Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 27 Mei 2020

Bunga Tanpa Mahkota #11

Cerita bersambung


Layaknya sepasang kekasih yang baru saja meresmikan hubungan, mereka berjalan menaiki tangga rumah dengan senyum yang enggan pergi dari wajah mereka. Dengan tangan yang bertautan menapaki lantai keramik nan putih bersih, dan berhenti di depan pintu kamar.

"Makasih ya, Revan," Meira berdiri di depan suaminya itu.
"Untuk?"
"Malam yang indah ini," ucapnya dengan suara lembut.

Revan hanya tersenyum, dengan tangannya yang masih enggan melepas jemari lembut wanita yang telah disakitinya tapi kini mau menerimanya.
"Hmmm," Meira terlihat bingung.
Revan maju selangkah, membuat mereka menjadi semakin dekat. Seketika Meira merasa hawa hangat menjalar di wajahnya.
"Aku yang harusnya berterimakasih," suaranya pelan, "karna kamu mau menerima aku. Lelaki yang sudah ..." Telunjuk kiri Meira menempel di bibir Revan. Membuat pria itu berhenti berbicara. Keduanya saling menatap, tenggelam dalam rasa yang sulit terlukiskan.
Perlahan Meira menurunkan jari telunjuknya. Tangan kanannya masih berada dalam genggaman Revan. Kemudian ia menunduk.
Revan meraih dagu Meira, mengangkatnya sedikit dan menghadapkan ke wajahnya. Meira merasa nafasnya berhenti, ia memejamkan kedua matanya. Seperti pasrah, atau takut? Entah.
Perlahan Revan sedikit menunduk dan mendaratkan ciuman hangat di kelopak mata Meira yang tertutup. Keduanya tersentuh oleh bibir hangatnya.
Rasanya Meira sulit bernafas. Ini baru kelopak matanya, bagaimana jika ...? Meira membuka kedua matanya. Revan masih memandanginya dengan sorot mata yang mematikan.

"Sudah, tidur sana!" Meira merasa suaranya gemetar seperti  tangannya. Pria itu tersenyum dengan sikap Meira yang sangat grogi.
"Oke," Perlahan melepaskan tangan Meira," Oh ya, cincin yang sekarang di jari kamu itu. Bukan cincin nikah ya, yang untuk pernikahan nanti ada lagi."
"Cincin nikah kita yang waktu itu kan, ada. Aku taruh di laci," Meira sedikit mengernyitkan keningnya, "gak pake itu aja?"
"Gak, itu pilihan mama dan belinya pake uang papa. Aku mau, cincin nikahnya diganti. Aku beli dengan uang aku sendiri, aku pesan sendiri, dan ada ukiran namaku di sana," ujar Revan dengan binar mata yang cerah.
"Revan ..." Meira merasa terharu," terus cincin nikah yang itu, gimana? "
"Simpan aja," sahut Revan.
"Hmmm, kamu pesan cincin emasnya buat aku aja kan?"
"Aku pesan sepasang dong. Kenapa?"
"Laki- laki muslim dilarang memakai emas," kata Meira dengan raut wajah serius.
"Tenang Mei, mbak Alisa sudah bilangin aku. Jadi, satu cincin emas dan yang satu perak. Kalo perak boleh kan?"
"Iya," sahut Meira, lega.
"Ya sudah, aku ke kamar, ya. Mau mampir?"
"Gak, sudah malam. Entar dimarahin ibu kos!" Meira balas bercanda. Revan terbahak.
"Ya sudah, masuk sana!" Revan menunjuk pintu kamar Clarissa dengan wajahnya.
"Oke," Meira memegang handle pintu. Berbalik sebentar melemparkan senyuman untuk Revan dan kemudian masuk ke dalam kamar. Revan pun pergi menuju kamarnya dengan sejuta rasa yang begitu indah.
***

Saat sarapan bersama, Andi Mahesa menatap Revan dengan mata yang terlihat kesal.
"Berani sekali kamu, Revan!" Teguran itu membuat semua mata yang ada di situ menatap Andi dan Revan bergantian.

Meira merasa tak nyaman. Ia langsung terlihat cemas.
"Ada apa?" Revan berusaha santai. Ia masih menikmati sarapannya.
"Kenapa kamu pertemukan Clarissa dengan Tiara tanpa seijin ku?" Ada penekanan disetiap kata- katanya.
Alisa dan Rina terperangah mendengar perkataan Andi barusan.
"Tiara ibunya Clarissa. Dia berhak bertemu dengan putrinya," sahut Revan dengan nada tenang. Ia menaruh sendok dan garpunya di atas piring. Nafsu makannya mendadak pergi.
"Tapi aku sudah pernah bilang. Jauhkan dia dari Clarissa. Dia bukan ibu yang baik!"
"Aku juga bukan ayah yang baik!" Revan mulai emosi. Clarissa berhenti makan, ia mulai takut dengan suara kedua pria di dekatnya itu.
"Aku tau, papa menang dipengadilan atas hak asuh Clarissa. Tapi, bukan berarti dia gak boleh ketemu dengan ibu kandungnya!"
"Kau menentangku?!" Hardik Andi Mahesa.

Meira memegangi Clarissa yang ketakutan.
"Sudah," Rina menengahi," bisa kah, kalian berbicara pelan? Lihat Clarissa ketakutan!" Rina mendengus kesal, mendelikan matanya kepada Revan dan Andi.
"Papa tau dari siapa?" tanya Revan.
"Aku punya banyak mata," jawab ayahnya dengan nada sinis.
"Dengar pa, biarkan aku mengurus urusan ku. Clarissa dan Tiara adalah urusanku. Tolong anggap aku dewasa. Aku bukan lagi Revan yang selalu seenaknya papa atur- atur dan pasrah dengan segala kearoganan papa. Aku sudah dewasa pa!" Dadamya terasa sesak, pandangan matanya mengabur.

Ayahnya masih menatap tajam ke arahnya. Pipinya mengeras, gerahamnya bergemeletuk.
"Bagus, jadi kau sudah dewasa?" Lelaki itu menyeringai," Kalau begitu, jangan pernah meminta bantuanku jika sedang tersandung masalah! " Memberikan ultimatum.

Semua diam.
"Ya, tentu saja," Revan berdiri dari kursinya dan meninggalkan ruang makan. Meira menyusul Revan.
Alisa mendekati Clarissa dan membawanya pergi. Ia menggendong keponakannya itu yang tampak takut.
"Lagi- lagi, pagi kita kacau," gerutu Rina.
"Hhh, anak itu semakin aneh sejak dia jatuh cinta pada baby sitter itu."
"Dia itu menantu kita. Revan sudah melukai gadis itu. Kenapa kau masih tidak terima kenyataan?" Rina menautkan alisnya yang tertata rapi itu, "aku justru senang Revan mulai berubah sejak gadis itu membuatnya jatuh cinta."
"Hhh," Andi mendengus.
"Dan, berhentilah melarang Clarissa bertemu dengan ibu kandungnya. Kita tidak bisa memutus hubungan ibu dan anak. Tolong berhenti memikirkan sakit hati mu pada ayah Tiara. Sudah berlalu, lupakan!" Wanita itu meraih tangan kiri suaminya.

Andi meliriknya sekilas. Tapi dadanya yang tadi panas berangsur mulai tenang.
"Jangan bicara keras terus pada Revan. Lihatkan, tadi Clarissa jadi ketakutan."
"Ya," Andi menoleh ke arah Rina. Senyuman sang istri meredakan amarah nya.
***

Meira duduk di sisi ranjang bersebelahan dengan Revan yang masih terlihat emosi.
"Revan," panggilnya dengan lembut. Revan bergeming.
Meira meraih tangan Revan, menggenggamnya dengan hangat.
"Jangan marah- marah terlalu lama. Bagaimana pun dia ayahmu."

Revan mendesah, menatap ke langit- langit kamarnya.
Kemudian seuntai senyum menggantikan semburat kemarahan yang tadi menghiasi kerupawanannya.
"Aku dan papa, lebih sering bertengkar dari pada ..." membuang gumpalan nafas yang seakan mengandung jutaan beban.
"Sudah gak usah diteruskan!" Kata Meira. Ia melepas genggaman tangannya, lalu berdiri.
"Kamu mau kerja, kan? Aku pilihin baju, ya," Meira berjalan menuju lemari.

Saat sedang memilih pakaian kerja, dari arah belakang Revan melingkarkan kedua tangannya ke pinggang Meira.
Waktu seketika terasa berhenti. Tegang, juga takut terlukis di wajah Meira. Ingin menolaknya, tapi ... perlahan ia menarik nafas dan memejamkan matanya. Memberi keyakinan pada dirinya sendiri bahwa Revan tidak akan berbuat jahat.

"Aku ingin memelukmu sebentar, agar hatiku tenang," setengah berbisik, terasa begitu dekat ditelinga Meira. Meletakan dagunya di bahu kanan wanita yang saat ini sedang gemetaran.
" Apa boleh, Mei?" Tanya Revan dengan nada memohon.
"Iya," sahut Meira dengan tenggorokan yang seakan tercekat. Perlahan membuka kedua matanya memandang ke lemari yang terbuka.
"Papa selalu keras padaku," ada kesedihan dalam ucapannya, "aku selalu bermimpi bisa dekat dengannya. Tapi, sejak kecil aku dan Alisa selalu merasa terabaikan. Papa lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kerja, begitu juga mama. Kami hanya dicekoki uang, fasilitas mewah."

Meira mulai bisa mengatur rasa takutnya yang mulai mengendur, dan membiarkan dirinya merasakan kehangatan dekapan itu.
"Aku suka berkelahi di sekolah, membuat onar dengan guru- guru. Berharap papa datang membelaku."

Hembusan nafas Revan begitu jelas terasa. Meira menyentuh kedua tangan Revan yang melingkari pinggangnya.
"Papa memang datang, tentu untuk membelaku. Tak peduli salah atau benar. Yang penting Andi Mahesa harus menang. Setelah itu hanya caci maki yang ia timpakan padaku."
"Revan ...."
"Aku memang sering meminta bantuannya. Aku terkadang tak berani melawannya. Pasrah. Termasuk ketika memintaku melupakan Na ..." Revan berhenti berucap.
"Pasrah saat diminta menikah dengan Tiara. Hhh, lemahnya diriku," merutuki dirinya.
"Tapi, setelah mengenalmu. Aku ingin bisa menjadi lelaki yang berani menentukan apa yang harus aku lakukan. Aku ingin lepas dari intervensi papa," memejamkan matanya, menikmati wangi tubuh wanita yang ada dalam dekapannya itu.
"Revan ..."
"Aku tidak ingin kerja hari ini," masih memejamkan matanya, "aku ingin memelukmu seharian," ucapnya manja. Meira merasa jantungnya melompat- lompat tak karuan. Pipinya terasa begitu hangat.

Angin pagi menyerobot masuk melalui jendela yang terbuka, menyapu wajah kedua insan yang sedang menikmati debaran- debaran yang maha dahsyat bergejolak di dada mereka. Hening.
"Ayah ...!" Suara Clarissa di ambang pintu membuyarkan keintiman mereka. Revan mendengus, Meira mengulum senyum dan mengurai pelukan Revan.

Clarissa masuk ke dalam kamar, "Ayah, ayo antar ke sekolah!"  Gadis itu berdiri di tengah ruangan dengan pakaian seragam sekolahnya. Ia menatap kedua orang tuanya dengan tatapan seakan sedang menyelidik.
"Emang ayah sama bunda ngapain, sih?"
"Hmmm, lagi ngobrol," Meira mendekati Clarissa.

Revan berjalan menuju putrinya dan berjongkok di depannya, "Clarissa ... maafin ayah tadi ya, bicara keras sama opa. Yang tadi itu, tidak baik. Jadi, jangan diikuti. "
"Iya, ayah," gadis itu mengangguk.
"Ya sudah, ayah antar ke sekolah. Ayah ganti baju dulu!" Berdiri dan menuju lemari untuk mengambil pakaian.
"Tunggu ayah di luar, yuk!" Meira menggandeng tangan Clarissa.
***

Persiapan menuju pernikahan ulang mereka pun sudah rampung. Penghulu, saksi dan juga wali hakim sudah siap. Pernikahan yang hanya dihadiri keluarga saja.
Berharap setelah melakukan ulang ijab qabul, pernikahan mereka dipenuhi keberkahan untuk menggapai sakinah, mawaddah, warohmah.

Revan sedang berada di sebuah mall. Ia ke luar dari sebuah toko perhiasan.  Melangkah dengan santai sambil menenteng paper bag berisi perhiasan.
Langkahnya  terhenti karena tepat di depannya ada Nadia. Keduanya terpaku.
"Revan," gadis itu maju dua langkah agar bisa lebih dekat dengan Revan, "senang rasanya, bisa bertemu lagi. Hari itu aku minta maaf, seenaknya memeluk mu."
Revan diam saja.
"Apa kabar mu, Revan?" Binar matanya menyiratkan dalamnya rasa rindu.
"Baik," sahut Revan, datar.
"Apa kita bisa ngobrol berdua, sambil menikmati secangkir kopi?"
"Maaf, Nadia. Gak!" ada ketegasan dalam ucapannya membuat Nadia merasa kecewa.
"Hanya sebentar saja, ingin menjelaskan kenapa aku pergi." Nadia masih membujuk.
"Gak perlu, Nad. Juga gak ada gunanya" Revan tetap menolak ajakan Nadia, "semua hal tentang kita di masa lalu itu, sudah ku kubur sedalam mungkin!"
"Tapi ..."
"Aku sudah menikah. Dia sudah mengisi hatiku yang pernah kamu hancurkan!"
Nadia menatapnya nanar.
"Aku pikir ..."
"Sudah Nadia, semua sudah berakhir. Kita punya kehidupan masing- masing. Jangan pernah mengganggu kehidupanku!"

Revan berlalu dari hadapan Nadia yang masih terpaku di tempatnya. Hatinya hancur seiring langkah Revan pergi meninggalkannya tanpa menoleh sedikitpun kepadanya.
***

"Saya, terima nikah dan kawinnya Meira Salsabila binti Rahmad Baihaki dengan mas kawin sepuluh gram gelang emas, dibayar tunai."
Revan mengucapkan ijab qabul dengan lancar di hadapan penghulu dan wali hakim. Disaksikan oleh para saksi dan anggota keluarga.

Setelah itu disambut kata sah dari penghulu dan anggota keluarga yang hadir. Rasanya akad malam ini, terasa lebih menyentuh persaan Meira dan Revan.
Berbeda jauh dengan akad beberapa bulan lalu, penuh paksaan dan kemarahan.
Revan mendatangi Meira dan memasukan cincin pernikahan itu ke jari manis Meira. Setelah itu, Meira melakukan hal yang sama kepada Revan. Sebuah cincin perak berukir nama Meira di bagian bawah cincin telah tersemat di jari telunjuk Revan.
Alisa bersama Nisa, dan ibunya Revan terlihat haru hingga air mata mereka menetes. Sedang Andi terlihat biasa saja begitu pula dengan tante Erna.
Dan Clarissa selalu bahagia jika menyaksikan ayah dan Meira bersama. Ia tak begitu paham dengan apa yang terjadi.
"Dasar aneh," celetuk tante Erna yang merasa aneh dengan apa yang dilakukan Revan dan keponakannya itu.
***

Selesai mengantar Clarissa tidur. Meira yang masih mengenakan gaun kebaya putih dengan wajah yang dipolesi make up minimalis melangkah bersama Revan menuju kamar.

Saat di depan pintu, Meira terpaku beberapa saat. Revan menantinya di ambang pintu. Rasa takut itu masih tergores di benaknya. Tapi, ia juga tengah berusaha membuang rasa itu.
"Jika, masih takut. Aku tidak akan memaksa Mei," Revan seakan paham dengan pancaran mata Meira.
"Mmm," Meira dengan sedikit rasa ragu akhirnya masuk ke kamar Revan.

Aroma mawar menguar menyambut kedatangannya. Kamar itu dihiasi beberapa buket mawar putih, ranjang yang di lapisi seprai putih bertabur kelopak bunga mawar merah berbentuk hati, terlihat begitu indah dan menggoda.
Revan belum menutup pintu. Masih berdiri di sana, memperhatikan Meira yang merasa surprise dengan kondisi kamar. Ia takut untuk menutup pintu. Hal itu bisa saja membangkitkan memori buruk waktu itu.
Meira menoleh ke arah Revan. Kemudian melangkah mendekat. Menarik tangan pria itu.
" Apa kau tidak membacakan doa untukku?"
"Aku akan membacakannya," Revan menggenggam tangan Meira, mesra. Dengan perlahan Meira menutup pintu kamar. Ia menarik nafas sebanyak mungkin untuk menghilangkan rasa takutnya.

Revan mendekati dan membacakan doa yang sudah berhari- hari lalu ia hafalkan ke atas ubun- ubun Meira kemudian meniup kepalanya tiga kali.
Gemetar dan juga haru, begitu yang terlukis di pancaran mata mereka.
Meira menitikan air mata. Kepalanya masih menunduk menyentuh dada bidang suaminya.
"Mei ...."
"Hmmm."
"Shalat, yuk!" Bisiknya.
Meira mengangguk pelan.
***

Selesai shalat sunnah dua rakaat, Revan yang sudah berganti pakaian dengan mengenakan kaos putih dan celana selutut duduk di lantai tepat di depan ranjang. Meira melipat mukena dan sajadah, menaruhnya di atas sofa.
Ia mengenakan pakaian tidur berwarna hitam tipis selutut, memperlihatkan lekuk tubuhnya. Membuat Revan semakin berdebar menatapnya.
Dengan debaran yang sejak akad tadi bertalu di jantungnya, pelan ia mendekat ke Revan dan duduk di samping pria itu.

Sunyi ... terdengar suara beberapa ekor jangkrik di bawah sana, diantara rerumputan yang berembun.
"Meira," Revan menoleh ke arah istrinya. Memandanginya lekat. Menyentuh rambutnya yang tergerai.
Meira memberanikan diri membalas tatapan penuh cinta suaminya itu. Lalu, entah ... keduanya bersamaan meneteskan bulir- bulir bening.
Rasa bersalah bagi Revan. Rasa takut bagi Meira.
Dengan berurai air mata, keduanya saling memandang. Revan merengkuh jemari- jemari istrinya yang gemetaran.
"Apa kamu yakin, Mei?"
Lamat Meira mengangguk.

Revan kemudian mengajak Meira berdiri. Saling berhadapan dengan kedua kaki mereka yang terlihat gemetar.
Perlahan ia merengkuh pinggang ramping Meira. Menariknya ke dalam dekapan hangatnya. Lampu masih dibiarkan menyala. Revan khawatir jika dimatikan akan membuat trauma Meira bangkit.
Meira pasrah dalam pelukan Revan. Memejamkan matanya yang basah. Ia menyandarkan kepalanya di dada Revan, merasakan debar jantung suaminya.
Lelaki itu menyentuh dagu Meira, ada gelora yang membuncah dahsyat yang tersirat di retina keduanya. Gemuruh hasrat yang begitu kencang.

Meira dan Revan saling menatap begitu dalam. Sebuah ciuman hangat mendarat di bibir ranum itu.
Dada keduanya turun naik tak beraturan. Menikmati bibir hangat mereka yang beradu. Makin kencang Revan memegangi pinggang Meira.
Ini ciuman pertama bagi Meira. Rasa takut itu perlahan pergi berganti dengan hasrat yang menggelora.
Perlahan Revan menyentuh bahu Meira. Menyingkirkan seutas tali pakaian tidur yang menempel, menghujani bahu mulus itu dengan ciuman, merambat hingga ke leher.

Dengan hati- hati, ia menggendong tubuh gemetar Meira. Kemudian merebahkannya di tengah tempat tidur. Berada diatas tumpukan kelopak bunga yang berbentuk hati itu
Kini Revan berada di atas tubuh wanita itu,  menghujaninya dengan kecupan demi kecupan yang semakin menggila.

==========

Meira memakaikan dasi untuk suaminya. Hening ... hanya terdengar suara kicau burung kecil sedang hinggap di sebuah pohon yang ada di pekarangan rumah.
"Aku bakal pulang malam, Mei," suara Revan memecah keheningan.

Tak ada sahutan. Meira fokus dengan dasi Revan. Selesai memakaikan dasi, Meira meraih jas dari dalam lemari dan mengenakannya kepada Revan.
Mengancingkan jas yang sudah menempel di tubuh suaminya. Menunduk, tak berani menatap.
"Hei," Revan menyentuh dagu Meira, dan menengadahkan wajah istrinya. Sehingga dengan leluasa Revan menikmati manik coklat di hadapannya itu.

"Kamu kenapa?" Tanyanya lembut.
"Aku ..." Meira justru terisak. Ada rasa bersalah tersirat di kedua bola matanya.
"Mei, apa ini soal semalam?" Revan melepas tangannya dari dagu Meira.

Meira masih terisak.
"Dengar, aku paham. Kondisi kita berbeda dengan pasangan lain. Ada trauma dan luka dalam hubungan kita," Revan mengusap air mata Meira dengan ibu jarinya.
"Maafkan aku ..." ucap Meira diantara derai air mata.

Revan menarik tubuh istrinya ke dalam dekapannya. Meletakan kepala wanitanya itu ke atas dadanya.
"Bukankah aku juga bersalah? Bahkan akulah penyebabnya," ada rasa sakit dalam kalimatnya.
"Apa kamu akan bersabar menunggu?" Meira mengurai pelukan Revan dan mendongakan wajah ke arah suaminya.
"Tentu saja," sahut Revan, "biarkan semuanya terasa nyaman dulu."
"Aku ingin melayani mu. Tapi ..."
"Sudah, biarkan semua mengalir. Akan ada waktu di mana rasa aman  menggantikan trauma itu," Revan mengecup kening Meira, cukup lama.
"Terimakasih Revan," ucapnya lirih. Revan membalasnya dengan senyuman yang sangat tulus.
***

Bersama dokter Dea, ia duduk di kursi berwarna merah dan menatap ke taman. Memandangi beberapa ekor kupu-kupu berwarna hitam dan juga ada yang kuning sedang menghinggapi kelopak- kelopak bunga.

"Aku gagal melayaninya," ada rasa sesak yang mengganjal di rongga dadanya, "aku belum bisa, dokter. Aku masih takut ..." tangisnya pecah.

Dokter Dea yang duduk di sebelahnya mengelus bahu yang berguncang itu.
"Ini tidak mudah, Mei. Aku tahu itu. Jangan mengutuki dirimu," ujar dokter Dea dengan suara lembutnya.
"Aku pikir ... aku sudah bisa," Meira terisak.
"Dengar Mei, kau sudah selangkah lebih maju dari sebelumnya. Buktinya, ketika kau bilang padaku saat dia menciummu, memegang tanganmu, memelukmu dan juga berbaring dengan menatap wajahnya. Semua itu kau biarkan, tak ada penolakan. Itu artinya, kau sudah mulai bisa menaklukan rasa traumamu," wanita itu mengembangkan senyum.

Meira menoleh ke arah dokter Dea.
"Selangkah lagi, kau bisa mengubur trauma itu;" Dokter itu menepuk punggung tangan kanan Meira. Ada semangat yang ia pancarkan.
"Ya ... satu langkah lagi," Meira mencoba menukar kesedihan wajahnya dengan seuntai senyum.
"Kamu pasti bisa. Kamu cukup cepat dalam proses penyembuhan trauma."
Dokter itu begitu bersemangat.
Dea menyodorkan kotak berisi tisu yang ia ambil dari meja di dekat ia duduk kepada Meira.
Dalam sedetik, beberapa lembar tisu ada di tangan pasiennya itu.

Meira mengusap air matanya dengan tisu di tangannya.
"Kau tau, saat aku dan dia tenggelam dalam suasana yang semakin intim ... tiba- tiba bayangan malam mengerikan itu hadir di benakku. Menurunkan hasrat yang sudah memuncak berganti dengan rasa ketakutan," suaranya terdengar parau.
"Aku mendorong tubuhnya sekuat tenaga yang ku miliki. Seketika dia sadar bahwa aku belum bisa melayaninya," kembali ia terisak, meremas tisu di tangannya.

Dokter Dea mendengarkan penuturan Meira. Membiarkan wanita itu mengeluarkan semua hal yang mengganjal di hati.
"Entah sampai kapan trauma ini bercokol dalam diriku?" Menatap ke taman dengan matanya yang sembab.
***

Selesai rapat, Revan masuk ke ruangannya bersama Indra yang berjalan di belakangnya.
Revan menghempaskan dirinya ke kursi kebesarannya. Melonggarkan sedikit dasinya dengan wajah tertekuk.
"Kenapa sih, dari tadi jutek banget?" Indra duduk di kursi seberang meja kerja.
Revan tidak menyahut.
"Ahhh, tau kenapa," pria bermata elang itu menyipitkan matanya, "gak dapet jatah dari bini!" Ia tergelak membuat Revan semakin menekuk wajahnya.
Ia mengambil satu permen dari sebuah mangkuk kecil berbentuk bola yang ada di meja kerjanya. Kemudian melemparkan permen itu kepada Indra.
Dengan cepat Indra menangkap permen itu. Lalu ia menyobek bungkus permen dan memakan gula batu rasa mint itu. Ia memainkan alisnya naik turun, untuk menggoda sahabatnya.
"Sok tau!" Revan mencibir.

Ponsel Revan berbunyi. Bergegas ia meraih benda tipis itu dari meja kerjanya. Terlihat olehnya di layar ponsel tertera  kata 'papa'. Ia menyentuh tanda terima.

"Iya, pa," Revan menempelkan ponsel itu ke telinga kanannya.
Indra mengamatinya hingga pembicaraan Revan berakhir.
Revan mendengus dan menaruh benda pintar itu kembali ke meja.
"Kenapa lagi?" Tanya Indra, "kayak perempuan lagi PMS aja sih, uring- uringan," ledeknya.
"Hhh," Revan menghempaskan nafasnya yang terasa begitu berat, "besok papa nyuruh aku pergi ke Paser Utara, lanjut ke Melak terus juga ke daerah Tenggarong."
"Ngapain?"
"Nyelam," sahut Revan, kesal. Indra terkekeh," ngecek perkebunan sawitlah," Revan masih kesal.
"Widih, banyak amat yang di datangin?"
"Tau tuh, bisa lama aku ninggalin Clarissa dan Meira," keluhnya.
"Ciyeee," Indra cekikikan.
Revan mendelik.
"Emang kaki tangan om Andi gak bisa di suruh ke sana?"
"Gak, harus papa atau aku yang cek kondisi lapangan secara langsung," sergah Revan," biasa kan papa suruh aku, kalau dia lagi sibuk."
"Ah, om Andi tuh sibuk ngurus kampanye sama blusukan," tawa Indra kembali menghiasi ruangan bercat putih dan abu- abu itu.

Revan menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
" Seperti biasa, kalo aku pergi. Hotel tolong kamu yang handle."
"Beres, bro!" Indra mengangkat alisnya.
"Aku percaya sama kamu," ujar Revan sembari menatap sahabatnya itu.
***

Meira menuruni tangga, kemudian bergegas menuju pintu dan membuka nya. Revan sudah berdiri di hadapannya.

Seuntai senyuman terpoles di wajah tanpa riasan itu. Membuat penat di kepala Revan seakan menguap.
"Hai," sapa Revan.
"Aku nungguin kamu," kata Meira membuat hati Revan melayang. Ia melangkah masuk diiringi suara pintu yang ditutup oleh Meira.
"Sudah makan atau belum?" Meira menggamit tangan kanan Revan.
"Sudah," jawab Revan, menoleh ke arah istrinya. Mereka berjalan melewati ruang tamu. Rumah besar itu sepi.
"Oh, kirain belum. Kalo belum, aku masakin buat kamu." Revan tersenyum.
"Clarissa sudah tidur?"
"Iya,"angguk Meira.
" Aku mau mandi dulu. Gerah," ujar Revan.
"Oke, aku buatin teh hangat, ya?"
"Heeh," Revan setuju.
***

Secangkir teh hangat ia letakan di atas nakas. Revan sepertinya masih di kamar mandi. Meira memunguti pakaian suaminya yang tergeletak asal di ranjang. Menaruhnya ke dalam keranjang pakaian kotor yang berbentuk tabung yang terbuat dari rotan yang dianyam, di dekat kamar mandi.
Revan membuka pintu kamar mandi, keduanya sama- sama kaget. Terlebih Meira, karena melihat Revan hanya memakai handuk yang melilit di pinggangnya. Wajah Meira bersemu.
"Aku pikir kamu masih di dapur," ujar Revan.

Meira berlalu dari hadapan lelaki itu. Dan duduk di pinggir ranjang dengan wajah tertunduk. Revan melangkah menuju lemari pakaian. Sesekali Meira melirik memperhatikan Revan yang terlihat begitu ... seksi.

Setelah mengambil pakaian, Revan masuk lagi ke kamar mandi untuk berpakaian.
Meira menarik nafas lega. Ia melepas jilbab, menaruhnya di atas bantal. Kemudian merapikan ikatan rambutnya.
Revan muncul setelah berpakaian. Rambutnya yang basah membuat lelaki bermata tajam itu terlihat sangat tampan. Ia duduk di sebelah Meira.
Wanita itu mengambilkan teh hangat yang ia buat, dan memberi kannya kepada Revan. Tak sampai sedetik, cangkir berisi teh itu sudah berpindah tangan.
Perlahan pria itu menyeruput teh hangat yang begitu terasa nikmat di tenggorokannya.
Lalu menaruh kembali cangkir yang isinya  sisa setengah  itu ke nakas. Wangi tubuh Revan menguar saat melintas di depan Meira.

Kembali ia duduk di sisi istrinya.
"Mei," panggilnya lembut.
"Ya."
Revan menceritakan perihal keberangkatannya besok yang mungkin akan memakan waktu lima sampai tujuh hari.
"Aku titip Clarissa," ucapnya.
"Iya," angguknya.
"Setelah dari sana, aku berharap kita bisa semakin merasa nyaman," Revan memandang istrinya dengan lekat. Meira menunduk tak kuat membalas tatapan mematikan suaminya itu.
"Aku pasti akan merindukan Clarissa dan ... tentu saja dirimu."
Kata- kata itu membuat Meira serasa melayang.
"Aku biasa pergi menggantikan papa mengecek kebun- kebun sawitnya. Tapi, kali ini terasa berat," Revan meraih tangan kanan Meira yang terasa begitu hangat.
"Karena ada seseorang yang menantiku untuk segera pulang."
Pipi wanita itu seketika terasa panas.
Revan membelai wajah istrinya dengan lembut. Meira merasa dadanya sesak. Sulit bernafas. Tiba- tiba matanya membulat seiring kecupan hangat yang kini tengah mendarat di bibirnya. Sunyi ... Meira menikmati sentuhan dibibirnya. Membiarkan degub jantung yang tak karuan memompa darahnya.

Perlahan Revan menjauh dari wajah Meira. Di bawah sinar cahaya lampu, ia bisa melihat betapa meronanya wajah istrinya itu.
"Apa kau akan tidur di sini atau bersama Clarissa?" Revan khawatir karena kejadian malam pertama yang kandas itu, mungkin saja membuat Meira takut berada satu ranjang dengannya.
"Aku tidur di sini," jawab Meira.
"Oke."
***

Hanya lampu kecil di atas nakas yamg menyala. Meira dan Revan berada di atas ranjang, sedikit mengatur jarak. Keduanya saling berhadapan, saling menatap dan tangan kiri Meira sedang berada dalam genggaman tangan kanan suaminya.
"Biarlah seperti ini dulu," Meira berujar.
"Iya," sahut Revan.
"Beri aku waktu untuk mengusir traumaku."
"Tentu saja."
"Revan ..."
"Mei, aku masih sering bermimpi buruk soal kejadian itu. Aku tau, maafku tidak akan pernah bisa mengembalikan ke ..."
"Jangan dilanjutkan!" sergah Meira.

Kembali membisu, hanya saling memandangi. Membiarkan panah- panah asmara menancapkan diri ke hati mereka melalui tatapan.
"Dengar Meira ... yakinkan pada dirimu, bahwa aku bebar- benar bukan Revan yang melukai mu. Tapi, aku adalah suamimu yang akan menjaga dan melindungimu. Aku berharap setelah kembali, aku bisa membawamu menikmati bulan madu kita."
"Ya, dan semoga aku bisa menunaikan kewajibanku sebagai istri."
Revan tersenyum.
"Revan ..."
"Ya ..."
"Bisakah kita pindah dari sini, ke rumah yang sederhana dimana hanya ada kita dan Clarissa?"

Terdiam beberapa saat.
"Kamu ingin kita pindah rumah? Ke rumah kita sendiri?"
"Iya, " angguknya.
"Hhh," Revan mendesah pelan, "ide yang bagus. Biar aku juga bisa buktikan ke papa bahwa aku bisa mengatur hidupku. Kita akan pindah, menciptakan istana kita sendiri. Semuanya akan kita atur setelah urusanku selesai. "
"Terimakasih," Meira menitikan air mata.
"Apapun akan ku lakukan unuk membuktikan bahwa aku mencintaimu," ucapannya semakin membuat Meira terharu dan melambung ke angkasa.

Perlahan mereka menutup kedua mata masing- masing. Dengan tangan yang tetap saling berpegangan. Biarlah seperti ini dulu, tak mudah membuang trauma yang membayanginya.

Bersambung #12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER