Dua minggu berlalu sejak terakhir kali Mas Ibas menemuiku di rumah. Tak muncul lagi batang hidungnya, begitu pun dengan komunikasi via telepon atau apa pun di antara kami yang sama sekali tidak berlanjut. Wajar, aku pun tak berharap demikian. Hanya saja, hidupku kembali terasa janggal.
Ada sesuatu yang seperti terisi tetapi kosong. Ada sesuatu yang seharusnya enyah, tetapi terus berbayang. Ada sesuatu yang sepantasnya dilupakan, tetapi ... urung.
Bukan tak ingin, tetapi sulit.
Putaran waktu terus berlanjut. Detik, menit, jam, hari. Semuanya sama. Datar. Monoton. Senyap. Hampa.
Kadang, pilihan seseorang untuk bertahan bukan karena dia merasa kuat. Bukan. Akan tetapi, karena semua jalan menunjukkan kebuntuan. Mundur, mustahil. Maju pun, sulit.
Dan aku berada dalam kebuntuan itu.
Mengisi akhir pekan bersama Mas Julian, itulah yang kulakukan sekarang. Membunuh waktu bersama sosok yang tak hentinya menyerah menggantungkan perasaan padaku. Entah seperti apa jalan pikiran dia. Seolah sederhana, nyatanya sulit dicerna nalar.
Pria sipit ini memang selalu menyempatkan diri mengunjungiku, jika dia sedang tidak sibuk oleh urusan pekerjaan. Seperti saat ini.
Mas Julian mengajakku ke sebuah tempat wisata. Biasanya, aku menolak, karena lebih menyukai diam diri di rumah dan berbincang santai dengannya. Selain itu, aku tak mau menyita waktunya.
Akan tetapi, kali ini dia kukuh membawaku ke tempat ramai ini. Ingin membuatku senang, dia bilang.
“Hei!”
Aku terenyak, Mas Julian menjentikkan jarinya di depan mukaku. Memang, ada yang sedang kupikirkan saat ini dan itu membuat pening dan tak bisa fokus.
“Jangan melamun,” protesnya.
Senyum simpul adalah reaksi yang refleks kuberikan, lalu kualihkan pandangan pada langit yang terlihat jingga. Mentari yang cantik, tetapi muram, karena gelap tak lama lagi akan segera menelannya.
Kami mengayuh perahu bebek di sebuah danau buatan. Perlahan, mengelilingi tempat ini. Riak air yang begitu jernih dan membiaskan cahaya mentari sore, membuatku terpesona. Sedikit menguraikan kekalutan yang sedang membelit hati.
“Aruna ... apa kamu nggak bosan begini terus?” tanya Mas Julian di sela-sela keheningan di antara kami.
“Bosan?” aku menoleh pada Mas Julian. Pria yang duduk bersamaku ini bicara tanpa memandangku. Bahkan, tatapannya terlihat menerawang jauh.
“Kamu, aku, hidupmu, dan ... hubungan kita,” sambungnya.
Aku tertegun mendengar perkataannya itu, terutama kalimat terakhir.
Hubungan kita?
Benar. Wajar jika Mas Julian mempertanyakan hal ini padaku, karena hubungan kami tak tentu arah, berjalan dalam ketidakpastian. Bukan dirinya tidak tegas, melainkan aku yang terus menggantungnya.
Aku belum juga memberi Mas Julian jawaban atas pertanyaan; bersediakah aku dipersuntingnya? Hingga beberapa minggu belakangan, dia tak lagi menuntut jawaban, karena aku berkata, “Aku masih butuh waktu, kita jalani saja ini seperti air mengalir.”
Akan tetapi, kini, rupanya dia kembali mempertanyakan hubungan kami.
“Bagaimana?” Dia kembali bertanya, kali ini sembari menatap. Namun, justru aku yang memalingkan wajah.
Bibirku tak mengucap sepatah kata pun sebagai balasan. Hanya diam dan memandangi mentari yang hampir tenggelam di balik gunung yang menjulang.
Pada akhirnya, perahu kami menepi, dan Mas Julian bergumam, “Ibas datang lagi, kan? Makanya kamu lebih sulit menerimaku.”
Deg.
Pandangan kami beradu, begitu lekat seolah menyelami dalamnya dan mengorek isi hati masing-masing.
Semilir angin mempermainkan anak rambut kami. Hawa dinginnya menyelusup di telinga, membisikkan begitu banyak kata yang tertahan dalam angan.
Setelah saling diam beberapa detik, aku pun menjawab, “Beri aku waktu dua minggu lagi, Mas. Aku janji akan memberi jawaban, apa aku mau jadi istrimu atau tidak.”
***
Sembilan hari berlalu, tepat tanggal kelahiranku.
Pagi. Saat aku membuka pintu rumah untuk berangkat ke sekolah, seorang pria sudah menunggu di depan gerbang, dengan mobil pick up-nya.
“Cari siapa, Mas?” tanyaku pada pria yang sepertinya kurir ini.
Pria yang menggunakan topi putih ini mengangguk dan tersenyum. “Ada titipan, Mbak,” jawabnya seraya membawa barang dari dalam mobil.
“Untuk saya?” Aku menunjuk diri sendiri.
“Benar. Mbak Aruna, kan?”
Aku mengangguk, seraya menautkan alis. Dari mana dia tahu namaku? Ah, tentu saja dari orang yang menyuruhnya.
Kuterima sebuah buket bunga Azalea yang begitu cantik, berwarna merah muda dengan pinggiran kelopaknya putih. Selain itu, ada dua kotak besar yang entah isinya apa.
Karena kesusahan membawa benda tersebut, si kurir membantuku menyimpan kedua kotak ini ke dalam rumah. Lalu, dia pergi setelah aku menandatangani selembar surat serah terima barang.
Tentu, aku bisa kutebak siapa yang mengirim hadiah spesial ini. Empat hari lalu sejak saat itu, dia bilang hari ini ada urusan mendadak ke luar pulau. Kalau tidak sedang benar-benar terkekang urusan penting, dia pasti menemuiku sekarang.
Benar. Selembar surat yang terselip, membuktikan dugaanku.
“Merindukanku?”
Ah ... baru kalimat pertama tapi senyumku sudah mencuat.
“Maaf, bukan tak mementingkanmu dan hari spesial ini. Tapi tanggung jawabku di sini tak bisa diwakilkan pada orang lain. So, jangan marah, ya.
Happy birthday, Aruna.
Berikan senyum terbaikmu hari ini, Nona. Perlihatkan lesung pipitmu yang seperti bejana itu. Tunjukkan pada dunia, pancaran seorang Aruna ....”
Aku kembali tersenyum. Entah mantra apa yang dia miliki, tapi setiap kalimat sanjungannya yang tulus itu selalu membuatku terhipnotis.
Duduk di ruang tamu, kudekap Azalea dan kembali membaca tulisan ini.
“Maaf, aku nggak bermaksud menjadi Debt Collector yang menagih hutang dengan paksa, tapi aku harus mengingatkan janjimu, Nona.”
Tiba-tiba aku terkekeh dengan candaannya.
“Ingat, kan? Kurang dari seminggu lagi, kamu harus memutuskan, mau menjadi Nyonyaku atau ... ah, tidak! Aku tidak sudi menuliskan kemungkinan kedua. Keinginanku hanya satu, kamu mengucapkan pilihan pertama.”
Jeda. Kuhela napas panjang.
“Ngomong-ngomong, kamu suka bunganya? Mm ... biar aku tebak, pasti kamu sedang mendekap si Azalea. Benar, bukan?”
Tanpa sadar, aku mengangguk.
“Kamu tau arti bunga Azalea, Aruna? Keikhlasan, kesederhanaan, dan kesabaran. Itulah maknanya, sama seperti kepribadian yang kulihat darimu. Jadi, kalau selama ini kamu bertanya tentang alasanku menyukaimu, itu karena kamu seperti ... Azalea.”
Mataku berkaca-kaca karena haru. Sebuah anugerah besar, disayangi seseorang dengan tulus. Ini bukan sekadar gombalan, tetapi kesungguhan. Aku yakin itu.
Kulanjutkan membaca, dan beberapa kalimat terakhir, membuatku tertegun.
“Azalea ini akan menjadi bunga terakhir untukmu, Aruna. Karena setelah ini, aku ingin kau yang menjadi bunga dan mengisi taman kehidupanku.
Will you marry me?
Dariku, pria yang selalu sabar menunggumu mengucap ... ‘Yes, I will’!”
Setelah melahap habis tulisan pada kertas itu, rasaku menjadi campur aduk. Senang, tetapi ... entah.
Aku semakin bingung.
***
Suasana di sekolah terasa berbeda, terutama di ruang tempatku mengajar. Sebagai wali kelas III Sekolah Dasar, aku mendapat ucapan selamat dari semua murid. Mereka membuatku tersenyum bahkan menangis haru. Terenyuh.
“Selamat ulang tahun, Bu Aruna.”
Salah satu siswi—sebagai perwakilan murid—mengucapkan itu, dan diikuti teman-temannya secara serempak. Lalu, dia menyerahkan kotak berwarna abu-abu seukuran 30x30 cm.
“Apa ini, anak-anak?” Aku mempertanyakan isi kotak yang dihiasi pita polkadot itu.
“Buka aja, Bu. Tapi nanti di rumah,” ucap Silvi, si murid paling cerdas.
“Terima kasih, anak-anak.” Aku tersenyum. “Tapi seharusnya kalian nggak perlu repot-repot memberikan ibu hadiah ini.”
“Nggak repot, kok, Bu. Cuma tulisan ... ups!” Eko—si gempal—sepertinya keceplosan. Dia menutup mulutnya sendiri, dan meringis saat murid di sampingnya mencubit perut besarnya.
Aku terkikik dengan tingkah mereka. Anak-anak memang mempunya sifat yang apa adanya. Tak seperti orang dewasa, selalu memandang segala sesuatu dengan rumit.
“Walau kotaknya kosong pun, ibu akan tetap terima, kok, anak-anak.”
“Tapi, Bu, tadinya justru kami mau membelikan yang spesial buat Ibu.” Nita—si cerewet—menyela. “Kami sudah mengumpulkan uang untuk membeli sesuatu. Tapi seseorang melarang kami. Dia bilang begini, ‘sesuatu yang tulus akan lebih dihargai dibanding uang atau barang’. Gitu katanya, Bu.”
Aku mengernyit. “Siapa yang bilang begitu pada kalian?”
“Dia hhhmmptt ....”
“Bukan siapa-siapa, Bu. Kami nggak kenal.” Riska tiba-tiba membekap mulut teman sebangkunya itu agar diam, hingga Nita bersungut-sungut kesal.
Aku tersenyum lebar. Tak memperlihatkan reaksi berlebih pada mereka. Padahal, dalam hati luar biasa penasaran; siapa orang yang anak-anak maksud?
Apa mungkin ... Mas Fahmi? Sudah lama aku tak mendengar kabarnya.
***
Rasa penasaran terjawab. Di rumah, setelah pulang mengajar, aku membuka kotak yang diberikan anak-anak tadi di sekolah.
Aku terpana. Kotak ini ternyata berisi puluhan lembar lipatan kertas. Aku membuka satu persatu, kemudian membaca tulisan tangan itu. Di sana, tertera aksara-aksara sederhana dari setiap anak, berisi harapan dan doa mereka untukku.
Seketika, mataku berkaca-kaca karena haru dan gembira. Lembar surat terakhir, tampak berbeda, terlihat lebih ... spesial?
Aku memicing, membacanya lebih saksama.
“Seseorang pernah bilang, ‘Jangan selalu memandang segala hal dari materi dan uang. Karena tak semua kebahagiaan bisa dilihat dari itu.’
Kamu ingat, apa yang kamu katakan waktu itu, Aruna? Hari ini, aku menjadi saksi, bahwa hal itu benar adanya.”
Ada sesuatu berdesir di dalam sini. Mataku menelisik isi tulisan itu. Tulisan sederhana yang seolah merefleksikan pembuatnya; tegas dan tak suka basa-basi.
“Kamu tersenyum ....
Benar, bukan? Aku yakin kamu tersenyum ketika melihat tulisan-tulisan tangan anak-anak.
Kamu tersenyum hanya karena hal yang menurutku sepele.
Sesederhana itukah untuk membuatmu bahagia, Aruna? Jika benar, maka aku rela menjadi penguntitmu seumur hidup. Karena melihat senyummu itu ... aku turut bahagia.”
Tiba-tiba saja, tanpa bisa dibendung, air mata menitik.
“Oh, ya. Aku juga ingat sesuatu. Waktu itu kamu berkata seperti ini, ‘Kamu adalah api, dan aku hanyalah kayu lapuk. Jika terus bersama, maka aku yang akan hancur.’
Kamu benar, Aruna. Tapi ada yang kaulupakan.
Kayu akan terbakar habis menjadi arang, tetapi saat itu pula, kobaran api akan meredup, kemudian ... mati!
Aku tak bisa menggambarkan hidupku sekarang. Sepi dan hampa. Mungkin seperti itu.
Satu hal, dan untuk terakhir kalinya aku memohon padamu. Bersediakah kamu kembali menjadi pendampingku, mengajariku tentang arti sebuah hubungan, dan menapaki setiap jalan terjal bersamaku?”
Air mata semakin berderai.
Ada apa dengan diriku ini, Tuhan? Kenapa setiap perlakuan pria itu selalu membuatku merasa kuat dan lemah dalam waktu bersamaan?
“Aku bukan pria yang pandai berpuisi dan memberi hal-hal romantis. Aku hanyalah seorang pria naif, yang kukuh pada pendirian.
Keras kepala, kau bilang.
Aruna, jika jawabanmu iya untuk kembali lagi padaku, maka detik ini pula, kamu telah membantu memberikan nyawaku yang hilang. Namun, jika jawabanmu tidak, maka aku benar-benar akan pergi darimu. Selamanya.
Sudikah kamu memberikan kesempatan kedua bagiku?”
Tulisan itu lenyap, ditelan air mata yang tanpa hentinya menetes. Gelenyar asing dan degup jantung tak berirama, menandakan rasaku padanya masih sama seperti dulu.
Kecewa, sakit, tetapi ....
Aku merenung dalam hening. Kesendirian selama ini sempat membuatku percaya, bahwa hidup tak akan kembali menyuguhkan dua jalan bercabang. Namun, nyatanya aku keliru.
Detik ini, aku berada di persimpangan, di antara dua tebing terjal.
***
Keesokan harinya, Kiki—balita tetangga sebelah—bermain di halamanku pada sore hari. Dia mengais tanah dengan sendok plastik dan meletakkannya di wadah-wadah mainan. Aku tersenyum, seperti sedang menyaksikan diri sendiri. Aruna kecil pun sangat senang bermain tanah.
Kiki hanya tinggal bertiga, dengan ibunya yang berusia tiga tahun lebih muda dariku, juga bersama ayahnya. Bocah menggemaskan di hadapanku ini menjadi tetanggaku baru selama delapan bulan.
“Bu Gulu, Kiki mau pulang, ah!” Kiki berdiri, menepuk-nepuk tangannya yang kotor. “Kiki bau asem, pengen mandi.”
Mungkin dia sudah bosan berada di sini selama dua jam, padahal aku masih betah bersama dirinya.
“Ya udah. Kiki pulang, mandi, lalu makan, ya,” perintahku seraya membersihkan bajunya dari noda tanah.
“Oh, iya.” Kiki mendongak ke arahku.
“Hm?” Aku menunduk
“Om itu belum datang lagi, ya? Kiki kangen.”
“Siapa?” Aku mengangkat kedua alis. Menuntut jawaban dari bibir mungilnya.
“Om Baskala”
“Siapa?”
“Eh!”
Bocah perempuan itu tiba-tiba kabur. Dia berlari ke rumahnya sembari menutup mulut, seperti keceplosan bicara.
Tentu saja aku tertegun, terheran-heran. Kenapa anak itu tahu Mas Ibas? Apa hubungan mereka?
Seolah ada yang berputar-putar di kepala, hingga membuatku pening. Berbagai dugaan tiba-tiba saja membuatku sesak.
Hal apa lagi yang dirahasiakan Mas Ibas?
==========
Bocah seusia Kiki—tetangga sebelahku—tidaklah mungkin berbohong. Anak-anak cenderung mengungkapkan apa yang matanya tangkap secara langsung, apa yang pikirannya simpulkan pun sederhana, itu sudah pasti. Maka ketika bibir mungil si pipi tembam menyebutkan sebuah nama, bisa kutebak bahwa dia mengenalnya.
“Om Baskala,” ucap Kiki tadi, dan sontak membuatku bergeming dalam kebisuan. Bagaimana mungkin anak itu tahu Mas Ibas? Terlebih, Kiki mengatakan “kangen” terhadapnya. Bukankah itu berarti mereka bukan sekali dua kali bertemu? Sungguh, pikiranku menerka-nerka banyak kemungkinan buruk, karena penilaianku selama ini terhadap Mas Ibas, dia adalah sosok misterius. Jika ingin mengenalnya lebih jauh, itu sama saja dengan membawa diri dalam banyak teka-teki, dan jawaban dari teka-teki yang dia sembunyikan kadang membuatnya semakin menjadi pribadi yang sulit dimengerti.
Aku tidak ingin menyimpan lebih banyak prasangka buruk pada mantan suamiku itu. Kendati dia pernah menelantarkanku dalam ketidakpastian, alih-alih kembali datang tanpa permisi, sehingga membuatku benar-benar muak. Namun, demi menyanggah maupun membuktikan macam-macam persepsi dalam benak, aku pun menemui Nunik—ibunda Kiki. Ingin rasanya melihat semua tentang Mas Ibas sejelas mungkin dari “kacamata” orang lain.
Sekitar setengah jam, tidak, mungkin satu jam, aku dan Nunik berbincang. Sang anak sudah tertidur di depan TV, sementara suami Nunik tidak berada di rumah—bekerja. Situasi yang menguntungkan karena aku bisa leluasa bicara empat mata dengannya.
Saat ini kami duduk dan berada di ruang tamu rumah Nunik. Ada ketegangan menyelimuti wajahnya ketika dengan gamblang aku mempertanyakan tentang Mas Ibas. Bahkan aku tidak repot-repot berbasa-basi untuk mulai mengorek informasi dari wanita di hadapanku. Entah jawaban Nunik nantinya seperti apa, baik atau buruk, tetapi aku sudah mantap dan siap mendengarnya.
Awalnya Nunik mengelak, berulang kali. Dia berdalih, mungkin aku salah dengar ucapan Kiki, atau mungkin anaknya itu asal bicara. Tentu saja aku tidak serta-merta percaya ungkapannya itu, hingga akhirnya aku memutuskan untuk sedikit memancing dengan berkata, “Baiklah, aku memang nggak perlu tau apa-apa tentang Mas Ibas. Dia itu berengsek!” –dan saat itulah, Nunik mulai angkat bicara, memuntahkan segalanya di hadapanku tentang Mas Ibas. Segala yang sebelumnya sama sekali tidak pernah terbersit dalam pikiranku. Aku tercengang dengan pengakuan Nunik, tentu saja.
Setelah mendengar panjang lebar penjelasan Nunik, aku memutuskan untuk mengakhiri obrolan serius kami. Kalimat terakhir yang kuucap adalah: “Seperti apa pun pandanganmu terhadap pria itu, bagiku ini tetaplah sama. Terlambat. Sangat terlambat.” Kemudian, tak lagi ada apa pun yang keluar dari bibirku, meski isi kepala dan dada meronta dikekang kegelisahan.
Sejujurnya, pengakuan Nunik sama sekali tidak membebaskan prasangkaku terhadap Mas Ibas, justru semakin membuatku merasa tidak tenang. Antonim, berlawanan. Satu sisi aku merasa terenyuh, tetapi sudut hati menyimpan rasa kecewa mendalam.
Setelah menimbang banyak hal, mengenyahkan segala ragu dan segan, akhirnya kuputuskan untuk menemui dua orang lagi; Mama dan Papa.
***
Aku bertatap muka dengan Mas Julian, sesuai janjiku padanya. Hari ini aku akan memberi jawaban, menentukan kelanjutan kisah hubungan kami yang sebelumnya selalu tergantung tanpa kepastian.
Kesan yang sangat berbeda terasa kental malam ini. Momen yang sebelumnya sekadar ada dalam khayalan dan hanya kutonton di serial drama televisi, kini aku sendiri mengalaminya. Orang-orang menyebut ini “candle light dinner”.
Mas Julian membawaku ke sebuah restoran berkelas di salah satu hotel bintang lima. Sebelum ke sini, dia mengantarku ke salon, meminta seseorang merubah tampilan wajah dan rambutku. “Biar pangling,” dia bilang.
Sedikit kikuk tingkahku ketika mata Mas Julian menelisik dengan intens. Rambutku yang lurus dibentuk bergelombang dengan hiasan jepit permata simpel, dan riasan wajahku dibuat natural tanpa meninggalkan kesan glamour. Ditambah lagi pakaian yang membelit tubuh, sesaat menjadikanku merasa bukan diri sendiri.
Aku memakai gaun sutera warna salem yang menutup mata kaki dan ekornya beberapa jengkal menyentuh lantai. Bagian atasnya tidak terlalu terbuka walau didesain tanpa lengan. Aku cukup nyaman memakainya. Gaun ini adalah pemberian Mas Julian dalam dua kotak besar sewaktu dia mengirimkan bunga Azalea.
“Cantik.” Sudah beberapa kali Mas Julian menggumamkan mantra sihir itu, hingga pipiku yang dioles blush-on mungkin saja menjadi semerah tomat. Aku tidak menanggapinya, hanya menunduk atau berusaha memalingkan wajah. Memangnya siapa yang bisa tahan terus dipuji-puji seperti itu? Tidak peduli itu gombalan, rayuan, atau memang sebuah ketulusan, tetapi aku tetap malu dibuatnya.
Restoran dan suasana di mana kami berada saat ini terasa tidak nyaman. Bukan salah tempatnya, tetapi perasaanku saja yang tidak enak. Ini terlalu mewah. Sangat mewah.
Semerbak bunga-bunga berbagai jenis menyeruak, seolah menjadi pengharum alami di sini. Pencahayaan yang temaram, berasal dari pendar lilin yang semuanya berwarna merah dan berbaris di sudut-sudut meja, termasuk pada meja di hadapan kami. Karpet tebal pun menutupi keseluruhan lantai. Sementara sajian yang dihidangkan pelayan tidak begitu kuperhatikan. Mungkin saja, pikiranku hanyut oleh pesona pria di hadapanku ini.
Aku terkagum-kagum melirik Mas Julian. Dia tampan dan gagah. Rambutnya ditata begitu rapi—entah apa nama style-nya, aku kurang paham—memberikannya kesan berkarisma. Kemeja slim fit dan rompi yang dia kenakan senada dengan gaunku. Serasi.
Kami duduk di sini bagai Pangeran dan Putri yang sedang dijamu dalam perhelatan istimewa nan romantis. Menggelikan sekali, bahkan aku tertawa kecil dalam hati. Namun, dengan segera kuenyahkan lamunan ini, karena aku malah mengkhayalkan pria lain, padahal di hadapanku jelas-jelas adalah Mas Julian. Oh, Tuhan, kumohon enyahkan dia dari anganku.
Entah berapa jumlah uang yang digelontorkan Mas Julian untuk menyewa private room di restoran ini. Tentu saja dia mampu, tetapi tetap ada rasa tidak nyaman bagiku. Sebetulnya dia bukan tipe orang yang pilih-pilih dalam hal mencari tempat makan. Tak jarang kami menikmati kuliner pinggir jalan dan dia sama sekali tidak keberatan bahkan terkesan senang hati menikmatinya.
Akan tetapi, kali ini Mas Julian bersikukuh memanjakanku dengan fasilitas yang terkesan terlalu “wah”. Selain merayakan hari ulang tahunku, dia juga bilang, “Hanya malam ini saja, Nona. Aku mau momen ini berkesan.”
Bukan main gugupnya diriku menghadapi suasana yang berlebihan ini, apalagi mengingat jawaban yang akan kuberikan kepada Mas Julian nanti, tentang permintaannya menjadikanku istri. Setelah menikmati makan malam spesial diiringi alunan live music yang begitu merdu nan syahdu, tuntutan itu pun kembali dilontarkan.
Di balik cahaya remang, mata Mas Julian menatapku lekat dengan penuh keseriusan. Debar di dadaku sulit dikendalikan. Untuk pertama kalinya aku takut mengambil keputusan.
“Aku menunggu jawabanmu, Aruna. Sekarang.” Pria di hadapanku mulai bicara, dan membuat tanganku tiba-tiba mendingin.
Suatu keberuntungan besar mengenal seorang Julian. Pria rupawan dan berhati besar yang mencintaiku tanpa imbalan dan embel-embel status, kasta, maupun kedudukan. Bukankah aku beruntung jika menjadi istrinya? Aku yakin, siapa pun tentu mau berada di posisiku.
Beberapa saat senyap, hingga akhirnya aku merogoh tas dan mengeluarkan kotak cincin pemberiannya waktu itu, lalu menyimpannya di meja—tepat di hadapan Mas Julian.
“Apa kau mau jadi istriku, Aruna?”
Kemudian, dengan mantap aku menjawab, “Aku pernah keliru dengan mencintai orang yang salah. Tapi sekarang aku merasa ... dicintai orang yang tepat.”
***
Dua hari berlalu sejak makan malam spesial dengan Mas Julian. Momen yang sepertinya tidak akan pernah bisa terlupakan bagi kami berdua. Akan tetapi, keadaan tidak berubah hingga detik ini, khususnya bagiku—tetap gamang. Bukankah ada seseorang yang juga menanti keputusan dan jawaban dariku? Tentu, kami harus bertemu.
Malam yang kelam. Petir dan kilat saling bersinggungan, ditambah deras hujan yang semakin menambah suram. Alam seolah bernegosiasi kepada Tuhan, menenggelamkan asaku semakin terperosok dalam bimbang.
Kami kembali berhadapan. Aruna dan Baskara. Waktu benar-benar melambat, menyuguhkan kaleidoskop dalam pandangan mataku tentang perjalanan singkat kami ketika bersama sebagai suami istri, dulu.
Bagaimana dia membuatku berulang kali menangis, bagaimana dia menciptakan rasa kecewa, dan bagaimana setiap permasalahan membuat hubungan kami seperti bola salju. Semakin lama semakin besar, menggelinding lalu ... hancur.
Tiga puluh menit terbuang sia-sia, hanya diisi obrolan singkat, ringan dan tidak penting. Jam dinding menyalak, mengalahkan detak dalam dada yang justru terdengar begitu nyaring tanpa teredam.
“Apa kabar, Aruna?”
“Baik.”
Hanya kecanggungan dan basa-basi saja yang kami pertanyakan, selebihnya hening. Belum ada satu pun di antara kami yang berani bicara perihal maksud pertemuan ini. Padahal, aku ataupun Mas Ibas tentu tahu apa tujuannya diundang kemari.
Mas Ibas kuundang datang ke rumah. Karena hujan begitu lebat, aku mengajaknya ke ruang tengah. Jika dulu—persis di tempat kami duduk sekarang—aku dan Mas Ibas mengucap janji suci pernikahan, maka kini kami berada di tempat yang sama, tetapi tanpa ikatan. Satu perbedaan yang mencolok.
Keheningan mendominasi. Kami hanya menikmati guyuran air hujan yang menjamah atap rumahku, juga suara guntur yang masih belum enggan membisu.
Beberapa kali kuperhatikan Mas Ibas. Terlihat jelas kegamangan yang kurasakan juga terbias di wajahnya. Dia hanya menatap kopi hitam buatanku di meja yang sama sekali belum disentuhnya. Uap panas sudah tak lagi mengepul dari cangkir putih itu. Sedikit janggal. Sejak kapan pria ini menjadi sangat sabar dan tenang? Seingatku, Baskara yang dulu adalah orang yang tidak mengenal kata “nanti” dan terkesan selalu tergesa-gesa. Namun, kini dia berbeda. Setajam itukah perubahan dalam dirinya?
Kuhela napas panjang, memantapkan hati untuk memutuskan hal berat ini.
“Mas, menunggu keputusanku, kan?” Aku mulai bersuara, mengurai senyap di antara kami.
Mas Ibas seketika menoleh, kemudian mengangguk mantap. “Ya, tentu.”
“Berjanjilah satu hal,” pintaku.
“Apa itu, Aruna?”
“Apa pun keputusanku, iya ataupun tidak, kamu harus menerimanya, Mas.”
Ekspresi Mas Ibas tiba-tiba berubah muram. Terlihat dirinya mengangguk lemah setelah menghela napas berat.
Keputusanku sulit, sama seperti hidup yang kulalui selama ini, terutama dua tahun terakhir. Tak langsung menjawab, aku masuk ke kamar dan mengambil sesuatu di lemari. Kemudian, meletakkan benda itu di meja, tepat di hadapan Mas Ibas.
Mas Ibas sedikit terenyak ketika melihat benda itu, simbol dari hubungan sakral kami dulu. Aku pun tersenyum masam, merasakan kegetiran yang amat merasuk kalbu. Jika ini memang jalan-Nya, maka aku berharap semua akan baik-baik saja ke depannya.
“Apa jawabanmu, Aruna? Apa kamu mau kembali padaku atau tidak?”
Desahan pelan lolos dariku ketika bibir ini berucap lirih, “Alangkah lebih baik hal yang tidak menyenangkan dikubur rapat. Hubungan kita dulu sangat buruk, jadi aku harus mengunci masa lalu,” gumamku. “Maaf, Mas, tapi aku harus mengembalikan cincin ini padamu.”
“Jadi ... apa nggak ada kesempatan kedua untukku?” Mas Ibas menatapku lekat tanpa memperlihatkan emosi apa pun. Sulit ditebak apa yang ada di pikirannya.
Sesaat, aku diam saat Mas Ibas menanyakan itu, karena angan berkelebat pada momen terakhirku dengan Mas Julian dua hari lalu.
Kemudian, lamunan mengawang ke momen lain, yakni ketika bicara empat mata dengan Nunik. Bahkan sehari setelahnya pun, aku berbincang serius dengan Mama. Pernyataan dari mereka berdua itu merubah haluan dan mematahkan persepsiku.
Dunia dan seisinya berbisik, melantunkan tawa sumbang yang mencubit nalar. Sepertinya benar, suatu pilihan membutuhkan banyak pertimbangan; hitam putih, baik buruk, kanan kiri, semua beresonansi saling berdampingan. Lucunya, pilihan itu kadang di luar logika.
Senyum simpul adalah apa yang terakhir kalinya bibirku ukir, sebelum tangis pecah, tumpah-ruah di hadapannya, di hadapan pria yang telah memberiku suka duka.
Rasa sakit dan luka kadang menjadi cambuk bagi kita untuk kebal menghadapi hari esok yang lebih menantang.
Duhai, Semesta ... segala suguhan hidup yang kau persembahkan ini memang telah melemahkan seorang Aruna, tetapi tanpa kusadari, ternyata dalam waktu bersamaan memberikan kekuatan lain dari sisi berbeda. Terima kasih, Tuhan.
# End #
Kontak pengarang cerita : WA//089638677987
Jadi cerita wa aruna mencari cinta ending nya gimana?
BalasHapusSudah baca bukan? Simpulkan sendiri dong...
BalasHapus