Cerita Bersambung
"Apa si bajingan ini suamimu, Aruna?" desis Mas Julian dengan wajah bengis.
Mas Ibas tak kalah berang. Dia menggeram, "Jadi lo, yang deketin istri gue, hah?! Anjing!"
Aku bergeming, mencerna reaksi mengejutkan dari kedua pria ini. Fatal! Baru sadar, aku telah melakukan kesalahan besar, meminta pertolongan Mas Julian untuk datang kemari.
Umpama mengundang harimau ke kandang singa!
Oh Tuhan! Bagaimana ini?
Belum sempat bertindak apa-apa, Mas Ibas sudah lebih dulu bergerak. Dia berjalan cepat ke arah Mas Julian, dan ....
Braaak!
Mas Ibas mendorong tubuh Mas Julian hingga membentur badan mobil, dan menghantamkan bogem mentah bertubi-tubi di wajahnya.
Bugh! Bugh! Bugh!
"Sialan!" umpat Mas Ibas membabi buta.
"Aaarghhh!" Aku berteriak panik, menyaksikan Mas Julian merintih. "Hentikan, Mas Ibas! Cukuuup! Lepaskan dia!"
Tak lama, keadaan berbalik!
Mas Julian menendang perut lawannya hingga tersungkur, lalu menghambur dan meninju Mas Ibas berkali-kali.
Darah memuncrat dari hidung Mas Ibas, membuatku luar biasa takut. "Hentikan, Mas Juliaaan! Cukuppp!" pekikku lantang hingga suara hampir putus.
"Banci keparat! Laki-laki macam apa lo, bangsat! Berani-beraninya nyiksa istri lo sendiri, hahhh!" Mulut Mas Julian mencecar dengan segala sumpah serapah.
Panik, cemas, takut! Tak ada yang bisa kulakukan selain berteriak, berusaha menghentikan aksi kedua pria ini, tetapi sia-sia. Mereka tetap berduel layaknya bertanding di arena gulat.
Akhirnya, kucoba menarik perhatian orang dengan beseru, "Tolooong! Tolooong!"
Namun, entah kenapa suasana terasa sepi. Hanya ada satu dua mobil yang lewat dengan kecepatan kencang, sama sekali tak menghiraukan teriakanku.
Mas Ibas rupanya belum menyerah. Setelah terlihat sama-sama kepayahan, dia membanting tubuh Mas Julian dan menindihnya. Kembali dihantamkannya pukulan bertubi, pada wajah yang sudah lebam-lebam itu.
Dengan pikiran kacau dan kepanikan di ubun-ubun, aku terus berteriak. Kali ini dengan menghampiri Mas Ibas dan mencoba menahan lengannya, tetapi yang terjadi justru ....
"Diam, Aruna!" Mas Ibas mendorong tubuhku dengan keras.
Limbung, tubuhku terjatuh dan kepala membentur tembok pembatas halaman, hingga semuanya ... gelap.
***
Kayu putih, aroma yang pertama kali kucium saat sadar. Perlahan, mataku terbuka dengan kepala yang terasa berdenyut nyeri.
"Kamu nggak apa-apa, Aruna?"
Pandanganku masih berkabut. Samar, kulihat Mas Ibas dengan raut khawatirnya. Dia menyentuh kedua pipiku.
Kemudian, dengan ekor mata, kutangkap sosok Mas Julian, duduk menatapku dengan gurat cemas. Hanya saja, dia tak mengucap sepatah kata pun.
Kucoba bangkit dan duduk dibantu Mas Ibas. Ternyata kami bertiga berada di ruang tamu. Mungkinkah tadi aku pingsan?
Kutatap lekat silih berganti, kedua wajah maskulin yang sudah babak belur itu. Ngeri. Kondisi mereka sama-sama mengkhawatirkan.
Mas Ibas dengan lebam-lebam di pipi, juga sudut bibir dan hidung berdarah. Sementara Mas Julian, selain mata dan pipi bengkak, pelipisnya tampak sobek.
Kedua pria ini duduk berhadapan, dan aku di antara keduanya.
"Sudah?! Cukup?! Atau kalian mau lanjut bergulat di sini, hm? Apa aku harus mati karena panik, baru kalian puas, hm?!" Pada akhirnya, akulah yang memecah keheningan yang mencekam di antara mereka.
"Tapi kamu nggak tau, si Julian ini jahanam, Aruna!"
"Tutup mulut lo, Bas! Bangsat!"
Kedua pria ini kembali bersitegang, saling menghunuskan tatapan setajam belati. Namun, bukan itu yang membuatku terkejut.
"Kalian ... saling kenal?" tanyaku heran.
"Tentu saja!" jawab mereka bersamaan.
"Aku mencari-cari si berengsek ini sudah lama," sahut Mas Ibas. "Kamu tau siapa dia, Aruna? Dia ini yang harusnya bertanggungjawab sama Meilan!"
"Apa?!" Mataku membulat, terkejut.
"Jaga ucapan lo, Bas! Apa maksud lo, hah?!" Mas Julian justru balik bertanya.
"Halaaah! Jangan sok suci!" gertak Mas Ibas. "Lo yang hamilin si Meilan, kan?!"
Ya Tuhan! Kenapa hidupku serumit ini. Lagi-lagi, wanita bernama Meilan itu yang jadi masalah.
Brakkk!
Mas Julian menggebrak meja dengan tatapan murka. "Sialan! Jangan sembarang nuduh, Bas!"
"Bullshit!"
Kedua pria ini saling mengumpat, sembari mencengkeram kerah baju. Mereka sama sekali tak menghiraukan keberadaanku di sini. Seakan, aku hanyalah manekin hidup. Saksi, betapa sengitnya perkelahian mereka memperebutkan satu wanita. Meilan!
Sebenarnya ingin segera enyah dari tempat ini, tetapi entah atas dasar apa, lidah tergelitik bertanya, "Bisa kalian jelaskan semuanya? Karena aku sama sekali nggak ngerti. Atau ... aku memang harus pergi. Ini nggak ada hubungan denganku, kan?"
Mereka pun kompak menoleh padaku.
"Tetap di sini, Aruna."
"Ikut denganku saja."
"Jelaskan, Mas," pintaku pada Mas Ibas, "kenapa kamu menuding Mas Julian seperti itu?"
Mas Julian menyela, "Kamu salah paham, Aruna--"
"Sebentar, Mas," cegahku pada pria bermata sipit itu. "Aku butuh penjelasan dari Mas Ibas dulu."
"Ayo, Mas ...," pintaku lagi pada Mas Ibas.
"Aruna, kamu harus dengar baik-baik penjelasanku ini," titah Mas Ibas dengan gurat serius. "Biang keladi dari semua masalahku adalah dia!" Telunjuknya mengarah lurus pada Mas Julian. "Dia, merenggut keperawanan Meilan saat mereka masih pacaran dulu. Dan sekarang, dia menghamilinya!"
Aku menangkup mulut, merasa terkejut luar biasa. "A-apa?!"
"Sial! Jangan ngomong sembarangan, Baskara! protes Mas Julian dengan mata nyalang. "Dari mana lo dapat kesimpulan gila itu, hah?! Gue bisa nuntut lo karena pencemaran nama baik!"
Seringai angkuh Mas Ibas mengembang. "Silakan. Gue nggak takut! Gue punya saksi sekaligus korban. Meilan!"
Aku diam, menyaksikan pertengkaran keduanya.
"Jadi si Meilan yang bilang begitu, hm?" tanya Mas Julian.
Sedetik, dua detik, hening.
Tiba-tiba Mas Julian tertawa sarkas. "Hahaha!"
"Lo emang tolol, Baskara!" cela Mas Julian setelah tawanya reda. "Gadis baik seperti Aruna lo sia-siakan, sementara lo bela-bela si jalang Meilan!"
"Jaga ucapan lo!"
"Demi Tuhan! Buka mata, Ibas ... buka mata! Si Meilan itu cuma mempermainkan lo!"
"Apa?!" Mas Ibas berkerut kening.
"Dengar penjelasan gue baik-baik." Mas Julian mendesis. "Pertama kali kenal si Meilan, gue udah tau dia bukan gadis baik-baik. Dulu, gue sama sekali nggak ada niat mempertahankan dia, apalagi memperebutkannya. Gue cuma mau tau, seberapa besar keangkuhan lo dapetin dia. Padahal, gue tau, lo juga nggak suka sama si Meilan, kan?" Dia terkekeh. "Sepertinya dia terlalu menikmati suapan uang yang lo kasih, jadi dia betah. Kecanduan."
Terkejut. Itu yang kutangkap jelas di wajah Mas Ibas, sebagai reaksi akan apa yang diutarakan Mas Julian.
"Satu lagi," sambung Mas Julian. "Kalau si Meilan nuding gue hamilin dia, itu salah besar! Fitnah! Karena sekali pun, gue nggak pernah mencicipi si Jalang itu. Kalau lo nggak percaya, silakan cari tau sendiri."
Kupejamkan mata mendengar hal pelik ini. Kepalaku semakin dibuat nyeri karenanya. Namun, denyut dada terasa lebih menyakitkan. Bagaimana tidak? Aku di sini hanyalah sampah. Sedangkah kedua pria ini hanya memperebutkan satu nama. Meilan.
Akhirnya, kuambil keputusan. "Maaf, aku harus pergi." Aku bangkit dari sofa, "karena ini sama sekali nggak ada hubungannya denganku."
"Ada!" tegas Mas Ibas dengan menatapku dan sama-sama berdiri. "Jika benar apa yang dikatakan Julian, maka detik ini juga aku akan melepas Meilan. Tetaplah tinggal di sini, Aruna."
Air muka Mas Ibas kental akan permohonan. Namun, yang kurasakan justru semakin perih. Aku hanya wanita kedua, bukan? Jika tuduhan pada Meilan salah, maka aku tetap akan dihempaskan.
"Apa kamu nggak capek, hidup seatap dengannya, Aruna?" tanya Mas Julian yang juga sudah berdiri. "Aku pernah bilang, kan. Kalau kamu lelah mempertahankan dia, maka aku siap menggenggam tanganmu."
Kembali, kutatap lekat dua pasang mata ini bergantian. Sepasang mata kelam, dan sepasang mata teduh, tetapi sama-sama mengisyaratkan kesungguhan.
Kekuatanku untuk lepas dari hubungan tak menentu ini kembali diuji. Keputusan besar, mau tak mau harus dijalani.
Kuhela napas panjang dan memandang lurus pada Mas Ibas. Kemudian, berkata lirih, "Mas, apa kamu ingat yang pernah kukatakan dulu? Jangan menahanku lagi, jika suatu hari aku benar-benar menyerah dan tak ingin kembali. Kurasa ... saatnya tiba."
Mas Ibas memandang sendu. "Kenapa, Aruna? Kenapa kamu menyerah saat aku ingin memulainya dari awal--"
"Terlambat!" Aku memotong. "Sudah terlambat, Mas. Aku sangat lelah menghadapimu. Aku ingin hidup tenang. Lagi pula ...." Kuembuskan napas berat, "perbuatanmu merenggut harga diriku dengan paksa, sama sekali tak bisa menahanku di sini. Justru itu, membulatkan tekatku untuk pergi darimu."
Mas Ibas tercenung. Hening. Gurat wajahnya sarat akan sesal.
Sementara, Mas Julian menatapku lekat, menyimpan sejumput rasa iba.
"Selesaikan urusanmu dengan Meilan, Mas." Aku kembali berkata. "Bukankah dia, yang selama ini kamu pertahankan dengan gigih? Jangan khawatirkan aku ...." Kalimat tersendat, bersama dengan lelehan air mata. "Sejak pertama aku berpijak di rumah ini, kamu nggak sepenuhnya mengajak seorang Aruna untuk hidup. Bahkan, hingga detik ini aku tetap merasa ... sebatang kara."
Pria dengan sorot mata kelam itu bergeming, seperti diliputi kepasrahan. Tak ada lagi yang dia tunjukkan selain membisu.
Kuusap lelehan air mata, meraih tas, lalu melangkah keluar dari pintu.
"Tunggu, Aruna!" Mas Julian menyejajari langkah dan memegangi lenganku. "Aku akan mengantarmu."
"Nggak usah, Mas."
"Tapi kamu mau ke mana?"
"Ke mana saja, ke tempat yang bisa menerimaku dengan tulus." Aku melirik sekilas Mas Ibas.
"Aku antar, ya?"
"Nggak usah, Mas. Lebih baik bereskan urusanmu dengan Mas Ibas dan jangan berkelahi lagi. Selesaikan dengan kepala dingin. Izinkan aku bernapas lega," pintaku lirih. "Aku bisa sendiri. Aku sudah terbiasa sendiri. Dan mungkin ...." Aku terisak. "Aku akan tetap sendiri."
Tersenyum getir bibirku ini.
Perlahan, Mas Julian menyentuh pipi, mengusap air mataku, dan bergumam lembut, "Hilangkan segala sesakmu, tapi jangan menangis. Aku tau kamu kuat dan akan baik-baik saja. Tapi jika kamu butuh sandaran, aku selalu siap, Nona."
"Terima kasih." Aku mengangguk lemah.
Kemudian, sebelum benar-benar meninggalkan rumah, aku melirik kembali Mas Ibas dan berucap, "Kamu adalah api, dan aku hanyalah kayu rapuh, Mas. Jika kita terus bersama, maka aku yang akan hancur ...."
Beberapa detik, hanya mata kami yang bicara, hingga akhirnya aku pun melangkah pergi darinya. Dari sosok, yang mengurungku dalam siksa.
Cinta, adalah rasa yang berawal dari benih ketulusan. Akan tumbuh seiring waktu, dengan memupuk kesabaran dan keterbukaan. Namun, jika tunasnya saja yang baru muncul, terus menerus diinjak-injak, bukan tidak mungkin dia akan mati! Adalah mustahil, kau memintanya kembali hidup, sementara akarnya yang rapuh pun, tercerabut dari tanah yang kerontang.
Apa yang tersisa?
***
Hidup, kadang seperti gasing, berputar-putar di tempat yang sama, lalu berhenti setelah kepayahan. Mungkin, itu pula yang kualami.
Melewati banyak hal runyam, akhirnya kuputuskan kembali ke sini. Tanah kelahiranku. Tempat yang selalu merindu, dan menerima seorang Aruna dengan tangan terbuka.
Menghabiskan waktu berjam-jam dalam bus dan menaiki dua angkutan umum, sampailah di tujuan. Sedikit gentar, karena kedatanganku yang seorang diri pastilah menimbulkan banyak pertanyaan, bahkan mungkin gunjingan.
Bagaimana tidak? Tiga bulan lalu, para tetangga menjadi saksi pernikahan sederhanaku yang diadakan di rumah. Dulu, aku menjadi buah bibir, karena satu-satunya gadis di sini yang dinikahi pria kaya raya dari kota.
Namun, sekarang, keadaan berbalik. Mungkin orang-orang akan menatapku iba, karena sebetulnya, aku hanyalah gadis malang.
Malang, karena melambungkan mimpi yang amat menjulang, tentang kehidupan indah layaknya negeri dongeng, dan seromantis kisah fiksi dalam novel.
Nyatanya, semua tak lebih dari khayalku saja.
Aku melangkah di tanah bebatuan, menyusuri jalan aspal yang berlubang di sana-sini. Gugup menyerang, saat satu dua orang berkerut kening, menatap heran dan bertanya, "Aruna, kamu sendirian aja? Suamimu nggak ikut?"
Hanya seulas senyum yang dipaksakan, juga anggukan lemah dariku, sebagai jawaban. Biarlah, lama-lama aku akan terbiasa dengan keadaan ini.
Aku tiba. Tangis hampir pecah, ketika tangan menyentuh pintu pagar besi. Terdengar derit dari engselnya yang berkarat.
Rerumputan liar yang meninggi, serta dedaunan kering dari pohon mangga yang berserakan di tanah, menambah kesan suram rumah masa kecilku ini.
Suram, seperti halnya nasibku.
Langkah terhenti di ambang pintu. Teras dengan dua kursi kayu dan meja bundar, tampak dipenuhi debu tebal.
Tepat saat meletakkan tas dan membuka pintu rumah, terdengar seseorang berseru.
"Aruna! Kapan datang?"
Aku menoleh. Mas Fahmi berdiri di depan pintu pagar rumahku, dekat sebuah mobil yang terparkir di sana. Dia tersenyum, bibirnya seperti ingin mengucap banyak kalimat, tetapi tertahan.
Kubalas dia dengan senyum hangat yang serupa.
Kemudian, seorang wanita keluar dari mobil yang sama, juga menatapku dengan senyum yang tak kalah ramah. Mas Fahmi mengajaknya menghampiriku.
"Kapan kamu datang, Na?" tanya Mas Fahmi lagi.
Kami bertiga berdiri di teras.
"Barusan," jawabku singkat.
Aku menoleh pada si wanita muda yang kutaksir masih berusia 19 atau 20 tahun, lalu bertanya, "Ini ...."
"Saya Mira, Mbak. Calon istri Mas Fahmi." Dia mengulurkan tangan dengan sedikit tersipu.
Gadis cantik dan santun. Cocok sekali bersanding dengan Mas Fahmi.
Kubalas jabatan tangannya. "Kenalkan, saya Aruna. Saya--"
"Sahabat Mas Fahmi." Mira menyela, membuatku mengernyit heran. "Mas Fahmi sering menceritakan tentang Mbak Aruna pada saya. Kalian teman masa kecil, kan?"
Dari raut Mira yang semringah, kutebak bahwa Mas Fahmi hanya menceritakan sebagian tentang hubungan kami. Kedekatan kami sampai mana, sepertinya Mira tak tahu.
Syukurlah, lebih baik seperti ini. Aku tak tega menorehkan kecemburuan pada seorang wanita yang baru akan menapaki kebahagiaan. Karena kutahu rasanya ... sakit!
Aku meringis, merasa tak enak karena tak bisa mengajak kedua pasangan kekasih ini untuk duduk. "Maaf, aku baru sampai, jadi ... ah, rumah ini perlu dibersihkan."
"Nggak apa-apa, Mbak," bela Mira. "Kami mau berangkat lagi, kok. Ada janji sama pihak dekorasi pesta."
Aku tersenyum melihat binar di iris mata gadis bermata belo ini.
"Ayo, Mas ...," ajak Mira pada si calon suami.
"Kamu tunggu di mobil, ya, Dek. Mas mau bicara sebentar dengan Aruna," titah Mas Fahmi sembari membelai rambut Mira.
Batin mengerdil. Dulu, akulah yang selalu mendapat perlakuan lembut pria ini. Sekarang, tentunya tak berhak.
"Baik, Mas." Mira mengangguk patuh, melempar senyum padaku. "Senang bisa bertemu denganmu, Mbak." Dia pun berjingkat kembali menuju mobil.
"Kamu pulang sama siapa? Sendiri?" Mas Fahmi bertanya penuh selidik, ketika kami hanya tinggal berdua. Bola matanya bergerak ke bawah, melirik tas besar milikku dan mengerutkan alis.
"Iya. Aku datang sendiri, Mas." Aku menunduk gugup.
"Kenapa sendirian?"
"Aku ... a-aku--"
"Mana suamimu, Na?"
"Nanti ... dia menyusul."
"Bohong! Katakan apa yang terjadi."
Aku mendongak, menatapnya ragu.
"Aku nggak bohong, Mas. Aku--"
"Jangan pura-pura, Na! Kamu itu nggak pandai berbohong. Dan aku sudah tau semua masalah rumah tanggamu dari Karin."
Deg.
"A-apa?!" Aku terkejut.
"Nggak usah menyalahkan Karin, Na. Dia sangat mengkhawatirkanmu, makanya menceritakan semua masalahmu padaku." Ekspresi tampak kesal sekaligus iba. "Kenapa kamu nggak bilang dari dulu, Na? Kenapa kamu menutupi hubungan tidak sehatmu itu? Kenapa kamu nggak minta pertolonganku? Apa kamu sudah nggak menganggap aku sahabat lagi? Dan kenapa baru sekarang, setelah aku berusaha maju, kamu justru ...." Dia mendengkus kasar.
Pertanyaan Mas Fahmi yang betumpang tindih itu terasa menohok. Kalimatnya seakan menyadarkanku bahwa ini ... terlambat.
Tak ayal, aku pun bersuara lirih dengan mata berkaca-kaca. "Karena awalnya aku merasa kuat. Awalnya kukira semua akan membaik. Dan awalnya aku merasa ... nggak butuh kamu, Mas."
"Lalu sekarang?" Dia menyela.
"Mas Fahmiii ...." Mira berseru dari balik kaca mobil dan memberi kode agar pria di hadapanku cepat menghampirinya.
"Pergilah, Mas. Aku baik-baik saja," pintaku kemudian.
Mas Fahmi mengangguk. Akan tetapi, sebelum berlalu, dia bergumam, "Aku nggak sepertimu, yang memilih nekad menikahi orang asing. Bagiku, hidup bersama dengan wanita yang kukenali sedari kecil, lebih baik dibandingkan dengan gadis yang belum kucintai." Dia menyipit. "Pernikahanku kurang dari tiga minggu lagi. Belum terlambat, Na .... Aku hanya menunggumu mengulurkan tangan, maka aku akan menggengammu erat."
Pria itu pergi, meninggalkan debar yang tak menentu di dalam sini. Tak kusangka, satu tangan hangat masih terbuka lebar dan setia menungguku. Siap mendekap kepiluan seorang Aruna.
Pantaskah aku bahagia karenanya?
Apakah ini harapan baru bagiku?
==========
Berpijak di rumah tempatku dibesarkan, membawa raga ini kembali ke dimensi lain, di mana setiap canda tawa dan mimpi-mimpi kecil bersemayam. Ini membuatku seolah berada di waktu yang sama, ketika masih ada sosok Ibu dan Ayah.
Duduk pada salah satu kursi usang di ruang keluarga, kusaksikan bayang-bayang masa lalu di depan mata, berkelebat silih berganti. Resonansi dari kejadian-kejadian silam pun, mengalun merdu di gendang telinga.
Ada kalanya aku bergelayut manja di pangkuan Ayah, berceloteh dengan Ibu, dan bersama-sama tertawa renyah. Semua itu tampak nyata. Padahal, ketika kubuka mata, yang ada hanyalah fatamorgana.
Tetes demi tetes lelehan air mata menodai wajahku. Batin ini melirih. Betapa menyakitkan bisa melihat sesuatu yang dirindukan, tetapi ketika hendak menyentuhnya ... semua lenyap.
Kini, hanya ada aku seorang ditelan kesunyian, dalam rumah yang juga hening tanpa nyawa. Aku duduk, bergeming memeluk tubuh sendiri, mendengarkan detik jam dinding yang menyalak.
Di sini, di tempat yang selama 25 tahun menjadi pelarian gundah, aku terisak sembilu.
***
Pagi. Ponsel terus bergetar, sesaat setelah kutekan tombol power. Memang, sejak kemarin pergi dari rumah Mas Ibas, aku mematikan alat komunikasi ini. Sehingga tak ada seorang pun yang bisa menghubungi.
Sekarang, ponselku dihujani puluhan pesan singkat yang baru muncul, juga panggilan telepon tak terjawab.
“Kamu di mana, Aruna?”
“Angkat teleponku.”
“Kamu baik-baik saja, kan?”
Sekian puluh pesan yang menumpuk itu berasal dari Mas Ibas dan Mas Julian. Hingga semua tuntas kubaca satu persatu pun, tak ada yang kubalas. Enggan.
Sebetulnya, tanpa memberitahukan pun, Mas Ibas tentu bisa menebak bahwa aku berada di sini. Memangnya mau ke mana lagi? Tak ada siapa-siapa yang kupunya.
Akan tetapi, Mas Ibas belum juga muncul dan menyusul. Anehnya, kenapa aku mengharapkan dia datang?
Kokok ayam bersahutan dengan cicit burung, diiringi kemunculan sang fajar dengan warna kemerahan yang gagah, mengintip dari balik celah jendela.
Aku beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi, lalu menanggalkan satu persatu helai baju, hingga tubuh tak lagi tertutup kain sedikit pun.
Suhu di sini amatlah dingin. Ketika kulit bersentuhan dengan air dalam bak mandi, tubuhku menggigil.
Aroma dari sabun cair dan sampo, menyeruak memberi sensasi segar dan sedikit rileks. Akan tetapi, ketika kutemukan jejak-jejak kemerahan di leher, perut, dada ... bergidik! Ditambah lagi, rasa nyeri luar biasa yang masih terasa di antara selangkangan, membuatku meringis perih.
Malam pertama yang kulewati begitu menyiksa. Tak ada keindahan maupun kenikmatan seperti yang orang lain alami. Melainkan, hanya rasa takut dan marah!
Bagi Mas Ibas, apa yang dilakukannya kepadaku mungkin hanya sebuah pelampiasan hasrat lelakinya. Namun, tidak bagiku. Selain kehilangan mahkota kesucian, bagaimana kalau nantinya aku ....
***
Rumah tampak lebih rapi dan bersih. Debu-debu tebal yang sebelumnya menutupi perabotan dan ubin usang , telah lenyap. Aku berusaha menjadikan tempat ini nyaman seperti dulu. Mungkin, aku akan seterusnya di sini, bukan?
Setelah puluhan menit membereskan rumah, kuputuskan untuk menyapa dunia luar. Terlebih, ada satu tempat yang sangat kurindukan.
“Aruna? Kapan kamu datang, Nak?” Pak Lurah menyapa, ketika aku baru saja melewati pintu pagar.
Aku menyalaminya seraya menjawab, “Kemarin sore, Pak.”
Pak Lurah adalah teman baik Ayah. Saat aku menikah, beliau pun bertindak menjadi saksi.
“Gimana kabarmu, Nak?” Pak Lurah kembali bertanya.
“Baik, Pak.”
“Syukurlah. Tapi ....” Beliau melongok ke halaman rumahku. “Suamimu mana? Kok, nggak keliatan mobilnya, ya?”
Aku tersenyum masam. Pak Lurah orang pertama hari ini yang bertanya tentang suamiku. Di depan sana, pasti akan lebih banyak lagi yang mempertanyakan hal ini.
“Suamiku nanti nyusul, Pak.” Hanya itu yang bisa dijadikan alasan. Padahal, aku sendiri tak yakin dengan apa yang kukatakan.
Kami pun berpencar, melewati jalan menuju tempat berbeda.
Selama berjalan kaki, aku berpapasan dengan beberapa anak SD yang dulu menjadi muridku. Mereka begitu senang, menyalamiku satu persatu.
“Bu Guru, kami kangen ....” Semua mengatakan itu.
Aku terharu. Ketulusan anak-anak selalu membuat hati terenyuh.
“Doakan ibu, ya, anak-anak. Mudah-mudahan ibu bisa kembali mengajar di sekolah kalian,” ucapku terakhir kali. Kemudian, melanjutkan langkah menuju tempat tujuan.
Tin. Tin.
Terdengar klakson mobil. Aku menoleh, pada kendaraan roda empat yang berhenti tepat di sampingku.
Aku tersenyum.
“Mau ke mana, Na?” Kepala Mas Fahmi melongok dari balik kaca mobil yang terbuka.
“Ketemu Ibu sama Ayah, Mas,” jawabku dengan senyum mengembang.
“Oh ... ya udah, aku antar.”
“Ah, nggak usah, Mas.” Aku menggeleng. “Aku bisa sendiri.”
“Kenapa, Na? Kamu malu, ya, kalau jalan sama aku?”
“Lho, kok, Mas Fahmi bilang gitu?” Aku mengernyit.
“Ya udah, yuk, aku antar. Kebetulan kita searah.”
Karena tak mengantongi alasan untuk menolak, aku pun menerima ajakan Mas Fahmi.
***
“Na, kamu nggak ada rencana buat balik lagi, kan?”
“Hm?”
Aku melirik pria yang sedang mengendarai mobilnya ini. Mas Fahmi tampak santai, tetapi kutangkap nada serius dari pertanyaannya.
Tak ada jawaban yang terucap dari mulutku, karena aku memang tak mengerti arah pembicaraan ini.
“Jangan balik ke tempat itu, kalau kamu merasa sudah nggak nyaman, Na.” Mas Fahmi menoleh sekilas. “Buat apa, coba? Lebih baik di sini, ada aku.”
Beberapa detik hening. Mata mengerjap cepat, lalu aku kembali membuang pandangan ke jalanan yang lengang.
Lidah terasa kelu, tetapi pikiran berkecamuk. Entah rasa apa yang meronta dalam rongga dada ini. Aku tak paham.
***
Kujinjing sekeranjang kelopak bunga warna-warni nan semerbak, seraya berjalan di blok-blok area pemakaman, lalu berhenti di dua buah gundukan tanah yang berdampingan.
“Dinata” dan “Amirah” ... dua belahan jiwaku.
Aku bersimpuh di antara dua pusara itu, menaburkan kelopak-kelopak bunga di atasnya.
Mas Fahmi tak mengajakku bicara. Dia tahu, setiap kali menghadapi saat seperti ini, aku hanya ingin hening. Sementara, air mulai menggenang di pelupuk, ketika kutatap sendu tempat peristirahatan terakhir Ayah dan Ibu.
“Ibu ... Ayah ....” Aku melirih. “Kenapa kalian meninggalkanku sendiri? Aku nggak punya siapa-siapa lagi.”
Tangisku pecah, tak mampu lagi menahan isak dan sesak yang selalu tertahan ini. Tanpa diminta, Mas Fahmi memberikan bahunya sebagai sandaran bagiku untuk meluapkan pilu.
Dia bergumam, “Kamu nggak sendiri, Na ... ada aku.”
***
Aku dan Mas Fahmi baru saja meninggalkan area pemakaman dan menuju mobil di parkiran. Sebenarnya, aku sudah meminta agar dia tak mengantarkan pulang, tetapi Mas Fahmi bersikukuh.
“Kamu udah sarapan, Na?” tanya Mas Fahmi saat mobil sudah melaju.
“Belum,” jawabku singkat.
“Kita sarapan dulu, yuk!”
Aku menggeleng, “Nanti aja, Mas. Aku mau sarapan di rumah.”
“Di rumah gimana? Rumahmu, kan, udah lama kosong. Memangnya perlengkapan masakmu ada?”
“Ng ... nggak ada, sih. Nanti aja aku beli makan, terus sarapan di rumah.”
“Eh, gimana kalau kita mampir ke warung Mang Jamal?”
“Mang Jamal?”
***
Dua mangkuk bubur ayam spesial telah tersaji di hadapanku dan Mas Fahmi. Uap panas mengepul, menari-nari dan menguarkan aroma gurih nan lezat. Kami segera melahapnya.
Ini adalah kios kecil di sebuah gang, tempat makan murah meriah yang sering kami datangi sewaktu SMA.
Mang Jamal—si penjual bubur—membawakan dua gelas teh hangat seraya berkata santai, “Mamang masih ingat, lho, sama kalian ... Romeo Juliet.”
Aku dan Mas Fahmi saling lirik mendengar panggilan itu. Lucu tapi ... malu!
“Ngomong-ngomong, kalian sudah menikah?”
Deg.
Suapanku seketika terhenti, begitu pun pria di sampingku. Kami saling tatap sekian detik, lalu berdeham dan minum dalam waktu bersamaan.
“Lho, kenapa pada gugup? Kayak habis diintip malam pertama aja. Haha.”
Mang Jamal tertawa, sementara Romeo dan Juliet salah tingkah. Sejak SMA, sebutan nyeleneh—yang entah siapa yang memulainya—itu begitu melekat padaku dan Mas Fahmi. Bahkan, Mang Jamal pun ternyata masih ingat.
“Si Juliet sudah nikah, Mang.” Mas Fahmi menjawab, “tapi bukan sama saya.”
“Oh, ya?”
Mas Fahmi mengangguk, aku diam.
“Jodoh itu sulit ditebak. Siapa tau, sekarang kalian pisah, tapi besok lusa bisa bersanding. Benar, kan?”
Aku mengernyit mendengar candaan Mang Jamal, sedangkan Mas Fahmi justru tersenyum lebar.
***
“Mas, sebetulnya aku nggak enak kalau kamu repot-repot mengantarkanku,” ungkap diriku pada Mas Fahmi. Kami sudah berada di mobil dalam perjalanan pulang.
“Memangnya kenapa, Na?”
“Nggak enak dilihat orang, Mas.”
“Hm?” Mas Fahmi melirik, mengangkat kedua alisnya.
“Mas Fahmi, kan, sebentar lagi mau menikah sama Mira. Nggak enak kalau kita masih—“
“Ck. Masih calon,” decaknya, “dan belum resmi menikah. Siapa tau, kan, esok lusa kami gagal nikah.”
“Mas! Kenapa kamu bicara begitu?!” hardikku tegas, melirik tajam ke arahnya.
“Lho, memang iya, kan? Siapa tau besok-besok kamu bersedia jadi—“
“Tolong, Mas, jangan bicarakan soal kita!” protesku tegas. “Lagi pula, aku bisa menilai kalau Mira itu gadis baik. Apa kamu tega memutus kebahagiaannya secara sepihak? Fahmi yang kukenal nggak seperti itu.”
Pembicaraan berubah serius.
“Aruna ... aku dan Mira itu dijodohkan, sama sepertimu saat menikah. Tapi Mira berbeda. Dia punya keluarga utuh. Ayah, ibu, kakak-kakak, bahkan adik, semuanya lengkap. Sementara kamu ... ah, siapa yang tega melihatmu hidup sendiri, Na.”
Aku melirih, karena batin terasa perih. “Jangan khawatirkan aku, Mas. Seorang Aruna bisa berdiri walau dengan kaki yang timpang.”
Sesaat, Mas Fahmi menatap penuh iba, lalu mengalihkan pandangan, fokus kembali mengendarai mobil. Sementara aku memalingkan wajah, menahan denyut yang serupa tusukan duri, dan mengusap air dari sudut mata.
Tuhan telah memilih ujian bagi setiap hamba-Nya. Jika bisa menawar, egoku mengatakan ingin sekali bertukar hidup dengan orang lain, agar mereka tahu seberapa lelahnya menjadi aku.
Tak ada lagi obrolan di sepanjang jalan, hingga kami pun hampir sampai di tujuan—rumahku. Namun, begitu berada dalam jarak pandang sekitar 100 meter, aku dikejutkan oleh sesuatu.
Sebuah mobil terparkir, tepat di depan gerbang rumahku.
Itu mobil ....
Bersambung #12
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel