Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 03 Mei 2020

Aruna Mencari Cinta #2

Cerita bersambung
"Aruna ...."
"Bangun, Sayang ...."
"Aruna ...."
"Kamu kuat, Nak."
Kudengar bisikan Ayah dan Ibu. Samar, tampak wajah mereka. Wajah yang menyiratkan ....
Mereka mengulurkan tangan ke arahku.
Bersusah payah kubuka mata dan mengeluarkan suara.
"Ayah ... Ibu ...."
Namun, yang kudapati hanyalah hampa.

Entah halusinasi atau mimpi belaka, tapi jelas sekali kulihat wajah mereka. Wajah sendu Ibu dan Ayah, juga kalimat yang mereka ucap. Seolah ikut merasakan apa yang kurasa.
Bangkit dari ranjang, kembali kuletakkan foto di nakas, dan setetes air membasahi bingkainya.
Desau angin dari celah jendela yang terbuka kian menggigit kulit, bersamaan dengan bias cahaya jingga yang ikut menerobos.
Rupanya aku tertidur hingga sang fajar hampir tergelincir ke ufuk barat.
Ah, percuma meminta belas kasih dari orang yang sama sekali tak mengacuhkan. Jika bukan diri sendiri, memangnya siapa lagi yang akan memedulikan?
Suami? Tidak. Aku bahkan tak dianggap ada.
Lagi dan lagi. Setiap ucapan yang dilontarkan Mas Ibas ketika adu mulut dengan Papa malam tadi, kembali menyengat nuraniku.
Terjawab sudah, kenapa pria yang menikahiku bersikap dingin, bahkan menyentuh pun tak pernah. Seolah aku hanyalah wabah.
Mas Ibas tak menerimaku. Tak menerima perjodohan kami. Dia terpaksa menuruti perintah Papa, dengan dalih harta warisan.
Jadi, semua ini hanyalah sebuah permainan? Sebuah kepura-puraan belaka?
Aku tersenyum ironi. Semurah itukah harga diriku? Dipertaruhkan orang.
Andai tahu sejak awal, tentu aku tak akan menerima pinangan itu. Meskipun yatim piatu dan bukan orang berada, aku juga berhak menata hidup sebaik-baiknya. Sedangkan sekarang, terlanjur dalam kubangan.
Lantas, kenapa Papa bersikeras menikahkan Mas Ibas denganku? Padahal jelas-jelas putranya menolak hubungan ini.
Apa hanya ingin memenuhi permintaan Ayah sebagai sahabatnya, ataukah ada hal lain? Entah. Aku tak peduli hal itu sekarang. Pikiranku lelah ... amat lelah.
Terlalu naif untuk menyadari semua ini sedari awal. Pria mapan dan bertampang rupawan seperti Mas Ibas, tentu tidak akan serta merta rela menikahi gadis biasa sepertiku, kecuali terpaksa. Bodohnya kau, Aruna!
Sekarang, mulai detik ini, aku harus kuat. Harus. Tidak untuk siapa pun, tapi demi diriku sendiri.
Akan kuikuti permainan ini. Hingga tiba masanya, aku benar-benar tak punya kekuatan lagi ... dan menyerah.
***

Dua jam setelah menelan tablet penurun demam, keadaanku membaik. Masih ingin istirahat berlama-lama, tapi pekerjaan rumah tak bisa diabaikan.
Ada rasa jenuh hinggap. Setiap hari menghabiskan waktu di rumah, seorang diri. Terbayang suasana menyenangkan ketika di tempat tinggalku dulu.
Mengikuti jejak Ayah sebagai seorang guru, adalah profesi yang sedari kecil kuidam-idamkan. Walau baru berstatus guru honorer, tapi interaksi dengan para murid adalah hiburan tersendiri. Sayang, setelah menikah terpaksa harus kutinggalkan pekerjaan itu.
Kini, hanya rumah mewah serta benda-benda mati di dalamnya, yang menemani keseharianku. Tak ada yang bisa kuajak berceloteh ria. Aku, hanya seekor burung dalam sangkar emas.
Ketika sedang menggantung kemeja-kemeja Mas Ibas di lemari, terdengar suara mobil masuk halaman.
Ya ampun! Aku belum sempat masak, tapi Mas Ibas sudah pulang.
Tak pernah sekali pun absen menyiapkan makan malam. Walau semua jerih payahku selalu berakhir di tong sampah.
"Sudah makan malam di luar." Itulah alasan yang selalu dilontarkan Mas Ibas setiap harinya.
Aku menyambut Mas Ibas tanpa banyak kata. Begitu pun dengannya yang hanya melirik sekilas. Dia memakai baju berbeda dengan yang dikenakan tadi siang ketika keluar rumah. Kemeja dan celana hitam, membuatnya tampak semakin maskulin.
"Mas ...." Aku berada di kamar, lima langkah di belakang Mas Ibas. Dia sedang membuka kancing bajunya.
"Hm?"
"Ng ...."
"Ada apa?" Dia menoleh.
"Maaf, aku belum sempat masak."
"Masak untuk siapa, hm? Untukku?" Dia menyeringai. "Tempo hari 'kan aku selalu bilang, kamu nggak usah repot-repot menyiapkan makan malam untukku. Tau sendiri 'kan aku selalu pulang larut? Kamu cuma buang-buang waktu dan tenaga!"
Aku tercenung. Tak habis pikir oleh ucapannya.
"Bukan masalah repot atau nggak, Mas. Tapi itu salah satu bentuk ...," ujarku sambil menghela napas panjang, "baktiku sebagai seorang istri." Kali ini penuh penekanan.
Sesaat, Mas Ibas bungkam. Bibirnya menipis.
"Oke. Terserah kamu ajalah." Dia mengambil handuk kering dari lemari.
Aku meraih kemeja yang baru saja ditanggalkannya.
"Tunggu, Aruna!" cegah Mas Ibas, menghentikan langkahku yang sudah di ambang pintu.
Dia menatapku.
"Kamu udah makan?" tanyanya kemudian.
"Belum. Nanti aja,"
Aku terus diperhatikan. Ditatap, dengan tatapan yang ... entah, tapi baru kali ini dia melihatku begitu intens.
"Kamu beneran sakit?" Dia menyipit.
"Sudah baikan," gumamku.
"Sudah ke dokter?"
Aku menggeleng.
"Mau kupanggil dokter ke rumah?" tawarnya.
"Nggak usah, Mas."
"Tapi bukannya kamu sa--"
"Aku nggak butuh dokter, Mas," sanggahku. "Dan aku ... nggak butuh siapa pun." Mantap kuucap kalimat itu.
Mas Ibas tercengang. Memang, ini pertama kalinya aku memotong pembicaraannya.
Lancang? Tidak. Aku tak bermaksud seperti itu. Hanya saja, sedang amat lelah menghadapinya.
Benar. Aku tak butuh siapa pun, dan harus membiasakan diri seperti ini. Sendiri. Karena pada akhirnya, cepat atau lambat, aku tetap sebarang kara bukan?
***

Tengah malam. Sebelum kembali tertidur, terdengar pintu kamar ini dibuka. Aku tetap memejamkan mata, pura-pura terlelap.
Mas Ibas bergumam, mungkin sedang menelepon seseorang. Tak bisa kudengar jelas apa yang dia bicarakan.
Langkahnya seperti mendekat ke arahku. Oh, mungkin dia hendak mengambil sesuatu di nakas.
Namun, tepat saat itu, kurasakan sentuhan di dahi.
Napas tercekat. Kuremas sprei yang tertutup selimut. Menahan detak dada yang terasa tak nyaman.
Detik kemudian, dia meninggalkanku di kamar. Sendirian. Dengan perasaan berkecamuk.
***

Bangun dengan kondisi badan yang hampir bugar. Baru saja kuhabiskan sarapan segelas susu hangat dan roti isi. Sedangkan Mas Ibas, setengah jam lalu sudah berangkat ke kantor dengan tergesa-gesa. Ada sesuatu yang mendesak, katanya.
Aku bersiap keluar untuk membeli beberapa kebutuhan rumah. Saat itulah, kulihat sebuah map tergeletak di meja.
***

Mendongak, menatap gedung puluhan lantai di hadapanku.
Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kantor Mas Ibas. Dia belum pernah memberi tahu tempatnya bekerja. Beruntung, setelah kusebut nama perusahaan, sopir taksi langsung tahu tempat ini.
"Selamat pagi, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" Seorang resepsionis menyapaku dengan ramah.
"Saya mau bertemu Mas Ibas. Eh. Ng ... maaf, maksud saya Pak Baskara."
Resepsionis yang di dadanya menempel name tag 'Alisa' itu menautkan alis. Tampak seperti keheranan. Mungkin, dia heran mendengarku menyebut nama bosnya dengan panggilan kecil, atau heran karena melihat penampilanku.
Memang, aku hanya memakai dres sederhana yang dilapisi sweater. Dilengkapi flat shoes dan tas selempang kecil. Sadar, tampilanku tidak selayaknya seseorang yang punya kepentingan dengan CEO perusahaan.
Namun, karyawan Mas Ibas juga pasti tidak tahu bahwa aku adalah istri atasannya.
"Maaf. Apa Mbak sudah ada janji sebelumnya dengan Pak Baskara?"
"Belum." Aku menggeleng.
Ingin bertemu dengan Mas Ibas di kantornya ternyata sepelik ini.
"Mohon maaf, Mbak. Pak Baskara sedang sangat sibuk saat ini. Sama sekali tidak bisa diganggu. Jadi, tolong buat janji terlebih dahulu."
"Tapi ... saya ...."
Kalimatku menggantung. Kulihat seseorang baru saja keluar dari lift.
"Mas ...! Mas Ibas ...!"
Aku berseru dengan sedikit nyaring. Niat hati agar yang kupanggil sadar akan keberadaanku. Sayang, bukan hanya Mas Ibas, tapi semua mata yang ada di sini tertuju padaku.
"Kamu ... mau apa ke sini?" Mata Mas Ibas melebar saat aku menghampirinya.
"Aku mau--"
"Jangan datang kemari kalau nggak ada urusan penting. Aku sibuk! Kalau kamu butuh uang, tinggal bilang! Nanti akan kutransfer. Kalau ada apa-apa 'kan bisa nelepon atau ngirim pesan di Whatsapp!"
Mas Ibas menghardikku dengan sangat ketus. Beberapa orang berbisik-bisik.
Sementara aku? Aku sedikit menunduk, menahan air yang mulai menggenang di kelopak.
Dengan suara bergetar, aku berkata, "Maaf, Mas, kalau aku mengganggu waktumu."
Kuserahkan map berlogo perusahaan yang sedari tadi kupegang. Kemudian berlalu dari tempat itu, sembari mengusap air di sudut mata.
***

Beberapa hari setelah kejadian di kantor waktu itu, Mas Ibas bersikap seperti biasa. Tak ada kata maaf terucap. Mungkin sedikit pun dia tidak merasa bersalah, karena memperlakukanku dengan ketus di depan karyawan-karyawannya.
Ah, apalah aku yang hanya wanita biasa ini. Mungkin, dia amat malu memperlihatkan dan mengakui pada dunia, bahwa istrinya hanya seorang wanita sederhana sepertiku. Tak pantas bersanding dengannya yang dihormati orang banyak.
Hari masih siang, tapi aku melihat mobil Mas Ibas baru saja terparkir di halaman rumah.
"Tumben jam segini udah pulang, Mas." Aku melihat raut Mas Ibas sangat keras. Tak bersahabat.
Dia melangkah cepat ke dalam dan berseru, "Aku mau bicara, Aruna!"
Kenapa dia? Apa ada masalah?
Mas Ibas tampak gelisah. Dia menghempaskan jasnya dengan kasar dan melonggarkan dasi dengan paksa.
"Ada apa, Mas?" Aku mengikutinya ke dalam.
Dia menoleh ke arahku. Menatap tajam. "Apa yang kamu bicarakan sama Papa, hm?!"
"A-apa maksudmu, Mas?" Aku benar-benar tak mengerti ucapannya.
"Jangan pura-pura!"
"Tapi aku benar-benar--"
"Jangan bohong!"
"Demi Tuhan! Aku nggak ngerti apa yang Mas maksudkan."
"Jawab dengan jujur, Aruna! Apa yang kamu bicarakan pada Papa sebenarnya?! Katakan! Papa tiba-tiba mengganti posisiku di kantor oleh orang lain! Apa kamu menghasut Papa, untuk balas dendam dan membuatku dipermalukan orang-orang kantor, hah?!"
Aku tersentak. Terkejut sekaligus menahan nyeri di dada mendengar ucapannya. "A-aku nggak t-tau ...."
"Jangan gunakan air matamu sebagai tameng! Aku nggak suka!"
Perih. Perih sekali menerima perlakuan Mas Ibas kali ini.
"Kenapa kamu sangat kasar padaku, Mas?" Aku melirih. "Kamu menuduhku dengan hal yang bahkan sama sekali nggak aku tahu."
Dia mendengkus kasar.
"Apa salahku, Mas?! Apa?! Katakan semuanya ...," sambungku.
"Aaargh!" Mas Ibas mengacak rambutnya frustasi. "Semuanya memang salahmu, Aruna! Salahmu karena bersedia kunikahi! Salahmu karena kau mau menerima perjodohan kita! Salahmu karena kau naif! Bodoh!"
Tak kusangka, kalimat itu diucapkannya tanpa beban. Tidak tahukah kau, Mas? Aku sangat terluka. Sangat ....
"Aku tahu semuanya, Mas. Aku tahu kamu nggak menginginkanku. Aku tahu kamu terpaksa menikahiku karena Papa mengancam mencoretmu dari hak waris. Aku tahu ... kamu membenciku." Aku terisak, sementara Mas Ibas tidak melunakkan sedikit pun ekspresinya. "Tapi perlu kamu tahu, bukan cuma kamu yang dirugikan. Aku yang paling merasa dipermainkan."
Mas Ibas tertawa sarkas. "Dipermainkan katamu, hah?! Kalau begitu, salahkan ayahmu dan papaku, yang punya ide konyol menjodohkan kita! Atau mungkin ...." Dia menyeringai. "Ayahmu sengaja berniat licik, ingin putrinya hidup mewah dengan cara menikahkanmu denganku, hm?!"
"Mas! Tolong jaga ucapanmu! Jangan berkata seperti itu tentang ayahku!" Aku marah. Benar-benar marah. Mas Ibas keterlaluan.
"Tapi aku benar 'kan? Orang-orang seperti ayahmu selalu memanfaatkan putrinya untuk menguras harta pria kaya seperti--"
Plak!!!
Tak mampu lagi menahan emosi. Kulayangkan tamparan keras di wajahnya. Di wajah pria yang detik ini sangat kubenci.
"Kurang ajar," geramnya, mengepalkan tangan.
Mas Ibas mengusap pipinya yang memerah. Menghunuskan tatapannya yang setajam belati ke arahku.
Tak gentar. Untuk pertama kalinya, aku balas menantang tatapan pria ini.
"Aku nggak peduli seberapa banyak cacian dan makian untukku. Tapi aku nggak rela, kalau siapa pun menghina ayahku, Mas." Aku mendesis dengan suara parau.
"Aku bertahan bukan karena takut tanpamu. Tapi semua demi orang tuamu. Demi membalas semua kebaikan mereka. Sekarang semuanya sudah jelas, dan aku nggak mau lagi bertahan. Sudah cukup, Mas ... cukup!"
Aku berlari ke kamar. Mengeluarkan segala sesak. Menangis sejadi-jadinya.
Tuhan ... apakah Engkau keliru mengabulkan permintaan Ayah dan Ibu? Bukankah mereka selalu tulus mendoakanku mendapat pasangan hidup yang terbaik?
Nyatanya, yang menjadi suamiku hanyalah pria egois dan temperamen, yang hanya bisa merendahkan, tanpa sedikit pun menghargaiku sebagai seorang wanita.
Ayah, Ibu ... Arunamu hancur ....

==========

Setiap hal punya batasan. Seperti juga aku.
Jika banyak wanita di luar sana mendapat kekerasan fisik dalam rumah tangga, maka tak ubahnya denganku. Bahkan, jauh lebih memilukan.
Kekerasan psikis.
Bagaimana mungkin, seorang wanita bisa nyaman diperlakukan dingin dan tidak semestinya oleh suaminya sendiri?
Bahkan tadi siang, perkataan Mas Ibas, yang mungkin puncak dari segala penolakannya selama ini, benar-benar membuat sakit hatiku membuncah.
Padahal, aku adalah istrinya. Wanita yang sah dinikahinya di mata hukum dan agama.
Serendah itukah aku dalam pandangan Mas Ibas?
Dia menganggapku hanya ingin menikmati kekayaannya. Dia menyebutku pion seorang ayah untuk meraup harta. Setega itu dia padaku, hanya karena kasta kami berbeda.
Tidak! Aku tidak terima dengan tudingan buruknya itu. Sama sekali tidak!
Sayatan demi sayatan yang ditoreh, memberiku luka yang amat dalam. Sebelum semakin bernanah dan sulit disembuhkan, aku harus berpaling. Mungkin ini masanya.
Aku menyerah.
***

Awan kelabu menggelayut. Mengiringi perjalananku dalam sebuah bus.
Entah di mana Mas Ibas, aku tak melihatnya di rumah sejak pertengkaran hebat itu.
Ah, ada atau tidak adanya dia, akan tetap sama, bukan? Mas Ibas tetap tidak akan memedulikan kepergianku. Bahkan, bebannya akan lenyap jika aku tak ada.
"Kamu ini, Aruna ... dikit-dikit merengek, dikit-dikit merajuk. Hmm ... awas lho, nanti kalau udah punya suami, nggak boleh begini. Apalagi kalau lagi marah, kamu nggak boleh ninggalin rumah. Ingat, ya."
"Nggak boleh ninggalin rumah? Kenapa, Yah? Trus, gimana kalau Aruna dapat suami galak yang suka marah-marah? Masa, Aruna harus diam aja?"
"Lho, lho. Lupa, ya? Ayah dan almarhumah ibumu 'kan selalu doain kamu, biar dapat jodoh yang terbaik. Yakinlah, Nak, berbaik sangka pada Tuhan, Dia akan mengabulkan doa hamba-Nya yang berserah diri. Nanti, kalau ada masalah dalam rumah tangga, selesaikan dengan baik-baik. Karena jika sudah menikah, fase hidupmu akan berbeda. Posisimu bukan lagi anak Ayah. Melainkan hak suamimu sepenuhnya. Mengerti?"
"Baik, Ayah ...." Aku mendesah pelan. "Aruna ngerti dan bakal ingat terus nasihat Ayah. Aruna sayaaang banget sama Ayah."
Kuusap sudut mata yang berair. Di sini, di balik jendela bus yang dibasahi tetes-tetes hujan, terbayang wajah bijak Ayah.
Maaf, Ayah ....
Kali ini, Aruna harus mengesampingkan nasihatmu. Bukan tak menghormati. Namun, Aruna tak bisa memaafkan jika semua hinaan tertuju padamu.
Aku harus pergi. Pergi meninggalkan sangkar emas yang selama ini menyiksa batin. Tujuanku tinggal satu. Desa tempatku lahir dan dibesarkan.
***

Setelah bus berhenti di terminal, taksi membawaku melanjutkan perjalanan.
Hawa dingin yang menggelitik, juga perkebunan teh yang tampak sepanjang indera penglihatan, menandakan aku hampir tiba di tujuan.
Taksi berhenti di depan sebuah rumah sederhana.
Aruna pulang, Ayah ....
Hampir tengah malam. Suasana desaku sepi. Sepertinya, tak ada seorang pun yang menyaksikan kedatanganku. Pintu-pintu rumah tertutup rapat dengan teras diterangi lampu temaram. Mungkin mereka sudah lelap, dalam mimpi indah yang sederhana.
Kujinjing tas ukuran besar memasuki halaman rumah, setelah menyerahkan tiga lembar uang untuk membayar argo taksi.
Pintu terbuka. Detik itu pula, ingatan-ingatan tentang rumah ini berkelebat di depan mata.
Tentang masa kecilku, tentang hangatnya pelukan Ibu, tentang candaan dan kharisma Ayah saat kuberanjak dewasa.
Dan berakhir, ketika kuucap janji suci pernikahan.
Pernikahan, yang hanya dipenuhi kesakitan.
Tak ada yang berubah, sejak saat kutinggalkan rumah ini sebulan lalu. Termasuk perasaan saat kupijakkan kaki di setiap sudut ruangan ini. Perasaan tenang dan haru.
Kusimpan tas dan merebahkan diri di ranjang. Di sini, di kamar ini, kulepaskan semua beban hati.
Sebentar. Sebentar saja, duhai Tuhan ... ingin kuenyahkan gundah gulana ini.
***

Cicit burung, kokok ayam, dan suara-suara riang anak kecil. Itulah yang pertama kali kudengar, ketika membuka mata di pagi hari.
Kubuka pintu, setelah membersihkan diri di kamar mandi. Yakin betul, akan banyak yang bertanya tentang kedatanganku. Apalagi aku hanya seorang diri.
Benar saja. Beberapa tetangga yang melewati rumahku menyapa dengan ramah dan hangat. Namun, akhirnya mereka bertanya, "Suamimu mana, Aruna? Kenapa nggak ikut?"
Aku pun terpaksa berdusta, "Suamiku sibuk, lagi banyak kerjaan yang harus diurus."
Entah percaya atau tidak, tapi mereka tak bertanya lagi tentang alasanku.
Ah, kenapa aku harus risau? Toh, cepat atau lambat, semua orang akan tahu keadaanku.
Aku memetik sekuntum mawar merah yang mekar di halaman. Lalu menghirup kelopaknya.
Teringat Ayah yang sangat menyukai aroma mawar. Katanya, aroma ini membawanya ketenangan. Sama seperti saat ia melihat senyuman di wajah cantik Ibu.
Ah, betapa rindunya Aruna pada kalian, Ayah ... Ibu ....
"Aruna?!" Seseorang berseru.
Aku mendongak ketika sedang memetik bunga yang lain.
Di depan pintu pagar rendah rumahku, seseorang menatapku dengan mata membeliak. Dia duduk di atas motornya.
"Mas?" Aku pun terkejut, sama sepertinya.
Dia turun. Kami bersalaman.
Aku mengajak pria ini berbincang di teras. Kami duduk berdampingan, dengan meja rotan bundar sebagai jaraknya.
Fahmi. Pria dengan penampilan yang selalu bersahaja ini adalah teman masa kecilku.
Kami besar bersama di desa ini. Bersekolah di tempat yang sama, sebagai kakak dan adik kelas. Lalu berpisah karena menempuh perguruan tinggi yang berbeda.
Kami kembali bertemu di sini, setelah menyandang masing-masing gelar sarjana. Aku menggapai cita-citaku sebagai guru, dan dia menggeluti bisnis turun-temurun keluarganya sebagai pengusaha mebel.
Setelah tumbuh dewasa, kami semakin akrab. Walau ada rasa segan, karena dekat dengan seorang putra sulung dari sebuah keluarga terpandang.
Ada selentingan kabar angin--entah benar atau tidak--yang menyebutkan kedekatanku dengan Mas Fahmi tak disenangi orang tuanya. Karena itulah, aku mulai menjaga jarak. Hingga akhirnya benar-benar pergi, setelah resmi menjadi istri Mas Ibas.
"Apa kabarmu, Na?" tanyanya, ketika baru saja mendudukkan diri di kursi. Tersenyum semringah, seperti setiap kali kami bertemu.
"Aku baik," jawabku. "Mas Fahmi apa kabar?"
Kulihat binar di matanya. Binar yang selalu menghangatkan.
"Kabarku? Yaaa, harusnya kamu tau, Aruna." Dia mengangkat sebelah alis. Melirikku. "Aku nggak baik-baik aja setelah ditinggal pergi seorang kembang desa. Nggak ada lagi yang bisa kuajak bercanda atau kujahili. Hehe."
"Mungkin ... dia lupa sama desa tercinta dan teman kecilnya ini," sambungnya.
Aku tersenyum, menggeleng-gelengkan kepala. Tahu benar, siapa yang dia sebut 'kembang desa' itu. Candaannya kadang terlampau menggelitik.
"Si kembang desa rindu kampung halamannya, Mas. Entah, kampung ini merindukannya atau nggak, ya?" Aku balik mencandainya.
"Sangat, Aruna. Desa ini sangat merindukanmu ...." Mas Fahmi menghela napas. "Apalagi aku."
Sejenak diam. Mas Fahmi menatapku lekat. Perasaan asing yang dulu pernah singgah, tiba-tiba kembali mencubit.
Aku memalingkan wajah.
"Ah ... maaf, aku cuma bercanda, Na. Bisa dihajar, kalau aku berani godain istri orang," ungkapnya sambil terkikik.
Aku terkekeh, tapi yakin bahwa Mas Fahmi tidak bercanda.
Kami melanjutkan obrolan dengan banyak hal. Tanpa sedikit pun menyelipkan tentang masalah pribadi. Tahu diri, meski Mas Fahmi masih lajang, tapi aku berstatus istri orang.
Meskipun istri yang tak diharapkan.
***

Rasa nyaman kadang membuat waktu terasa cepat berlalu. Dua atau mungkin tiga jam, aku dan Mas Fahmi berbincang dengan segala riang canda. Seolah beban yang ada dalam hati tiba-tiba menguap.
"Aku pergi dulu, ya, Na," pamitnya. "Mudah-mudahan kita bisa ketemu lagi."
Kami kembali bersalaman, tanda perpisahan.
"Iya. Salam buat keluarga Mas, ya," ucapku.
Tepat saat motor Mas Fahmi melaju, sebuah sedan hitam berhenti di hadapanku.
***

"Kenapa sejak malam HP-mu nggak aktif, hm?! Sengaja?!"
Mas Ibas masuk ke rumah bersamaku. Langsung melontarkan pertanyaan sarkas.
"Memangnya kenapa kalau HP-ku nggak aktif, Mas?" Aku balik bertanya.
Raut Mas Ibas tampak tak suka.
"Aku meneleponmu berkali-kali, Aruna!" ketusnya.
"Buat apa Mas meneleponku?" Aku mengangkat kedua alis. Menantang sorot tak bersahabatnya. "Kalau Mas takut aku mengambil sesuatu dari rumahmu, jangan khawatir, Mas. Aku nggak mengambil apa pun. Dan aku nggak tertarik dengan hartamu."
Mas Ibas menggertakan gigi. Mungkin tersinggung dengan sindiranku.
"Aku lagi nggak mau bertengkar, Aruna!" geramnya.
"Siapa yang ngajak bertengkar, Mas? Aku nggak pernah." Kali ini aku tersenyum miring. Mas Ibas sesaat diam dengan mata melotot.
Namun, ekspresi Mas Ibas melunak. Kata-kata yang dia ucap selanjutnya, bahkan membuatku tercengang.
"Ayo pulang ...."
Aku diam. Setengah tak percaya akan yang kudengar.
Pulang? Dia mau aku pulang? Pulang ke rumahnya lalu memperlakukanku lagi dengan sesuka hati?
"Nggak, Mas! Aku mau di sini," tegasku. "Setelah semua ini ... aku rasa lebih baik kita cerai dan--"
"Papa sakit."
Aku terhenyak. Apa katanya?
"P-papa ... sakit?" Kuulang kata-kata Mas Ibas.
Dia mengangguk lemah. Untuk pertama kali, kudapati sorot sendu dari di balik mata kelamnya.
"Papa di rumah sakit, dan keadaannya nggak baik. Papa menanyakanmu terus, Aruna." Dia menghela napas panjang. "Pulanglah ... ikut denganku."
Pria, yang selama ini keras kepala dan penuh ego, memohon padaku.
Aku terenyuh.
Setelah saling tatap beberapa saat, dan meyakinkan diri, aku pun menyetujui ajakannya. Mengesampingkan segala hal yang pernah dia perbuat padaku.
Sekali lagi, aku datang bukan demi dia. Bukan.
***

Hening. Tak ada satu pun yang mengeluarkan kata-kata.
Mas Ibas konsentrasi mengendara. Entah apa yang dia pikirkan, tapi berkali-kali kudengar dia menghela napas berat. Seperti mencoba mengusir beban yang dia pikul.
Sementara aku, sepanjang perjalanan terus menatap keluar, dengan pikiran yang menerawang jauh.
Serangan jantung. Mas Ibas bilang, Papa mengalami serangan jantung.
Luka lama kembali terbuka. Persis setengah tahun lalu, Ayah juga mengalami hal serupa. Hingga akhirnya tak mampu bertahan, dan pergi meninggalkanku.
Jangan, Tuhan ... kumohon jangan. Engkau sudah cukup mengujiku dengan rasa sakit atas kematian Ibu dan Ayah yang mendadak. Aku tak mau lagi ditinggalkan.
Tetes demi tetes mulai membasahi pipi, menyelimuti rasa takutku saat ini. Takut akan kehilangan.
Samar, kudengar pria di sampingku berkata lemah, "Jangan menangis, Aruna ...."
***

Papa mempunyai riwayat hipertensi. Itulah, salah satu penyebabnya rentan terkena serangan jantung. Beban pikiran juga menjadi pemicu. Begitu penjelasan dokter.
Mata Mama sembab. Sejak aku datang, dia tak hentinya menangis. Namun, ada rasa lega terpancar di wajahnya, saat melihatku.
"Syukurlah kamu datang, Aruna ...," ucap Mama dengan isakan pilu sambil memelukku erat. "Papa menanyakanmu terus, Sayang."
"Maafin Aruna, Ma ...."
Tak kujawab gamblang perihal keberangkatanku ke kampung. Hanya rindu suasana di sana. Itu saja yang kuungkapkan pada Mama.
Aku menahan tangis. Menyembunyikan segala kekhawatiran yang menyengat. Tak ingin menambah duka lara Mama.
Keadaan Papa kritis. Dia ditangani secara intensif oleh dokter. Namun, yang bisa menyelamatkannya hanya satu. Keajaiban Yang Maha Kuasa.
Tangis tak lagi terbendung, ketika mengingat saat-saat terakhir Ayah. Melangitkan doa kepada-Nya sekuat hati. Berharap Dia mengabulkan harapanku untuk tak memisahkan kami. Namun nyatanya, Ayah tetap pergi.
Memang, ada kalanya Tuhan tak mengabulkan permohonan yang Dia dengar. Bukan tak mampu, melainkan sebagai bentuk ujian hidup.
Aku duduk di ruang tunggu ICU bersama Mama. Menularkan kekuatan padanya, meskipun aku sama-sama merasa terpukul dan takut akan kemungkinan terburuk.
Sedangkan Mas Ibas memunggungi kami. Dia berdiri di depan pintu ICU. Mematung. Terus menatap ke arah tempat Papa berbaring.
Saat Mas Ibas berbalik dan hendak keluar dari ruangan ini, saat itulah, kusaksikan setetes air meluncur dari sudut matanya.
Nyatanya, sekeras apa pun pria ini, dia tetap mempunyai titik lemah.
Tuhan selalu tahu yang terbaik bagi hamba-Nya. Pasrah. Itu jalan satu-satunya.
Akankah Papa bertahan? Ataukah kejadian dulu kembali terulang?

Bersambung #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER