Tiga hari telah berlalu tanpa Revan di sisinya. Setiap detiknya terasa lambat berjalan. Ditambah kondisi Revan yang berada jauh dari perkotaan, membuat ia sulit dihubungi.
Meira mulai mengikuti kursus baking. Sedikit membuat ia tersibukan dan tak tersiksa dengan rindu yang mengekang.
Meira merebahkan tubuhnya di sisi Clarissa. Mata bulat gadis kecil itu masih mengerjap- ngerjap.
"Ayah sudah telpon lagi atau belum bunda?" tanyanya.
"Belum sayang," Meira membelai rambut Clarissa.
"Kangen ayah ..." ujar Clarissa dengan nada sedih.
"Sabar ya, kan ayah jauh kerjanya. Semoga besok pagi ayah bisa video call dengan Clarissa," Meira mencoba mengurangi kesedihan anak itu.
"Iya bunda," Clarissa perlahan memejamkan kedua matanya.
Meira membacakan doa tidur untuk Clarissa. Membelai lembut kepala gadis kecil itu. Setelah lima menit berlalu, akhirnya Clarissa tertidur pulas. Meira mengecup kening putri tirinya itu. Kemudian pergi meninggalkannya tidur sendirian.
Ia masuk ke kamar Revan, meraih ponselnya di atas bantal. Mengecek pesan. Tidak ada satupun pesan dari Revan.
Disentuhnya layar ponselnya, mencoba menelpon nomer Revan. Tapi masih belum bisa dihubungi. Terakhir Revan menelpon sebentar ketika ia sampai di daerah Paser. Setelah itu, hingga sekarang belum ada kabar.
Meira mengambil kaos berwarna hitam milik Revan yang dipakainya sebelum berangkat hari itu. Aroma tubuh suaminya seakan masih menempel di kaos itu. Meira mencium baju tersebut. Ah, rindu itu menyiksa tapi juga indah.
Ia rebahkan tubuhnya sambil memeluk kaos milik Revan. Berharap bisa mengobati rindunya.
***
Tepat pukul 03.00, ponselnya berbunyi cukup keras, membuat Meira yang tengah terlelap memendam rindu, terjaga.
Bergegas ia meraih benda tipis yang tergeletak di samping bantalnya. Dan matanya yang masih sedikit mengantuk mendadak terbuka lebar setelah membaca nama di layar ponselnya.
Disentuhnya tanda terima. Mengucapkan salam dengan suaranya yang masih parau, dan salamnya dijawab dengan lembut oleh suara di seberang sana.
"Apa aku mengganggu?"
"Tidak," sahut Meira, cepat, "Revan ..."
"Ya, sayang."
Wajah Meira terasa hangat saat Revan memanggilnya 'sayang '.
"Kenapa baru bisa menelpon?"
"Maaf, di sini susah sekali sinyal. Aku berada di dekat hutan, sangat jauh dari perkotaan. Perjalanan yang panjang dan melelahkan."
"Sekarang kamu di mana?"
"Sudah di Melak."
"Revan ..." Meira memanggil lagi. Kalau saja pria itu di dekatanya, sudah ia peluk.
"Video call, yuk!"
"Oke."
Meira duduk dan bersandar di kepala ranjang.
Beberapa detik kemudian, mereka sudah saling menatap. Meira sedikit merapikan rambutnya.
"Maaf berantakan, bangun tidur," ujar Meira dengan tangannya yang memegang ponsel.
"Tetap cantik," ujar Revan membuat istrinya tersipu. Ia memandang wajah yang tiga hari ini tak ia lihat. Walau hanya melalui layar ponsel. Setidaknya mengobati derita rindunya.
"Clarissa sangat merindukanmu," menatap layar ponsel.
"Aku juga. Tidak hanya dengannya, tapi juga dengan istriku," Revan mengerlingkan matanya. Meira tersenyum, "aku sangat merindukan mu, sayang ..."
Meira kembali merasa pipinya hangat, lebih hangat dari sebelumnya.
"A-aku juga."
"Menyiksa sekali rasanya," Revan mendesah, "setelah urusanku selesai, pokoknya kita akan honeymoon dan menghabiskan waktu bersama, berdua saja. Apa kau mau?"
Meira mengangguk perlahan.
"Oh ya, besok malam. Indra akan ke rumah, dia butuh tanda tangan. Sebenarnya aku, tapi karna aku jauh biar kamu saja yang menandatangani surat pembelian tanah."
"Tanah?" Meira mengerutkan dahinya.
"Iya, untuk kafe yang mau aku bangun."
"Oh," bibirnya membulat, "Oke."
"Kursus bakingnya gimana?"
"Sudah tiga hari ini aku pergi kursus. Sangat menyenangkan," matanya berbinar.
"Bagus," Revan terlihat senang," setelah kursus mu selesai, kamu bisa memulai usaha di kafe kita nanti."
"Benar kah?"
"Iya."
Meira tersenyum bahagia.
Detik berikutnya mereka membisu hanya saling menikmati pandangan mata mereka dari layar ponsel. Saat jauh, barulah mereka paham betapa rindu itu memupuk cinta meski sangat menyakitkan.
"Mei ..."
"Ya ..."
"Kau tau, tiga hari serasa tiga abad," dadanya terasa sesak.
Meira menahan tawanya.
"Terlalu berlebihan," kata Meira dengan hatinya yang berbunga- bunga.
Mereka terus mengobrol hingga hampir satu jam.
Dan itu cukup membuat mereka sedikit merasa terobati.
***
Indra datang ke kediaman Andi Mahesa dengan beberapa berkas dan surat- surat penting yang ia kemas dalam map biru.
Pria itu langsung dipersilahkan masuk dan ikut bergabung untuk makan malam bersama.
"Duduklah, Indra!" Andi Mahesa memberi isyarat dengan gerak bibirnya.
Indra pun duduk di sebelah Alisa dan berseberangan dengan Meira. Sekilas menatap istri sahabatnya itu. Meira langsung menunduk menatap ke arah piring berisi makanan.
"Hai mbak," Indra menyapa Alisa," makin cantik aja," godanya. Alisa menjulurkan lidahnya ke arah Indra.
"Ganjen mu gak hilang- hilang, ya!" Alisa mendelik.
Indra terkekeh.
"Apa kabar mu, Ndra?" tanya Rina.
"Baik tante. Ih, tante juga tetap cantik," Indra tersenyum kepada Rina.
"Heh, jangan berani- berani menggoda istriku!" Tegur Andi yang disambut gelak tawa dari Indra.
"Oke om," sahutnya.
"Genitmu begitu akut,"cibir Andi dengan mengulum senyum.
" Ayo makan!" Rina berseru.
Pria berambut cepak itu pun mengisi piring kosong di hadapannya dengan beberapa makanan. Suara denting sendok dan garpu beradu di atas piring. Semua menikmati makanannya.
"Hai, Clarissa. Lama om gak lihat kamu." Ia memperhatikan gadis kecil yang tengah asik mengunyah makanannya.
"Om temannya ayah?"
"Iya."
Kembali Indra menatap Meira yang ada di sebelah Clarissa dan itu membuat Meira merasa ada yang aneh, ia takut.
"Kamu sudah lama tidak ke sini. Dulu waktu sekolah kamu sering tidur di sini," Andi mengunyah makanannya.
"Iya om, kalau sekarang mau nginap lagi kan gak enak. Revan sudah punya istri," celetuknya.
"Kapan terakhir ke sini, Ndra?" tanya Rina.
"Hmmm, terakhir aku ke sini ...sekitar empat bulan lalu. Waktu Revan belum nikah dengan Meira, dan malam itu dia mabuk berat." Ia melihat wajah Meira yang tampak gelisah, "Aku mengantarnya pulang. Aku antar sampai ke tangga. Setelah itu ...pulang dengan taksi," ujar Indra.
"Hmmm, kok tante gak tau."
"Malam itu sepi tante. Lagian sudah hampir jam dua belas malam."
"Kayaknya waktu itu pas mama sama papa pergi ke luar kota deh," Alisa berujar dan melihat ke arah Meira yang terdiam. Seperti mengingat sesuatu. Alisa paham, mungkin ucapan Indra mengingatkannya pada malam naas itu.
"Ada perlu apa kemari?" Andi mengganti topik pembicaraan.
"Oh itu, ada perlu sama Meira. Butuh tanda tangan untuk surat tanah. Revan membeli sebuah tempat yang akan dia jadikan kafe", Indra mengambil air putih di dekatnya dan meminumnya hingga setengah gelas.
"Oh, aku baru tau Revan ingin membuka kafe." Andi melirik Meira.
"Revan gak cerita ke om?" Indra meletakan kembali gelas berisi air itu ke tempat semula.
Andi menggeleng," dia sekarang sudah merasa hebat. Tidak perlu bantuanku."
" Papa ...?" Istrinya mendelik.
Indra cuma mengulum senyum.
"Kapan- kapan, ajak ibu kamu ke sini dong," Rina berujar dan membuat Indra tersedak. Alisa menyodorkan air putih. Cepat ia mengambilnya dan meminumnya hingga habis.
"I-iya tante, nanti," sahutnya.
"Selama ini kan taunya tante kamu tinggal sama paman kamu. Dan kamu bilang ibu mu tinggal di daerah Berau. Tapi, kata Revan sekarang ibu kamu di sini. Bener?"
"Iya tante. Ibu di sini."
"Boleh dong, kenalin ke kita?"
"Beres tante," sahutnya.
***
Ini hari keenam Revan pergi. Meira merasa waktu terasa lama berputar.
Sore ini, ia menengok Nisa yang kabarnya kurang sehat. Ia menemani sepupunya itu di kamar. Gadis itu terbaring lemah di ranjang.
"Tadi darah yang ke luar dari hidungku sangat banyak ka," ujarnya lirih.
"Sabar ya," Meira memegangi tangan kanan Nisa yang terasa dingin, " kita ke rumah sakit saja. Bagaimana?"
"Tunggu ibu pulang," kata Nisa.
"Oke," Meira tersenyum, getir," istirahat dulu. Kakau tante Erna sudah datang kita ke rumah sakit, ya."
Nisa mengangguk pelan.
***
Hampir jam enam sore tante Erna pulang. Ia bersenandung memasuki rumah. Terlihat bahagia.
Meira memperhatikannya dari tempat ia duduk. Wanita itu agak kaget saat menyadari Meira sedang duduk di sofa.
Ia memegang erat map hijau di tangannya. Menatap Meira agak tegang. Seperti orang yang sedang menyembunyikan sesuatu.
"Tante, dari toko?" tanya Meira.
"I-iya," tampak gugup dan membuat Meira curiga.
"Ada apa tante?" Meira beranjak dari sofa. Tantenya itu mundur beberapa langkah dengan mapnya yang dipegang begitu erat.
"Tante seperti menyembunyikan sesuatu?" Meira menyipitkan matanya, menatap ke map yang ada di tangan tantenya itu.
"Apa isi map itu?" Meira menatap penuh selidik karena sejak tadi map itu dipegang sangat kuat.
"Bukan apa- apa," sanggahnya.
"Boleh aku lihat?" Meira menajamkan tatapannya.
"Baiklah, lihat saja," ia tampak pasrah memberikan map itu kepada keponakannya.
Meira membuka map itu dan membaca kertas bagian atas. Setelah selesai membacanya Meira menatap tante Erna dengan nanar.
"Bagaimana bisa, rumah ayahku menjadi atas nama mu?"
"Ayolah, anggap saja sebagai balas budi. Aku merawat mu sejak kecil. Begitu banyak biaya yang aku dan pamanmu keluarkan untuk kebutuhanmu."
Meira tersenyum sinis.
"Rumah ini sudah aman. Orang- orang pajak tidak akan berani mengganggu kita. Karna surat- suratnya sudah jelas dan memiliki kekuatan hukum. Ini semua berkat tangan dingin mertua mu."
"Aku gak suka cara tante. Aku seperti tante tipu!" Meira meneteskan air mata.
Sedih dengan sikap tante Erna yang dengan lancang mengubah hak kepemilikan rumah tanpa persetujuan darinya.
Terdengar suara gelas jatuh dari kamar Nisa. Bergegas Meira dan Erna berkari ke kamar Nisa. Gadis itu terkulai lemah di lantai dengan hidungnya mengeluarkan darah segar.
Mereka panik, Erna berlari ke luar rumah meminta bantuan tetangga untuk membawa putrinya ke rumah sakit dan saat itu Fandi lewat dengan membawa mobil milik restoran di tempat ia bekerja.
Melihat tante Erna panik, ia berhenti dan keluar dari mobil yang digunakan untuk delivery order atau mengantar prasmanan.
"Ada apa tante?"
"Tolong, bawa Nisa ke rumah sakit!" ujar tante Erna denhan wajah panik. Segera Fandi masuk ke rumah Erna dan menggendong Nisa menuju mobil. Meira mengikuti dari belakang. Ia ikut bersama Fandi membawa Nisa ke rumah sakit.
Fandi terlihat senang, karena Meira ikut dengannya. Ia menatap wanita itu dari kaca depan. Wajah panik itu baginya tetap terlihat memikat.
Sementara tante Erna mengemasi beberapa pakaian untuk putriny lalu pergi dengan mengendarai motor.
***
Saat Meira di rumah sakit menunggui Nisa yang masih di periksa oleh dokter di ruang IGD, disaat bersamaan Revan sudah kembali ke rumah. Bermaksud memberi kejutan karena kepulangannya kurang dari yang diperkirakannya.
Namun, saat sampai di rumah ia tak menemukan Meira. Padahal ia ingin memeluk istrinya karena rindu yang begitu membuncah.
***
Meira melihat Fandi baru datang dari masjid rumah sakit. Ia menghampiri pria itu, kemudian ia berpesan pada Fandi untuk tetap di ruang tunggu. Ia hendak pergi shalat. Fandi pun menyanggupi.
Dan Meira lupa membawa tasnya yang tergeletak di kursi tunggu.
Saat ia pergi, ponselnya berdering. Fandi mengabaikan. Tapi, ponsel itu berdering lagi hingga lima kali.
Tas itu tidak terkancing sempurna, karena kesal dengan suara ponsel yang terus berbunyi, Fandi dengan lancang mengambil ponsel dari dalam tas Meira.
Ia tersenyum masam saat membaca nama di layar ponsel.
'Revan Sayang'
Ada rasa nyeri di dadanya saat membaca nama itu.
Ia menerima telpon dari Revan.
"Hallo, Meira? Kamu di mana sayang?" Suara Revan di seberang sana, semakin membakar dada Fandi.
"Maaf, Meira sedang di kamar mandi. Dia sedang bersamaku," Fandi menyeringai.
"Kamu ...?"
"Fandi."
Dengan emosi Revan mematikan ponselnya dan melemparkannya ke tempat tidur.
Sementara Fandi tersenyum jahat dan merasa puas dengan apa yang ia lakukan. Lalu mengembalikan ponsel itu ke dalam tas Meira.
==========
Amarahnya perlahan semakin naik hingga ke ubun- ubun. Rahangnya mengatup rapat membuat tonjolan di pipi terlihat. Pikiran- pikiran negatif mulai berkelebatan di benaknya. Sepertinya setan sedang membisiki kata- kata yang semakin meletupkan emosinya.
Ia duduk di tempat tidurnya. Mencoba menenangkan diri dan berpikir jernih. Walau itu sulit.
***
Meira baru sampai di rumah saat Clarissa sudah terlelap. Ia terkejut saat masuk ke kamar gadis kecil itu.
Ada sosok pria yang ia rindukan di sana, sedang menyelimuti putri kecilnya.
"Revan ...," Meira sangat bahagia. Rasanya ingin segera berlari ke dalam pelukannya. Tetapi, lelaki itu hanya menunjukan raut wajah yang dingin.
Tanpa sepatah kata pun terucap, Revan melewati Meira yang tampak bingung. Ia pergi menuju kamarnya. Meira menyusulnya.
Sampai di kamar, Revan duduk di sofa dengan sorot mata yang tajam. Setajam katana yang siap menebas leher para pengkhianat.
"Ada apa?" Meira menaruh tasnya di meja rias. Pelan ia melangkah mendekati suaminya.
"Maaf, aku tidak tahu kau pulang malam ini," Meira duduk di sebelah Revan, "aku pikir besok seperti katamu waktu ditelpon. Tapi, syukurlah lebih cepat dari yang diperkirakan," ia menyunggingkan senyum.
Revan hanya diam. Meira merasa aneh.
"Maaf, aku tadi di rumah sakit. Nisa pingsan, dan sekarang harus di rawat di sana," jelasnya.
Meira memperhatikan Revan yang masih membisu dan tampak tegang.
Meira teringat dengan ponselnya. Sedari sore ia tak mengecek ponselnya.
"Ah, apa kau menelpon ku?"
Tak ada sahutan.
"Revan ...," Meira menyentuh lengan Revan yang segera ditepis agak kasar. Sontak membuat ia terkejut.
"Ke rumah sakit, atau bersama mantan kamu, si Fandi?" menoleh ke arah istrinya dengan dua bola mata yang menyala.
Meira terkesiap, mengernyitkan dahinya. Kenapa ia menyebut nama Fandi? Berpikir beberapa saat dan kemudian ia mengerti.
"Kau menelponku?" Meira beranjak menuju tasnya. Ia mengambil hand phone dari dalam tas. Kemudian mengecek telpon masuk dan telpon yang diterima. Ia paham sekarang, kenapa Revan terlihat marah.
"Dengar Revan," Meira kembali duduk di sofa bersebelahan dengan Revan, "tasku tertinggal di kursi tunggu saat aku shalat magrib. Dan ada Fandi di sana. Apa dia yang menerima telpon?"
"Ya," nafasnya terdengar tidak teratur, "dan dia bilang kamu sedang di kamar mandi."
Meira terperangah mendengar penjelasan Revan. Tak menyangka Fandi bisa berbuat seperti itu.
"Revan, kalau kamu gak percaya. Sekarang bisa telpon tante Erna. Aku betul- betul ada di rumah sakit."
Revan masih bergeming. Meira menjelaskan perihal Nisa yang pingsan hingga Fandi yang menolong mereka.
"Apa tidak ada orang lain selain dia? Kenapa selalu dia?" suaranya masih terdengar marah.
"Kondisinya lagi panik dan terdesak, masa harus pilih- pilih orang?"
Revan mendengus. Kemudian beringsut dari sofa menuju tempat tidur.
"Aku mau istirahat," ia merebahkan tubuhnya, menghadap ke arah kanan.
"Revan ..."
"Aku cape," sahutnya agak ketus.
Meira mengerucutkan bibirnya. Rasanya sesak sekali setiap kali menghela nafas. Korneanya mulai mengabur. Dengan lemas ia mengambil pakaian tidur di lemari, lalu melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
***
Hal yang menyakitkan adalah ketika diabaikan oleh orang yang dicintai. Rindu yang membuncah itu seakan sirna saat api cemburu menyala dalam hati.
Ia memandangi punggung suaminya dengan matanya yang dipenuhi kristal- kristal bening. Rasanya sulit untuk memejamkan mata. Ingin ia memeluk punggung itu, menangis di sana, menumpahkan rasa rindunya. Tapi ... tidak bisa, karena sang pujaan hati sedang dilanda amarah.
***
Sesuatu yang hangat menyentuh keningnya. Ia menggeliat malas. Kelopak matanya begitu berat untuk dibuka. Jejak- jejak air mata terukir di sudut matanya.
Kini sebuah belaian lembut menyentuh pipinya. Perlahan ia membuka matanya. Sedikit menyipit karena netra yang diterpa cahaya lampu.
"Bangun sayang," suara itu terdengar sangat lembut.
"Revan ..." Meira tersenyum bahagia dengan kehadiran Revan di sisinya. Pria itu berbaring di dekatnya dan masih memegang lembut pipinya.
"Maafkan aku sayang," ucap Revan.
"Apa aku sedang bermimpi?"
Sebuah kecupan menyentuh bibirnya, cukup lama hingga terasa sulit bernafas.
Revan menjauhkan wajahnya, Meira kembali bisa menghirup udara.
"Menurutmu?"
Meira tersenyum," aku pikir, bakal didiamin berhari- hari."
"Maunya sih, gitu. Tapi ... mikir lagi, aku bakal rugi kalau diamin kamu kelamaan," tatapannya menggoda.
Meira mengulum senyum.
"Shalat gih, sudah setengah enam!"
"Oh ya?" mata Meira membulat, "kamu sudah shalat?"
"Iya," angguk Revan.
Meira bergegas bangun dan pergi ke kamar mandi.
Revan meraih hand phonenya dari atas nakas. Seseorang menelponnya. Dari layar ponsel tertera nama Tiara.
***
Selesai shalat, Meira berencana pergi ke dapur untuk membuat sarapan. Namun, Revan menariknya ke tempat tidur.
"Aku mau masak," Meira berada dalam dekapan suaminya.
"Biar bi Jum aja," sahut Revan.
"Revan ..."
"Hmmm ..."
"Jangan diemin aku lagi, ya. Sakit rasanya."
Revan mengurai pelukannya. Menatap istrinya, lekat," iya."
Meira membenamkan kepalanya ke atas dada bidang itu. Ia bisa merasakan gemuruh nafas Revan yang terasa cepat.
"Kalau nanti ketemu Fandi. Pengen aku tonjok mukanya, karna sudah terlalu lancang!" suaranya terdengar menahan marah.
"Gak usah Revan," ujar Meira.
Revan tidak menyahut. Ia mengecup pucuk kepala Meira. Lalu merembet ke bagian wajah. Menghujani wanita itu dengan ciuman penuh gelora.
Mengecup bibir sang penyejuk hati berkali- kali.
"Ayah, bunda!!!" suara Clarissa di luar kamar membuyarkan kemesraan mereka.
Revan mendengus dan memendamkan wajahnya ke atas bantal. Meira tertawa melihat suaminya seperti itu.
"Honeymoon nanti, pokoknya harus berdua aja tanpa Clarissa," ujar Revan.
Pintu kamar diketuk.
"Ya sayang. Sebentar!" Revan setengah berteriak, kemudian dengan malas turun dari ranjang dan membukakan pintu untuk Clarissa.
Meira duduk di tempat tidur sambil menahan senyum.
"Ayah, temanin Clarissa main sepeda ke taman, yuk!"
Revan berjongkok di depan putrinya itu," oke."
"Cepetan ya, Yah. Clarissa tunggu di bawah."
"Iya."
***
Tiara datang ke rumah Andi Mahesa untuk menjemput Clarissa. Ia ingin mengajak putrinya itu berenang. Revan mengijinkannya.
Andi Mahesa yang mengetahui hal itu hanya diam saja. Walau sebenarnya masih kurang setuju. Tapi, istrinya memintanya untuk membiarkan Revan memutuskan apa yang menjadi haknya.
"Nanti sore, aku akan mengantarnya," Tiara menatap Revan dan juga Andi Mahesa yang sejak tadi menatapnya sinis.
"Oke, selamat bersenang- senang!" Revan mengusap kepala Clarissa.
Gadis kecil itu terlihat senang. Tiara menggandeng tangan putrinya membawanya ke mobil. Di balik kemudi seorang pria menanti mereka. Dialah pria yang dulu menjadi kekasih gelap Tiara, dan sekarang menikahinya.
"Lihat, dia menikah juga dengan selingkuhannya," kata Andi Mahesa, sinis. Istrinya menggenggam tangannya. Berharap caranya itu bisa meredakan emosi suaminya yang mulai naik.
"Sudah, pa," tegur Rina. Andi hanya mendengus. Revan dan Meira menatap kepergian Clarissa di teras, seakan gadis itu akan pergi lama.
Meira dan Revan masuk ke dalam rumah. Dan mertua perempuannya memanggilnya.
"Meira, bisa ikut dengan ku. Sebentar saja."
"Bisa, nyo ... hmmm, mama!" Meira nyaris memanggil mertuanya itu dengan sebutan 'nyonya'.
Rina menggandeng tangan Meira. Mengerling kepada putranya," bentar aja kok Revan. Sedikit urusan wanita ," suaranya setengah berbisik. Revan hanya tersenyum. Dua wanita yang disayanginya itu pun menghilang dari pandangannya.
Tinggal dia dan ayahnya di ruang tamu.
"Revan," panggil ayahnya.
"Iya, pa."
"Sebagai bonus karna sudah melakukan pekerjaan dengan baik. Aku akan belikan tiket untuk mu dan Meira pergi honeymoon."
Revan merasa surprise, " makasih, pa."
"Kau sebut saja tempatnya. Aku yang urus tiket dan hotelnya."
"Oke."
Revan merasa bahagia, dengan pemberian ayahnya itu.
***
Meira bergantian dengan tante Erna menjaga Nisa di rumah sakit.
Ia memandangi adik sepupunya yang tertidur setelah minum obat beberapa menit lalu. Wajahnya terlihat pucat. Tubuhnya kurus.
Bulir- bulir bening berjatuhan dari bola matanya. Mengingat gadis yang terbaring lemah di hadapannya itu, masih muda dan memiliki banyak mimpi. Meira memegang tangan kanan Nisa. Berharap ada keajaiban yang terjadi untuk Nisa. Perkataan dokter kemaren cukup membuat ia sedih, bahwa leukemia yang diderita Nisa sudah masuk stadium empat.
Suara ketukan terdengar dari luar ruangan. Meira buru- buru mengusap air matanya.
"Silahkan masuk!"
Pintu terbuka dan sosok Fandi muncul. Pria itu masuk ke ruangan dengan senyum lebar. Seperti tidak punya salah.
Meira memasang wajah murka. Pria itu meletakan sekotak kue brownis ke atas nakas.
"Hai, Mei!"
"Aku mau bicara!" Meira beranjak dari kursi dan melangkah ke kuar ruangan. Fandi menyusulnya.
"Ada Apa?"
"Lancang kamu Fandi. Berani- beraninya angkat telpon aku kemaren?!"
Fandi malah nyengir seperti tak punya dosa, "sory, habis bunyi terus. "
"Terus ngapain kamu ngomong ke Revan seperti itu?" menatap sengit.
"Dia marah?" Fandi terkekeh.
Meira membesarkan matanya. Ia begitu kesal melihat tingkah Fandi.
"Gak lucu, Fandi!" hardik Meira.
Fandi berhenti terkekeh dan mulai serius menatap Meira.
"Mei, aku nyesal lepasin kamu. Aku ..." Fandi mendekati Meira.
Meira mundur, ia menautkan alisnya. Rasa kesalnya semakin menjadi. Baru sekarang dia bilang menyesal? Padahal dulu, saat ia butuh bantuannya, lelaki di depannya itu justru mengusirnya.
"Semua sudah berakhir!"
"Gak Mei ... jangan bilang seperti itu," ia semakin mendekat. Meira mundur hingga tersandar ke dinding.
Beberapa orang lewat di dekat Fandi dan Meira. Fandi ingin menyentuh pipi Meira, dengan cepat tangan itu ia tepis.
"Jangan sembarangan kamu, Fan!"
"Aku ingin kamu tinggalin Revan. Aku jadi begini karena hatiku sakit! Aku nyesal kenapa waktu itu aku gak memperjuangkan kamu!" Fandi tampak emosi.
Meira hendak berlalu dari hadapan Fandi, tapi lelaki itu mencekal pergelangan tangannya.
"Lepasinn!" Meira terlihat ketakutan.
"Gak," Fandi semakin mempererat genggamannya.
Dan ia hendak menarik Meira ke pelukannya. Tapi sebuah pukulan keras menghantam pelipis Fandi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel