“Teman,” jawabku singkat.
Kemudian, aku dan Mas Fahmi sama-sama keluar dari mobil. Kulihat, sosok Mas Julian berada di teras dan langsung menghampiri.
Setengah berlari Mas Julian mendekatiku. Wajahnya terlihat cemas sekaligus lega. Namun, bekas lebam-lebam dan luka hasil perkelahiannya dengan Mas Ibas kemarin, masih terlihat jelas. Itu membuat Mas Fahmi mengernyit dan melirikku seolah mempertanyakan,
“Kenapa temanmu ini?”
“Aruna, kamu ... baik, kan?” tanya Mas Julian saat berhadapan denganku.
Aku mengangguk, lalu bertanya, “Mas, tau alamat rumahku dari mana?”
“Tentu saja dari KTP-mu waktu itu, Nona.”
“Ehm!” Mas Fahmi tiba-tiba berdeham keras, tepat saat kata “nona” diucapkan Mas Julian padaku.
Kualihkan pembicaraan dan memperkenalkan dua pria ini secara bergantian. Mereka berjabat tangan singkat, sama-sama tersenyum tipis. Namun, sorot mata dari keduanya justru tampak tak bersahabat.
Mas Fahmi pamit, “Na, aku berangkat dulu, ya. Kalau ada apa-apa ....” Dia melirik tajam Mas Julian. “Lebih baik beri tahu aku, jangan orang lain.”
Aku mengangguk, tetapi dalam hati merasa tak enak pada Mas Julian karena perkataan Mas Fahmi itu.
“Nanti kita bicara lagi, ya ...,” ucap Mas Fahmi seraya mengusap pucuk kepalaku, lalu pergi meninggalkan kami.
Tak ada yang berlebihan dengan perlakuan Mas Fahmi barusan, tetapi justru terdengar dengkusan kasar dari pria di sampingku. Mas Julian menggertakkan gigi.
Dia marah?
***
Serba salah mengajak Mas Julian kemari. Jika aku dan dia berbincang di teras, mungkin akan jadi pusat perhatian bagi siapa pun yang melihat. Di dalam pun sama saja, bukan tidak mungkin akan jadi bahan gunjingan.
“Ada perlu apa Mas datang ke sini?” Akhirnya, kuputuskan mengajak Mas Julian masuk dan duduk di ruang tamu, dan tanpa basa-basi membuka percakapan, agar dia cepat pergi.
“Kamu nggak suka, ya, ketemu aku?”
“Bukan gitu, Mas. Nggak enak dilihat orang. Gimana tanggapan mereka padaku nanti? Aku, kan, nggak datang sama Mas Ibas—“
“Cih! Pria tolol macam si Ibas, masih saja kamu pikirkan.” Mas Julian berdecih.
Kuhela napas panjang. “Bukan begitu maksudku, Mas. Aku justru menjaga kehormatan kita, terutama Mas Julian. Bagaimana kalau orang-orang di sini menganggapmu memancing di air keruh? Sementara lama-lama mereka akan tau hubungan rumah tanggaku sedang tidak baik. Mungkin saja orang-orang salah paham dengan menyebut Mas merebutku dari—“
“Nggak masalah,” potongnya cepat. “Kita jadikan itu benar. Gimana?”
“Mas!”
Jeda. Kami bersitatap. Walaupun terdengar konyol, tapi kutangkap nada serius dari pernyataannya barusan.
“Nggak semudah itu, Mas. Hidupku terlalu rumit.” Aku melanjutkan. “Lagi pula, kenapa Mas terus mendekatiku, padahal kita belum kenal lama?”
Mas Julian menyandarkan punggung pada kursi, dan tatapannya menerawang.
“Karena kita sama-sama kesepian,” jawabnya lemah. “Kamu kehilangan orang tua karena kematian, sedangkan aku kehilangan keluarga karena perceraian.”
Wajah yang biasanya semringah itu kini tampak sendu.
Aku mengalihkan topik pembicaraan dengan bertanya, “Dari mana kalian saling kenal? Maksudku ... kamu dan Mas Ibas.”
“Sejak kuliah,” jawabnya cepat.
Kemudian, Mas Julian menjelaskan awal mula dirinya dan Mas Ibas saling mengenal. Sebetulnya, dulu mereka berteman, tetapi karena terus menerus terjadi kesalahpahaman, mereka berselisih. Puncaknya adalah karena Meilan, hubungan mereka menjadi hancur.
Akhir dari pertemuan singkatku dan Mas Julian adalah ketika dia berkata, “Tolong, jangan salah sangka dan beranggapan bahwa aku mendekatimu karena bersaing dengan Ibas. Aku mendekatimu, karena aku memang ingin. Dari awal pun aku sama sekali nggak tau kalau kamu ... Aruna milik Baskara. Tapi sekarang, aku punya kesempatan, kan?”
***
Rindu bersarang. Rasa hina yang tak seharusnya hinggap di sudut hati, secara paksa tetap bermuara di dalamnya.
Aku merasa menjadi wanita tak tahu malu. Pergi karena rasa kecewa dan kesakitan yang amat, tetapi di sisi lain masih mengharapkan dia hadir, memapah dan mengajakku turut bersamanya.
Apalah daya, sekat antara kami sudah begitu tebal juga menjulang. Bisa saja runtuh oleh badai, tetapi kami pun akan sama-sama hancur. Mas Ibas dengan segala egonya, sedangkan aku, menyeret luka tak berdarah karenanya. Dia, tak jua memberi bahagia.
Empat hari berlalu, selama itu pula aku merenung dalam kesendirian. Menjabarkan setiap harap dan mimpi, seperti apa hidupku kelak? Adakah rongga untukku bernapas dalam damai? Entah.
Sejak pergi dari rumah Mas Ibas, tak ada lagi komunikasi di antara kami. Memang, di hari pertama dia sempat menghubungiku dan mengirim pesan, tetapi aku tak menghiraukan. Hingga akhirnya, sekarang, dia tak lagi mempertanyakan keadaanku. Jangankan datang menemuiku, pesan singkat di ponsel pun, tak lagi dia kirimkan.
Menjauh dari seorang Baskara, tak serta merta menghilangkan setiap inci jejak hidupnya dariku. Mama dan Papa tak putus komunikasi denganku. Anehnya, mereka sama sekali tak membahas soal keberadaanku sekarang. Oh, mungkin saja Mas Ibas memang belum cerita.
Ada rasa cemas menyelusup, mengingat kondisi Papa dulu sempat drop karena serangan jantung, dan itu mengingatkan kembali pada kematian Ayah.
Lantas, bagaimana sekarang? Apa yang harus kulakukan untuk menuntaskan hubungan rumit dengan Mas Ibas? Akankah Papa baik-baik saja mendengar persoalan ini?
***
Pagi. Saat aku duduk di teras, memikirkan pertemuan dengan Papa Mama nanti, Mas Fahmi muncul. Terlalu larut dalam lamunan, membuatku tak menyadari keberadaan dia. Bahkan, motornya sudah terparkir di halaman rumahku.
“Kalau ada masalah, jangan dipendam sendiri, nggak baik. Kamu bisa cerita sama aku,” tawar Mas Fahmi ketika kami sudah duduk bersebelahan.
Aku menoleh sekilas pada pria berhidung bangir ini, lalu mengalihkan tatapan pada dedaunan rindang, di mana burung-burung yang bersembunyi di dalamnya, bernyanyi dengan malu-malu.
“Aku sedang bingung, Mas,” ungkapku jujur.
“Bingung? Kenapa?”
“Aku bingung, gimana caranya menghadapi mertuaku dan menceritakan perihal rumah tanggaku dan Mas Ibas. Karena yang mereka tau, kami baik-baik saja.”
“Kenapa harus bingung? Kamu tinggal ceritakan semuanya dan jangan ada apa pun yang ditutupi. Setiap orang tua pasti mengerti, kok.”
“Ah, Mas Fahmi nggak tau rasa sayang mereka sebesar apa padaku. Mama dan Papa—“
“Percuma, Na!” sergahnya. “Kalau pun mertuamu sayang, tapi suamimu tidak, apa gunanya? Buktinya sekarang. Apa suamimu itu datang kemari? Menanyakan kabarmu juga tidak, kan?” Dia tersenyum miring, lalu kembali berucap, “andai aku jadi dia, aku akan meluluhkan hatimu dan memohon agar kamu pulang. Bukannya lari dari tanggung jawab!”
Aku menggigit bibir, menelan air mata yang hampir menetes. Rentetan kalimat itu menghunjam bagai tusukan belati. Benar, mungkin Mas Ibas memang sudah melupakanku secepat ini.
“Kalau kamu mau, aku bisa mengantarmu menemui mertuamu.” Mas Fahmi kembali bicara, memberiku penawaran berharga.
Memang, aku merasa butuh seseorang yang mendampingi menemui Papa dan Mama. Bukan apa-apa, aku hanya takut tekad yang sudah bulat ini kembali lembek, jika nantinya berhadapan sendirian dengan mereka. Karena aku sadar, mereka pasti berat melepasku.
Namun, bagaimana tanggapan Mama dan Papa nanti?
“Sebenarnya aku mau. Tapi ....” Aku meragu.
“Kenapa?”
“Aku nggak enak kalau membawa Mas Fahmi ke sana. Takut mertuaku akan menganggap kita—“
“Nggak mungkin,” potongnya, “mertuamu baik, kan?”
Aku mengangguk.
“Nah, jadi jangan risau. Mertuamu pasti memaklumi kedatanganku bersamamu,” lanjutnya. “Mana mungkin mereka tega membiarkan menantu kesayangannya datang dengan menanggung beban sendiri, kan? Lagi pula, aku datang sebagai teman sekaligus kakakmu, Na. Anggaplah seperti itu.”
Kembali, aku mengangguk. Pemikiran Mas Fahmi selalu bijak. Itu pula yang membuatku mengaguminya sejak remaja.
“Tapi gimana dengan Mira, Mas?”
“Mira?”
“Ya. Apa Mira nggak marah, kalau calon suaminya pergi denganku? “ tanyaku lagi.
Pria di sampingku terkekeh. “Aku membawamu bukan ke KUA, Na. Lagi pula, Mira itu gadis yang pengertian. Nanti aku akan meminta izinnya, agar dia nggak salah paham.”
Aku menatap lekat dan tersenyum hangat padanya. “Mas Fahmi sangat beruntung, Mira juga. Kalian ... serasi.” Lalu, aku menunduk, menyembunyikan bola mata yang berkaca-kaca.
***
Esoknya.
Perjalanan yang kulewati terasa lebih lama. Padahal, tidak ada kemacetan atau hambatan apa pun menghadang mobil yang kutumpangi. Mungkin, karena pikiran kalut akan menghadapi hal besar, maka dari itu semua terasa jemu.
Mas Fahmi begitu antusias mengajakku bercerita banyak hal ringan, mungkin bermaksud menghibur. Akan tetapi, aku justru menanggapinya dengan malas. Terlalu banyak hal yang membelit. Diam adalah pilihan terbaik. Pada akhirnya, pria baik ini paham dan tak lagi banyak bicara. Hanya alunan musik sendu yang mengiringi perjalanan, hingga kami sampai.
Mobil yang dikendarai Mas Fahmi, berhenti di depan sebuah rumah besar berlantai tiga. Satpam sempat menghadang dan meminta kami menurunkan kaca, dan saat melihatku, pintu gerbang pun segera dibuka lebar. Kemudian, Mas Fahmi memarkirkan roda empatnya di salah satu sudut halaman luas ini.
Kedatanganku disambut ramah oleh Mang Jaka—asisten rumah tangga—yang langsung mempersilakanku dan Mas Fahmi duduk. Kemudian, dua orang yang ingin kutemui pun, datang menghampiri.
Ada rasa tak karuan, ketika bertatap muka dengan Mama dan Papa kali ini. Bagaimana caraku mengatakan semua permasalahan ini? Apa reaksi mereka nanti? Aku benar-benar gamang.
“Apa kabar, Sayang?” sapa Mama dan Papa bersamaan. Mereka menghadiahi pelukan hangat dan ciuman di keningku.
“Aku baik, Ma ... Pa ....” Ada rasa nyeri menyelusup. Mengingat, nantinya akan tercipta “jarak” di antara aku dan mereka.
Ada yang janggal. Reaksi yang ditunjukkan Mama dan Papa terhadap pria yang datang bersamaku, di luar dugaan. Kukira, mereka akan mempertanyakan, kenapa aku tidak datang dengan Mas Ibas, melainkan dengan pria asing. Nyatanya tidak.
Papa justru berkata, “Terima kasih, Nak Fahmi sudah bersedia mengantar Aruna ke sini.”
Aku terkejut. Tentu, Mas Fahmi juga.
“Papa kenal Mas Fahmi?”
Papa mengangguk, mengiyakan, dan Mama menjawab, “Ayahmu dulu pernah bercerita tentang Nak Fahmi dan ... hubungan kalian.”
Mas Fahmi dan aku saling lirik untuk sesaat. Mata kami sama-sama menunjukkan ketidaktahuan.
Benarkah, mendiang Ayah pernah bercerita tentang kami, pada Mama dan Papa? Tapi ... hubungan apa yang diceritakannya itu?
***
Saatnya tiba, di mana aku berhadapan dengan Papa dan Mama, membicarakan satu hal besar. Mas Fahmi menunggu di ruang tamu, sementara aku di ruang keluarga.
Gugup. Sepuluh menit terlewati dalam keheningan. Aku membisu.
“Bicaralah, Aruna ....”
Setelah Mama meminta yang keempat kalinya, perihal tujuanku kemari, aku pun membuka suara.
Kuembuskan napas berat dan sedikit menunduk. “Pa, Ma ... aku mau membicarakan soal ... aku dan—“
“Suamimu?” Papa memotong.
Aku terkejut, seketika menoleh kepada dua sosok yang duduk di hadapanku.
“Papa ... Papa tau?”
“Ya.” Pria paruh baya ini mengangguk. “Kami tau semuanya, Nak. Ibas sudah cerita.”
“A-apa yang ... Mas Ibas ceritakan, Pa?” Aku tergagap, suara sudah sangat parau menahan isak.
“Semuanya, Aruna.” Mama menyela. “Semua hal tentangmu dan Ibas sedari awal, hingga kamu pergi dari rumah.”
Aku menatap Papa dan Mama dengan pandangan berkabut terhalang oleh bulir-bulir bening yang menggenang di pelupuk. Namun, bisa kulihat jelas rasa iba yang ada di wajah mereka.
“Kemarilah, Aruna ....” Mama melebarkan kedua tangan, seolah mempersilakanku untuk menangis di pelukannya.
Aku menghambur ke pelukan wanita yang sudah kuanggap pengganti Ibu. Detik ini, aku meraung, menjerit tersedu sedan dalam dekapan Mama. Menumpahkan segala sesak yang kutahan selama ini.
Mama merekatkan pelukannya, membelai dan menciumi kepalaku, serta ikut menangisi kesakitanku ini. “Menangislah, Nak. Lepaskan segala bebanmu ...,” lirih Mama di sela isaknya.
Sementara, kudengar Papa bergumam, “Maafkan Papa, Aruna. Semua deritamu berawal dari kesalahan Papa ....”
***
Entah berapa lama aku menangis, yang jelas aku sudah mulai merasa tenang walau wajah begitu sembab.
Kulepaskan dekapan Mama secara perlahan, menatapnya dan Papa dengan lekat, bergantian.
“Maaf, kalau aku mengecewakan Mama dan Papa. Maaf. Tapi aku ... aku lelah, aku nggak bisa lagi bertahan, Ma ... Pa ....”
Papa menggeleng, mengusap titik air yang masih meluncur di sudut mataku. “Bukan kamu yang seharusnya minta maaf, Nak. Melainkan kami, terutama Papa,” tutur Papa dengan nada rendah. “Andai Papa nggak menjodohkanmu dengan Ibas, andai Papa nggak sakit waktu itu, mungkin sekarang kamu bisa bernapas lega dan hidup bahagia, Aruna.”
Aku menggeleng-gelengkan kepala. “Papa jangan bicara begitu. Aku sama sekali nggak menyesal sudah menjadi bagian keluarga ini. Setidaknya, aku sudah pernah berusaha bersama Mas Ibas, Pa. Tapi sekarang ....” Kuhela napas panjang dan menunduk, kalimatku menggantung.
Mama menambahkan, “Terima kasih sudah bersedia menikah dengan Ibas, Nak. Mama tau kamu sudah berusaha mempertahankan hubungan kalian. Mama yakin kamu istri yang sangat baik.” Digenggamnya tanganku begitu erat. “Sekarang, mulai detik ini, kami melepasmu. Kami membebaskanmu. Jalani apa yang terbaik untukmu, Nak.”
“Dan Papa minta maaf karena memberimu suami yang keras kepala seperti Ibas, Nak. Maafkan kami semua karena menyakitimu—“
“Pa ... jangan bicara begitu. Aku mohon,” protesku lirih. “Aku nggak akan menyesali apa pun, karena segala sesuatu yang terjadi di muka bumi, adalah kehendak-Nya. Bukankah begitu?”
Kupandangi iris mata yang selalu menenangkan ini. Lekat. Dalam. Papa, sosok bijak dan berkarisma yang selalu mengingatkanku pada Ayah.
***
Setelah selesai membahas masalahku, Papa tiba-tiba mengajak Mas Fahmi bicara empat mata. Apa yang mereka bahas ... entah. Akan tetapi, yang kutahu hanyalah gurat serius dari keduanya setelah selesai berbincang.
Hari sudah sore. Aku dan Mas Fahmi pamit untuk pulang. Mama dan Papa meminta kami menginap karena takut sang sopir kelelahan, tetapi Mas Fahmi menolak.
“Jangan khawatir, Bu. Aruna saya bawa dengan aman,” ucap Mas Fahmi dengan santun. “Nanti, sekiranya lelah, saya akan istirahat di rest area.”
Tentu, aku mengerti alasan Mas Fahmi menolak tawaran Mama. Mana mungkin dia tenang berlama-lama di rumah mertuaku, apalagi menginap? Dia adalah pria yang sangat menjunjung tinggi etika.
Pada akhirnya, Papa Mama merelakanku pulang cepat dan menggiringku dan Mas Fahmi ke depan.
Di teras, untuk ketiga kalinya Papa berpesan, “Nak Fahmi, tolong jaga Aruna baik-baik, ya.”
Mas Fahmi hanya mengangguk tanpa banyak bicara, sementara aku diliputi rasa penasaran, apa maksud dari pesan Papa itu.
Aku dan Mama kembali berpelukan. “Aruna, Sayang ... ingat ini baik-baik, Nak. Apa pun hubunganmu dengan Ibas kelak, sekalipun kalian bukan suami istri lagi, kamu akan tetap menjadi putri kami.”
Erat dan lama sekali Mama mendekap, begitu pun aku yang merasa tak ingin lepas dari wanita paruh baya ini. Satu-satunya wanita yang menggantikan sosok dan kasih sayang Ibu yang telah hilang selama sepuluh tahun ini.
Kemudian, pelukanku berpindah kepada Papa. Dia membelai rambut panjangku begitu lembut, selembut ucapnya. “Tersenyumlah, Aruna ... saatnya gapai kebahagiaan bagi dirimu sendiri. Gantikan Ibas, dan menikahlah dengan pria yang benar-benar bisa membuatmu tenang.”
Setelah merasa cukup mengucap salam perpisahan, aku dan Mas Fahmi melangkah menuju mobil. Tepat, saat kami berdiri dan hendak masuk ke mobil, sesuatu membuatku terperanjat.
Sebuah BMW hitam masuk ke halaman, dan berhenti tepat di samping mobil Mas Fahmi.
Tanganku gemetar dingin. Namun, saat kembali menoleh pada Mama dan Papa yang masih berdiri di teras, mata mereka seolah bicara, “Tenanglah. Semua akan baik-baik saja.”
Mobil Mas Fahmi dan Mas Ibas bersebelahan, menghadap ke arah berlawanan. Sehingga, saat Mas Ibas keluar dari kursi kemudi, dia langsung berhadapan dengan sosok Mas Fahmi.
Begitu dekat jarak antara kedua pria ini, mungkin sekitar dua langkah. Mereka berdiri tegap dan saling menatap. Ada sorot menantang yang kutangkap dari Mas Ibas, serupa bola api yang siap membakar apa pun di sekitarnya. Namun, saat dia menatapku ... sendu, lembut, dan ... sesal.
Benar. Mas Ibas memandangku dengan tatapan yang berbeda. Kendati tak ada satu kata pun yang dia ucap, tetapi aku benar-benar merasa dia luluh.
Aku sempat cemas dan berpikiran buruk, bahwa Mas Ibas akan melakukan hal yang sama seperti saat bertatap muka dengan Mas Julian, tetapi tidak. Kali ini, dia hanya menghunjamkan sorot serupa “peringatan” kepada Mas Fahmi, tapi detik berikutnya, dia berlalu tanpa mengucap sepatah kata pun.
Ada rasa lega sekaligus kecewa. Lega, karena ternyata Mas Ibas tak mengulang perbuatan kasarnya. Namun, sudut hatiku melirih, apa dia benar-benar melupakanku, sehingga tak ada reaksi apa pun yang dia perlihatkan ketika bertatap muka denganku?
Secepat itukah kamu melepasku, Mas?
Aku berkali-kali mengusap air mata dalam perjalanan pulang, membayangkan sikap tak acuh Mas Ibas. Ternyata seperti ini rasanya, ketika tak dipedulikan oleh seseorang yang hingga detik ini masih sangat kau harapkan? Sakit. Amat sakit.
“Jadi, laki-laki macam itu yang kamu pertahankan, Na?” Mas Fahmi bersuara sambil fokus menggenggam setir. “Pengecut!”
Aku tak menanggapi, hanya menyandarkan kepala pada jok. Terlalu banyak pikiran pelik membuat kepalaku sakit dan tubuh terasa lemas.
“Aku kira suamimu itu akan menghajarku dan memaksamu pulang. Tapi tadi ... hah!” Mas Fahmi mendengkus kasar dan terkekeh. “Jangankan meminta maaf, bicara pun tidak! Kamu benar-benar salah memilih pasangan, Na.”
Tetap bungkam, hanya itu yang kulakukan, hingga kami sampai di rumahku pada tengah malam.
Mas Fahmi mengantarku sampai di depan gerbang pagar.
“Terima kasih, Mas. Dan maaf sudah merepotkanmu.”
“Sama-sama, Na. Nggak usah sungkan.”
“Oh, ya, Mas. Ng ... boleh aku tau sesuatu?” Nadaku berubah serius walau sedikit ragu.
“Ya, perihal apa itu, Na?”
“Tadi, saat berdua bersama Papa ... apa yang kalian bicarakan?”
Mas Fahmi menghela napas panjang, dan kami saling tatap.
“Mertuamu meminta, agar aku menikahimu, Aruna.”
==========
Berhari-hari kemudian.
Keputusan benar-benar sudah bulat, Mama dan Papa pun telah merestui niatku untuk bercerai. Bahkan, mereka menyewa seorang pengacara untuk membantu segala urusan terkait hubunganku dengan Mas Ibas agar segera tuntas.
“Kami ingin kamu bahagia, Nak. Menikmati kebebasan tanpa batasan.” Begitu kata Papa di telepon kemarin, ketika aku bertanya alasannya repot-repot membantu urusan perceraianku.
“Jangan sungkan meminta bantuan kami, kalau kamu sedang dalam masalah, Aruna. Kami tetap orang tuamu,” ucap Papa lagi.
Detik itu, aku menangis haru. Perhatian Papa begitu tulus, tanpa pamrih, membuatku merasa benar-benar seperti anak kandungnya.
Sampai detik ini pun, aku tak paham alasan, kenapa Papa begitu menyayangiku.
Akan tetapi, ketika mengingat Mas Ibas, batin ini menjerit.
Bagaimana tidak?
Terhitung sejak hari pertamaku pergi darinya, dia sama sekali tidak menunjukkan iktikad baik. Jangankan datang dan meluruskan persoalan, sekadar menghubungiku pun, tidak. Bahkan, saat bertemu sekilas sewaktu di rumah Papa pun, dia tak acuh. Tingkahnya menyiratkan seolah perpisahan kami adalah hal sepele baginya.
Hati kecilku sempat mengira Mas Ibas akan datang. Walau bukan untuk mengurai kembali kusutnya benang merah di antara kami, tetapi setidaknya, hubungan kami akan putus dengan cara baik-baik.
Nyatanya, dia tak pernah menampakkan batang hidungnya. Lagi-lagi, ego seorang Baskara berkuasa. Dia tak mungkin memperlihatkan kekalahannya, bukan?
Aku berusaha tak peduli, tapi sudut hati tetap mengkhawatirkannya. Tak ayal, suatu ketika aku menanyakan kabar lelaki itu pada Mama.
“Gimana kabar Mas Ibas, Ma? Apa ... dia sehat?”
Penuh ragu pertanyaanku itu. Apa mau dikata, seminggu tak mendengar kabar Mas Ibas, telah memupuk rasa cemasku.
Bagaimana keadaannya di sana? Apa dia baik-baik saja? Seperti apa kesehariannya tanpa aku?
Lucu, memang. Semua kekhawatiranku pada Mas Ibas, seolah melambungkan kepercayaan diri, bahwa aku berarti dalam hidupnya. Padahal, tidak sama sekali.
Mama menjawab, “Jangan pikirkan Ibas. Dia sudah terbaisa hidup mandiri. Alangkah lebih baiknya kamu menata masa depanmu, dan lupakan dia.”
“Iya, Ma ....” Hanya itu yang bisa terucap. Namun, hati berkata lain.
Bagaimana mungkin, aku bisa dengan mudah melupakan seorang pria, yang sudah menyemai benih-benih cinta dalam hati ini?
Entah, aku ini naif atau apa, tetapi terlepas dari perilaku kerasnya, aku sangat menyayangi Mas Ibas .
Sangat.
***
Aku berjalan menuju rumah, setelah turun dari angkutan umum. Baru saja menemui seorang pengacara yang ditunjuk Papa, dan melengkapi beberapa berkas yang diminta, agar perceraianku segera tuntas.
Statusku akan segera berubah, tak lama lagi.
Saat tengah berjalan, aku berpapasan dengan beberapa orang yang kukenal. Mereka menyapa, tapi tak lagi mempertanyakan perihal kesendirianku selama dua minggu di sini, tanpa sang suami.
Tentu saja, orang-orang pasti bisa menyimpulkan sendiri, apa yang sedang kualami, dan seperti apa nasibku kelak. Si gadis desa, yang dulunya dijadikan bahan perbincangan karena dipersunting pria mapan dan rupawan, pada akhirnya kembali “pulang” ... seorang diri.
Perjalanan ketika turun dari angkutan umum hingga sampai ke rumah, tidak terlalu jauh. Hanya memakan waktu selama sepuluh menit. Anehnya, badan ini terasa sangat letih.
Entah kenapa, akhir-akhir ini aku cepat sekali lelah, bahkan jika melakukan pekerjaan enteng sekalipun. Kadang, pagi hari menjadi hal menyiksa, karena pusing dan mual mendera. Apa yang terjadi, aku belum mau mengambil kesimpulan. Pikiran terlalu berbelit oleh ini-itu.
Tepat saat sampai di rumah dan menginjak teras, ekor mataku menangkap sesuatu di meja. Kuraih benda tersebut, melongok ke kanan-kiri, tetapi tak ada siapa pun.
Aku mendekatkan benda itu ke wajah. Perlahan, menghirup aroma khasnya yang seketika menenangkan, hingga secara tak sadar, mataku terpejam karena sensasinya.
Siapa yang mengirim buket bunga mawar ini? Tebakanku mengarah pada satu orang.
Ponsel tiba-tiba berdering. Dugaanku benar, sepertinya. Kujawab panggilan telepon itu, seraya memasuki rumah.
“Kamu suka bunganya, Nona?”
Aku mendesah pelan dan tersenyum mendengar suara pria di ujung telepon itu, lalu menjawab dengan sedikit candaan. “Ng ... aku nggak suka. Boleh, aku membuangnya?”
“Oh, ya? Kamu nggak suka? Kamu mau membuangnya? Ck, ck, ck.” Dia berdecak beberapa kali. “Hm ... apa aku salah lihat, ya? Sepertinya tadi kamu tersenyum dan mencium bunga itu sambil memejamkan mata. Ups!”
Tunggu. Apa dia ada di sekitar sini?
“Kamu di mana, Mas?”
Aku berjingkat keluar dan kembali berdiri di teras.
Mencari-cari dan ... ya, dia di sana!
Sekitar puluhan meter dari tempatku berdiri, mobil merah itu bergerak, tetapi menjauh.
“Waktu jalan tadi, aku sama sekali nggak melihat mobilmu, Mas," ucapku mengerutkan kening.
“Oh, ya?” imbuhnya. “Wah, kamu melamun, mungkin.” Dia terkekeh.
“Kenapa nggak mampir?”
“Sama seperti alasanmu mencegah aku datang waktu itu. Aku menjaga nama baik kita, terutama nama baikmu,” jawabnya. “Aku nggak rela kalau orang-orang menganggapmu wanita tidak baik, kalau aku terus-terusan datang. Sementara urusan pribadimu sendiri belum beres. Benar, kan?”
Aku tersenyum. “Terima kasih,” jawabku singkat.
Kulangkahkan kaki kembali ke rumah, memasuki kamar dan duduk di ranjang. Berpikir sejenak.
Pria ramah yang senang bercanda dan kadang gombal itu, sebetulnya sangat baik. Lewat perhatian-perhatian kecilnya, aku selalu merasa diistimewakan.
Wanita mana yang tidak senang diperlakukan spesial?
“Aruna?” Pria itu kembali bersuara.
“Ya?”
“Jaga diri baik-baik, ya. Jangan lupa bahagia.”
Kalimat terakhir darinya sebelum menutup telepon, membuatku bertanya-tanya.
Kenapa perkataan itu serupa ucapan perpisahan? Apa dia tidak akan kembali?
Setelah meletakkan ponsel, kuraih selembar kertas yang terselip dalam buket bunga yang kudekap ini, lalu membaca isinya dengan saksama.
“Tersenyumlah ...
Bukan untuk siapa pun
Tetapi untukmu seorang
Umbar saja lesung pipitmu yang menggemaskan
Juga lengkung bibirmu yang umpama sabit
Jangan nodai netra sebening berlianmu
Oleh derai air mata yang sia-sia
Enyahkan segala dukamu."
Ada letupan kecil di dada, membaca puisi sederhana yang ditulis tinta emas ini.
Tak hanya selembar kertas, ternyata ada sebuah kotak beludru kecil berwarna merah muda, juga terselip di antara tangkai-tangkai mawar merah.
Perlahan, aku membuka kotak mungil itu. Berlian berkerlip cantik di tengah kelopak mawar, pada benda berbentuk lingkaran itu.
Detik kemudian, ponselku berbunyi.
Satu pesan masuk.
“Aku nggak main-main, Aruna. Aku serius, ingin menjadikanmu wanitaku. Kamu bersedia?”
Kuhela napas panjang, lalu meneruskan membaca pesan itu.
“Aku tau ini bukan waktu yang tepat. Jadi, jangan jawab sekarang. Pikirkanlah permintaanku dengan matang. Selama aku belum dapat jawaban, tolong simpan cincin itu. Aku akan menunggumu, Aruna.”
Aku menuruti permintaannya itu. Kuletakkan cincin yang berhias kelopak mawar dan mata berlian ini, pada kotaknya, lalu menyimpan bersama satu kotak beludru lain, yang berwarna merah.
Dua kotak cincin tergeletak berdampingan. Satu, dari pria yang gigih mengejarku, dan satu lagi dari pria yang ... entah di mana rimbanya.
Belum sempat merebahkan tubuh, ponselku kembali berbunyi nyaring.
Kali ini dari Mas Fahmi.
“Halo?”
“Ya, Mas?”
“Na, apa kamu siap untuk acara besok lusa?”
Deg.
Siap?
Entah, tapi semoga.
***
Hari spesial tiba.
Duduk di hadapan meja rias, aku bercermin, memandangi pantulan diri sendiri seraya tersenyum getir.
Wajahku diberi sentuhan tangan MUA (Make Up Artist), dijadikan sedemikian cantik sama seperti saat hari spesial dulu. Juga gaun yang indah sudah membelit tubuhku ini.
Tak disangka, aku seolah sedang mengulang momen tak terlupakan, pada—hampir—empat bulan lalu.
Detik ini, momen indah itu berkelebat di depan mata ....
Bersambung #13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel