Baik. Sepertinya aku harus memberi kepastian pada Mas Julian.
“Beri aku waktu, Mas,” cetusku setelah lama terdiam. “Aku akan memikirkannya lagi.” Ku akhiri perbincangan serius kami dengan kalimat itu.
Jika melupakan seseorang saja membutuhkan waktu yang tidak singkat, maka menerima hubungan baru pun demikian, bukan?
Mas Julian masih menatapku lekat. Sorot yang teduh dan kadang jenaka tapi selalu memberi ketenangan, detik ini makin berbinar. Iris matanya berkilat seolah ada benih-benih harapan baru muncul. Dia pun tersenyum lebar, hingga mata sipitnya hanya membentuk sebuah garis.
***
Saat pulang, Mas Julian mengajakku makan malam di luar, tetapi aku menolak. Mana mungkin aku keluyuran malam dengan mengenakan seragam tenaga pendidik? Rasanya tidak etis.
Jadilah dua bungkus nasi goreng spesial langgananku, kami bawa ke rumah.
Matahari sudah tergelincir ke ufuk barat, ketika mobil Mas Julian sampai di halaman rumahku.
Saat kami keluar, seorang anak perempuan tergopoh-gopoh menghampiri. Kiki, si anak tetangga sebelah rumahku.
“Bu Guluuu!” seru Kiki dengan logat cadel menggemaskan.
Kiki meraih tanganku, dan aku bersimpuh di hadapannya. Sedangkan Mas Julian jongkok di sebelahku.
“Lho, Kiki ngapain di sini? Udah gelap, harusnya Kiki pulang.” Kubelai rambut ikalnya. Memang, aku sangat menyukai anak kecil, terutama bocah tembam ini.
“Tapi Kiki cuma mau bilang sesuatu sama Bu Gulu,” bela anak itu.
“Oh, ya? Kiki mau bilang apa, Sayang?” Aku mengangkat kedua alis dan menopang dagu dengan tangan. Mas Julian terkekeh, mungkin menertawakan tingkahku.
“Tadi ada yang nyali Bu Gulu.”
“Oh, ya? Siapa?”
“Om ganteng,” celetuk Kiki, seraya menunjuk Mas Julian. “Kayak Om ini.”
Aku dan Mas Julian saling lirik sekilas.
“Siapa namanya?” Kali ini, Mas Julian ikut bicara.
Kiki menggeleng.
“Om itu bilang namanya?”
Kiki menggeleng lagi. “Om itu tinggi, sama kaya Om sipit ini,” katanya. “Udah, ah, Bu Gulu. Kiki mau pulang. Daaah ....”
Si bocah perempuan itu berlalu dengan riang, tetapi meninggalkan sebaris tanda tanya. Bahkan, Mas Julian menjadi berubah sikap. Keceriaannya lenyap.
***
Mood kami memburuk setelah bertemu si kecil Kiki. Aku, dengan segala kegelisahan, sedangkan Mas Julian tampak muram.
“Kenapa makannya nggak dihabiskan? Tadi katanya lapar.”
Kuperhatikan, Mas Julian hanya memakan dua suap nasi goreng. Selebihnya, dia terus diam.
Saat ini, kami berada di ruang makan kecil di rumahku.
Mas Julian termenung, melipat kedua tangan di dada dengan pandangan kosong.
“Kenyang,” jawabnya datar.
“Mau ... aku suapi?” Aku memancing dengan candaan, tetapi tak ada reaksi darinya.
“Makanannya nggak enak, ya?” tanyaku lagi. “Maaf, makanan di sini memang nggak senikmat di restoran—“
“Aku nggak bermaksud begitu, Aruna.”
Hening. Aku memperhatikan Mas Julian, sementara dia memalingkan wajah.
Tak lama, dia berdiri dan berkata, “Aku pulang dulu.”
“Mas ....” Aku bangkit, menahan dengan memegangi lengannya, tapi dia tetap menghindari tatapanku.
Setelah beberapa saat diam, akhirnya Mas Julian memutar badan, menggenggam tanganku dan menatap lekat.
“Aku punya firasat nggak baik,” ungkapnya.
“Maksudmu?” Aku menautkan alis.
“Tolong jawab, Aruna.” Dia menghela napas panjang. “Kalau dua sosok masa lalu hadir bersamaan, mana yang akan kamu pilih? Aku atau ... dia?”
Deg.
“Kamu bicara apa, sih, Mas?” Kini giliranku yang memalingkan wajah. “Omongan Kiki tadi itu nggak penting.”
“Aku hanya ingin memakaikan cincin di jari manismu, Aruna. Tak kukira, ternyata sesulit ini.” Mas Julian terkekeh. “Dua tahun, tapi sepertinya kamu masih belum melupakan dia, ya?”
Mas Julian pun pergi meninggalkanku yang termenung dalam kebisuan. Apa aku memang belum bisa melupakan “dia”? Hatiku tak mampu menjawab.
Satu yang selalu jadi tanda tanya, aku benar-benar tak bisa mengerti dengan jalan pikiran Mas Julian. Bagaimana bisa, pria itu begitu kukuh menitipkan hatinya padaku? Wanita yang belum lama dikenalnya.
Akan tetapi, semakin aku tak paham dengannya, semakin kutangkap jelas kesungguhan yang dia pancarkan.
Ada yang bilang, “Wanita lebih baik dicintai daripada mencintai. Karena seiring berjalannya waktu, wanita akan mencintai lelakinya.”
Benarkah itu?
Aku sangat paham, bagaimana rasanya mencintai terlebih dahulu, dan itu ... sakit. Seperti perjuangan sepihak.
Apakah ini saatnya aku menerima dia? Seseorang yang tegas menyatakan rasa sayangnya padaku.
Sebelum merebahkan diri di kasur, aku membuka lemari, mengambil dua benda di dalamnya. Kotak beludru kecil berwarna merah dan merah muda. Masing-masing berisi cincin.
Kedua simbol pengikat yang setia kusimpan dengan baik. Akan ada saatnya, jari manisku memilih salah satu cincin pasangannya.
***
Hari-hari terlewati. Aku disibukkan dengan kegiatanku mengajar, begitu pun Mas Julian dengan pekerjaannya. Dia kembali mengurus usahanya di Ibu Kota.
Pria itu semakin menunjukkan keseriusannya ingin meminangku. Selain komunikasi di antara aku dan Mas Julian yang semakin intens, di satu waktu dia juga membawa Bu Tantri—tantenya—datang ke rumahku. Kehadiran kerabat yang paling dekat dengannya itu, tentu bukan untuk memintaku bekerja kembali di butiknya.
“Mulai sekarang, panggil saya ‘tante’. Siapa tau kamu dan Jul memang berjodoh,” ucap Bu Tantri saat berkunjung ke rumahku.
Aku dan Mas Julian menunjukkan reaksi berbeda. Dia mengamini kalimat yang dilontarkan tantenya dengan riang. Sedangkan aku gelisah!
Teringat Mama dan Papa dulu ketika pertama kali memintaku menyebut mereka dengan panggilan yang sama seperti putranya.
Ini ... dejavu!
Lagi-lagi, aku belum memberi Mas Julian kepastian. Hanya berkata, “Beri aku waktu.” Karena nyatanya, hati masih amat gamang.
Akankah kejadian dulu terulang lagi? Hidup satu atap bersama orang yang belum dikenal, itu artinya satu proses baru--mungkin saja lebih pelik, kembali harus kulewati.
***
Kemandirianku tak hanya sebatas tinggal di rumah seorang diri. Secara finansial, aku mengerahkan banyak tenaga dan pikiran untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Walaupun Papa rutin mengisi rekening tabunganku, tetapi aku tak pernah memakai uang pemberiannya. Sehingga saldo yang terkumpul, mungkin cukup untuk membeli satu rumah di kota.
Aku lebih memilih mengajar anak SD, sesekali menulis artikel di media on line, juga membuka les pribadi bagi anak SMP. Usaha apa pun kulakukan, untuk mengais rezeki. Mas Julian mengaku bangga karena aku seorang wanita pekerja keras.
Suatu sore, setelah mengajar anak-anak les Matematika, aku memetik dedaunan kering pada bunga-bunga di halaman. Tangan kiri mencabuti daun, sedangkan tangan kanan memegangi ponsel.
Sudah menjadi kebiasaan rutin, Mas Julian akan meneleponku setelah pulang jam kantor. Hal kecil yang perlahan mengisi hari-hari sepiku. Sapaan juga canda tawanya di telingaku adalah pengobat lelah.
Seperti sekarang ini. Aku lelah setelah seharian full di sekolah, lalu Mas Julian menghiburku dengan menceritakan tentang hal konyol yang terjadi di kantornya. Aku terkikik geli dengan candaannya itu.
Begitu larut dalam canda tawa, hingga tak sadar ada suara tiba-tiba bergumam di belakangku.
“Aruna ....”
Aku memutar tubuh, dan seketika tersentak kaget, menyaksikan satu sosok pria tinggi tegap, tengah berdiri tak jauh dariku.
Benar. Dia, pria pemilik tatapan kelam itu, tengah memandangku.
Pria yang telah lama hilang bak ditelan bumi, kembali hadir di depan mataku.
==========
Aku menatap lurus sosok itu. Dia, pria yang selama dua tahun hilang bak ditelan bumi.
Kami hening. Aku, begitu pun dia. Waktu seolah melambat lalu berhenti sesaat, memberi jeda bagi kami untuk bersitatap satu sama lain.
Ada gemuruh yang tak mampu kukendalikan di dalam sini, hingga lidah terasa membeku. Bahkan tak kuhiraukan suara di ujung telepon yang masih menyerukan namaku.
Duk!
Ponsel yang kupegang terjatuh. Aku tetap diam, hanya menajamkan mata kepada sosok yang memberi sensasi bertumpang tindih tak keruan ini.
Terkejut, marah, kecewa dan ....
Pandanganku berkabut oleh bulir-bulir bening yang menggenang di netra.
Mas Ibas melangkah maju, lalu membungkuk dan menyerahkan ponsel milikku yang terjatuh. “Apa kabar?” tanya dia singkat. Ekspresinya datar persis seperti dulu.
Tangan ini gemetar meraih benda pipih itu, dan saat kulit kami sedikit bersentuhan, ada sengatan aneh yang melecut!
“Baik.” Hanya satu kata yang mampu lidahku ucapkan. Sementara sambungan telepon dengan Mas Julian mungkin sudah terputus. Entah.
Tanpa sudi menanyakan maksud dan tujuan Mas Ibas kemari, aku memutar tubuh dan menjauh, menghindari interaksi dengannya. Terlebih, menyembunyikan air yang mulai meluncur dari sudut mata.
Langkahku tergesa, tetapi Mas Ibas membuntuti. Seperti biasa, dia tak pernah bisa peka dengan perasaan wanita, apalagi aku. Seharusnya dia sadar, bahwa aku ingin dia enyah!
“Aruna, aku mau bicara,” pintanya di belakangku.
“Lain kali saja.” Aku menolak tegas tanpa menoleh.
“Tolong. Aku minta waktumu sebentar saja.”
“Apa kamu bilang, Mas? Minta waktu sebentar?” Aku menoleh seketika. “Asal kamu tau, kamu sudah banyak membuang-buang waktuku!” ketusku dingin.
“Sekali ini saja. Aku ingin bicara empat mata denganmu.” Dia terus membujuk.
Aku tetap melangkah, membuka pintu rumah dan masuk.
Kini, kami kembali saling berhadapan. Aku di dalam, sedangkan pria ini di luar. Kami berdiri di ambang pintu.
“Pergilah. Aku sibuk,” ujarku dingin.
“Aku akan menunggu sampai kamu punya waktu dan—“
“Silakan! Terserah kamu,” sergahku. “Aku nggak yakin kamu bisa menunggu sama seperti yang ....”
Napasku terasa cepat, dada kembang kempis. Sesak, hingga tak mampu lagi meneruskan kalimat itu.
“Menunggu itu sakit!” sambungku.
Kalimat itu adalah yang terakhir kali kulontarkan sebelum akhirnya menutup pintu rapat dan menguncinya. Entah apa reaksi lelaki itu, aku tak peduli.
Setengah berlari kumasuki kamar sembari menekan rongga dada, menahan jerit di dalamnya. Luruh raga ini bersama dengan tangis yang selama ini terkekang.
Kamu, berulang kali membuat jiwaku ini sekarat oleh kesakitan. Lalu kini kembali datang seolah membawa angin surga, sementara rasaku sudah terbakar habis oleh kecewa yang mendera.
Wahai Baskara, apa lagi yang kau harap dari sebuah rasa yang telah mati?
***
Langit sudah gelap, ketika perlahan aku melongok melalui jendela kamar dan mengintip dari balik gorden.
Mobil putih itu—pasti milik Mas Ibas—terlihat kontras dengan pemandangan di luar yang temaram. Ekor mataku menangkap sosok pemiliknya sedang duduk bergeming di teras, melipat kedua tangan di dadanya. Tak ada yang dia lakukan selain diam.
Tidakkah dia kedinginan? Berada di luar selama tiga jam, sementara hujan sudah sedari tadi turun dengan deras.
“Kenapa masih di sini? Aku bilang pulang, Mas.” Akhirnya kuputuskan untuk menghampiri dia di teras.
Mas Ibas langsung bangkit dan menatapku dengan senyum tipis. “Aku menunggumu.”
“Pulang saja, ini sudah malam.”
“Tapi aku mau bicara—“
“Pulanglah, Mas!” Nadaku meninggi. “Aku nggak mau membahas apa pun denganmu sekarang!”
“Aku akan menunggu sampai kamu mau.”
Bergeming, kutatap tajam iris matanya. Mas Ibas masih sama seperti dulu.
“Dasar keras kepala!” Aku mendengkus dan pada akhirnya kembali memasuki rumah, meninggalkannya sendiri.
Biar saja, sebentar lagi juga dia pasti pergi. Aku yakin.
***
Setelah menguap beberapa kali, menggeliat, lalu bangkit dari ranjang dan mengurut tengkuk yang terasa berat, aku pun kini berdiri di hadapan cermin.
Di depan mata, kupandangi wujud yang kacau. Selain sembap karena terus menangis, ada lingkar hitam yang terlihat jelas di bawah mata. Semalaman tadi aku sulit tidur. Mungkin saat dini hari, baru bisa terpejam.
Aku segera mandi untuk menyegarkan kondisi tubuh. Karena ini hari minggu, aku pun bermaksud jalan santai di sekitar perkampungan, menikmati udara pagi hari yang sejuk.
Setelah siap dengan pakaian olah raga dan mengikat rambut, aku segera membuka pintu rumah. Namun ....
“Mas?!” Aku terkejut mendapati sosok Mas Ibas di teras.
Apa semalaman dia di sini?
"Sebentar saja, Aruna ... aku mau bicara.” Suaranya memohon dengan sangat lemah.
***
Siapa yang tega melihat sesosok tubuh menggigil akibat berada di luar semalaman? Terlebih, udara di tempat tinggalku ini hampir sedingin es pada malam hari. Belum lagi hujan mengguyur tak henti selama delapan jam.
Tadi, di teras, wajah Mas Ibas terlihat pias seperti tanda-tanda orang mau pingsan. Dia terkena hipotermia.
Aku panik dan lekas menyuruhnya berbaring di ruang tengah. Kubuatkan segelas teh manis hangat dan dua potong roti, lalu menyimpan di meja--tepat di hadapannya.
Mas Ibas meringkuk di sudut kursi, tubuhnya bergelung tertutup selimut tebal.
Secara refleks, aku memindai dan menelusuri setiap lekuk wajahnya. Mata, alis, hidung, bibir ... semuanya. Dia tampak lebih kurus dengan tulang pipi agak menonjol. Rahang juga dagu yang biasanya selalu bersih, kini dipenuhi bulu-bulu halus. Lebih maskulin, tetapi ... seperti tak terurus.
Apa selama ini dia baik-baik saja?
Deg.
Aku terkesiap. Mata berulang kali mengerjap. Tiba-tiba saja iris mata elang itu terbuka dan langsung menatap tajam. Aku meneguk ludah, gugup, seperti pencuri yang tertangkap basah.
Sepersekian detik Mas Ibas tak mengalihkan pandangan. Hingga aku memalingkan wajah kemudian menyodorkan teh manis ke hadapannya.
"Minumlah. Aku nggak punya hidangan spesial.”
“Melihatmu saja sudah spesial bagiku," sahutnya.
Aku tak menghiraukan kata-kata itu, karena dalam hati merasa muak!
Mas Ibas duduk, lalu menerima cangkir dan meminum teh buatanku.
“Ini, makanlah.”
Kali ini aku mengasongkan dua potong roti dalam piring kecil padanya.
Seperti seorang bocah yang patuh pada sang ibu, Mas Ibas menuruti perintahku dan memakannya. Pada suapan terakhir, dia tersedak. Aku berjingkat ke dapur dan membawakan segelas air putih.
Dia mulai bicara setelah batuknya reda.
“Dua tahun aku makan masakan si Mbok yang beraneka ragam, tapi air putih ini rasanya lebih nikmat,” ungkapnya sambil melirikku tanpa ekspresi. “Aneh, bukan?”
Tak kuhiraukan kalimat itu.
“Kalau sudah kenyang dan merasa baikan, silakan pergi,” ujarku seraya menatap dingin.
Hening. Hanya cicit burung di luar sana yang terdengar nyaring, menertawai kami, dua insan yang bertingkah begitu kaku.
“Maaf, Aruna,” ungkapnya setelah lama membisu. “Aku cuma mau minta maaf.”
“Maaf untuk hal apa, Mas?” Kalimatku serupa sindiran halus, tetapi tajam.
“Maaf untuk segalanya.” Dia melanjutkan. “Aku ... cuma ingin hidup tenang.”
Aku terkekeh, mencemooh kata-katanya itu. “Anggap saja aku sudah memaafkanmu sejak lama, Mas. Maka kamu bisa tenang sekarang.”
“Aku ingin memperbaiki hubungan kita, Aruna.”
“Apa?! Memperbaiki hubungan?!” teriakku sembari menatapnya nyalang. “Aku merasa kamu nggak pernah mencoba membangun hubungan di antara kita, kenapa sekarang kamu bilang ingin memperbaiki? Aku, Mas! Hanya aku yang berjuang sendiri mempertahankanmu selama kita masih suami istri!”
Tak ada reaksi apa pun dari pria di hadapanku. Bak samudra, dia selalu terlihat tenang tetapi menghanyutkan siapa pun yang mencoba menyelaminya. Sulit ditebak pikiran pria ini.
“Kamu hanya memperlakukanku seperti sampah! Kamu menikahiku, mengacuhkanku, memperlakukanku seperti pelacur, lalu menghilang! Apa itu yang kamu maksud dengan hubungan?!” Nadaku meninggi.
Mas Ibas masih bertahan dalam kebisuan. Sungguh, ini membuatku bingung. Jika biasanya dia akan sangat marah kalau aku mencecarnya dengan kalimat satire, maka sekarang berbeda. Dia bungkam, pasrah menerima makianku.
“Dua tahun bukan waktu yang singkat, Mas.” Aku melanjutkan dengan nada lebih rendah. “Ke mana saja kamu selama ini? Apa kamu sudah bahagia dengan wanita yang gigih kaulindungi itu?”
“Aku melepaskannya saat itu juga, Aruna." Akhirnya dia angkat suara. "Setelah Julian bilang Meilan bukan wanita baik-baik. Dan apa yang dikatakannya itu ternyata memang benar,” jawabnya tegas. “Aku nggak berhubungan lagi dengan Mei—“
“Bagaimana kalau dulu anggapan tentang wanita itu keliru? Apa kamu tetap akan meninggalkannya?” Aku menekan kalimat ini seraya mendelik.
Sesaat hening. Mas Ibas mengerutkan kening. “Kenapa harus berandai-andai tentang masa lalu?”
Aku terkekeh, ironi dengan keadaan ini. Dulu maupun sekarang sama saja, Mas Ibas tetap tak bisa menjawab jika aku bertanya tentang Meilan.
“Aku memutuskan pertalian kita secara damai, Mas. Tapi kamu sama sekali nggak menunjukkan iktikad baik.” Aku kembali bicara dengan nada tenang, meredam segala kekesalan. “Kenapa kamu tiba-tiba datang setelah lama menghilang?”
“Aku punya alasan kuat,” sahutnya lugas, “lagi pula, aku menuruti kemauanmu.”
“Kemauanku?” Alisku bertaut.
“Ya. Aku belajar menahan ego, aku berusaha nggak memaksakan kehendak. Jadi, saat kamu bilang ingin lepas, maka aku membiarkanmu.”
Lidahku beku. Benarkah itu alasannya?
“Kamu laki-laki yang nggak peka,” gumamku dengan rasa perih di dada.
“Ya, mungkin kamu benar.” Dia menunduk sesaat, lalu menatapku lagi setelah menghela napas panjang. “Aku ingin memulai dari awal. Aku mohon, beri aku kesempatan kedua, Aruna.”
“Kesempatan kedua?” Aku mengulang perkataannya serupa cemoohan. “Kamu nggak tau seberapa sulit perjuanganku selama ini, Mas! Aku bertahan dan hidup seorang diri!"
Membayangkan segala hal yang terjadi selama lebih dari dua puluh empat bulan, membuat air mata yang sedari tadi menggenang di pelupuk mulai bercucuran. Perih rasanya mengingat itu.
“Sudahlah, Mas. Pergi saja dan jangan datang lagi,” lirihku.
“Katakan gimana caraku agar mendapat kepercayaanmu lagi, Aruna? Aku benar-benar ingin memulai semuanya dari awal.”
“Ngga ada yang bisa diperbaiki.”
“Tapi kenapa?”
“Karena aku nggak mengharapkanmu lagi!” hardikku lantang, menghunjamkan tatapan menantang padanya.
“Benarkah?” Pria ini justru tersenyum miring, hingga membuatku berkerut kening. “Lalu kenapa sampai sekarang kamu masih sendiri? Tidakkah si Julian terus mendekatimu?”
“Itu bukan urusanmu!” Aku mendengkus.
“Maaf. Sebenarnya aku nggak bermaksud ikut campur dan—“
“Sudah, cukup.” Aku bangkit dari sofa, berjalan ke depan dan menguak pintu dengan lebar. “Silakan pergi.”
Mas Ibas menurut. Dia pun bangkit dan menghampiriku di ambang pintu. Sebelum dia keluar, kami bersitatap.
“Asal kamu tau, aku punya alasan kuat kenapa meninggalkanmu selama dua tahun ini. Aku terpaksa,” ungkapnya penuh penekanan. “Sangat terpaksa, Aruna. Sangat.”
Aku menyipit, tak mengerti dengan perkataannya. Sama seperti dulu, Mas Ibas seolah menyimpan rahasia. Jalan hidupnya semacam labirin. Kali ini, entah hal apa lagi yang disembunyikan.
“Dan kamu juga harus tau, hingga detik ini aku nggak pernah rela kamu jadi milik orang lain.”
Pria itu pergi, meninggalkanku seorang dengan rasa berkecamuk. Kupandangi tubuh tegapnya itu hingga dia memasuki mobil dan benar-benar lenyap dari pandangan.
Dia, masa lalu yang setengah mati berusaha kulupakan, justru hadir di saat diriku ingin memulai langkah baru dengan sosok lain.
Wajarkah jika dia kusebut duri?
Bersambung #15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel