Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 17 Mei 2020

Bunga Tanpa Mahkota #1

#Cerita bersambung
Oleh : Nony Vinna

Revan memilih berlari ke kamar Clarissa tak jadi masuk ke kamarnya untuk mengambil Flashdisknya yang tertinggal tadi pagi, karena ia mendengar gadis itu sedang menangis. Ia membuka pintu, dan menemukan gadis lima tahun itu menangis di depan kamar mandi.

"Ada apa?" tanya Revan, cemas. Clarissa menunjuk ke dalam kamar mandi. Mata Revan mengikuti telunjuk Clarissa.
"Bunda...." isak Clarissa."Meira?" Revan melihat Meira yang terbaring di lantai kamar mandi. Dengan sigap, Revan menggendong Meira. Meletakannya di tempat tidur dengan hati- hati.

"Mei...Meira!" Panggil Revan. Ia tepuk- tepuk pipi tirus Meira, pelan.
Clarissa berdiri di samping tempat tidur. Ia masih menangis.
"Mei...." Panggil Revan lagi.
Perlahan mata Meira terbuka. Samar- samar ia melihat wajah Revan yang begitu dekat dengan wajahnya. Pelan- pelan pandangannya mulai jelas. Begitu menyadari Revan hanya beberapa senti darinya, wanita itu langsung mendorong dada Revan dengan cukup kuat.

Pria bertubuh kekar itu mundur beberapa langkah.
"Aku sudah bilang, jangan mendekati ku!" Meira melotot kepada Revan. Ada kemarahan yang sangat dikedua mata Meira.
"Kamu pingsan, Mei...aku hanya memolong mu." Jelas Revan, kesal.
"Aku tidak usah kau tolong. Aku tidak mau!" Meira bangkit dari tempat tidur.
"Bunda," panggil Clarissa. Tangisnya mereda.

Meira hanya menatap gadis itu sebentar, kemudian ia hendak berjalan ke luar dari kamar. Tapi baru tiga langkah, Meira ambruk lagi. Untung Revan cepat menangkap tubuhnya.
Kembali Revan membaringkan Meira ke tempat tidur. Clarissa mulai menangis lagi.
"Clarissa tenang, ayah akan panggil dokter." Revan mengeluarkan ponselnya dari saku jasnya. Menelpon dokter pribadi keluarganya.

Clarissa berdiri di sisi ranjang, ia memandangi wajah pucat Meira.
"Clarissa sayang bunda," isaknya. Membuat Revan terpana dengan ucapan putrinya itu. Ia menutup telepon.
"Sebentar lagi, dokter akan datang dan memeriksa bunda." Revan duduk di bibir ranjang. Ingin membelai rambut panjang Clarissa, tapi tak jadi. Ia memang tak terlalu dekat dengan putrinya.

Revan memandangi wajah Meira. Perempuan itu belum siuman. Revan merasa, Meira lebih kurus dari sebelumnya. Ini yang keempat kalinya dalam satu pekan ini Meira pingsan.

Setelah tiga puluh menit berlalu. Dokter pun tiba dan langsung memeriksa kondisi Meira.
Meira akhirnya siuman setelah diperiksa oleh dokter.
Clarissa duduk di samping tubuh Meira. Revan duduk di sofa yang ada di kamar putrinya itu.

Pria berkaca mata dan berambut tebal dengan sedikit uban itu sedang menuliskan resep obat. Lalu meletakan botol kecil berwarna putih di meja samping pembaringan. "Ini vitamin, anda harus meminumnya." ujar dokter.
Meira hanya diam. Revan beranjak dari sofa. Dokter pun pamit, kemudian memberikan secarik kertas berisi resep obat yang harus ia beli di apotek. Revan mengambil kertas dari tangan dokter dan menaruhnya di saku jasnya.

Revan mengantar dokter ke luar dari kamar.
Revan meminta penjelasan mengenai kondisi Meira. Mereka berdiri di depan kamar Clarissa.
"Sakit apa dia?" tanya Revan.
" Dia butuh istirahat, banyak mengonsumsi vitamin. Dia sepertinya jarang makan?" Dokter menatap Revan. "Tekanan darahnya juga sangat rendah."
Revan diam saja.
"Pastikan dia makan teratur. Apalagi dia sedang hamil empat minggu." Dokter itu tersenyum kepada Revan.
"Hamil?" Revan terhenyak mendengar kehamilan Meira.
"Iya, selamat ya!" Dokter itu menepuk bahu Revan. Kemudian berlalu dari hadapan Revan yang tampak syok.
Revan menarik rambutnya, dan menghela napasnya.
"Meira hamil?" Revan bingung.

Pembantunya muncul dengan nampan ditangannya, berisi sup hangat dan nasi, teh hangat dan juga air mineral.
"Bi," Revan menghadang wanita empat puluh tahun itu.
" Iya, mas."
"Apa Meira jarang makan?"
"I- iya mas.Gak mau makan," sahut pembantunya.
" Kenapa? "
"Katanya biar cepat mati."
Revan menyapu kepalanya dengan telapak tangannya.
"Apa dia sudah gila." umpat nya.
Pembantunya pun berlalu dan masuk ke kamar Clarissa.
Revan masuk lagi ke kamar Clarissa. Bi Jum meletakan makanan di meja kecil samping tempat tidur.
Kemudian ia pergi.

Meira duduk di ranjang dengan wajah yang masih pucat. Clarissa masih setia menemaninya duduk disampingnya.
Revan menatap Meira."Hhhh, kau harus menjaga kesehatan mu."
Meira mendelik. Ada jutaan duri kebencian dimatanya.
"Kau hamil Meira." Ujar Revan. Meira terhenyak. Kepalanya berdenyut.
"Apa?"
"Ya, kau hamil." tegas Revan.
Kelopak mata Meira mulai berair. Ia kaget.
"Yeeeiii, Clarissa punya ade!" Sorak gadis itu, girang.
Sementara Meira justru merasa tidak suka dengan kehamilannya.
"Kau benar- benar sudah menghancurkan ku, Revan!" Meira menatap nanar kepada Revan.
"Kau pikir aku senang?" Revan menyeringai." Tidak Meira...."
Meira menangis. Tangisannya begitu pilu.
"Aku harus pergi. Kembali ke kantor." Revan pergi dari kamar Clarissa.
"Bunda kok sedih?" tanya Clarissa dengan wajah polos.
"Gak pa-pa sayang." Meira memeluk tubuh mungil Clarissa.
Seharusnya kehamilan akan menjadi berita yang mengembirakan bagi pasangan yang sudah menikah. Tapi tidak untuk Meira. Itu bagai kutukan baginya.

Menyakitkan, mengandung benih dari lelaki bernama Revan.

==========

Dimana Tuhan saat aku menjerit meminta pertolongan?
Mengapa Kau permainkan aku seperti ini?
Mengapa orang yang ku cinta, justru menghempaskan uluran tangan ku. Meninggalkan ku, sendirian.
Mengapa Kau lemparkan aku ke istana neraka ini? Dan harus hidup dengan lelaki brengsek itu?

Meira membiarkan butiran- butiran hangat berjatuhan dari kelopak matanya. Hatinya hancur. Mimpi- mimpinya telah padam. Tak ada gairah kehidupan dalam jiwanya. Hanya rasa sakit, kecewa, marah,benci dan dendam.
Meira mengusap air matanya, saat menyadari Clarissa terjaga dari lelapnya. Dalam temaram cahaya lampu tidur yang redup, Clarissa sedikit merengek.
"Kenapa, Sa?" Meira duduk di ranjang
" Haus bunda." Sahutnya.
"Oh," Meira meraih botol minuman di meja samping ranjang. Ternyata kosong. Ia lupa mengisinya sebelum tidur tadi.
" Sa, bunda ambil di dapur dulu ya."  Meira menyingkirkan selimutnya.
" Iya bunda." sahut Clarissa.

Meira berjalan ke luar kamar dengan membawa botol minuman milik Clarissa.
Ia menuruni tangga. Dan mendengar suara mobil di garasi. Sepertinya itu Revan yang baru pulang.
Revan memang sering pulang di atas jam dua belas malam. Tak jarang, pulang dalam kondisi setengah mabuk.
Meira tiba- tiba merasa takut. Tubuhnya gemetar. Dengan buru- buru ia masuk ke dapur dan mengisi botol minuman.
Berharap tidak bertemu dengan Revan.

Selesai mengisi botol minuman Clarissa. Meira berjalan sedikit tergesa. Ia melewati ruang makan, kemudian ruang keluarga. Dan lorong menuju tangga. Di situlah Revan berdiri.
Meira kaget, ia terpaku beberapa saat. Aroma alkohol, minuman keras menyeruak. Benar, Revan sepertinya sedang teler.
Meira ketakutan. Dibawah cahaya lampu hias yang tak begitu terang, Meira bisa melihat sorot mata Revan begitu tajam.
Meira kemudian melangkah ingin melewati Revan. Tapi, pria itu dengan cepat dan kuat meraih lengan nya. Meira panik. Botol minuman Clarissa jatuh ke lantai.

"Lepas!" Teriak Meira.
"Mau kemana?" Revan menarik tubuh Meira, menedekap pinggang Meira dengan kencang.
"Lepas, brengsek!!!" Hardik Meira.
"Kamu, sekarang istri ku!" Revan menyeringai.

Meira meronta- ronta. Ia ingin melepas pelukan Revan. Tapi tentu saja, ia tak bisa karena Revan begitu kuat.
"Lepasin!" Teriak Meira. Ketakutan yang sangat menjalarinya. Ia teringat bagaimana peristiwa sebulan yang lalu. Peristiwa yang menghancurkan seluruh mimpinya.

Revan mendorong Meira ke dinding. Lalu mengunci tubuh Meira dengan kedua lengannya. Meira dapat merasakan hembusan napas Revan juga aroma alkohol.
"Aku akan membunuh mu jika kamu menyentuh ku!" Ancam Meira.
"Coba saja." Revan menyeringai. Ia menundukan wajahnya. Ujung hidung Revan yang runcing mengenai hidung Meira.
"Brengsek!" Meira mendorong Revan. Pria itu hanya mundur selangkah. Ia terkekeh. Kemudian menarik pinggang Meira lagi dengan kasar.
"Tolong!!!!" Teriak Meira sekuat tenaganya. Ia mulai menangis, ketakutan.
"Revan!" Sebuah suara mengejutkan Revan.
Lelaki itu melangkah mendekati Revan.
"Lepaskan dia!" Perintah pria berusia lima puluh tahunan itu dengan lantang.

Seorang wanita paruh baya dengan baju tidurnya berdiri di samping pria itu.
Revan melepaskan Meira.
"Apa kau mabuk?" Tanya pria itu.
Revan hanya terkekeh.
Meira menangis ketakutan. Tubuhnya terasa lemas. Wanita yang memakai baju tidur itu memapah tubuh Meira.
"Ayo ku antar ke kamar Clarissa." Ujar nya.
"Tidak perlu. Aku bisa sendiri!" Meira menolaknya.
"Hhh, baiklah. Terserah." Ujar wanita itu, kesal.

Meira menatap tajam kepada Revan. Lelaki itu pun membalas tatapan Meira, tak kalah tajamnya.
Meira memungut botol minuman yang ada di lantai. Lalu pergi menuju kamar Clarissa.

"Selalu saja, membuat onar." Pria itu marah.
"Kamu mabuk lagi, Revan?"  wanita itu memandangi Revan.
"Kerjaan mu hanya mabuk, pesta, dan membuat masalah!" kata pria itu lagi.
Revan yang setengah mabuk itu hanya terkekeh.
"Jangan lupa, aku begini karna papa."
"Apa kamu bilang?" pria itu berang.
Revan tersenyum, dengan langkah sempoyongan ia berjalan melewati kedua orang tuanya.
Hampir terjatuh, tapi ibunya membantunya berdiri.
Wanita itu memapah Revan ke kamarnya.

Sesampai di kamar, Revan langsung menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur.
"Revan, jangan kamu ulangi kesalahan mu. Gadis itu belum sembuh dari traumanya." ujar ibunya sambil melepas sepatu Revan.
Revan memejamkan matanya, ia tak pedulikan ocehan ibunya.
"Revan." Wanita itu mengusap rambut Revan. Kemudian mematikan lampu kamar, dan pergi dari kamar Revan.

Wanita itu menuju kamar Clarissa. Ia mengetuk pintu kamar Clarissa, pelan.
"Meira..." panggilnya setengah berbisik.

Tak lama pintu terbuka, Meira berdiri di hadapannya dengan mata yang sembab.
"Maafkan Revan," ujarnya dengan nada sesal.
Meira tersenyum sinis." Harusnya dia yang minta maaf. Bukan anda, nyonya!"
"Aku tau, tapi...."
"Tapi putra anda yang sombong itu tidak akan pernah melakukannya. Meskipun dia telah merusak hidup ku!" Meira emosi.
"Mei....aku paham. Kamu masih trauma. Tapi Revan tak seburuk yang Kamu pikirkan."
Meira mengusap kasar air matanya dengan kedua telapak tangannya.
"Anda tentu saja akan membela putra kesayangan anda. Harusnya ia dipenjara atas perbuatannya!"
"Tidak Mei...."
"Aku bersumpah, suatu saat Revan akan di penjara!"
"Tidak Meira."
"Aku ingin istirahat." Meira menutup pintu kamar dan menguncinya. Tubuhnya luruh ke lantai. Kembali ia menangis, dipegangi perutnya, ada makhluk mungil di dalam rahimnya. Tapi ia tak menginginkannya.
Mama Revan pun pergi menuju kamar tidurnya.
***

Pagi.

Meira membantu Clarissa menyisir rambut panjangnya, lalu mengikatnya dengan pita berwarna ungu. Gadis itu terlihat cantik dengan seragamnya yang juga berwarna senada dengan pita yang ia kenakan.

"Bunda, hari ini Clarissa mau bawa bekal nasi goreng buatan bunda."
" Baiklah, aku akan membuatnya." sahut Meira. Ia menaruh sisir di meja.
"Asyik!" Clarissa bersorak, bahagia." Aku ikut bunda masak ya."
"Hmmm, baiklah," Meira tersenyum." Tapi, hanya melihat saja. Nanti oma mu marah kalau kamu ikut- ikutan menyentuh bahan- bahan masakan, apalagi kalau sudah berseragam seperti ini." Meira menatap gadis kecil itu.
" Iya bunda," ia mengangguk.
"Ayo," Meira bangkit dari kursi dan menggandeng tangan mungil Clarissa. Kemudian meraih tas yang tergeletak di meja.
***

Clarissa tampak kagum saat melihat Meira memasak.

"Bunda, buat yang banyak. Biar Clarissa bisa berbagi dengan teman Clarissa." ujarnya.
"Iya sayang." Meira mengaduk nasi goreng di wajan.

Sementara bi Jum sibuk menyiapkan sarapan untuk orang rumah. Sesekali ia tersenyum melihat keakraban Clarissa dengan Meira.
Meira mengambil cetakan berbentuk beruang dari lemari. Lalu memasukan nasi goreng yang ia olah tadi ke cetakan tersebut.
Nasi goreng berbentuk beruang tersaji di kotak makan Clarissa. Lalu ia membuat lagi, hingga menjadi empat buah beruang.
Ia hiasi dengan potongan wortel dan mentimun. Juga ada telur dadar yang sudah dipotong menyerupai mie.

"Jadi." Ujar Meira, riang.
"Yeeeiii." Clarissa terlihat senang.
" Sekarang, kamu sarapan dulu ya sama oma dan opa."
"Bunda?" Clarissa menatap Meira.
"Ya?"
"Bunda sarapan juga ya, kan bunda gak pernah sarapan bareng Clarissa, sama oma, opa, onty Alisa, juga ayah."
Meira mencelos mendengar ucapan Clarissa. Ya, memang sudah sebulan tinggal di rumah megah itu sekali pun ia tak pernah makan atau sarapan bersama mereka.
Meira berjongkok dihadapan Clarissa.
"Maaf ya, bunda gak bisa."
"Tapi...."
"Clarissa!" Sebuah suara mengejutkan mereka. Clarissa menoleh ke ambang pintu dapur. Ia melihat ayahnya di sana dengan pakaian rapi.
Meira membuang pandangannya saat Revan memandanginya.
Lelaki itu ingin mengucapkan maaf, tapi gengsinya lebih besar. Akhirnya ia urung meminta maaf atas perbuatannya semalam.

"Ayah?"
"Jangan paksa bunda untuk ikut dengan kita." Revan melirik ke Meira, sinis. Meira tak menghiraukan lirikan Revan. Ia sibuk menyelesaikan pekerjaannya menyiapkan bekal untuk Clarissa.
"Baik ayah," Clarissa menurut.
"Ayo, sarapan dengan ayah!" ajaknya.
Clarissa pun menghampirinya.
"Ayah."
"Hmmm."
"Apa hari ini, ayah mau mengantar ku ke sekolah?" Clarissa mendongak memandang wajah tampan ayahnya.
"Tidak....emmm, maksud ku belum bisa."
"Baiklah, tapi nanti mudah-mudahan ayah bisa ya. Kan ayah belum tau Clarissa sekolah dimana."
Revan sedikit terhenyak. Memalukan, ayahnya sendiri tidak tahu putrinya bersekolah dimana. Sungguh memalukan.

Meira menatap Revan dengan tatapan miris.
"Ya, nanti ayah akan mengantar mu. Tapi, tidak hari ini!"
"Iya, yah," Clarissa menggandeng tangan Revan. Ada rasa aneh menjalar pada jiwa Revan. Pertama kalinya ia bergandengan tangan dengan putrinya.

Meira masih terpaku di dapur. Menatap penuh keanehan pada Revan. Ada benci yang membara di dadanya pada lelaki yang berstatus suaminya itu.
***

Seperti biasa, Meira mengantar Clarissa ke sekolah diantar oleh pak Wito, supir keluarga Revan.
Clarissa mencium tangan Meira, kemudian mengecup kedua pipi Meira. Gadis itu dengan bersemangat melangkah masuk ke sekolahnya. Meira melambaikan tangan saat Clarissa menoleh kepadanya. Setelah itu, gadis kecil itu masuk ke dalam kelasnya.

Meira pun melangkah menuju mobil. Tiba- tiba ia melihat seorang pria yang baru saja membeli sebotol air mineral di sebuah toko di seberang sekolah Clarissa.
Lelaki itu duduk di atas motornya.
"Fandi!" Panggil Meira cukup keras.

Lelaki itu menoleh. Dan  melihat Meira di seberang sana. Ia tak berekspresi, datar. Ia kenakan helmya setelah memasukan air mineral yang ia beli ke dalam ranselnya. Kemudian menyalakan mesin motornya.
"Fan...." Meira terisak. Lelaki itu menjalankan motornya dengan kencang. Tak peduli dengan Meira.
Meira menangis. Perih menggoresi hatinya yang sudah terluka.
"Fandi...."
"Mba Meira, ayo pulang!" Kepala pak Wito muncul di jendela mobil.

Meira melangkah dengan gontai ke mobil. Ia duduk di jok belakang. Kemudian menangis lagi.
Pak Wito menjalankan mobil dengan perlahan. Ia menatap ke arah Meira dari kaca spion mobil.
Meira tak peduli dengan pak Wito. Ia terus saja menangis.
Betapa hancur hatinya. Pria yang dicintainya mengabaikannya.

Bersambung #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER