Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 14 Mei 2020

Aruna Mencari Cinta #13

Cerita bersambung

Hari spesial tiba.
Duduk di hadapan meja rias, aku bercermin, memandangi pantulan diri sendiri seraya tersenyum getir.
Wajahku diberi sentuhan tangan MUA (Make Up Artist), dijadikan sedemikian cantik, sama seperti saat hari spesial dulu. Juga gaun yang indah sudah membelit tubuhku ini.
Tak disangka, aku seolah sedang mengulang momen tak terlupakan, pada—hampir—empat bulan lalu.
Detik ini, momen indah itu berkelebat di depan mata ....

Riasan wajahku telah sempurna. Pangling, kalau kata orang. Untuk busana, aku sudah memakai kebaya broken white, pas sekali mencetak tubuh langsingku ini.
Payet-payet yang memenuhi kebaya, tampak berkerlap-kerlip ibarat kunang-kunang di malam hari. Membuatku merasa seperti peri.
Mama menggandeng tanganku dari kamar, berjalan perlahan menuju ruang tengah, seraya berbisik, “Menantu mama, cantik sekali.” Aku pun membalasnya dengan senyum simpul.
Pintu kamar terkuak lebar. Seketika, aku menunduk malu, karena berpasang-pasang mata menatap lekat. Langkahku gemetar, dada berdebar. Untuk pertama kalinya aku menjadi pusat perhatian. Terlebih, ini acara yang luar biasa istimewa.
Sesuai permintaanku yang menginginkan kesederhanaan, dekorasi dibuat sesimpel mungkin dengan tema rustic. Kayu-kayu, bunga dan dedaunan menghiasi sudut-sudut ruang.
Tak terlalu banyak tamu, hanya tetangga yang mengenalku dan mendiang Ayah. Kerabat dan kolega dari mempelai pria tak ada yang diundang, karena acara sederhana ini kurang layak untuk menjamu kalangan atas.
Mama terus memapahku hingga berhenti di satu sudut, di mana ada sebuah meja persegi panjang tertutup kain putih dan dikelilingi enam kursi. Lima kursi tersebut sudah diduduki, salah satunya adalah ... dia. Pria paling tampan dan gagah yang memakai beskap broken white, senada dengan warna kebaya yang kupakai.
Dia, pria yang terlihat minim ekspresi itu duduk tegak memandang lurus ke depan. Dadaku bergejolak hebat ketika menatapnya sekilas dari samping, bahkan saat dia sama sekali belum melirikku. Tanganku pun seketika menjadi dingin, padahal hari sudah siang, dan cuaca lumayan hangat.
Dia mendongak ke samping, ke arahku, dan pada akhirnya tatapan kami beradu. Tepat saat aku duduk di sampingnya, dia pun tersenyum tipis.
Ada desiran aneh di dalam darahku, ketika menatap mata kelamnya itu.
“Aruna ....”
Aku terkesiap dan seketika menoleh. Suara itu membuyarkan lamunan. Tatapan kelam tadi berganti dengan sorot mata teduh Mas Fahmi.
Sudut bibirku tertarik perlahan. Malu dan tak enak hati—mungkin—ketahuan melamun. Segera kupasang untaian melati yang terlepas ini, dan menyematkannya di rambut Mira.
Langkahku menjauh dari pelaminan. Tempat, di mana Mas Fahmi dan Mira bersanding bahagia.
Kemudian, aku berdiri, memandangi kedua mempelai, dan teringat satu hal seminggu lalu, ketika Mira mendatangi rumahku.
“Mbak, terima kasih banyak sudah rela melepas Mas Fahmi untukku.”
Mira mengatakan hal yang mengejutkan, membuatku tercengang.
“Apa ... apa maksudmu?”
Gadis itu tersenyum. “Aku bukan anak kecil, Mbak,” katanya. “Mas Fahmi memang bilang bahwa dia dan Mbak Aruna ini sahabat sewaktu kecil. Tapi saat dia bertemu denganmu waktu itu, aku bisa melihat hal berbeda dari sorot matanya.”
“Jangan salah paham. Aku dan dia sudah nggak ada hubungan apa-apa lagi.”
Batinku tak tenang, takut Mira dibakar api cemburu, walaupun sejujurnya aku dan Mas Fahmi memang sudah tak ada hubungan spesial. Mau berkilah pun, percuma. Hati wanita amatlah jeli. Namun, kekhawatiranku ternyata tak terbukti.
Mira berkata, “Aku percaya, kok, Mbak. Aku percaya sama kalian. Mas Fahmi juga sudah janji padaku, dia akan berusaha menerimaku setelah kami menikah.”
Aku tertegun.
“Aku harap, Mbak akan menemukan jodoh yang jauh lebih baik dari Mas Fahmi. Kita saling mendoakan,” ucap Mira lagi.
Kini, aku benar-benar melihat binar bahagia di wajah Mira. Gadis muda itu tampak cantik. Impian kecilnya telah terwujud, yakni menjadi istri Mas Fahmi.
Aku berdiri di sini hanya sebagai bridesmaid atau pendamping mempelai wanita, sesuai permintaan Mira.
Air menitik dari sudut mata. Kali ini bukan karena sakit, melainkan haru. Aku turut berbahagia, Mas Fahmi—sahabat terbaikku—telah mendapat pendamping yang luar biasa baik, tak hanya raga tetapi hatinya.
Mira ... jalan hidupmu dan aku hampir sama, menikah dengan pria yang belum mencintai kita. Namun, kamu beruntung karena Mas Fahmi akan menepati janjinya. Dia akan menjaga pasangan hidupnya dengan sebaik mungkin. Sedangkan aku ... ah, tak pernah ada usaha apa pun darinya, dari pria yang kini entah masih mengingatku atau tidak.
***

Seminggu setelah menikah, Mas Fahmi berpamitan padaku. Ini sangat mendadak, bahkan tak pernah dirinya membahas hal ini sedikit pun.
“Na, aku mau pindah ke luar kota,” ungkap Mas Fahmi suatu pagi. Dia sengaja meluangkan waktu datang ke rumahku.
“Pindah?” Tentu saja reaksiku penuh dengan keheranan.
“Ya, aku mau buka cabang mebel baru di tempat tinggalku nanti, Na. Usahaku di sini dipegang sepupuku.”
Kami hening sesaat. Aku menatap raut Mas Fahmi yang dipenuhi kesungguhan dan keseriusan.
Kemudian, dia menghela napas dan kembali berkata, “Aku juga harus berusaha melupakanmu.”
Tersenyum getir bibirku ini mendengar itu. Tentu saja aku sudah sangat ikhlas dari jauh-jauh hari, Mas Fahmi menjadi milik orang. Akan tetapi, ada rasa kehilangan dalam hati kecil.
“Semoga sukses dan bahagia, ya, Mas.” Hanya itu yang mampu bibirku ucapkan.
Dia mengangguk “Jaga diri baik-baik, Na,” pesan Mas Fahmi untuk terakhir kali.
Satu hal yang kusadari adalah, aku kembali kehilangan satu sosok. Sahabat.
Aku pun ... semakin sepi.
***

Bulan silih berganti. Waktu pun beranjak ....
Dunia tak akan takluk pada manusia, sekalipun mereka mengiba atau menjerit berdarah-darah. Meskipun pelbagai asa dan dera datang menjelma, semua tetap harus dihadapi. Sejatinya, kita hidup memang untuk menjalani ujian, bukan?
Bumi tetap berputar pada porosnya dan mengelilingi matahari. Siang berganti malam, gelap berubah terang. Layaknya roda pedati, ada saatnya di bawah dan kelak juga mencicip rasanya di atas. Begitu seterusnya, dunia berjalan dengan runut dan hanya manut pada Sang Khalik. Bahkan, semilir angin yang bertiup pun tak luput dari titah-Nya.
Bukan hal mudah bagi insan menaiki titian seorang diri, apalagi dengan segala bebatuan runcing dan jurang terjal. Akan tetapi, hidup tetap harus “dihidupkan”. Seperti halnya jalan yang diri ini jejaki.
Aku tidak menamai diri sebagai wanita tangguh karena mampu bertahan setelah berbagai permasalahan pelik. Akan tetapi, aku berusaha sekuat tenaga untuk mampu menghadapi segala hal, apa pun itu. Jika bukan menguatkan diri sendiri, memang siapa lagi?
Weekdays menjadi hal menyenangkan bagiku bertegur sapa dan bercanda ria dengan anak-anak. Terlebih, dengan bocah perempuan yang kini sedang duduk di teras rumahnya.
Namanya Kiki, balita berusia 5 tahun anak tetangga sebelah. Kiki baru saja bangun, dan sudah jadi kebiasaan setiap pagi, dia akan menyapaku sebelum berangkat mengajar.
“Bu Guluuu!” Kiki menyapa riang, begitu aku membuka pintu rumah dan pagar. Kaki kecilnya berlari menghampiriku dengan gesit. Si cadel ini tersenyum riang, memamerkan giginya yang ompong satu.
“Hai, anak manis ....” Aku membungkuk begitu Kiki ada di hadapan, lalu mencubit gemas pipi tembamnya yang kemerahan.
Kiki tergelak karena aku menggelitiki pinggangnya.
Setelahnya? Seperti biasa, Kiki mengeluarkan ponsel yang dipinjamkan Mamanya dan memintaku berfoto bersama. Unik memang kebiasaan anak ini.
Entah kenapa dia suka sekali berfoto denganku, kadang—ketika aku mengajaknya bermain—pun, dia merekam kebersamaan kami. Katanya, “Kiki senang, soalnya Bu Gulu cantik.”
Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mendengar alasan yang tidak logis itu. Padahal, ibunya jauh lebih cantik dari pada aku. Ah, dasar anak-anak! Kadang, pikirannya sulit dimengerti.
Ibunda Kiki bilang, anaknya sedang centil-centilnya, senang meniru pose artis-artis cilik yang ada di TV. Itu benar, dan tingkahnya itu memang sangat menggemaskan, membuatku kepincut dan rela meluangkan waktu untuk mengajaknya bermain. Kiki juga ingin menjadi guru sepertiku, itu alasan lain yang dikemukakan ibunya.
Aku sama sekali tidak keberatan dengan kebiasaan si kecil Kiki. Justru senang, karena merasa terhibur dengan tingkahnya itu. Setelah memberinya sebatang cokelat, aku pun pamit ke sekolah, mendedikasikan separuh waktuku bagi anak-anak didik.
***

Sore. Anak-anak berseragam putih-merah, silih berganti mencium punggung tanganku, seraya memberi salam dan meninggalkan kelas.
Setelah ruangan kosong, aku menyelempangkan tas dan mendekap beberapa buku materi Sekolah Dasar, lalu berpamitan pada guru-guru lain, dan meninggalkan tempat ini.
Guru, adalah profesi yang kembali kujalani, setelah menyandang status baru. Kesibukan di sekolah, interaksi sosial dengan para murid dan sesama pengajar, membuatku sedikit banyak melupakan kesendirian selama dua tahun ini.
Benar, selama dua tahun ini aku hidup seorang diri. Mengais sisa-sisa harap dan mimpi dalam sebuah kesederhanaan hidup.
Seperti janji Mama dan Papa dulu, bahwa apa pun hubunganku dengan putra semata wayang mereka, posisiku tak akan berubah, tetap putri mereka.
Aku memang jarang mengunjungi Mama dan Papa. Terhitung sejak berpisah dengan Mas Ibas, aku hanya menemui mereka sebanyak empat kali. Bukan enggan, tetapi segan, karena tak ingin jika sekali waktu tak sengaja bertemu Mas Ibas.
Entah di mana dan bagaimana kabar Mas Ibas, aku tak tahu. Aku tak pernah sekali pun menanyakan atau diberitahu kabar tentangnya. Namun, aku yakin, dia baik-baik saja.
Aku masih rutin berkomunikasi dengan Mama Papa. Namun, tak pernah sekali pun membahas tentang Mas Ibas. Aku rasa, mereka begitu menjaga hatiku, sehingga tak pernah menyinggung tentang masa lalu.
Sama halnya denganku, yang memang tak pernah lagi bertanya tentang mantan suamiku itu.
Biarlah, semua di antara Aruna dan Baskara memang sudah Tuhan gariskan seperti ini. Kami berpisah. Aku berusaha ikhlas, walau ....
Aku terus berjalan di sore yang cerah ini, setelah pulang mengajar. Jarak dari sekolah ke rumah, sekitar 200 meter. Langkahku santai, diselingi senyum dan sapaan saat berpapasan dengan berapa orang.
Ketika tiba di tikungan, tiba-tiba saja sebuah mobil memotong jalan, dan berhenti tepat di hadapanku.
Ya Tuhan! Itu ....

==========

Sejak aku resmi menyandang status baru, pria ini selalu mejadi bayangan. Dia terasa begitu dekat, tetapi tak tersentuh.
Dengan alasan mengembangkan sayap bisnisnya, dia pun pergi jauh mendiami salah satu kota di Negeri Jiran dua tahun lamanya, dan selama itu pula kami tak bersua. Kendati demikian, kami tetap saling mengabari sesekali melalui sambungan telepon.
Ucapan terakhir pria ini di telepon waktu itu, bersama dengan buket mawar dan cincin yang dia beri, rupanya salam perpisahan sementara untukku.
Justru saat berangkat ke negara yang baru ditinggalinya, tidak ada kabar sama sekali dan aku merasa sangat kehilangan.
“Kenapa nggak ngasih kabar dan pamit dulu sama aku, Mas?” tanyaku saat dia sudah mendarat di negeri tetangga.
Aku sedikit kecewa karena tiba-tiba saja dia bilang sudah ada di Penang dan akan menetap di sana entah sampai berapa lama.
“Aku nggak mau melihatmu menangis,” jawabnya. “Ingat, rembulan nggak benar-benar sendiri. Ada jutaan mata yang selalu menanti cahayanya. Begitu pun kamu, jangan pernah merasa sepi.”
Aku tak menyahut, menunggu dia kembali bicara.
“Kamu boleh menghubungiku sesering mungkin, bahkan setiap menit, kalau kaumau. Tapi aku nggak mungkin mengganggumu setiap saat, walaupun sebenarnya aku ingin. Jujur, aku harap kamu bahagia dengan caramu, menghirup kebebasan sesuka hatimu.” Begitu kata dia, saat minggu-minggu pertama berada di tempat tinggalnya yang baru.
Bisa dihitung dengan jari, berapa banyak pesan yang kukirim padanya selama dua tahun kami tak bersua. Bukan tak mau peduli, tetapi aku memang sedang tidak ingin memiliki hubungan apa-apa dengan pria mana pun.
Untuk detik ini, dia kembali memberi kejutan dengan hadir kembali tepat di depan mataku.
Termangu, kutatap lurus pria tinggi bermata sipit yang baru saja keluar dari mobilnya. Dia berdiri tegap, memandangku dengan senyum mengembang sama seperti dulu.
“Hai, apa kabar, ng ....” Bola matanya menelisikku dari atas hingga bawah, “Bu Guru?”
Aku membalas senyumnya dengan hal serupa.
Dia pun menghampiriku.
Kami canggung, layaknya dua insan yang baru dipertemukan kembali setelah puluhan purnama. Sangat canggung, bahkan untuk bersalaman pun salah tingkah.
“Apa kabarmu, Nona?” tanyanya kemudian.
Sapaan yang sama sejak dulu itu membuatku terkekeh, tapi tak pernah lagi terlontar protes dari bibirku ketika mendengar panggilan manis itu.
“Baik,” jawabku singkat. “Mas, apa kabar?”
Dia melirik dengan mengangkat sebelah alis. “Akan sangat baik, kalau kamu mau menemaniku jalan-jalan.”
Aku menyipit.
“Mau, nggak?”
“Ke mana?”
“Ke mana saja. Ke bulan pun, boleh.” Dia terkikik, begitu pun aku.
Selanjutnya, anggukan kepala adalah jawaban final dariku.
Tak butuh waktu lama untuk kami beradaptasi lagi, karena suasana pun mencair sama seperti dulu.
***

Aku dan Mas Julian berjalan beriringan, menyusuri perkebunan teh menuju satu tempat, setelah berkendara sepuluh menit.
“Kita mau ke mana?” Mas Julian bertanya di tengah langkahnya yang terseok, dan sesekali terantuk tanah.
Payah! Aku yang memakai rok sepan—seragam guru—sepanjang mata kaki pun, bisa dengan lincah mendahuluinya.
“Kamu capek, Mas? Masa, sih, kalah sama perempuan?” sindirku sontak membuatnya cemberut.
“Siapa bilang? Aku nggak capek, kok!” Dia berdecak.
Saat menoleh ke arahnya, aku terkikik. Bibir Mas Julian maju, dia bersungut-sungut seperti bocah sedang merajuk.
“Nah ... sampai!” Aku menghentikan langkah, begitu pun Mas Julian.
Wajah maskulin yang semula tampak jemu, kini berganti dengan binar takjub.
“Wooow!” Bibir Mas Julian membulat, matanya terbuka lebar. Dia berseru sembari membuka lebar tangan dan tubuh berputar.
Aku membawa Mas Julian ke sebuah titik paling menarik di perkebunan teh, jaraknya setengah jam dari rumahku jika berjalan kaki secara penuh. Ini adalah puncak, di mana segala sesuatu di sekitarnya bisa tertangkap dengan mata.
Dari kejauhan, jalan setapak yang tadi kami lewati, tampak seperti labirin, berliku-liku rumit.
Sementara pepohonan teh terlihat berundak-undak, mengingatkanku pada bukit “Teletubbies”—film kartun favoritku sewaktu kecil.
Ada juga satu bukit dengan hamparan rumput hijau yang jadi pusat perhatian banyak orang, termasuk kami. Beberapa orang bermain paralayang di sana. Terjun dan mendarat dengan parasut yang mengembang gagah, bak sayap burung raksasa. Mas Julian bahkan mengajakku mencoba olahraga ekstrem itu, tetapi aku menolak karena takut.
Masih dengan sorot kagum yang belum pudar, pria ini menatapku lekat dan berkata, “Selera yang luar biasa untuk wanita sederhana sepertimu, Nona.”
***

Tak banyak yang Mas Julian dan aku lakukan di sini. Kami hanya duduk di rerumputan dan menikmati pemandangan yang memanjakan mata.
Satu jam berada di sini, kami berbincang banyak hal. Tentang keseharianku, pekerjaannya yang baru, dan perihal basa-basi lain. Hingga akhirnya, Mas Julian mulai menanyakan satu hal serius.
“Kamu masih sendiri, kan?”
Aku menoleh tapi tak segera menyahut.
“Ya ... kamu tau, kan, maksudku, Aruna?”
Diam sejenak. Benar, jika yang dimaksud itu adalah status, maka aku memang masih sendiri hingga detik ini.
Maka, aku menjawab pertanyaan itu dengan anggukan.
“Kamu masih menyimpan cincin dariku?”
Kulirik pria yang memakai kaus tangan panjang warna biru langit di sampingku ini. Tatapannya tegas, tak terselip senyum sedikit pun.
Kembali kuarahkan pandangan pada hamparan perkebunan teh, barulah aku mengangguk.
“Masih,” jawabku singkat.
“Jadi, apa jawabanmu?”
Jeda. Diriku dan alam sekitar seolah berkompromi menciptakan keheningan syahdu. Mungkinkah semesta tahu apa yang benakku rasa?
Aku merenung, memikirkan apa yang akan dijawab selanjutnya. Tentu, aku tahu persis pertanyaan pria di sampingku ini mengarah ke mana.
Dua tahun dalam kesendirian membuatku sadar satu hal, bahwa aku memang membutuhkan seseorang. Jujur, aku cukup bahagia dan bisa menjalani segala sesuatu dengan mandiri. Namun, ada kalanya diri ini butuh sandaran, terutama ketika penat dan letih hati mendera, tak ada yang bisa kujadikan alas gundah dan penopang pilu. Sepertinya aku butuh pendamping hidup.
Baik, sepertinya aku harus segera memberinya kepastian.

Bersambung #14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER