"Aaarghhh!" teriaknya sembari mengacak rambut melayangkan kepalan tangan pada dinding.
Kurapatkan handuk yang tersingkap tak beraturan, dan terus menatap Mas Ibas dengan rasa campur aduk. Benci sekaligus takut! Sementara, dia tergesa-gesa memakai bajunya yang berserakan.
"Astaga!" Dia mengusap kasar wajahnya, seperti mengenyahkan apa yang membalut kepalanya.
Aku memalingkan wajah dengan mata terpejam, ketika dia kembali mendekat, membungkuk dan menutupi tubuhku dengan selimut secara perlahan.
Lalu, dia berkata dengan nada lemah, "Maaf, Aruna. Maaf--"
"Pergi!" sahutku tanpa menoleh.
"Dengar dulu penjelasanku--"
"Pergi!"
"Aku mohon, dengar--"
"Pergi dan jangan sentuh aku, laki-laki berengsek!"
Kami kembali bersitatap, sama-sama tercengang dengan umpatan yang kulontarkan.
Namun, gurat wajah Mas Ibas sama sekali tak mencerminkan kemarahan akan kelancangan mulutku. Dia hanya bergumam, "Ya, aku memang berengsek karena menginginkanmu, Aruna."
Tangisku pun kembali pecah, saat sosoknya tak lagi berada di kamar ini.
Mas Ibas memang suamiku, berhak atas segala yang kupunya. Akan tetapi, caranya tadi seolah memperlakukan binatang yang tak punya perasaan.
Andai kata dia memperlakukanku dengan baik dan lembut, maka setiap helai rambut pun, akan tulus kuberikan baginya secara sukarela.
Lagi pula, mungkin dia tak sepenuhnya menginginkanku. Melainkan hanya sebuah bentuk akumulasi kemarahannya saja.
Terlebih, tadi dia bilang, "Terserah kamu mau menyebutku apa, Aruna! Kalau dengan menuntut hakku sebagai suami, bisa membuatmu mengurungkan niat untuk cerai, kenapa tidak?! Kamu milikku! Cara kasar pun, akan kulakukan agar kamu tetap di sini!" Dia pun melakukan aksinya.
Namun, tanpa dia sadari, ini menjadi puncak rasa kecewaku. Cara yang dia halalkan untuk memaksaku tinggal, justru membuatku semakin berpaling jauh.
Ini adalah akhir.
***

Pagi yang pilu. Bias mentari yang merangsek masuk melalui celah jendela, tak lagi mampu menghangatkan. Hatiku beku.
Setelah kejadian tadi, aku kembali membasuh diri selama satu jam di kamar mandi. Merasa jijik pada tubuh ini.
Memang, Mas Ibas suamiku, tetapi cara dia menjamahku benar-benar biadab! Dia memaksaku seperti memperlakukan boneka.
Sudah cukup perlakuan Mas Ibas yang semena-mena selama ini. Subuh tadi, adalah babak akhir dari segala kesabaranku menghadapinya. Runtuhlah benteng penguat itu. Cinta, yang perlahan mengisi sanubari, satu-satunya alasan untukku bertahan, telah remuk!
Tak ada lagi alasan untukku tetap tinggal.
Aku terduduk di lantai kamar, menyandarkan punggung di pinggir ranjang sembari memeluk lutut. Sakit dan perih luar biasa di sekujur tubuh, terutama organ kewanitaan.
Aku tersiksa ....
Apa yang harus kulakukan sekarang?
Kuraih ponsel, lalu menekan tombol hijau pada layarnya. Akan tetapi, kontak yang berusaha kutelepon tak juga bisa dihubungi.
Ke mana Karin? Kenapa nomor teleponnya tidak aktif? Padahal, aku sedang sangat membutuhkannya.
Tiba-tiba ingat pesannya kemarin, bahwa Karin akan pergi ke luar pulau melepas rindu dengan suaminya yang bertugas di sana.
Ah ... aku tak tega mengacaukan momen bahagia sahabatku. Biarlah, akan coba kuhadapi semuanya tanpa dia.
Bimbang. Bagaimana caraku keluar dari rumah ini? Sementara Mas Ibas pasti tidak akan membiarkanku pergi dengan mudah.
Aku takut, sangat takut kejadian tadi terulang. Bukan tidak mungkin, jika aku memaksa pergi, Mas Ibas akan mengulangi perbuatannya. Bahkan, bisa saja dia menggauliku lebih gila lagi.
Tidak!
Aku menggeleng keras, menggit bibir menahan risau yang makin menggerogot. Siapa yang bisa menolongku? Mengadu pada Papa dan Mama di saat seperti ini, rasanya percuma. Bukan solusi terbaik.
Saat otakku dipenuhi kekalutan, terlintas satu nama. Entah keputusanku benar atau tidak, tetapi tanpa berpikir panjang, aku pun meneleponnya.
"Halo?"
"Halo, Aruna? Wah ... tumben sekali kamu meneloponku, Nona."
Suara di ujung sana terdengar riang, sesaat setelah dia menjawab panggilan.
Aku bungkam. Menahan sesak, isak, dan kebimbangan. Apa yang harus kukatakan?
"Halo, Aruna?"
"Aruna?"
Ketiga kali sapaan itu diucapnya, barulah aku menjawab, "M-mas ... a-aku ...." Suaraku bergetar hebat.
"Kenapa kamu? Ada apa? Apa yang terjadi?"
Dia terdengar panik, mungkin karena aku terisak.
"Tolong ... tolong aku, Mas. Bantu aku pergi dari sini," lirihku pilu.
"Astaga ... apa yang terjadi, Aruna? Apa ... suamimu?!"
Kembali, air menitik melewati pipi, mengingat kejadian itu.
"S-suamiku ... dia ... melecehkanku, Mas."
"Astaga! Pria macam apa suamimu itu, Aruna?!" teriaknya. "Di mana kamu sekarang?"
"Di rumah, Mas."
"Oke. Aku akan ke sana. Tunggu aku."
"Terima kasih ...," ucapku sebelum menutup sambungan telepon.
***

Tok! Tok! Tok!
"Buka pintunya, Aruna!"
"Aruna!"
"Aku mau bicara!"
Entah sudah berapa puluh kali kudengar ketukan keras dan seruan itu. Tak kuhiraukan, meski Mas Ibas terus memaksaku agar membuka pintu.
Mengurung diri di kamar, kutunggu dengan hati gelisah kedatangan Mas Julian, tetapi hingga enam puluh menit, dia belum juga muncul.
"Buka pintunya, Aruna!" teriak Mas Ibas lagi. "Atau akan kudobrak!"
Aku terhenyak panik! Takut bukan main mendengar ancaman yang pastinya tak main-main itu. Gemetar tanganku ini, mencari-cari sesuatu di dalam laci nakas, dan ....
Brak!
Brakkk!
Pintu terkuak lebar, Mas Ibas berdiri di ambangnya.
Aku membeku, menatapnya nyalang dengan tangan gemetar mengacung lurus ke arahnya.
"Astaga! Apa-apaan kamu, Aruna?!" bentaknya sembari melangkah maju perlahan. "Lepaskan benda itu, Aruna!"
"Jangan mendekat!" larangku tegas. "Atau aku akan ...."
"Demi Tuhan! Jangan nekat, Aruna!"
Mas Ibas membuka kedua telapak tanggannya ke arahku dengan gurat wajah penuh cemas.
Sementara tanganku kini mengarah ke leher, dengan ujung benda yang tengah digenggam sudah menempel di kulit. Gunting.
Namun, secepat kilat Mas Ibas menerjang, mencekal lenganku dan membuang gunting itu.
"Hentikan, Aruna. Jangan seperti ini." Suaranya melemah.
"Lepas!" Aku meraung dan meronta, takut dia mengulang kegilaannya. "Lepasin aku, Mas!"
"Tenangkan dirimu, Aruna. Aku bersumpah nggak akan menyentuhmu lagi." Dia mendudukkanku di sisi ranjang, sementara diraihnya kursi dan duduk di hadapanku. "Aku cuma mau bicara. Aku mau minta maaf."
"Kamu keterlaluan! Seharusnya kamu sadar perbuatanmu selalu menyakiti hatiku, Mas!" cecarku gusar. "Dan sekarang, kamu juga melecehkanku!"
"Maaf ...."
"Tidak, Mas! Aku capek dengan sikapmu! Kamu menikahiku dengan terpaksa, lalu mengurungku di sini dengan posesif, padahal jelas-jelas kamu membatasi hubungan ini dan akan melepasku! Dan sekarang, saat aku berusaha merelakanmu dengan wanita lain, kamu ... kamu malah menahanku dengan cara yang licik! Menjijikan! Bajingan!"
Suaraku menggema, tak hanya memekakkan gendang telinga, tetapi menancap hingga ke ulu hati. Sakit!
Bahunya turun, dan untuk pertama kalinya kulihat sorot mata kelam itu dibaluti penyesalan.
"Dengarkan aku sebentar saja," pintanya dengan berkerut kening.
"Aku mau pergi!"
"Sebentar saja, Aruna. Dengar penjelasanku," pintanya lagi. "Setelah ini, aku akan menerima keputusanmu. Apa pun itu."
Rentan waktu 3 bulan hidup bersama, membuatku bisa membaca apa yang mata Mas Ibas katakan. Detik ini, matanya bicara permohonan dan ketulusan.
Jeda. Kami saling diam. Pertanda aku menerima permintaannya untuk bicara.
"Maaf, Aruna ...," ucapnya memecah keheningan. "Aku keliru menunjukkan perasaanku."
Bisu dan memalingkan wajah, hanya itu yang kulakukan.
"Aku nggak mau kehilanganmu, Aruna."
Tercenung, seketika aku menoleh ketika mendengar itu. Lagi-lagi, matanya bicara kesungguhan.
"Aku nggak rela melepaskanmu."
"Benarkah?" sambungku dengan seringai mencemooh. "Lalu Meilan? Bagaimana dengan wanita itu, Mas?"
Dia diam. Gelisah.
"Jawab, Mas! Kalau kamu ingin tetap bersamaku, bagaimana dengan Meilan? Bukankah kamu punya tanggung jawab padanya? Atau ... kamu akan melepas dia?"
Dia memejamkan mata sesaat, lalu menggeleng.
"Egois!" umpatku.
"Nggak semudah itu, Aruna. Kamu nggak ngerti posisiku--"
"Aku ngerti posisimu," potongku cepat. "Kamu menghamili wanita itu, kan?"
"Apa?!" Dia terkejut. "Dari mana kamu tau itu?"
"Jadi ... itu benar?"
"Ya," jawabnya singkat.
Seketika, aku tercekat dan dicambuk sembilu.
"Kamu berengsek, Mas!" Aku bangkit secepat kilat menghampirinya dan ....
Plak!
Plak!
Dua kali, kulayangkan tamparan keras di wajahnya. Lalu, berulang kali memukul dada dan bahunya.
"Bajingan!"
Kecewa dan cemburu, itu yang kurasakan. Mas Ibas diam saja menerima pukulan dan umpatan. Sementara aku, terus meneriakinya dengan gusar dan napas memburu.
Setelah puas meluapkan kemarahan, akhirnya tangisku pecah.
"Kamu berhak marah," ucapnya seraya menahan badanku yang hampir limbung ke lantai. "Pukul dan maki aku sepuasmu. Tapi sekarang, dengarkan dulu penjelasanku."
"Dengar, Aruna," pintanya lagi, seraya membungkuk menyejajari tinggiku agar kami tatapan kami beradu, tetapi aku memalingkan wajah.
"Meilan hamil, itu benar. Tapi aku belum pernah menyentuhnya."
Sesak berganti keterkejutan. Aku mendongak.
"Maksudmu ...."
"Kamu salah paham, Aruna. Aku memang bertanggungjawab pada Meilan, tapi bukan berarti aku menghamilinya," jelasnya tegas. "Percayalah padaku, sedikit saja. Sebanyak apa pun predikat buruk yang kusandang, entah itu egois, tempramen, posesif, atau apa pun, tapi aku nggak sebejat itu, Aruna."
"Jadi, tanggung jawab apa yang kamu maksud, Mas?" Aku mundur dua langkah darinya.
Dia menghela napas panjang.
"Aku dan Meilan sudah lama mengenal. Bahkan ... sebelum menikahimu, aku sempat akan melamarnya."
Aku menggigit bibir. Mendengar itu, batin ini menciut. Nyeri. Ternyata benar, aku hanya benalu di antara rindangnya tali kasih Mas Ibas dan Meilan.
"Kalau begitu, kenapa kamu lebih memilih aku, Mas? Kenapa bukan Meilan, wanita yang kamu cintai?"
Dia menggeleng, "Aku menerima Meilan hanya karena kasihan."
"Apa?!"
"Aku nggak bisa menceritakan secara gamblang. Terlalu rumit. Intinya, Meilan putus asa karena satu hal. Dan kalau bukan aku yang menolongnya, maka dia hancur. Maka dari itu, aku menutup rapat perihal dia padamu, karena ini aib," ungkapnya panjang lebar.
Tak sepenuhnya mengerti, aku malah tercengang. Entah harus salut akan sikap heroiknya, ataukah muak dengan dalih itu.
"Hebat!" imbuhku setelah beberapa detik hening. "Kamu sangat gigih dan lantang membela wanita itu, Mas. Tapi kamu melupakan satu hal. Aku, istrimu yang nggak pernah mendapat belas kasihmu."
"Ya, aku salah. Luapkan saja amarahmu, Aruna. Maki aku, pukul aku, atau apa pun caranya," pintanya sungguh-sungguh. "Tapi aku mohon, tetaplah di sini. Kita perbaiki semuanya."
"Pilih aku atau wanita itu, Mas!" Aku kembali bicara dengan mata berkaca-kaca.
Dia diam tanpa melepas pandangannya padaku.
"Jawab aku, Mas!"
"Mas!"
"Beri aku waktu." Akhirnya dia bicara. "Aku nggak bisa melepasnya begitu saja."
Apa yang diucapkan Mas Ibas, tak sedikit pun meredakan sakit hatiku. Justru, lebih terasa seperti luka sayat disiram air garam. Perih.
Aku tersenyum getir. Ternyata, menjadi "sosok yang kedua" sangatlah memilukan. Apa bedanya aku dengan wanita cadangan?
Aku pernah menaiki bukit, dan rasanya amat lelah. Sekarang, hidup bersama pria ini, bagaikan mendaki gunung tanpa puncak. Begitu menjulang, hingga letih dan kepayahan saja yang terasa.
"Jika usahamu mempertahankan hubungan kita hanya sebuah rasa kasihan padaku, maka urungkan saja niatmu itu, Mas. Karena aku, wanita yang selalu kamu pandang sebelah mata ini, masih punya harga diri."
Kuraih tas besar yang berisi baju-baju yang sebelumnya sudah disiapkan, lalu melangkah melewati tubuh tingginya yang berdiri termangu.
Dia mencekal lenganku. "Jangan pergi, Aruna--"
"Cukup, Mas!" sanggahku berusaha melepaskan pegangannya. "Bukankah tadi kamu bilang, setelah pembicaraan ini, maka kamu akan menerima keputusanku, apa pun itu, hm?"
Kuembuskan napas panjang.
"Dan aku, lebih memilih ... menyudahi semuanya, Mas."
"Tapi, Aruna--"
"Izinkan aku pergi, Mas. Kita akan menyelesaikan semuanya secara baik-baik."
Dia mendengkus kasar, melepas lenganku.
"Dengarkan aku, Aruna!"
Kakiku menapaki anak tangga dengan tergesa dan mantap, sementara Mas Ibas membuntuti.
"Aruna, kamu mau ke mana?!"
"Aruna!"
Tak kuhiraukan seruannya yang lebih mirip permohonan itu. Hingga di anak tangga terbawah, terdengar suara mobil berhenti dan klakson berkali-kali.
Itu pasti Mas Julian.
"Aruna, kamu mau ke mana? Jangan buat aku khawatir." Mas Ibas terus bertanya tanpa mendapat jawaban. Aku sangat tidak mengacuhkanya.
Langkah pun semakin cepat, ketika melewati pintu depan menuju teras.
Benar saja, Mercedez Benz merah sudah berhenti di depan pintu pagar.
Aku terus mendekat ke arah mobil itu, dan tersenyum lega melihat wajah Mas Julian menyembul keluar dari balik pintu kemudi.
Namun, saat pria itu berdiri tegap, justru kulihat ekspresi sebaliknya dari dia. Terkejut, gusar dan berang.
Tidak, Mas Julian tidak sedang memperhatikanku, melainkan menatap lurus ke arah Mas Ibas.
Tiba-tiba, firasatku memburuk. Terlebih, saat kudapati gurat wajah Mas Ibas yang jauh lebih garang.
Aku gemetar, berada di antar dua pria yang saling menghunjamkan tatapan setajam belati, dengan tubuh dan wajah yang menegang.
Kulirik mereka bergantian.
Mas Julian menyeringai, dengan rahang berdenyut dan mata berkilat. Sesuatu yang tak pernah kulihat dari pria periang itu.
"Apa si bajingan ini adalah suamimu, Aruna? Hm?" desisnya tajam, tanpa mengalihkan pandangan.
Aku diliputi kebimbangan, tak menyangka reaksi keduanya akan luar biasa keras. Seperti musuh bebuyutan yang lama tak bersua.
Belum sempat aku menjawab, Mas Ibas lebih dulu berteriak dengan wajah bengis.
"Jadi lo yang deketin istri gue, hah?! Anjing!"

Bersambung #11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER