Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 02 Mei 2020

Aruna Mencari Cinta #1


Cerita bersambung
By : Metta Ressya Arianthi

 Arjuna Mencari Cinta"Minumnya, Mas."
Aku meletakkan secangkir kopi hitam di meja makan. Lalu duduk, tepat di samping Mas Ibas.
Pria yang sudah rapi dengan setelan kemeja ini tak menjawab maupun menoleh. Mungkin terlalu fokus pada koran yang sedang dibaca, jadi ia tak menyadari kehadiranku.
Mungkin juga ... tak menghiraukan.
"Mas ...." Kedua kali aku memanggil, dia pun menoleh.
"Aku lagi nggak mau minum kopi," tolaknya dengan nada dingin.

"Mas mau sarapan apa? Biar aku buatkan."
"Nggak usah." Lagi-lagi dia menolak. Lalu meletakkan koran dan melirik arloji. "Aku berangkat sekarang," ucapnya lagi.
Dia berdiri, memakai jas yang menggantung di kursi, mengambil tas kerjanya dan berjalan menuju mobil di halaman depan. Aku mengekorinya.
"Nanti pulang jam berapa, Mas?"
Berhenti sejenak di kursi kemudi sedan hitamnya, Mas Ibas menatapku dengan raut datar.
"Nggak usah nunggu aku pulang. Aku banyak urusan. Mungkin pulang telat." Dia pun menutup pintu mobil, melaju meninggalkanku.
Sekali lagi, aku dibuat bingung dengan sikapnya. Hanya bisa menghela napas, berharap waktu cepat berpihak.
Baskara. Pria yang kini tinggal satu atap bersamaku. Pria, yang tiga minggu lalu mengucap janji suci pernikahan denganku.
Kami tidak selayaknya pengantin baru. Jangankan romantisme, untuk saling mengenal saja membutuhkan proses panjang. Kami hanyalah dua insan yang terpaksa menjalani hidup bersama.
Perjodohan. Itulah jalan kami memulai hubungan ini.
Hari pertamaku menginjakkan kaki di rumah ini, Papa dan Mama mertua berpesan; aku harus sabar dengan sikap putra semata wayang mereka yang introvert. Dan aku rasa itu benar.
Sedangkan mertuaku justru sudah kukenal jauh-jauh hari. Mereka adalah sahabat almarhum Ayah.
Setengah tahun lalu, Ayah wafat karena serangan jantung. Aku pun sebatang kara, karena sejak Sekolah Menengah Pertama, Ibu sudah tiada.
Lalu kini, aku harus menjalani kehidupan baru. Kehidupan asing bersama seseorang yang kusebut ... suami.
***

Bangunan berlantai dua dengan desain minimalis yang didominasi warna abu-abu ini tampak telah rapi. Aku membereskannya seorang diri. Padahal, rumah ini tiga kali lipat lebih besar dari tempat tinggalku di desa.
Letih? Tentu, tapi aku berusaha menikmatinya, demi sekadar membunuh waktu.
Sebenarnya Mas Ibas sedang mencari asisten rumah tangga baru, karena yang sebelumnya pulang kampung. Namun, dia bilang, agak sulit mendapat pekerja yang cocok.
Bagiku, ada atau tidaknya orang yang membantu pekerjaan rumah, tidak masalah. Bukankah itu kewajiban seorang istri?
Lagi pula, aku bukan anak orang kaya seperti Mas Ibas yang terbiasa dilayani. Memasak, membersihkan rumah, mempercantik taman, adalah sejumlah pekerjaan yang sudah biasa kulakukan sejak kecil.
Saat aku sedang berkutat di dapur pada sore hari, terdengar klakson mobil. Itu pasti bukan Mas Ibas, karena dia tak pernah menandakan kedatangannya tiap kali sampai di rumah.
Siapa, ya?
Aku membuka pintu depan. Tanpa diduga, telah berdiri dua sosok yang menyapaku ramah, "Apa kabar, Sayang?"
***

Satu berkah besar mendapat mertua yang luar biasa baik. Mama dan Papa memperlakukanku layaknya anak kandung.
"Panggil kami Papa-Mama. Sebutan Om-Tante sudah nggak berlaku lagi, Aruna. Mulai sekarang, kamu menantu kami. Satu-satunya anak perempuan kami."
Sesaat setelah janji pernikahan, Papa menegaskan satu hal disertai kasih sayang yang terpancar di raut wajahnya. Begitu pun Mama, yang terus memelukku erat. Detik itu, aku menangis. Menangis haru. Baru saja menyadari, bahwa aku tidaklah seorang diri.
Setelahnya, kami belum bertatap muka lagi. Hanya berkirim kabar melalui ponsel. Karena mertuaku tinggal di luar kota.
Sekarang, mereka datang tanpa memberitahu terlebih dulu. Katanya, ini kejutan. Wajar saja sebetulnya. Namun, ada hal yang kukhawatirkan.
Kuhubungi Mas Ibas saat itu juga. Memberitahukan kedatangan orang tuanya.
***

Jam menunjuk pukul 10 malam, Mas Ibas belum ada di rumah. Aku mulai gelisah. Sejam lalu, ponselnya tak bisa dihubungi.
Mondar-mandir di ruang tamu selama dua jam, aku berkali-kali mengintip gorden. Menanti sedan hitam muncul di halaman.
Ke mana Mas Ibas? Apa dia baik-baik saja?
Tiba-tiba, kurasakan belaian di kepala.
Aku menoleh.
"Tidurlah, Aruna. Biar papa yang menunggu suamimu pulang." Papa tersenyum menenangkan.
"Ng ... nggak, Pa. Lebih baik Papa yang istirahat. Papa dan Mama, kan, habis menempuh perjalanan jauh tadi siang," sanggahku.
"Papa nggak bisa tidur, Na. Justru kamu yang kelihatan lelah."
"Aruna tidur nanti aja, Pa, kalau Mas Ibas udah datang." Aku bersikukuh.
Papa tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Ah, dasar gadis keras kepala. Kamu sama seperti ayahmu, Aruna."
Aku tekekeh. Lalu duduk di sofa bersama Papa. Sedangkan Mama sudah terlelap, setelah menikmati makan malam bersama.
Sosok almarhum Ayah seolah ada pada diri Papa. Nasihat-nasihat bijak serta sikapnya yang begitu penyayang, membuatku merasa mereka adalah orang yang sama dalam dua raga yang berbeda.
Semurah hati itulah Tuhan padaku.
"Aruna, apa Ibas sering pulang selarut ini?" tanya Papa kemudian. Rautnya penuh selidik.
Jeda sejenak. Merasa gugup dengan pertanyaan itu.
Benar. Hampir setiap hari Mas Ibas pulang larut malam. Kalau pun petang sudah di rumah, ia menghabiskan waktu di depan laptop di ruang kerjanya. Bahkan sering tertidur di sana.
Apa pekerjaan Mas Ibas sebegitu menyita waktu? Entah. Namun, kami memang jarang berinteraksi karena kesibukannya. Sarapan dalam keheningan, adalah satu-satunya momen kebersamaan kami.
Jadi, wajar bukan, kalau sampai detik ini kami belum bisa saling mengenal dekat? Tak ada istilah quality time sama sekali.
Aku menghela napas, tersenyum simpul. "Nggak setiap hari, sih, Pa. Mungkin Mas Ibas emang lagi sibuk sama kerjaan. Makanya dia pulang telat."
Berikutnya, kami mengobrol banyak hal. Setelah terlihat menguap berkali-kali, akhirnya Papa beranjak ke kamarnya.
Sementara aku, masih setia menunggu suamiku pulang. Sambil melawan kantuk yang mulai hinggap.
***

Deru halus mobil menyadarkanku yang hampir terbawa ke alam mimpi. Kembali kusibak gorden. Sosok tinggi tegap menaiki anak tangga menuju teras.
"Belum tidur?" Mas Ibas mengernyit saat aku membukakan pintu.
Aku menjawab dengan anggukan.
"Sudah kubilang, kan, tadi pagi. Aku bakal pulang telat."
"Ponsel Mas nggak bisa dihubungi. Aku khawatir."
Mas Ibas melirikku sekilas, lalu masuk ke kamar. Entah karena amat lelah, atau karena ada Mama-Papa, dia segera berbaring di ranjang, setelah memakai baju ganti yang kusiapkan. Ragu, aku pun mengikutinya naik ke ranjang. Merebahkan tubuh di sebelahnya.
"Aruna ...."
Aku menoleh. Mata Mas Ibas terpejam, tapi rupanya dia belum tidur.
"Ya?"
"Kita butuh waktu untuk saling mengenal satu sama lain," gumamnya dengan suara parau. "Jadi tolong, jangan bicarakan tentang keseharian kita selama ini pada Papa dan Mama."
Sejenak aku diam. Meresapi apa yang dia katakan. Belum sempat menjawab, kulihat napasnya mulai teratur. Mas Ibas tertidur.
"Baik, Mas."
Aku berbalik memunggunginya. Memunggungi lelaki yang kusebut suami.
Suami yang belum pernah menyentuhku seujung kuku pun.
***

Aku terbangun karena tenggorokan terasa kering. Jam dinding baru menunjuk pukul 3 dini hari.
Samar, terdengar suara gaduh. Entah dari mana asalnya. Mas Ibas juga tak ada di ranjang.
Keluar kamar, aku mengendap-ngendap mencari asal suara. Semakin dekat ke kamar tempat Mama dan Papa tidur, suara kegaduhan itu semakin jelas. Dengan sangat terpaksa, aku mencuri dengar dari balik pintu.
"Kamu bukan anak kecil lagi, Ibas! Dia tanggung jawabmu sepenuhnya. Apa pantas, kamu keluyuran sampai tengah malam sementara dia ditinggalkan sendirian di rumah, hah?! Papa sudah menduga, kamu berlaku tidak baik pada istrimu!"
Aku terkejut. Papa marah karena Mas Ibas pulang malam?
Kembali kutajamkan pendengaran.
"Justru karena aku bukan anak kecil, jadi jangan menuntutku terus, Pa! Aku sudah memenuhi keinginan Papa untuk menikahinya! Cukup sampai sini Papa dan Mama mengatur hidupku. Dan kenapa kalian lebih mementingkan kebahagian Aruna, padahal anak kandung kalian adalah aku?!"
Ya Tuhan. Jadi ... itulah alasan Mas Ibas selalu bersikap dingin padaku?
"Jaga bicaramu, Nak!" Mama terdengar menyela.
"Pa, Ma ... demi kalian dan demi gadis yang sama sekali tidak kutahu asal usulnya itu, aku terpaksa meninggalkan Meilan. Sampai sekarang, Meilan bahkan belum mau memaafkanku."
Meilan? Siapa Meilan?
"Dengar baik-baik, Ibas. Aruna jauh lebih baik dibandingkan Meilan. Kami sangat mengenal dia dan keluarganya. Percayalah, Aruna satu-satunya pendamping hidup yang terbaik untukmu, Nak. Kamu hanya perlu membuka hati dan mengenalnya lebih dekat." Mama, sosok lembut itu kini terdengar tegas.
"Lagi pula, Aruna tidak seperti Meilan." Papa merendahkan suaranya. "Kasihan gadis itu. Dia sebatang kara."
"Aargh! Persetan dengan rasa belas kasihan! Perjodohan ini sialan! Kalau bisa, akan kubangkitkan lagi Om Dinata dan--"
"Ibas! Tutup mulutmu!"
Aku merasakan denyut dada yang begitu nyeri. Seolah ada sayatan besar menganga di dalamnya. Kututup mulut dengan kedua tangan, karena isakan ini semakin menjadi.
Mama terdengar menenangkan Papa dan Mas Ibas. Entah apa yang sebetulnya terjadi di dalam.
Terdengar gebrakan meja, juga suara Papa. "Camkan ini, Baskara! Jika kamu tidak memperlakukan Aruna dengan baik sebagaimana mestinya, maka saat itu juga, namamu akan Papa coret dari hak waris. Dan seluruh harta yang Papa punya, akan Papa hibahkan pada panti asuhan. Percuma punya anak yang tidak tahu diri sepertimu!"
Oh, Tuhan ....
"Hahaha. Baik, dengan senang hati akan kulakukan titahmu, Pa. Anggap saja aku boneka, yang hanya bisa bergerak sesuai perintahmu. Jadi ... gadis yang Papa bangga-banggakan itu hanya seharga harta yang kita punya, hm? Murahan sekali dia--"
"BASKARA!"
Cukup. Aku tak tahan lagi mendengar semua ini. Seolah ribuan kerikil tajam menusuk-nusuk ulu hati.
Aku masuk kembali ke kamar dengan langkah gontai. Menyembunyikan tangis yang tak mampu lagi dibendung.
Sanggupkah aku hidup bersama lelaki yang sama sekali tak menginginkanku, bahkan dia ... membenciku? Atau haruskah aku menyerah, bahkan sebelum perjalanan kami seumur jagung?
Sementara, dalam isakanku terbayang wajah Ayah. Wajah yang amat lemah, ketika ia mengucap permintaan terakhirnya.
"Putriku, Aruna ... jika ayah tak mampu bertahan, maka berdirilah dengan tegar, Nak. Akan ada seseorang yang ayah yakini mampu menjadikanmu wanita kuat. Baskara, dia akan melengkapi hidupmu, Aruna."

==========

Mendung. Udara di tempat tinggalku yang memang berhawa sejuk menjadi semakin dingin. Kulitku bertambah pucat karenanya.
"Aruna, cepat mandi, Nak! Nanti bisa terlambat sekolah." Ibu berseru dari arah dapur.
"Dingin, Bu." Aku menghampiri Ibu, lalu duduk di depan meja makan. Memeluk tubuh sendiri. "Sebentar lagi, deh."
"Hei ... anak gadis, kok, malas mandi, sih?! Kalau nanti dapat suami yang jorok, emangnya mau?"
"Idiiih, Ibu jahat banget sama anak sendiri." Aku cemberut.
Ibu terkekeh. "Bukan gitu, Anak manis ... tapi mana ada pangeran tampan yang mau sama gadis yang malas mandi?"
"Ah, enggak juga. Kata orang, kan, jodoh itu di tangan Tuhan, nggak bakal ke mana. Apalagi ketuker, mustahil. Jadi kalau emang Aruna ditakdirkan punya suami tampan dan baik hati, nggak mungkin nyasar ke mana-mana dong, Bu."
Ibu menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapanku yang panjang lebar.
"Waaah ... lagi pada ngerumpi apa, sih, kok, rame banget, ya?"
Ayah datang dan langsung duduk di kursi sebelahku. Sudah siap dengan seragam profesinya yang tampak sangat berwibawa. Guru.
"Ibu jahat tuh, Yah. Masa, Aruna dibilang bakal dapat suami yang jorok." Aku menopang dagu di meja dengan kedua tangan.
Ayah mengulum senyum dan berbisik, "Cowok emang nggak bakal mau sama cewek yang males mandi. Iiih, bau aseeeem." Ayah mencubit hidungku.
"Iiih, Ayah sama aja, niiih, jahat!"
Aku makin memberengut ditertawakan Ayah dan Ibu.
Selanjutnya? Seperti biasa, aku melendoti Ayah dan menyandarkan kepala di bahunya. Dia menciumi ubun-ubunku.
"Aruna sayang, suatu saat nanti, bahu Ayah nggak akan sekokoh seperti sekarang, Nak. Harus ada seseorang yang menggantikan ayah untukmu. Untuk menjadi pelindungmu." Ibu mendekat, duduk bersama kami dan membelai rambutku. "Jadilah gadis baik, Nak. Agar Tuhan menghadiahkan seseorang yang spesial untukmu, Aruna. Sebab, wanita baik untuk pria baik. Begitupun sebaliknya."
Aku mengernyit. "Aruna nggak butuh siapa pun. Punya Ibu dan Ayah udah cukup, kok."
Ibu menggeleng, menangkup kedua pipiku untuk menghadap ke arahnya. "Kamu salah, Nak. Hidup itu lebih nyaman jika saling melengkapi. Seperti kami, ayah dan ibumu ini. Dan kamu semakin melengkapi kami."
Kutatap mata sendu wanita di hadapanku. Ibu sangat cantik
"Benar, Sayang." Ayah membela Ibu. "Dan kami tidak akan henti-hentinya mendoakanmu, Aruna. Agar mendapat seorang pendamping hidup yang terbaik."
"Iya, iya ... Aruna ngerti deh." Aku menghela napas panjang, lalu bangkit dari kursi. "Udah, ah. Aruna mau mandi. Ayah sama Ibu ngomongin jodoh melulu. Aruna, kan, masih kelas dua SMP. Punya pacar aja belum."
Berjingkat ke kamar mandi, kutinggalkan Ayah dan Ibu. Pura-pura tak peduli dengan nasihat mereka. Padahal, dalam hati bicara, 'Tuhan ... tolong kabulkan doa kedua orang tuaku. Aku ingin seberuntung Ibu, mendapat suami yang luar biasa baik seperti Ayah. Dan aku janji, akan belajar menjadi istri sehebat Ibu. Amin ....'
Alarm ponsel terdengar nyaring. Menyeret kesadaranku kembali.
Kenangan singkat itu kembali menjadi bunga tidur. Andai bisa, aku rela hidup selamanya di alam mimpi. Di mana hanya ada senyum dan tawa. Sebab kini, ketika terbangun, yang kudapati hanyalah ... sepi.
Aku merindukan kalian, Ayah ... Ibu.
***

Setelah mandi, segera kusiapkan sarapan. Walau sebenarnya kepala terasa berat dan badan sangat tidak nyaman.
"Selamat pagi ...." Mama menghampiriku. Terlihat sudah rapi dengan rambut sebahu dan dress semata kaki. Ibu mertuaku begitu anggun dan cantik.
"Pagi, Ma."
"Masak apa, Sayang? Mama bantu, ya?" Mama berdiri di sampingku yang sedang memotong bawang. Lalu mengecup pelipisku.
Ada rasa hangat menjalari dada, tiap kali mendapat perlakuan sederhana ini. Hampir sepuluh tahun tidak merasakan belaian seorang ibu, dan kini Mama hadir sebagai pengobat pilu.
"Nggak usah, Ma. Biar Aruna yang nyiapin sarapan. Cuma masakan sederhana, kok, nggak repot."
"Hm ... oke. Jadi hari ini Mama akan mencicipi makanan spesial dari chef cantik ini. Mama nunggu di sini deh." Mama pun duduk di depan meja pantri. Kami saling melempar senyum.
Mama setia menemani sampai masakanku beres. Kami berbincang banyak hal, termasuk soal putranya.
Masa kecil, kebiasaan baik dan buruk, bahkan hal-hal sepele ketika Mas Ibas bayi, dipaparkan Mama dengan semringah. Tentu, aku tertarik dengan apa yang diceritakannya, walau merasa sedikit ironi jika mengingat sikap dinginnya padaku.
Sebisa mungkin kututup rapat hati yang berkecamuk, saat Mama dengan antusias membahas segala hal tentang putranya. Berusaha tersenyum dan mengikuti keriangan Mama. Padahal, setiap kalimat yang kudengar tadi malam, masih jelas terngiang sampai detik ini.
Harga diriku terkoyak, direndahkan oleh suamiku sendiri. Sesak, amat sesak.
Mama bilang, berada dalam satu atap akan membuatku dan Mas Ibas semakin mengenal dan dekat, tetapi aku tidak yakin.
"Aruna, kamu kok pucat?" Mama mengernyit memperhatikan wajahku, ketika membantu menyiapka. Hidangan di meja.
"Ah, ng ... Aruna nggak apa-apa, Ma."
"Nggak apa-apa gimana?" Mama menyentuh dahiku. "Kamu demam, Nak."
Tak ingin Mama khawatir, aku pun mengelak. "Ng-nggak apa-apa, kok, Ma. Nanti juga sembuh. Cuma masuk angin aja."
"Wah, wah ... siapa yang masak, nih? Wanginya bikin perut keroncongan."
Perhatianku dan Mama tertuju pada Papa yang baru saja datang dan menghampiri kami. Sejak bangun tadi pagi, aku belum melihatnya, begitupun dengan Mas Ibas. Mama bilang, mereka keluar karena ada urusan penting yang mendadak. Entah ke mana. Aku merasa tak berhak bertanya.
"Siapa lagi kalau bukan menantu kita yang cantik ini, Pa." Mama merangkul bahuku.
Aku menunduk malu.
"Oooh ... jadi sekarang Mama punya saingan, nih? Oke. Kalau gitu Papa mau nilai, siapa yang lebih jago bikin perut Papa kenyang. Istri Papa yang tersayang atau si cantik ini?"
Papa menjawil daguku. Kami bertiga tertawa ringan.
Ah ... andai saja hanya ada tawa seperti ini, mungkin hidupku terbilang sempurna. Layaknya negeri dongeng.
"Ayo, kita sarapan. Papa lapar beneran, lho, ini." Papa segera duduk di kursi.
"Ibas, sarapan dulu sini ...!"
Aku menoleh ke arah Mas Ibas, saat Mama berseru memanggilnya. Dia baru saja masuk, melewati ruang makan dan hendak menaiki tangga ke lantai dua.
"Mama makan duluan aja," jawabnya. Tatapan Mas Ibas tertuju padaku. "Aku nggak lapar."
Tanpa menoleh, tiba-tiba Papa berseru nyaring, "Setidaknya, hargai ibumu yang jauh-jauh datang kemari, cuma ingin menengok anaknya!"
Mas Ibas menghentikan langkahnya di anak tangga.
"Cukup duduk dan temani ibumu makan. Nggak susah, kan?! Kamu ini memang ...." Papa menggantung ucapan. Sementara rahangnya mengeras.
Mama menyentuh lengan Papa dan menggeleng.
Mas Ibas berbalik, mendengkus kasar dan menghempaskan jaket kulit yang dia pakai di atas sofa dekat tangga. Sekali lagi, dia mendelik ke arahku. Lalu duduk bersama kami.
***

Papa menghabiskan sarapan, begitu pun Mama dan mereka terus memuji masakanku. Lain hal dengan Mas Ibas yang tak banyak bicara. Dia hanya sesekali menjawab pertanyaan Mama. Sementara dia dan Papa tak saling bicara.
Hubungan Papa dan Mas Ibas sangat tegang. Tak selayaknya anak dan bapak. Padahal, menurut cerita Mama, mereka sangat dekat.
Apa mungkin ... akulah penyebab keretakan hubungan di antara ayah-anak itu? Rasa bersalah tiba-tiba menggelayut.
Sesak, lagi lagi kurasa denyut menyakitkan di dalam sini. Seburuk inikah posisiku dalam kehidupan mereka? Mungkin Mama dan Papa bagiku adalah anugerah. Tapi bagi mereka, aku hanyalah musibah.
Benalu, yang seharusnya enyah.
"Pa, gimana kalau kita pulang besok aja?"
"Pulang besok?"
"Iya, Pa, coba lihat deh wajah Aruna. Kayaknya dia sakit."
"Kamu sakit?"
Aku gelagapan. Tidak hanya Mama, sekarang Papa pun terlihat khawatir. "Nggak apa-apa, Pa. Cuma masuk angin. Istirahat sebentar juga sembuh kok."
"Segera periksa ke dokter, ya," perintah Papa.
Aku mengangguk.
"Ya udah kalau gitu. Kita antar aja Aruna ke dokter sekarang, Pa," pinta Mama.
"Nggak, Ma. Kita tetap pulang sekarang."
"Tapi--"
"Papa bukannya nggak peduli sama Aruna. Tapi Mama harus ingat, di sini Aruna nggak sendiri. Ada suaminya yang punya kewajiban penuh. Jadi ... seharusnya kita tidak terlalu khawatir." Papa berucap penuh penekanan.
Hening sesaat.
Mas Ibas menatapku dengan alis bertaut dalam. Kemudian melihat Mama yang menganggukkan kepala ke arahnya.
"Iya ...." Mas Ibas menghela napas. "Nanti aku antar Aruna ke dokter."
***

Di halaman depan. Aku menyalami juga memeluk Mama dan Papa.
Mama juga memeluk erat Mas Ibas dan berpesan, "Jaga diri dan istrimu baik-baik, Ibas ..... Mama percaya sepenuhnya padamu."
Mas Ibas sama sekali tak menjawab maupun mengangguk. Begitupun saat Papa memeluknya singkat dan tegas berkata, "Ingat semua pesan Papa, Ibas."
Mas Ibas sudah masuk ke rumah. Sementara aku menatap mobil putih yang telah melaju, sampai roda empat itu tak lagi terlihat.
Mama-Papa meninggalkanku di sini. Berdiri seorang diri, dalam keheningan.
Entah, duri setajam apa lagi yang akan kupijak nanti, di rumah ini.
***

"Mas mau ke mana?" tanyaku, saat melihat Mas Ibas sudah berganti pakaian.
"Ada kerjaan." Dia merapikan rambut hitamnya. Melirikku di balik kaca.
Kerjaan? Tapi kenapa dia memakai baju non-formal? Tidak seperti biasa.
"Aku nggak bisa nganter kamu ke dokter. Ng ...." Dia terlihat berpikir dan berdeham. "Ada klien yang harus aku temui. Penting. Nanti aku panggil dokter ke rumah, kalau kamu emang beneran sakit."
Ah, rupanya Mas Ibas tak percaya kalau fisikku sekarang sedang tidak baik.
"Ya, aku nggak apa-apa kok, Mas. Tapi ...."
"Aku berangkat sekarang." Mas Ibas menyela. Dia pun bergegas keluar, tanpa menghiraukanku.
Aku memang belum punya rasa apapun untuk Mas Ibas. Masih membiasakan diri dengan keseharianku bersamanya. Sedang berusaha menerimanya sebagai teman hidup.
Akan tetapi, setiap kali mendapat perlakuan darinya yang teramat dingin, ada rasa perih yang terus menyayat. Seolah aku benar-benar tak dianggap ada.
Air dari sudut mata pun menetes. Sebegitu bencinya dia padaku? Lalu apa artinya janji pernikahan waktu itu? Apakah hanya sebuah kepalsuan?
Namun, bagiku pernikahan tetaplah pernikahan. Sesuatu yang sakral dan tak bisa dipermainkan.
Seperti kata Ayah, "Hargailah suatu hubungan. Karena setiap takdir adalah atas kehendak Tuhan ...."
Lalu, kembali teringat pesan terakhir Ayah ....
"Putriku, Aruna ... jika ayah tak mampu bertahan, maka berdirilah dengan tegar, Nak. Akan ada seorang yang ayah yakini mampu menjadikanmu wanita kuat. Baskara, dia akan melengkapi hidupmu, Aruna ...."
Entahlah, Ayah ....
Apa yang Ayah katakan itu bisa menjadi nyata ataukah tidak. Dan entah, aku dapat memenuhi pesan terakhirmu ataukah tidak. Namun, Aruna-mu ini akan mencoba. Walau dengan rasa sakit yang teramat.
Aku membaringkan tubuh yang terasa lemah dan menggigil ini. Memejamkan mata dengan kepala berdenyut hebat.
Kupeluk erat sebuah bingkai foto. Di sana, dalam bingkai foto itu ... Ayah, Ibu, dan aku. Kami tersenyum hangat. Seolah waktu tak mampu memisahkan.
Namun nyatanya, foto usang itu hanya menyisakan memori.
Kini, aku sendiri ... hanya seorang diri ....

Bersambung #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER