Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 31 Mei 2020

Bunga Tanpa Mahkota #15

Cerita bersambung

BMW hitam itu melesat di jalan raya yang mulai sepi. Temaram lampu- lampu jalanan, menerangi jalan di malam yang semakin pekat.

Rina duduk di sebelah suaminya. Sedari tadi mereka hanya diam. Wanita itu menatap ke luar jendela, menatap jejeran- jejeran ruko yang sebagian sudah tutup, di selingi deretan gerobak para pedagang kuliner malam.
Entah apa yang ada di benaknya, sejak bertemu dengan Ema tadi sepertinya Rina yang biasanya cerewet dengan suaminya, mendadak menjadi pediam.

Begitu pun Andi Mahesa, biasanya ia selalu mengoceh tentang banyak hal kepada sang istri. Namun, malam ini ia bisu. Matanya lurus ke depan, sambil menyetir. Seiring putaran roda mobilnya, pikirannya melayang ke masa lampau. Masa- masa sekolah dengan seragam putih abu- abu.
Ia teringat kebersamaannya dengan Ema, gadis sederhana yang memiliki senyum memikat. Cerdas dan sangat kritis. Bersama dalam satu kegiatan organisasi sekolah, Andi sering berinteraksi dengan Ema. Mereka tak pernah sekelas, tapi sering terlihat bersama.

Sementara Ema memiliki sahabat yang manja dan cerewet, dialah Rina. Seorang gadis berkulit coklat yang eksotis, bibir yang sensual, matanya yang bulat berpayung bulu mata lentik, tubuhnya tinggi dan padat berisi. Mereka berdua sahabat yang saling menyayangi.

Andi mengenal Rina sejak kecil, karena orang tua mereka rekan bisnis dan sepakat menjodohkan mereka.
Andi ingin menolak, tapi tak berani melawan orang tuanya. Hatinya terpaut pada Ema, gadis yatim yang selalu memikat hatinya dengan senyumannya.
Andi membelokan mobilnya ke kiri, melintasi sebuah halte, sebuah bank, dan ruko- ruko elektronik yang mulai sepi.

Kembali ingatannya melayang ke masa dimana ia telah menikah dengan Rina dan Alisa telah lahir.
Saat itu mereka baru saja menyelesaikan kuliah. Jadi, saat wisuda Rina sedang mengandung Alisa.
Saat Rina sibuk mengurus bayi mereka. Andi bertemu kembali dengan Ema yang saat itu, bekerja sebagai penjaga toko pakaian bayi. Andi bermaksud membelikan pakaian untuk putrinya. Dan tak menyangka bertemu dengan Ema.

Komunikasi pun terjalin kembali. Andi sering mampir ke toko itu, dan mengajaknya makan atau sekedar menikmati es cream di pinggir pantai.

"Aku seperti kekasih gelap mu," kata Ema kala itu saat mereka tengah menikmati es cream di pinggir pantai.
"Tapi, kau senang?"
Ema tak menjawab, ia hanya tersenyum.
"Menikahlah denganku," pinta Andi.
Mata Ema saat itu seakan ingin terlepas dari tempatnya. Ia menatap Andi dengan serius.

"Aku mencintaimu, menikahlah denganku." Tegas Andi.
"Kamu sudah beristri," Ema memandang ke arah laut lepas.
"Aku tau, tapi ... aku mrncintaimu. Aku ingin melindungimu. Mau kah kau menjadi istri keduaku?" Andi menatap intens kedua netra Ema.

Entah setan aa yang sudah merasuki pikiran kedua orang itu. Mereka pun benar- benar melakukan pernikahan secara diam- diam. Andi menikahi Ema secara siri.
Ema sadar, itu hanya akan mengundang petaka baginya. Tapi, rupanya cinta buta yang ia miliki mengalahkan segala logikanya. Begitu pun dengan Andi.

Ema tak memiliki siapa- siapa. Ia yatim, setahun setelah lulus sekolah ibunya pun meninggal. Lengkaplah ia menjadi yatim piatu. Tak punya saudara, paman dan bibi yang entah dimana rimbanya, ia tak pernah tahu. Jadilah ia hidup sebatang kara.
Andi masih terus mengemudikan mobilnya. Dan pikirannya masih melayang ke masa lalu.

Setahun setelah pernikahan rahasia mereka, akhirnya pihak keluarga Andi mengetahuinya. Ayahnya marah besar, wartawan mengambil keuntungan dari terkuaknya pernikahan siri Andi dan Ema. Jadilah keluarga Mahesa sebagai topik hangat di surat kabar.
Rina tentu saja sakit hati, apalagi ia saat itu hamil anak kedua, dengannusia kandungan masih masih dua minggu. Imengamuk dan sempat melabrak Ema. Mendatangi wanita itu ke rumah yang Andi beli untuk istri keduanya.
Rina bagai kesetanan, mengamuk dihadapan Ema dan Andi. Hancurlah persahabatan yang dulu terjalin manis antara dia dan Ema. Rina sakit hati, merasa dikhianati.
Bulir bening tanpa permisi jatuh di pelupuk mata Andi Mahesa. Cepat ia menyeka air mata itu, lalu kembali fokus menyetir. Namun, masih ia mengingat kembali soal Ema.

"Pergilah, jangan pernah datang ke hadapanku lagi!" Ema menatap Andi dengan nanar.
"Em ...."
"Cukup!" Ema menarik nafas dan menghempaskannya dengan kasar." Kita akhiri saja. Ceraikan aku. Lupakan aku. Pulanglah kepada Rina dan keluargamu." Ema berusaha menahan air matanya.

Kata ceraipun akhirnya terlontar dari mulut Andi. Pernikahan siri itu pun berakhir.
Andi merasa kesakitan, ia bungkam. Merasa bodoh saat itu, karena telah melukai Ema. Tapi ia juga tidak bisa meninggalkan Rina dan keluarganya. Ada Alisa dan juga janin di rahim istri pertama nya itu.

"Aku akan baik- baik saja!" Ema pergi dari rumah yang Andi berikan untuknya. Pergi tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Wanita itu hanya membawa satu tas besar yamg berisi pakaian. Sementara, perhiasan, beberapa pakaian mahal yang Andi pernah berikan, ia tinggalkan di rumah itu.
Andi hanya memandang kepergian Ema dengan air mata yang berjatuhan dengan derasnya. Andi luruh ke lantai, mendekap kedua kakinya. Mengutuki dirinya. Berkali- kali ia membodoh- bodohi dirinya.

Mendadak Andi menghentikan mobilnya ke tepi jalan. Menimbulkan decitan yang diakibat dari ban yang beradu dengan aspal. Tubuh mereka maju ke depan kemudian terhempas kembali ke sandaran jok.Jalanan terlihat sepi.
Rina yang kaget, menoleh ke arah suaminya.

"Kau kenapa?"
Andi merasa dadanya sesak, nafasnya sulit diatur. Kadua kornesnya yang biasanya selalu angkuh, kini begitu keruh. Ada kepedihan dan penyesalan di sana.
"Maafkan aku ..." lirihnya." aku pernah mengkhianatimu."
Rina yang melihat kesedihan di wajah Andi, membuat ia menangis.
"Aku melukai mu.  Juga ... Ema," isaknya.
"Kau mengingat itu lagi?"
"Ya," angguk Andi.
"Aku sudah memaafkan mu. Aku juga sudah melempar jauh- jauh kisah menyakitkan itu. Aku memaafkan mu juga Ema. Kita sudah tua, jadi ... sudahlah," Rina mengusap air matanya dengan kedua telapak tangannya.
"Lupakan itu, Ema wanita tegar. Aku juga merasa bersalah, karna merasa telah menjadi penghalang cinta kalian," Rina menggigit bibirnya.

Andi terisak. Ia meletakan keningnya ke atas kemudi. Bahunya berguncang hebat. Lalu keduanya larut dalam tangis. Rina menepuk- nepuk punggung pria yang begitu ia cintai itu
***

Indra mengantar ibunya sampai ke rumah, ia masuk ke ruang tamu. Duduk di sofa berwarna coklat.

"Apa kamu mau menginap di sini?" Ema duduk berseberangan dengan Indra.
"Tidak," sahut Indra, cepat.
"Baiklah," ada kekecewaan dari ucapannya." Kapan kau akan menikahi Nadia?" Ema mengalihkan pembicaraan.

Indra mengangkat kedua bahunya. Ia bingung.
"Kamu bilang ... Kamu mencintai Nadia. Sekarang, punya kesempatan memilikinya. Kenapa bingung?"
"Aku mencintai Nadia, sejak dulu. Tapi ... aku juga mencintai kebebasanku," jelasnya. Itu membuat Ema menggelengkan kepala.
"Jangan membuat gadis itu kecewa, dia mau menerima mu." Ema sepertinya sangat berharap Indra menikahi Nadia.
Indra membuang nafasnya dengan kasar, lekat ia manatap mata yang sudah menua di depannya itu.
"Aku tidak ingin diatur." Bicaranya cukup tegas.

Ema agak kaget dengan ucapan Indra. Dulu, Indra tidak seperti ini. Anak yang penurut, walau sering murung dan tidak memiliki banyak teman, bahkan nyaris tidak ada. Entah mengapa setelah hampir sebelas tahun ia tak melihat putranya itu,  banyak perubahan pada diri Indra.
Memang sekarang Indra lebih terlihat ceria, suka bercanda, apalagi jika bersama Revan. Namun, ia sedikit genit, bahkan kadang liar. Itu yang Ema tangkap dari sikap putranya, mungkinkah karena pergaulannya yang bebas?

"Kenapa ibu memilih kota ini, untuk lahan bisnis?" Indra mengamati ibunya. Ada kecurigaan padanya.
"Amanah dari almarhum ayah mu," sahut nya santai.
"Dia bukan ayahku! Tapi, suami mu!" Tegasnya.
Ema terhenyak. Terdiam beberapa detik.
"Dulu kau marah ketika aku menikah dengan almarhum suamiku itu," raut mukanya tampak sedih." Itu yang membuatmu pergi meninggalkan ku?"
"Ada alasan lainnya," sergah Indra.
"Apa?"
"Aku rasa ... ibu tau," Indra tersenyum sinis.

Ema membuang pandangannya ke arah lukisan pegunungan yang ada di dinding kanan. Berusaha mengatur gejolak di hatinya.
"Aku anak siapa?" Pertanyaan Indra membuat Ema semakin merasa sesak.
"Kau anakku," sahut Ema berusaha santai.
Indra memiringkan bibirnya." Aku sedang menanyakan ayahku!" Suaranya sedikit tinggi, matanya nanar, dadanya turun naik dengan cepat.
Ema memejakan matanya, menahan agar bulir- bulir bening yang mulai berkumpul di matanya tidak luruh seenknya.
"Ibu gak pernah mau jawab," Indra mengepalkan tangannya.
"Dia sudah ...."
"Mati?" Cecar Indra," Ya ... selalu ibu bilang, ayahku mati, " wajahnya mengeras.
"Itu tidak penting," ujar Ema dengan suara parau.
"Bagi ibu tidak, tapi bagiku itu penting," Indra berdiri dari duduknya.
Ema bergeming, luruh juga akhirnya air mata yang sejak tadi ditahan.
"Kau tidak tau," Ema terisak." Apa itu pengorbanan."
"Pengorbanan konyol!" Indra begitu emosi." Aku korban dari pengorbananmu. Ibu gak tau rasanya di bully, dikucilkan, merasa sepi?"
Ema terguncang, tubuhnya gemetar.
"Ibu gak tau rasanya, saat teman- teman mengatai aku anak haram dan ibuku pelacur!" Indra makin mengepalkan tangannya, buku- buku jarinya  terlihat memutih." Itu menyakitkan ...."

Ema tertegun, membisu dalam tangisan yang memilukan.
Indra tanpa permisi, langsung saja mengayunkan langkahnya pergi meninggalkan rumah ibunya.
Sedangkan Ema masih duduk di sofa dengan tamgisnya yang semakin menggila.
***

Usai menemani Clarissa tidur, Revan dan Meira pergi ke atas peraduan mereka. Lengan kiri Revan menjadi bantal untuk Meira.

"Kursusmu tinggal berapa kali lagi?" Revan menatap langit- langit kamar mereka.
"Dua kali pertemuan lagi. Setelah itu, aku dapat sertifikat dam mulai bisa mempraktekannya. Aku sudah tidak sabar ingin mengolah aneka kue juga pastry di White Rose Cafe," mata Meira tampak berbinar- binar
Revan menoleh kepada istrunya, dan tersenyum.
"Mei ...."
"Ya."
"Benarkah, kamu sudah merasa nyaman denganku?"
"Ayolah Revan, aku sangat nyaman di dekat mu,"Meira menyentuh pipi Revan.
" Maafkan aku," sedikit mendung di matanya.
"Revan ..."Meira menatap suaminya, lekat.
"Aku masih dibayangi rasa berdosa. Rasanya tangis ku dalam sujud- sujudku tak bisa menghapus rasa berdosaku pada mu," kedua mstanya mulai merah.

Meira bangkit dari sisi Revan. Kemudian duduk dan memandangi kedua mata Revan.
"Jangan bahas itu lagi," pinta Meira.
Revan pun duduk, dadanya terasa sesak. Beberapa saat tenggelam dalam keheningan.
Meira meletakan kedua tangannya di pipi Revan.
"Revan ... kau sudah membuatku sangat nyaman. Bukankah aku sudah membuktikannya?"
Revan tersenyum, Meira mengusap dengan ibu jarinya  bulir bening yang luruh di sudut mata suaminya.
"Aku butuh, pembuktian lagi ..." senyum jahil terukir di wajah Revan. Meira menahan tawanya." Tapi sayang, masih libur...."
Mereka tergelak bersama. Revan menarik istrinya ke dalam dekapan hangatnya.
"Akhir- akhir ini jadi mesum terus, sih?" Meira mendongakan wajahnya.
"Gak pa- pa dong, kan sama istri sendiri bukan istri orang," Revan mendaratkan kecupan diatas bibir Meira.
Lagi, Meira merasa panas menjalari pipinya. Sudah sering memperoleh ciuman dari suaminya, masih saja umia merasa malu dan gugup.
***

Revan duduk di kursi kerjanya, menatap ke layar laptopnya dengan serius. Entah apa yang ia sedang baca.
Suara ketukan mengagetkannya. Ia mengalihkan matanya dari laptop.
"Ya, masuk!" Perintahnya.

Pintu terbuka dan wajah Indra muncul dari balik pintu. Ia melangkah ke dalam dan duduk di deoan meja kerja.
"Mau kasih laporan soal perkembangan karyawan," Indra menaruh map merah berisi beberapa helai kertas laporan ke aras meja.
"Oke, nanti aku cek," sahut Revan. Kembali matanya menatap layar yang menyala di hadapannya.
"Serius banget, baca apaan, sih?" Indra penasaran.
"Kepo aja," sahut Revan.
"Habis, kayak menghayati banget."

Revan berhenti membaca barisan- barisan tulisan di layar benda canggih itu. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi.
"Bukan apa- apa," kata Revan.

Ponselnya berbunyi, dengan segera ia mengbil ponselnya di ataa meja. Dari layar ponsel ia melihat nama "My Love". Ia tersenyum dan menerima telepon dengan semangat.

Mesra ia menjawab salam dari suara yang menyejukan di seberang sana. Tapi kemudian suaranya timbul tenggelam, Revan akhirnya beranjak dari kursinya. Mungkin sinyalnya sedang kurang bersahabat.

"Ya sayang, aku ke luar dulu, deh. Suaranya gak jelas," Revan menepuk bahu Indra." Aku ke luar dulu," ucap Revan setengah berbisik.
"Oke," jawab Indra.

Revan pun ke luar dari ruangannya. Lalu, Indra yang sedari tadi penasaran dengan apa yang sedang Revan baca di laptop itu, dengan hati- hati menggeser posisi benda tersebut dan ia mengernyitkan keningnya saat membaca tulisan di layar laptop.

[Kasus pemerkosaan masuk dalam kasus delik biasa, bukan delik aduan ....
Indra buru- buru membaca ke paragraf ke dua.
[Delik biasa merupakan proses hukum yang dilakukan tanpa harus ada tuntutan dari korban. Jadi, pihak berwajib akan tetap memproses hukum bagi tersangka perkosaan walau korban tidak mengajukan aduan dan tuntutan].

Indra mendengar suara derab kaki, buru- buru ia memposisikan laptop itu seperti sedia kala. Revan masuk dengan wajah sumringah.
"Ciyeee, yang happy di telpon bini." Indra tersenyum menggoda.
"Makanya cepetan nikah, biar ada yang perhatiin! Betah bener jadi jones," Revan tertawa meledek Indra.
"Hasem kamu, Van," Indra mengerucutkan bibirnya.
Revan mematikan laptopnya, kemudian membereskan meja kerjanya.
"Pulang, ah... Permaisuriku udah nunggu," ujar Revan.
Indra mencibir.
Revan memasukan laptopnya ke dalam tas hitam. Mengambil kunci mobil dan ponselnya dari meja.
Ia dan Indra pun ke luar ruangan bersamaan.
"Revan," Indra menghentikan langkah Revan.
"Ada apa?"
"Kamu lagi sembunyiin sesuatu dari ku? Ada hal yang belum aku tau?" Pandangannya penuh selidik.
"Gak ada," jawab Revan.
"Yang bener?"
Revan melemparkan senyuman sebagai bentuk meyakinkan Indra bahwa tak ada rahasia yang ia sembunyikan dari sahabatnya itu.
"Tapi ... meski sahabat, tak selalu semuanya diuangkapkan." Kata Revan.
"Ya, aku pun ada hal yang belum dan mungkin gak akan aku ungkapkan padamu," Indra menghela nafas.
"Ya," Revan sependapat dengan perkataan Indra barusan.
"Oke ... pulang gih.Permaisuri sudah nunggu!"
"Yoi, duluan ya!" Revan membalik badan dan melangkah menuju lift. Beberapa saat kemudian Revan menghilang dari pandangan Indra.
***

Revan mengucapkan salam dan membuka pintu rumahnya. Ia melangkah masuk. Duduk di sofa ruang tamu, melepas sepatu dan kaos kakinya. Lalu meletakannya di lemari khusus sepatu dan sandal yang bersandar di dinding dekat belakang pintu.

Sepi ....
Ia pergi menuju dapur, dimana saat ia masuk ke ruangan itu disambut aroma kue muffin yang menggoda.
"Sayang ?" Panggil Revan agak keras. Tapi tak ada sahutan. "Clarissa?"Masih sama, tak ada sahitan.
Revan melihat beberapa kue muffin coklat di atas meja makan dan juga tiga gelas jus mangga.
Kemudian ia masuk ke kamar, mungkin Meira di kamar. Ia mendengar suara gemercik air di kamar mandi.
Revan menaruh laptop, kunci mobil dan ponselnya di atas nakas. Ia membuka jasnya dan juga dasi dan juga kemejanya, dan menaruhnya di ranjang. rasa lega terlukis di wajahnya. Penat rasanya seharian dengan pakaian kantor.

Sekarang hanya kaos tipis berwarna putih menempel di tubuhnya, dan celana kerja yang masih ia kenakan.
" Mei ..." Revan berdiri di depan kamar mandi.
"Hmmm," terdengar sahutan dari dalam.
Revan kemudian menutup jendela, matahari di luar sana mulai menyemburkan warna jingga. Lalu menarik gorden untuk menutupi kaca jendela.

Meira ke luar dari kamar mandi, dengan rambut yang tergersi basah dan sehelai handuk menutupi tubuhnya
Revan yang melihat istrinya dalam kondisi seperti itu membuat naluri kelakiannya perlahan bangkit.
"Clarissa mana?"
"Dia lagi ngaji di masjid," jawab Meira. Ia masih berdiri sambil satu tangannya memegang kain handuk yang menutupi dadanya.

Revan mendekat dan langsung menarik tubuh yang menggoda itu ke dalam pelukannya. Meira memejamkan matanya.
"Cantik," bisiknya mesra.
Wajah Meira seketika merah. Tubuhnya sedikit gemetar, deru nafas yang berasal dari hidung Revan terasa begitu hangat menyentuh wajahnya.

Pelan Meira membuka matanya, dan kini ia harus beradu pandang dengan mata Revan yang begitu bergairah.
"Clarissa masih lama, kan?"
Meira mengangguk.
"Sudah ...."
Belum tuntas kalimatnya, seakan tahu apa yang akan ditanyakan suaminya ia menganggukan kepala.
Lalu ....
Penghujung sore itu, mereka lalui dengan romantis di atas peraduan mereka.

==========

Revan membantu Meira membereskan dapur setelah selesai makan malam bersama. Sesekali saling memandang dan berakhir dengan bibir yang tersenyum.

Clarissa asik bermain dengan boneka di ruang tengah, berbicara sendiri.  Suaranya berubah- ubah, kadang tedengar besar seperti lelaki dewasa, kadang suaranya lemah lembut keibuan. Revan dan Meira yang mendengar ocehan Clarissa, membuat mereka cekikikan.

Revan meletakan piring, sendok, mangkuk, dan gelas kotor ke wastafel. Meira segera mencucinya.
Revan memeluknya dari belakang. Ah, kebiasaannya. Selalu memeluk Meira dari belakang, entah ketika istrinya itu sedang masak atau mencuci piring.

"Wangi," Revan menciumi rambut Meira yang tergerai dan masih basah.
"Revan, aku susah gerak,"  kata Meira dengan kedua tangan yang dipenuhi busa sabun cuci piring yang menguarkan aroma jeruk nipis.
Revan tak memperdulikan perkataan Meira.
"Nanti Clarissa lihat," bisik Meira.
Revan menoleh ke arah pintu dapur yang menghubungkan ke ruang tengah, tak ada Clarissa di ambang pintu. Kembali ia mendekap mesra pinggang istrinya.
"Bawaannya pengen meluk kamu terus," ujar Revan, manja. Membuat Meira tersipu.
Tedengar bel berbunyi. Revan dan Meira agak tersentak.
"Ada tamu?" Meira dan Revan saling pandang.
"Biar aku yang buka." Revan bergegas ke ruang depan.
Ia menyingkap sedikit kain gorden, dan mengintip dari balik kaca jendela. Tidak ada orang di teras. Tapi akhirnya, ia tetap membuka pintu berwarna putih itu.

Angin menyapa wajah dan rambutnya yang masih setengah basah. Tak ada siapa- siapa. Ia mengedarkan seluruh pandangannya ke teras dan halaman rumah. Sepi ...
Matanya kemudian terhenti pada satu kotak berbungkus kertas berwarna coklat tergeletak di atas meja bulat yang ada di teras.

Dengan penasaran ia mengambil kotak yang tidak terlalu besar itu dan membawanya masuk. Ia menutup pintu dan duduk di sofa ruang tamu. Di atas kotak tertulis namanya.

'To : Revan'.

Karena penasaran ia pun segera merobek kertas coklat yang membungkus kotak tersebut. Ia membuka tutup kotak, dan dengan mengernyitkan keningnya ia mengambil setangkai bunga mawar yang kelopaknya sudah rontok, berhamburan di dalam kotak. Revan memegangi batang bunga mawar itu dengan aneh. Kemudian meraih satu kertas yang berada diantara rontokan kelopak mawar putih itu. Ia membuka lipatan kertas tersebut. Matanya membulat dan mulutnya sedikit ternganga.
'Betapa indahnya, seorang pemerkosa bisa hidup berdampingan dengan sang Bunga Tanpa Mahkota.'

Matanya nanar, tangannya gemetar. Ia remas kertas itu dengan kuat. Rasa berdosa kembali menyergapinya. Teriakan Meira dimalam petaka itu seakan kembali hadir dalam benaknya. Nafasnya terasa sesak.
"Revan?" Meira yang melihat suaminya seperti ketakutan itu tampak heran.
"Mei ...."
"Kenapa?" Meira berjongkok di hadapan Revan, memegangi kedua tangan suaminya yang gemetar.

Revan merasa tenggorokannya tercekat, lidahnya kaku. Meira menoleh ke meja, dan melihat kotak berisi kelopak mawar yang telah rontok. Ia mengernyitkan dahinya.
Kembali ia menatap suaminya yang tampak syok.
***

Meira berjalan ke halaman belakang rumah dengan korek gas di tangannya juga kotak misterius yang telah membuat Revan syok.
Ia menyalakan korek dan menyulutkan apinya ke ujung kertas yang bertuliskan kalimat teror. Ia berjongkok dan meletakan kertas yang mulai dilahap api itu di atas rumput, disusul dengan kotak yang telah ia sobek nenjadi beberapa bagian.
Wajahnya merah terkena pantulan sinar api yang menyala melalap kertas dan kotak misterius.
Revan tertegun di ambang pintu memandangi kertas dan kotak yang perlahan menjadi abu. Meira bangkit dan berdiri di sisi Revan. Memegang tangan suaminya.

"Bunda sama ayah lagi bakar apa?" Suara Clarissa mengejutkan mereka.
Keduanya menoleh ke arah Clarissa dan bergegas mendekati gadis kecil itu.
"Cuma sampah," Revan memegangi tangan putrinya dan mengajaknya ke kamar.
Meira menutup pintu belakang dan membiarkan kertas dan kotak yang sudah menjadi abu itu berserak diatas rerumputan, sebagian ada yang tertiup oleh angin, menguarkan aroma khas kertas terbakar.

Revan menemani Clarissa menyikat gigi dan wudhu sebelum tidur. Lalu mendampinginya di tempat tidur. Meira duduk di sisi ranjang. Revan berbaring di sebelah putrinya sambil membelai kepala Clarissa.

"Bunda, tadi kenapa Clarissa gak dijemput pas pulang ngaji?" tanya Clarissa membuat Meira mendelik ke arah Revan yang mengulum senyum.
"Hmmm, maaf ya ... Bunda tadi sore soalnya ...." Meira bingung mencari jawaban.
"Soalnya bunda sibuk ngurus ayah,  sayang ..." Revan mengerlingkan mata ke arah Meira.
"Ah, iya," Meira melotot ke Revan yang terkekeh pelan.
"Ohhh, untung aja tadi ada teman- teman yang rumahnya dekat rumah kita. Jadinya pulang bareng mereka." Jelas Clarissa.
"Maafin bunda, ya," Meira menjawil pipi Clarissa.
"Iya bunda, gak pa-pa. Kan masjidnya juga dekat, jadi Clarissa sebenarnya bisa pulang sendiri," ujar gadis itu.

Meira tersenyum. Kemudian melirik lagi ke arah Revan yang menahan tawa. Sejenak mereka terlupakan dengan paket teror tadi.
***

Ema sedang berkunjung ke rumah Nadia. Lebih tepatnya, rumah itu pemberian Ema untuk calon menantunya.
Mereka sedang menikmati teh hangat di ruang tamu. Sedangkan ayah Nadia sudah tidur.
"Besok orang yang akan merawat ayahmu akan datang. Jadi, kamu bisa bekerja dengan tenang," Ema menyeruput teh hangatnya.
"Makasih ya, tante," senyum mengembang di wajahnya.
"Besok aku sangat sibuk, jadi beberapa pekerjaan harus kamu yang handle. Termasuk bertemu dengan Andi Mahesa," Ema meletakan cangkir berisi teh itu ke atas meja.
"Apa?" Nadia menyipitkan matanya," gak salah tante?"
"Ayolah, jangan bawa masalah pribadi ke urusan bisnis. Beberapa berkas harus tanda tangan darinya. Pertemuan kalian di restoran hotel. Di Enggang Hotel, milik Andi Mahesa. Jam makan siang."
"Oke ..." sedikit mendesah, membayangkan bertemu dengan lelaki yang sudah menghina keluarganya dan juga menyebabkan ayahnya menderita luka bakar.
"Nadia, bagaimana kamu bisa yakin. Kalau malam itu, orang suruhan Andi yang membakar rumahmu?" Ema menyandarkan pinggangnya ke sandaran sofa.
"Yakinlah tante, karna sehari sebelumnya dia melemparkan uang ke wajah ayah dan ibuku di depan para tetangga. Lalu ia mengancam, jika aku tidak segera pergi dia akan membakar rumah kami." Jelas Nadia dengan raut wajah menahan amarah.
"Sekejam itukah dia?" Ema seakan sanksi.
"Itu faktanya," tegas Nadia. Lalu menatap Ema dengan penuh selidik." Sepertinya tante sangat kenal Andi Mahesa? "
Ema mengangkat alisnya, ia menghindari tatapan Nadia." Tentu saja, dia temanku saat SMA."
"Oh," Nadia membulatkan mulutnya,"hanya teman?" Masih seperti menyelidiki.
"Ya," angguk Ema.

Hening beberapa saat. Kemudian Ema mengalihkan pembicaraan, menanyakan sosl Indra.
"Apa dia sering menelpon atau menemui mu?"
"Tidak juga," sahut Nadia.
"Hhh, dia lebih suka ke bar," Ema terlihat sedih.
"Semoga setelah menikah, tidak lagi," Nadia berusaha ingin membuat hati Ema tenang. Meski ia sendiri kurang yakin apakah ia bisa membuat Indra berubah dan juga mencintai lelaki itu. seperti ia mencintai Revan. Kadang balas budi itu menyiksa.
Andai ia tidak bertemu dengan almarhum suaminya Ema, entah seperti apa kehidupannya sekarang.

Berkat pria baik itu, ia bisa bekerja di perusahaan milik suami Ema. Saat itu, Nadia sudah kehabisan uang. Sementara ayah dan ibunya butuh biaya berobat.

Setelah kebakaran itu, Nadia dan keluarga pergi ke Tenggarong. Agar bisa melupakan semua kepahitan di kota ini. Tinggal mengontrak, orang tua yang sakit- sakitan, adiknya yang masih sekolah. Menuntut ia untuk bekerja keras mencari penghasilan yang mampu memenuhi kebutuhannya.

Di saat ia putus asa, ia bertemu dengan Ema dan suaminya saat hampir saja, mobil yang mereka kendarai akan menabrak Nadia yang panik memapah ibunya yang saat itu kesakitan karna penyakit ginjal yang dideritanya semakin parah.
Akhirnya, Ema memberikan tumpangan kepadanya dan ibunya menuju rumah sakit. Sampai di sana, ternyata ibunya meninggal.

Dari situ, Ema dan suaminya berniat membantu Nadia. Ema bersimpati padanya, karna ia tahu bagaimana rasanya kehilangan ibu dan hidup susah.
Mereka memberikan kartu nama, agar Nadia bisa datang ke kantor milik suami Ema. Beberapa hari setelah ibunya dimakamkan, Nadia pun mendatangi kantor tersebut dan melamar pekerjaan di sana.
Sejak saat itu, Ema akrab dengan Nadia.

Ema tak memiliki anak selain Indra. Hanya Indra putranya. Dan saat itu, Ema tak pernah bertemu dengan putranya. Maka, kehadiran Nadia dan adik lelakinya menjadi pengobat sepi Ema.
Mereka juga membantu pengobatan ayah Nadia, hingga sekarang. Bahkan kuliah adiknya pun, Ema yang menanggungnya.

"Terimakasih tante," Nadia memegang tangan Ema.
"Untuk apa?"
"Untuk semua kebaikanmu," Nadia merasa matanya berembun.
"Sudah, tidak usah dibahas. Aku tau rasanya hidup sepertimu," Ema membalas genggaman Nadia," tapi kau masih beruntung. Ada ayah dan adik lelakiku. Sedang aku ... sebatang kara," ujar Ema dengan wajah sendu.
"Lalu, jika tante sebatang kara ... lantas lelaki yang Indra panggil paman itu, siapanya tante?"
"Ohhh, dia itu teman kecilku. Kami bertetangga, lalu aku pergi dari kota ini. Tapi, kami tetap berhubungan. Begitu juga dengan istrinya. Ketika Indra minggat, aku tau dia mengambil alamat rumah temanku itu. Dan benar ... sampai di sini, dia tinggal dengan temanku itu. Waktu Indra kecil, istrinya sering menjaga Indra kalau aku bekerja. Jadi, memang sudah dekat. Aku dan Indra pindah ke Tenggarong itu saat ia usia sekolah dasar," jelas Ema.
"Dan saat lulus SMP, dia kembali ke sini lagi. Apa yang dia cari?" Tanya Nadia.
"Entahlah, mungkin ingin lari dariku. Karna tidak setuju aku menikah dengan almarhum suamiku," kata Ema. Namun, seperti ada hal yng ditutupinya.
"Oh ya, adikku titip salam untuk tante," Nadia mengalihkan perbincangan.
"Oh, apa kabarnya. Dia betah kuliah di Surabaya?"

Nadia mengangguk. Ia masih penasaran kenapa hubungan Indra dan ibunya sangat tidak harmonis. Dan siapa ayah kandung Indra?
***

Diantara temaram lampu tidur, tampak wajah Revan penuh keringat. Nafasnya tersengal- sengal, ia bangkit dari tidurnya. Wajahnya pias.
Ia terengah- engah seperti orang habis maraton. Ia menelan salivanya, dan memandang wajah Meira di bawah sinar lampu yang redup, Meira tampak nyenyak.
Rasa takut dan bersalah tengah menghantuinya. Ia menyentuh pelan pipi Meira. Kemudian setetes air bening jatuh di pipinya. Kemudian ia pergi ke kamar mandi, dan berwudhu.

Dalam heningnya malam, Revan menggelar sajadahnya. Berdiri  di hadapan Sang Pemilik Jiwa. Terisak dalam sujudnya. Memohon ampunan. Berharap rasa salah itu pergi.

Meira terjaga dari lelapnya, dan melihat suaminya sedang shalat. Ia bisa mendengar ada isakan diantara ayat- ayat yang ia rafalkan. Meira merasa haru melihat pemandangan itu. Kemudian ia pun pelan- pelan pergi ke kamar mandi untuk berwudhu.
***

Revan mendatangi Fandi di restaoran tempat Fandi bekerja. Ia mencegat lelaki itu di parkiran.

"Mau apa?" Fandi menatap sengit.
"Apa kau yang sudah menerorku semalam?" Revan mengangkat satu alisnya.
"Hah," Fandi menyeringai," teror? Apa msksudmu?"
"Apa kau tau persoalanku dengan Meira?"
"Maksudmu?"
"Dengar Fandi, kalo sampai kau orang nya. Lihat saja, kau akan berhadapan denganku!" Ancam Revan dengan sorot mata yang mengerikan. Seperti singa yang siap menerkam musuhnya.
"Dengar tuan Revan Mahesa, jangan menuduhku sembarangan!" Fandi membalas tatapan tajam Revan.
"Meira pernah bilang, saat ia akan menikah denganmu. Katanya ia ..." Fandi berbisik kepada Revan. Membuat wajah Revan merah dan panas.
"Kalo itu benar ...waw, mengerikan sekali!" Fandi tersenyum seperti merasa menang." Aku belum terlalu yakin, karna tidak ada bukti. Lagi pula, tidak mungkin rasanya pria terpelajar dan terhormat seperti mu, berbuat seperti itu!" Fandi menyeringai lagi," tapi, kalo pun benar. Tidak heran, karna Meira pernah bilang padaku bahwa kau suka mabuk!"

Revan menarik kerah jaket Fandi,"Dengar, jangan pernah mengganggu kehidupanku dan Meira!"
"Aku tau, tapi ... aku selalu berharap kalian akan berpisah."
Ingin sekali Revan meninju mulut Fandi, tetapi urung ia lakukan mengingat banyak orang yang mulai berdatangan memarkirkan kendaraan.
"Aku bukan peneror itu!" Tegas Fandi. Revan melepas cengkeramannya dari kerah jaket Fandi.
"Bukan aku, mungkin musuh ayahmu!"

Fandi berlalu dari hadapan Revan. Ia masuk ke pintu dapur restoran. Revan pun masuk ke mobilnya dengan pikiran yang kacau. Memikirkan teror semalam dan juga mimpi buruk yang masih hadir dalam tidurnya.
***

Menjelang siang, Andi Mahesa menelpon Revan. Ia meminta pada putranya itu untuk menemui rekan bisnis propertinya. Yaitu Ema, di restoran hotel. Karena ia sangat sibuk, jadi tidak bisa bertemu dengan Ema.
Revan pun menyanggupinya.

Usai shalat zuhur, Revan pergi menuju restoran hotel. Tapi, ia tidak menemukan sosok Ema. Kata ayahnya, duduk di meja nomer lima. Ia menyapu pandangannya, tidak ada wanita itu.
Kemudian ia pun duduk sesuai yang ayahnya katakan, kursi itu dekat dengan jendela menghadap ke arah jalan raya yang ramai dengan kendaraan.

"Maaf pak, mau minum apa?" Pramusaji mendekatinya.
"Air mineral aja," kata Revan.
"Baik pak," angguk pramusaji itu penuh penghormatan.
Nadia ke luar dari taksi online. Ia melangkah menuju restoran hotel milik Andi Mahesa itu.
"Meja nomer lima," gumamnya sambil melangkah masuk ke restoran yang tidak terlalu ramai.
Ia mencari meja nomer lima. Ia melihat seorang pria duduk membelakanginya.
Nadia menarik nafas dalam- dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Ia berpikir akan bertemu dengan Andi Mahesa.
"Selamat siang pak ..." Nadia terperangah, saat lelaki itu menoleh ternyata Revan.
"Revan?"
"Nadia?"

Revan mendengus. Sementara Nadia tampak senang dan juga gugup.
"I-ibu Ema tidak bisa datang," kata Nadia.
"Ya, ayahku juga."
Nada bicara Revan agak malas.

Nadia duduk di hadapannya. Mengeluarkan beberapa berkas dari map biru yang sedari tadi ia pegang.
"Sudah lama kerja sama bu Ema?" Revan menatap Nadia penuh selidik.
"Su- sudah, sejak dia di Tenggarong. Jadi, sudah hampir lima tahun," jelas Nadia.
"Oh," Revan terlihat kesal.
"Aku senang bisa bertemu dengan mu dan bisa ngobrol sedekat ini sama kamu," kata- kata Nadia begitu berapi-api.
"Mana berkas yang harus ku pelajari dan ku serahkan ke ayah." Revan berusaha tidak tergoda dengan wajah manis di depannya yang tampak berbinar- binar menatapnya. Ah, mata itu yang pernah membuatnya mabuk kepayang.

Nadia menyerahkan berkas- berkas di tangannya kepada Revan. Dalam hitungan tak sampai sedetik, berkas itu sudah berpindah tangan ke Revan.
"Kamu mau makan?" tanya Revan.
Senyum mengembang di wajah Nadia," Belum," gelengnya.
"Pesan aja, "kata Revan sambil membaca berkas yang diberikan Nadia tadi.

Seorang pramusaji datang, dan menanyakan menu apa yang diinginkan. Nadia membaca menu di buku daftar menu. Kemudian menyebutkan beberapa menu.
"Untuk kamu aja, aku gak," kata Revan ketika gadis itu menanyakan padanya ingin makan apa.
"Oh, oke," sedikit kecewa di wajah Nadia. Pramusaji itu pun pergi setelah mencatat pesanan Nadia.
Seorang pramusaji lainnya datang dan menaruh air mineral di meja, tepat di hadapan Revan. Kemudian pergi setelah Revan mengucapkan terimakasih.

"Jadi, selama ini Indra tau kamu dimana?" Revan menautkan alisnya.
"Gak juga, dia baru tau aku kerja dengan ibunya dua tahun lalu, saat ibu Ema memutuskan kembali ke kota ini," sahut Nadia.
Revan kembali fokus ke berkas di hadapannya.

Hening ...

Nadia terus memandangi Revan yang sama sekali tidak peduli padanya. Dulu, Revan selalu tersenyum padanya, menatapnya mesra. Tapi sekarang, lelaki itu tak acuh.
"Oke, ini akan aku kasih ke papa," Revan merapikan berkas di tangannya. Nadia memberikan map biru kepada Revan. Lekaki itu mengambilnya dan memasukan berkas itu ke dalam map.

Makanan yang Nadia pesan sudah datang, pramusaji menaruhnya dengan rapi di meja.
"Silakan makan siang. Saya punya banyak urusan. Jadi, makan sendiri ya!" Revan menegak air mineral di hadapannya hingga separuh, kemudian pergi meninggalkan Nadia yang termangu di hadapan hidangan yang tersaji di atas meja. Ia menatap punggung Revan hingga menghilang dari pandangannya.
Tadi ia berpikir akan menikmati makan siang bersama Revan. Namun kenyataannya...
"Gadis itu benar- benar sudah menggantikan aku di hatimu," lirihnya.
***

Revan masuk ke ruangan Indra tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Jelas itu membuat Indra kaget.
"Eh, bro ... ngagetin aja," Indra menaruh hand phonenya di meja.
Revan menatapnya dengan sorot mata yang tajam.
"Sejak kapan kamu tau keberadaan Nadia?"
Indra terkejut. Kemudian berusaha memasang mimik tenang.
"Ohhh, sory bro ...bukan aku bermaksud berkhianat. Tapi Nadia yang minta aku tutup mulut."
Revan masih berdiri di depan meja kerja Indra dengan ekspresi kesal.
"Sudah berapa lama, kamu bohongin aku?"
"Santai bro," Indra berdiri dari kursinya," dua tahun." Jawabnya kemudian.

Revan tersenyum getir."Gak nyangka ... Kamu tega sama aku. Padahal kamu tau, setengah mati aku mengharapkan dia kembali. Sampai aku rela ikut mabuk- mabukan karna saran dari kamu biar aku bisa lupain Nadia!!!" Suara Revan meninggi.
Indra tertegun.
Ya, dia yang mengajak Revan masuk ke dunia malam. Mabuk-mabukan, juga bermain dengan banyak wanita. Dengan dalih agar bisa melupakan Nadia.
"Jadi, Kamu nyalahin aku?" Indra membalas tatapan Revan," Tapi kamu sendiri, kenapa mau Revan? Kamu mau ikut denganku!"

Revan menghempaskan telapak tangannya ke atas meja. Hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Nafas Revan tak teratur.
"Andai kamu bilang dua tahun lalu itu ... Meira gak mungkin aku ...." Revan tersadar, ia tak melanjutkan ucapannya.
"Apa? Kenapa Meira?" Cecar Indra.
Revan terdiam.
"Dengar Revan, kalo aku kasih tau kamu dua tahun lalu soal Nadia. Mungkinkah kamu menikah dengan Meira? Gadis yang saat ini begitu banyak memberimu perubahan?"
Emosi Revan sedikit mengendur.
"Terus, sekarang kamu sudah tau Nadia kembali. Kamu mau balikan sama dia?"
Revan diam.
"Apa masalahnya? Dia yang minta aku gak kasih tau kamu. Dia gak mau buat kamu dan papa kamu berantem lagi hanya gara- gara dia!" Suara Indra terdengar keras.

Revan duduk di kursi, Indra mendekatinya dan menepuk pundak Revan.
"Kamu sudah punya Meira."
"Aku hanya emosi. Membayangkan dirimu berbohong di belakangku. Indra..." Revan berdiri dari duduknya, "apa kamu menyukai Nadia?"
Indra menghela nafasnya," Ya," sahutnya mantab. "Sejak kita sekolah. Tapi aku ngalah demi kamu!"
"Jadi ... sekarang apa hubungan kalian?"
"Ibu memintaku menikahinya," sahut Indra dengan tenang.

Revan memejamkan matanya beberapa saat. Mencoba mengendalikan gejolak di hatinya, bagaimanapun sekarang ia sudah memiliki Meira.
Tapi, yang ia sesalkan kenapa ia harus bersatu dengan Meira dengan cara yang mengerikan. Andai bisa memutar waktu, ia tidak ingin hal itu terjadi.

Andai dua tahun lalu Indra memberitahunya bahwa dia tahu keberadaan Nadia, mungkin dia berhenti menjadi peminum. Dan mungkin tidak merenggut kehormatan Meira.
"Semoga, tidak ada lagi kebohongan yang kamu sembunyikan dari ku," Revan menatap Indra dengan tajam, kemudian ke luar dari ruangan Indra.

Indra mendengus dan mengambil ponselnya.
***

Meira sedang berada di kafe. Clarissa sudah tertidur, ada satu ruangan di dekat dapur yang digunakan sebagai kamar dan juga tempat shalat. Di ruangan itulah gadis kecil itu tidur.
Meira hendak ke luar dari kamar itu, ingin membantu karyawannya di dapur. Namun ponselnya berbunyi. Meira pun meraih ponselnya dari atas nakas. Sebuah pesan masuk.

Pesan gambar rupanya dari nomer yang tak dikenalnya.
Dan ia terperangah saat melihat foto di layar ponselnya.
Ditambah tulisan di bawah foto yang membuat dadanya terasa panas.

'Cinta lama yang bersemi kembali itu ... memang menyenangkan.'
Meira bisa melihat Nadia yang tersenyum sumringah di hadapan Revan.

Meira meremas ponselnya...

Bersambung #16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER