[18+]
Lelaki itu kaget dan kepalanya terasa pening akibat satu tinjuan mendarat di pelipisnya. Meira berhasil melepas cekalan tangan pria itu.
"Jangan pernah sentuh Meira. Dia istriku!" Revan menarik kerah jaket Fandi dengan kasar, menusuk kornea lelaki itu dengan sorotan mata yang setajam belati.
Fandi malah terkekeh. Apa pikirannya sudah terganggu? Mingkinkah dia menjadi sedikit 'gila' karena sesal yang mendalam atas keputusannya dulu? Cinta kadang membuat seseorang bisa menjadi 'sinting'.
Revan melayangkan tinjunya lagi ke wajah Fandi. Lelaki itu terhuyung hingga tersandar ke dinding. Beberapa suster dan juga para pembesuk yang melihat peristiwa itu, menontoni mereka. Seorang perawat lelaki bergegas memanggil satpam untuk melerai mereka.
Meira mencoba menghalangi Revan yang bersiap hendak memukul Fandi lagi. Ia Memegangi tangan suaminya.
"Berhenti Revan!"
"Dia sudah mengganggu mu!" suaranya terdengar tinggi.
"Dengar, aku curiga dengan pernikahan kalian," Fandi mencoba berdiri tegak, "Meira sering bercerita padaku bagaimana kesehariannya mengasuh anak yang kamu sia- siakan. Bagaimana interaksinya dengan mu. Dan aku merasa aneh, tiba- tiba kalian menikah dalam waktu yang singkat dan terkesan buru- buru," Fandi memandang Revan dan Meira yang bergeming dengan tatapan penuh selidik. Membuat tatapan mata Revan semakin berkilat.
"Aku akan mencari tau ...."
"Dasar lekaki sialan!" Revan hendak memukulnya lagi, tapi dua orang satpam datang dan melerainya.
Semua orang terlihat tegang. Ada yang mengambil foto dan juga merekam ke video melalui hand phone.
"Itu anaknya Andi Mahesa," bisik seorang wanita paruh baya kepada temannya yang berdiri di sebelahnya.
"Ini akan menjadi berita bagus," ujar wanita itu sambil terkekeh.
Akhirnya Fandi diminta untuk pergi oleh satpam rumah sakit. Pria itu pun menurut dan masih sempat menyeringai ke Revan saat berlalu dari hadapannya.
Kemudian Revan memandangi orang- orang yang sedari tadi menontoninya.
"Apa ada yang merekam kejadian tadi dengan hand phone?"
Tak ada yang menyahut.
"Dengar, jika ada yang menyebarkannya ke media sosial. Jangan sampai ada yang merasa menyesal telah dilahirkan!" kata- kata Revan itu terdengar sadis. Kemudian ia dan Meira masuk ke ruangan tempat Nisa dirawat.
Orang- orang yang merasa merekam aksi pemukulan yang Revan lakukan tadi dengan segera menghapus rekaman mereka.
Revan dan Meira duduk di sofa. Nisa masih terlelap.
"Aku harap, setelah ini si Fandi itu tidak mengganggu mu lagi, juga menyentuhmu!" nafasnya masih terdengar kurang teratur.
"Revan ...."
"Aku tidak mau ada yang melecehkan mu. Cukup aku orangnya. Cukup aku!" Revan menyorotkan dua bola mata yang keruh.
Meira meraih tangan Revan, menggenggamnya erat.
"Cukup aku yang melecehkan mu," lirihnya.
"Berhenti bicara seperti itu," netranya mulai terasa berembun.
Revan tergugu. Setiap mengingat dosa yang telah ia lakukan itu.
Meira merebahkan kepala suaminya ke atas bahunya. Tak ada kata yang terucap, hanya air mata yang seakan berbicara.
***
Menjelang sore, tante Erna datang ke rumah sakit. Bergantian dengan Meira untuk menjaga putrinya.
Setelah berbicara sedikit basa basi, mereka pamit kepada tante Erna dan Nisa.
Kini mereka berdua melangkah bersama dengan tangan yang bertautan. Melintasi selasar rumah sakit, berpapasan dengan orang- orang tak dikenal, para suster dan juga cleaning service yang sedang mengepel lantai.
Mendadak langkahnya terhenti saat berpapasan dengan seorang pria yang duduk di kursi roda dengan bekas luka bakar yang terukir di bagian leher hingga dagunya. Revan mengenalnya, apalagi dengan gadis yang sedang memegangi kursi roda pria paruh baya itu.
"Om Barhan?" pekiknya.
Gadis yang mendorong kursi roda pria bernama Bahran itu menghentikan langkahnya. Menatap iri kepada Revan dan Meira yang bergandengan tangan.
Sementara Revan memperhatikan pria di kursi roda. Lelaki itu membalas tatapan Revan.
"Apa kabar, om?"
Tak ada sahutan. Sorot matanya menyedihkan. Mulutnya bergerak dengan berat, ingin mengucapkan sesuatu. Tapi, tak ada suara yang keluar.
"Seperti yang kamu lihat, beginilah ayahku," gadis berambut hitam legam itu menjawab dengan nada sinis.
"Apa dia ...?"
"Ayah tidak bisa bicara, selain karna luka bakarnya juga stroke yang menyerangnya."
Revan menatap lelaki itu iba. Ingatannya melayang kebeberapa tahun silam. Lelaki itu dulu selalu terlihat bugar, bergerak lincah membersihkan ruang- ruang di hotel milik ayahnya.
"Beginilah ayahku sekarang. Menanggung derita akibat aku terlalu keras kepala mencintai mu," nada kemarahan terdengar seperti mengiris hati Revan.
"Nadia ...."
"Aku selalu bermimpi, suatu saat Andi Mahesa mempertanggung jawabkan perbuatannya pada ayahku," mata sipitnya memandang nanar kepada Revan.
"Orang yang pantas disalahkan, dialah ayah mu. Yang telah membuat orang tuaku menderita."
Meira bergeming, menggenggam erat tangan Revan.
"Ini sebabnya aku pergi meninggalkan mu ...." dada Nadia terasa sesak. Ada kesakitan yang begitu dalam dari ucapannya.
"Tapi, sudahlah. Semua masa lalu, sudah lewat," menyapu sudut matanya yang berair, "orang kecil seperti kami, tidak akan pernah bisa menyeret orang besar seperti ayah mu ke atas meja hijau, "kata- katanya bagai silet yang menggoresi hati. Meira tertegun dengan ucapan Nadia, teringat bagaimana ia sangat ingin menuntut Revan waktu itu, agar bisa dijebloskan ke penjara.
"Permisi," Nadia melirik sebentar ke arah Meira. Kemudian mendorong kursi roda yang diduduki ayahnya, dan berlalu dari hadapan mereka.
Beberapa detik Revan termangu. Pikirannya terganggu dengan setiap ucapan Nadia tadi.
"Revan ...," panggil Meira.
Revan tersadar, kemudian tersenyum tipis dan kembali melangkah bersama Meira menuju parkiran.
***
Clarissa asik menceritakan keseruannya menghabiskan akhir pekan bersama ibu kandungnya. Gadis itu berceloteh dengan riang. Sesekali Revan dan Meira terkekeh dengan ucapan Clarissa.
"Kapan- kapan, jalan sama ayah dan bunda juga ya. Clarissa pengen ke pantai, berenang sama ayah," Clarissa memperlihatkan binar matanya yang penuh harap.
"Iya, nanti ya sayang," Revan mengelus rambut putrinya.
"Ayo sekarang tidur," Meira mengajak Clarissa naik ke tempat tidur. Gadis kecil itu beringsut dari pangkuan Revan dan pergi menuju pembaringan.
Setelah Clarissa tertidur, mereka pergi ke peraduan mereka.
Mereka merebahkan diri di pembaringan, saling berhadapan.
"Kamu mau honeymoon ke mana, sayang?" tanya Revan.
"Terserah kamu. Aku bingung," sahut Meira.
"Hmmm, Bali atau Derawan?" Revan membelai rambut halus yang menempel di kening Meira.
"Entahlah ... kamu aja yang pilih."
"Oke ... kalau Nisa sudah boleh pulang ke rumah, kita berangkat ya."
Meira mengangguk.
"Oh, ya. Tadi pagi mama ngapain sih, ngajak kamu ke kamarnya?"
"Rahasia."
Revan tersenyum. Kemudian sedikit menggeser posisinya, lebih dekat lagi dengan tubuh Meira. Memeluk wanita itu, dan mengecup pucuk kepalanya dengan mesra. Meira merasa jantungnya berdebar sangat cepat.
Revan memejamkan matanya dengan tetap memeluk istrinya. Meira merasa nyaman berada di dalam dekapan suaminya.
***
Nadia menyelimuti tubuh ayahnya. Memandangi wajah yang dihiasi kerutan itu dengan pandangan kabur, ia terisak. Ada rasa bersalah terukir di wajahnya. Andai ia bisa tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang, ingin ia memilih tak mengenal Revan.
Seorang pria memeluknya dari belakang.
"Apa kau ingin aku di sini?" tanya pria itu.
"Pulanglah, aku tidak pa-pa," Nadia menyeka air matanya. Ia berbalik dan menatap mata elang di hadapannya.
"Jangan menangis lagi sayang ...."
"Aku selalu merasa bersalah. Karna aku, ayah jadi seperti sekarang ...," air matanya luruh lagi.
Pria itu meletakan kepala Nadia ke atas dadanya. Membelai rambut gadis itu. Kemudian memeluknya erat, berharap itu bisa meredakan kesedihan Nadia.
"Berhenti menyalahkan dirimu," ucapnya.
Nadia mengurai pelukan lelaki berambut cepak itu. Ia kembali menatap manik yang laksana mata burung pemangsa itu.
"Indra ...."
==========
"Kalau aku pulang, kamu gak pa-pa kan?"
"Iya," angguk Nadia.
Indra memandangi manik hitam di hadapannya. Dulu gadis di hadapannya adalah kekasih sahabatnya. Sekarang, justru gadis ini menjadi kekasihnya. Pengkhianat kah dia?
Rasa yang telah terpendam lama. Ia kubur dalam- dalam demi utuhnya sebuah persahabatan.
Tapi kini, ia mendapatkan gadis itu. Dan merahasiakan hubungannya dari sahabatnya. Tapi suatu saat ia akan jujur. Apakah ia pagar makan tanaman? Hubungan ini terjalin setelah perpisahan mereka.
"Indra?" Nadia memanggilnya. Indra tersadar dari lamunannya.
"I-iya, Nad ...," Indra agak terbata.
"Kenapa?"
"Gak pa-pa," ia menggeleng.
Nadia merasa ada yang sedang dipikirkan oleh Indra. Mencoba menerka- nerka.
"Hmmm, kepikiran Revan?" tebaknya.
Indra tak menyahut. Ia melangkah ke luar kamar, Nadia menyusulnya. Mereka duduk di kursi ruang tamu.
"Aku tau ... hatimu hanya untuk Revan. Benar?" matanya tajam menatap netra gadis di sampingnya itu.
Hening.
"Aku mencintaimu sejak dulu. Saat kita masih di sekolah."
"Aku ...."
"Dengar Nadia, apa aku pengkhianat?"
Pelan Nadia menggelengkan kepalanya.
"Ibumu ingin aku menikah denganmu," ucap Nadia, "dan saat itu aku sudah gak ada hubungan dengan Revan. Lagi pula, dia sudah punya istri baru," suaranya terdengar seperti mengandung kesedihan, "aku akan berusaha mencintaimu."
"Ya," Indra tersenyum tipis, "aku tau, kamu mau menerimaku karena hutang budi pada ibu dan ayahku."
"Maaf, Indra ...," Nadia memegang tangan Indra.
"Tak masalah, cinta bisa datang karna terbiasa," tersemyum getir.
"Ya, aku berharap seperti itu," ujar Nadia, "aku hanya ingin membuat ibumu senang. Dia yang menolong aku dan keluargaku. Menampung kami. Memberikan pekerjaan padaku juga almarhum ibu, bahkan membantu pengobatan ayah. Tiga tahun berlalu, dia mengajakku ke sini. Dia ingin melupakan kenangan bersama almarhum suaminya. Sekaligus menjalankan amanah usaha yang ayahmu wariskan."
"Aku justru gak tau soal itu, ibu gak cerita. Maklum hubunganku baru membaik dua tahun belakangan ini."
"Ya, aku kaget saat tau anaknya adalah kamu."
"Hhh," Indra mendesah. Pertemuannya dengan Nadia dua tahun lalu di rumah ibunya, membuat ia terkejut. Ingin saat itu, ia memberi tahu Revan. Tapi, Nadia melarangnya. Ibunya juga. Indra pun menurut.
Dan dua bulan yang lalu, ibunya meminta Nadia dan Indra menikah. Mungkin Indra bahagia, tapi Nadia ...?
Semua dilakukan demi menyenangkan hati ibunya. Mengingat dirinya telah bertahun- tahun pergi dari rumah. Merantau dari Tenggarong ke kota minyak ini saat usianya empat belas tahun. Tinggal menumpang dengan pamannya. Ia tak pernah mau pulang. Walau ia tahu, ibunya sering mengirimi uang melalui pamannya, untuk biaya sekolah dan kuliahnya. Konyol, pergi menjauh tapi tetap menerima uang dari ibunya.
"Apa kamu masih membencinya?"
"Tidak terlalu," sahut Indra.
"Lalu kenapa masih tinggal di apartemen sendirian? Ibumu membeli rumah di sini."
"Aku ingin bebas," kata Indra.
"Kenapa kamu marah pada ibumu?"
Indra diam beberapa saat. Ada mendung di kedua bola matanya.
"Aku belum bisa cerita. Mungkin, nanti kamu akan tau," kata Indra.
"Oke."
Beberapa saat saling diam.
Sibuk dengan pikiran masing- masing.
Indra bersandar di punggung kursi.
"Aku pria brengsek," ada nada sinis dalam ucapannya," kata Revan, aku tukang jelalatan. Dan play boy cap tiga roda," Indra terkekeh. Nadia tersenyum lebar.
"Julukan semasa SMA. Apa itu masih melekat sampai sekarang?"
"Ya," Indra masih terkekeh, "aku dekat dengan banyak gadis di sekolah. Tapi, hatiku tertuju padamu," Indra menghela nafasnya.
Nadia menatapnya haru.
"Sampe sekarang, aku masih suka dekat dengan banyak wanita."
"Setelah menikah, hentikan itu!" Nadia mendelik. Indra mengangguk.
"Aku pulang, ya. Kalo ada apa- apa. Telpon aku!"
"Iya, Ndra," Nadia tersenyum.
Indra berdiri dari kursi, melangkah menuju mobilnya yang terparkir di deoan rumah Nadia.
Gadis itu memandangnya dari ambang pintu. Indra menyunggingkan senyum sesaat sebelum ia masuk ke dalam mobilnya. Gadis itu pun membalas senyumannya.
***
Seperti biasa, sebelum beraktifitas ke luar rumah, Andi Mahesa duduk di ruang tengah dengan koran di tangannya. Ia asik membaca berita- berita yang disuguhkan di surat kabar itu.
"Pa," Revan datang menghampirinya.
"Ada apa? Mau minta bonus tiket honeymoon, sudah tentukan mau ke mana?" Andi berucap tanpa menoleh ke arah Revan. Matanya asik menjelajahi huruf- huruf yang tertulis di kertas persegi panjang itu.
"Bukan itu."
"Jadi?"
Revan menceritakan pertemuannya dengan Bahran dan Nadia saat di rumah sakit. Ia ceritakan sesuai apa yang ia lihat dan ia dengar.
Andi memiringkan bibirnya, ia melipat koran di tangannya. Lalu melemparkan koran itu ke meja kaca yang ada di depannya.
"Jadi, aku dituduhnya sebagai dalang terjadinya kebakaran malam itu? Dan ayahnya cacat karna kebakaran itu?"
"Ya."
Andi tersenyum sinis, "dengar, aku memang memintanya pergi dan memberikannnya sejumlah uang. Tapi, aku tidak membakar rumahnya!" tegasnya dengan matanya yang tajam.
"Tapi ...."
"Aku punya alasan kenapa aku tidak ingin kau menikah dengan Nadia."
"Karna status sosial kan?"
"Bukan sekedar itu," Andi menyeruput kopi hangat dari cangkir yang ia ambil di atas meja.
"Apa itu?" Revan penasaran.
"Sudahlah Revan. Semua sudah berlalu. Tidak penting kau tau atau tidak. Yang jelas, "ia meletakkan cangkirnya kembali ke atas meja, "tidak ada seorang ayah yang ingin anaknya salah dalam memilih jalan hidupnya, "ia menoleh ke putranya yang duduk beberapa senti darinya.
"Aku bukan ayah yang baik... tapi aku ingin yang terbaik untuk anak- anakku!" matanya begitu dalam menatap Revan.
Revan tersenyum sinis. Tetap ia berpikir ayahnya memang orang yang kejam.
"Tiket honeymoon itu, batalkan saja," kata Revan, ketus.
"Ya ampun. Apa kau marah padaku soal si Bahran?"
"Ya."
"Dengar, aku memberimu tiket sebagai bonus dari bos kepada anak buahnya. Karna sudah bekerja dengan baik. Jadi, bukan karna status ayah dan anak!" ucapannya terdengar tegas.
Revan mendengus.
"Aku selalu profesional dalam memperlakukan mu. Aku tidak segan memotong gajimu jika kau banyak membolos saat bekerja. Aku menggajimu dengan profesional bukan?" Andi menatap Revan.
"Terima saja," suara Rina mengejutkan mereka berdua.
"Kau menguping?" Andi mengernyitkan dahinya.
"Sedikit," Rina tersenyum lebar.
"Terima bonus itu. Kau dan Meira butuh bersantai," Rina duduk diantara mereka, "ayolah Revan," bujuk mamanya.
"Baiklah," sahut Revan agak terpaksa.
"Bagus," Rina tampak senang, "jadi mau ke mana? " tanyanya sambil menepuk lengan putranya.
"Sepertinya Derawan," jawab Revan.
"Romantis, tempat yamg tidak terlalu gaduh. Sangat bagus," ujar wanita itu.
"Besok tiketnya akan kuberikan," ujar ayahnya.
"Oke," sahut Revan.
***
Ranjang mereka penuh dengan pakaian yang akan dibawa untuk berbulan madu. Meira sibuk menata pakaiannya dan Revan ke dalam koper.
Sementara Revan ada di balkon, sedang berbicara dengan Indra melalui ponsel. Memberikan wejangan- wejangan kepada sahabatnya itu tentang masalah pekerjaan.
Sekitar dua puluh menit kemudian, semua pakaian dan beberapa barang pribadi sudah masuk ke dalam koper besar dan satu koper kecil.
Revan telah selesai berbicara dengan Indra. Ia masuk ke dalam, dan menaruh ponselnya di atas bantal.
"Sudah selesai?" Revan menatap dua koper yang berdiri cantik di dekat lemari.
"Sudah," Meira duduk di sisi ranjang, "berapa lama kita ke sana?"
"Empat hari," sahut Revan.
"Lumayan lama," ujar Meira.
"Itu sebentar sayang, mengingat perjalanannya yang cukup menyita tenaga dan waktu."
Revan merebahkan tubuhnya di ranjang. Meira ikut berbaring.
"Kepikiran Clarissa," ujar Meira.
"Tenang, banyak yang jaga," kata Revan santai, "kalo dia ikut ...," Revan menatap Meira dengan kerling mata yang sedikit nakal.
"Apa?"
"Mengganggu ketenangan bulan madu kita," ujar Revan.
Meira mengulum senyum.
"Mei ...."
"Ya?"
"Apa kamu takut hanya akan berdua denganku di sana?"
"Hmmm, insya Alloh gak," sahut Meira.
Revan tersenyum bahagia.
"Kenapa Derawan?"
"Lebih tenang, dari pada Bali," ujar Revan.
"Begitu ya?"
Revan mengelus pipi istrinya dengan lembut. Berharap bulan madu mereka berjalan lancar.
***
Perjalanan menuju pulau Derawan cukup memakan waktu dan juga tenaga. Revan dan Meira menempuh penerbangan dari bandara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Balikpapan menuju bandara Kalimarau, kabupaten Berau selama satu jam.
Tak berhenti sampai di situ, mereka naik travel menuju Tanjung Batu selama hampir empat jam. Dan untuk mencapai pulau Derawan mereka menaiki speedboat selama kurang lebih empat puluh lima menit. Melintasi ombak yang cukup besar.
Perjalanan yang cukup melelahkan, tetapi sebanding dengan pemandangan yang disajikan pulau Derawan. Sebuah pulau yang eksotis. Airnya terlihat kehijauan, dan kadang tampak biru kobal. Di dalamnya terdapat banyak biota laut diantaranya penyu yang berenang bebas dan terlihat dari permukaan. Selain itu, ada pula barakuda dan ubur- ubur stingels serta tumbuhan biota laut lainnya.
Revan dan Meira menginap di sebuah resort yang berada di dekat pantai. Dikelilingi para pedagang souvenir dan juga beberapa restoran.
Mereka masuk ke resort yang dinding hingga lantainya dari kayu ulin. Sangat unik dan klasik.
Revan meletakan koper di dekat lemari yang berada di sisi kiri ruangan.
Kemudian menghempaskan diri ke atas ranjang besar yang empuk. Rasanya seluruh tubuhnya yang letih sedikit terobati.
Meira membuka kain korden yang berwarna putih gading yang menutupi kaca jendela. Ia membuka jendela tersebut, dan seketika angin berebut masuk ke kamar yang mereka tempati, menyapu wajah Meira yang terlihat sumringah walau sedikit letih. Ia menikmati hembusan angin, menatap ke laut lepas. Ada orang- orang yang sedang berenang, ada yang menaiki perahu, di tengah laut tampak kapal besar pengangkut batu bara tengah berlayar. Kawanan burung berterbangan di langit jingga.
Sementara itu, Revan justru tertidur pulas di tengah ranjang. Meira membalik badannya dan mendengus melihat suaminya yang terlelap dengan sepatu yang masih menempel di kedua kakinya juga kaca mata hitam yang masih bertengger di atas hidungnya.
Hari sudah hampir petang. Meira menutup jendela dan menarik kain korden hingga pemandangan di luar tak tampak.
Meira membuka sepatu Revan dan melepas kaca mata suaminya. Kemudian ia pergi ke kamar mandi.
***
Malam selepas shalat isya. Mereka menikmati makan malam di salah satu restoran di sekitar resort. Suasana cukup ramai, banyak pasangan yang juga menikmati makan malam di restoran yang berada di pinggir laut itu.
Langit malam terlihat cerah dengan kerlipan bintang dan rembulan yang berbentuk sempurna. Angin bertiup cukup deras, suara deru ombak terdengar begitu indah.
***
Selesai makan malam dan berjalan- jalan sebentar di sekitar resort. Mereka kembali ke kamar.
Selesai membersihkan diri, juga berwudhu Revan duduk di pinggir ranjang, mengecek hand phonenya. Meira masih di kamar mandi.
Revan merasa jantungnya berdebar. Ia mencoba menetralkan pikirannya yang sedikit kacau sejak tadi. Apa bisa malam ini berlalu dengan indah. Ah, entahlah.
Meira yang hampir setengah jam di kamar mandi akhirnya ke luar dengan lingerie berwarna biru dongkar di atas lutut, jenis kamisol berbahan seperti satin. Sebenarnya ia malu. Tapi, ini demi suami dan juga menghargai pemberian ibu mertuanya.
Dengan jantung yang berdegub kencang, nafas yang terasa kurang teratur, Meira pelan- pelan menghampiri Revan yang duduk di pinggir ranjang membelakanginya.
"Re ... Revan," panggilnya dengan gugup.
Revan menaruh ponselnya ke atas nakas dan menoleh ke arah istrinya yang tampak malu berdiri beberapa meter dari tempat tidur.
Revan terpesona dengan apa yang ada di hadapannya. Tubuh itu, yang selalu tertutup rapat kini terlihat begitu menggoda. Lekuk tubuh Meira begitu tampak, kulit putihnya yang mulus begitu jelas. Sangat indah.
Revan berjalan mendekatinya. Nafasnya bergemuruh, gairahnya mulai terpompa. Revan menekan saklar lampu. Seketika cahaya berganti dengan sinar redup keemasan dari lampu kecil yang ada di atas nakas.
Meira terpaku dengan kepala menunduk. Rambutnya tergerai indah. Wajahnya merah seperti kepiting rebus.
"Mei ...."
Meira tak menyahut, rasanya ia tak bisa bersuara. Revan bisa merasakan deru nafas istrinya.
Revan menarik pinggang Meira dan tubuh wanita itu menempel padanya. Meira menatap suaminya diantara cahaya yang redup. Revan tersenyum penuh hasrat, kemudian melumat bibir tipis di hadapannya. Meira merasa nafasnya tersengal, Revan menghujaninya dengan ciuman yang membara.
"Re ...."
Lelaki itu berhenti menciumnya,"apa kau siap?" tanyanya mesra.
Meira menelan salivanya, perlahan mengangguk. Wajahnya terasa panas, yang juga menjalar ke seluruh tubuhnya. Revan menggendong Meira dan merebahkannya ke tempat tidur.
Berharap malam ini akan menjadi malam pertama mereka.
Revan terus melancarkan aksinya, menciumi bagian leher istrinya. Meira pasrah. Ia memejamkan kedua matanya, berusaha mengusir rasa takutnya. Berharap ia bisa melayani suaminya dengan sebaik- baiknya. Revan membisikan doa ketelinga Meira dengan mesra. Pelan ia mengikuti bacaan doa. Lalu... terlepaslah satu persatu kain yang menempel ditubuh mereka.
Meira merasakan jantungnya berdebar sangat kencang, saat Revan memulainya. Masih ada rasa takut dengan pemaksaan yang pernah ia terima sebelumnya. Dan...
Meira masih merasakan sakit. hanya tidak sesakit dahulu waktu Revan melakukannya dengan paksa. Sesaat kemudian...
"ooh..hh.." ia melayang ke angkasa. sakitnya hilang entah kemana.
Revanpun merasakan hal yang sama. Ia merasakan hal yang sangat berbeda dengan yang pernah ia lakukan dahulu. Hingga titik puncaknya....
Akhirnya mereka berdua lunglai, bersimbah peluh. mereka saling berpelukan tidak mau terpisahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel