Cerita bersambung
Siapa yang tak cemburu mengetahui suaminya bertemu dengan mantan pacarnya. Meira tetap menyambut kedatangan suaminya walau kurang hangat dari biasanya. Meira ingin langsung mempertanyakan foto yang ia dapatkan dari orang yang tidak ia ketahui. Namun, ia menahan amarahnya demi menjaga suasana rumah. Nanti saja jika sudah tenang, ia akan menanyakan soal foto itu.
Sedang Revan merasa ada yang aneh pada istrinya. Seperti ada sesuatu yang disembunyikannya. Sikapnya pun tidak terlalu hangat seperti biasanya.
Usai semua urusan rumah beres dan Clarissa juga sudah tidur, Meira masuk ke kamar. Ia melihat Revan sedang membaca sebuah buku.
Menyadari kehadiran istrinya, Revan menutup buku di tangannya dan menaruhnya di meja rias. Meira diam saja, ia hendak mengambil baju tidur di lemari. Belum sempat membuka lemari, tangan Revan menarik tangannya.
"Kamu kenapa, sih?" Revan menarik Meira ke hadapannya, sehingga tubuh wanita itu menepel padanya.
"Dari tadi, diam aja. Aku kan jadi bingung? Kenapa, sih?" Revan mengusap rambut- rambut halus yang menepel di kening istrinya.
"Cuma ... mmm," menatap sekilas kepada Revan, kemudian berusaha melepaskan diri dari cengkraman Revan.
Revan membiarkan istrinya menjauh darinya. Meira melangkah ke meja rias dan mengambil ponselnya. Lalu, memperlihatkan foto Revan dan Nadia.
Tentu Revan kaget melihat foto tersebut." Siapa yang mengirimnya?" Revan melihat ke layar lagi, memperhatikan nomer telepon yang tertera di atas pesan bergambar itu.
"Entahlah," sahut Meira. Ia menahan rasa sesak di dadanya. Bagaimana pun melihat foto itu, membuat hatinya teriris. Cemburu, wajarlah karena Revan suaminya dan Nadia pernah begitu berarti di hati Revan.
Revan menaruh ponsel Meira di ranjang. Kemudia dengan tersenyum lembut memeluk istrinya. Membenamkan kepala wanita itu di atas dadanya yang bidang.
Kemudian Revan menceritakan kenapa Nadia bisa bersamanya tadi siang. Menjelaskannya secara rinci.
"Mei ... kamu percaya sama aku kan?" Revan mengurai pelukannya dan menyentuh dagu istrinya dengan jarinya. Sehingga ia bisa menatap dengan dalam bola mata coklat yang menyejukan hati itu.
Perlahan Meira mengangguk. Ia percaya dengan Revan.
"Jangan pernah berpikir kalau aku akan kembali padanya. Gak Mei, karna ada kamu yang sudah mengisi hatiku," ujarnya lembut. Membuat pipi Meira merona.
Dan sebuah kecupan hangat menyentuh bibir Meira. Suasana terasa hangat untuk beberapa menit.
Revan menjauhkan wajahnya setelah puas menikmati hangatnya bibir sang istri. Kemudian mengajak Meira duduk di pinggir ranjang.
"Sekarang, yang jadi pertanyaannya, siapa orang yang kirim foto itu?" Revan penasaran.
"Itu dia, aku sudah coba hubungi nomer itu. Tapi ... tidak aktif," Meira mendesah.
Revan tampak berpikir keras. Akhir- akhir ini sudah dua kali mengalami keanehan. Kotak misterius dan sekarang pengirim pesan dengan nomer tak dikenal dan tidak bisa dihubungi lagi.
"Beberapa hari yang lalu, tante Erna dapat telpon misterius," Meira memegangi tangan Revan.
"Apa?" Revan menoleh ke arah istrinya.
Meira pun menjelaskan soal telepon misterius yang membuat panik tante Erna.
"Dan nomer itu gak bisa dihubungi lagi sekarang ..." kata Meira, ada ketakutan dalam ucapannya.
"Sejauh ini, yang tau aib itu. Hanya keluarga kita saja. Bahkan pembantu di rumah papa gak ada yang tau, Mei ...." Revan menghempaskan nafasnya dengan kasar, semburat kebingungan terlukis di wajahnya.
"Aku pernah bilang ke Fandi ...tapi, dia gak percaya. Mungkinkah dia?" Meira menatap suaminya.
"Gak tau Mei," Revan menggelengkan kepalanya, "aku sudah mendatanginya tadi pagi," Revan menatap Meira." Dia menegaskan bahwa dia tidak melakukan teror itu! "
"Bagaimana dengan ..." Meira mengeratkan pegangan tangannya pada Revan, dengan hati- hati ia menyebut satu nama," Indra."
Revan mendesah. Diam.
"Maaf ... dia sahabatmu." Meira menggigit bibirnya, ada rasa tak enak saat menuding sahabat suaminya itu.
"Indra gak tau soal kita Mei... Dia gak tau,"kata Revan.
"Jadi ...?"
"Entahlah," Revan tampak semakin bingung.
"Musuh- musuh papamu? Mereka orang- orang yang juga mempunyai kuasa. Dan punya banyak telinga seperti halnya papamu."
Revan menggeleng, bingung. Otaknya seakan buntu. Ia hanya berharap Meira dan Clarissa dalam kondisi aman. Khawatir jika ada orang yang ingin melukai mereka.
***
Pernahkah merasa disaat maaf sudah didapatkan. Namun rasa berdosa masih terus menghantui? Rasa bersalah terus bergelayut dalam pikiran saat melihat orang yang dengan ikhlas memaafkan kesalahan kita?
Revan merasakan itu. Meski maaf sudah terucap dan orang yang sudah ia zhalimi menerimanya, bahkan mencintainya. Tetap saja, rasa berdosa itu masih membayangi. Lantas apa yang bisa membuatnya tenang? Tanpa merasa dikejar- kejar dosa lagi? Entah.
Seiring hari yang terus berganti, Revan menjalani kehidupannya dengan bahagia bersama Meira. Walau, rasa bersalah itu masih selalu hadir. Andai bisa memutar waktu, ia berharap sebuah kisah awal yang indah bukan menyakitkan.
Namun, takdir yang ia dan Meira jalani harus seperti itu. Bersatu karena awal yang menyakitkan.
Kini, ia melalui waktu demi waktu bersama wanita yang telah ia renggut kehormatannya.
Cinta diantara mereka kian terpupuk. Wanita yang dulu begitu membencinya, kini melayaninya dengan sepenuh hati. Menjalankan segala hak dan kewajibannya sebagai seorang istri dengan sebaik- baiknya. Juga mendidik putrinya dengan cinta.
Dalam kesendiriannya di malam yang sepi, kerap ia menitikan air mata. Mengutuki dirinya, tersungkur dalam tangis. Sesal yang menyesakan dada. Dosa yang terus membayangi. Ia bersujud dalam ampunan dan permohonan kepada Sang Penentu Takdir.
***
Hari ini, seperti biasa. Setelah menjemput Clarissa di sekolah. Meira ke kafe, membuat kue dan roti.
White Rose Cafe selalu ramai dikunjungi. Terutama para remaja. Lokasi kafe yang dekat dengan pantai, menjadi daya tarik bagi para pengunjung. Selain itu, para pengunjung sangat menyukai menu di kafe milik Revan dan Meira. Sajian kopi yang sangat lezat, juga kue dan roti yang diolah oleh Meira sangat memanjakan lidah para pengunjung.
Kesibukannya di kafe cukup membantunya sedikit melupakan teror yang terjadi beberapa bulan lalu. Namun, kini ada lagi teror dari sebuah telpon aneh dengan nomer yang tak bisa terlacak.
Seperti yang terjadi siang ini, setelah Meira berkutat mengolah kue bersama karyawannya, ponselnya berdering beberapa kali. Bergegas setelah membersihkan kedua tangannya ia mengambil ponsel itu dari meja kecil yang ada di kamar. Clarissa sedang tidur siang.
Meira menerima telepon.
"Hallo?"
Hening.
"Sebenarnya kamu siapa? Sudah sering kamu telpon saya tapi tidak pernah mau bicara. Kamu siapa???" Meira terlihat kesal. Ini sudah yang ke empat kalinya dalam tiga bulan ini, orang aneh itu menelponnya.
"Kamu mau apa????" Suara Meira meninggi.
Terdengar suara orang di seberang sana terkekeh. Tapi tetap saja Meira tidak mengenalnya.
Kemudian sepi lagi.
"Dengar siapa pun kamu. Yang pasti, kamu pengecut!!!"
Orang itu terkekeh lagi lalu mendesah.
Kemudian sambungan telpon terputus.
Meira meremas ponselnya. Ia mengusap wajahnya yang ketakutan. Lalu, ia memutuskan untuk mengganti kartu selularnya. Ia membongkar ponselnya dan mengeluarkan kartu kecil dari benda tipis itu. Ia lemparkan kartu itu ke tempat sampah.
***
Meira sudah mengganti kartu selularnya. Berharap tidak ada lagi telpon dari orang aneh. Ia mendesah, selalu berharap tak ada teror lagi.
Ia letakan ponselnya di atas meja rias. Kemudian pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
Revan sedang bermain bersama Clarissa di ruang tengah. Bermain peran dengan menggunakan boneka. Meira tersenyum melihat keakraban mereka.
Sesekali terdengar suara Revan menyerupai singa, lalu terdengar jeritan yang disusul tawa dari Clarissa.
Meira menyalakan kompor dan meletakan wajan anti lengket di atasnya. Menuangkan minyak goreng hingga setengah wajan. Sambil menunggu minyak panas, Meira menyalakan mesin cuci. Mulai memasukan pakaian- pakaian kotor ke mesin tersebut dan suara mesin berputar pun terdengar di dapur itu.
Revan datang, ia tersenyum melihat istrinya. Lalu melihat potongan ayam di dalam mangkuk yang sudah dibaluri bumbu.
"Sayang, ayamnya aku goreng ya!" Tanpa menunggu jawaban dari Meira, Revan mengambil capit dari tempat sendok, dan mengambil satu persatu potongan ayam ke dalam minyak yang sudah panas. Terdengar suara berisik dari minyak panas.
Meira menghampiri suaminya, "makasih ya, sayang," Meira mengecup pipi kanan Revan.
"Jiaaah, goreng ayam dapat satu ciuman. Kalo aku beres- beres rumah, dapat lebih dari ini gak?" Goda Revan.
"Ihhh," Meira memukul lengan Revan, pelan. Pria itu terkekeh.
"Kamu gak pa- pa, ngerjain semua kerjaan rumah sendiri?" Revan melingkarkan tangannya ke pinggang Meira.
"Gak," Meira menggeleng," aku senang, bisa ngerjain semuanya. Biar pahalanya dapet setiap waktu," ujar Meira membuat Revan terharu.
"Kalo butuh pembantu, kamu bilang ya sayang. Aku gak mau kamu jadi kecapean."
"Iya sayang, nanti aku bilang kalo nanti aku butuh pembantu. Tapi, untuk saat ini biar aku yang kerjain semua." Kata Meira penuh semangat.
Revan mengecup kening istrinya dengan mesra. Lalu, Meira melepaskan tangan Revan dari pinggangnya dengan perlahan. Mengambil sutil untuk membalik ayam yang sudah separuh matang.
"Mau buat apalagi?" Revan melirik ke arah sayuran yang tergeletak di dekat wastafel.
"Mau buat sayur tumis kangkung. Kamu suka kan?"
"Iya," Revan menyentuh kangkung yang tergeletak itu dan mencucinya di wastafel, di bawah air mengalir.
"Aku baru sadar, ternyata Revan Mahesa bukan anak manja yang selama ini aku bayangkan," Meira berdiri di dekat suaminya.
"Aku pernah jadi anak kos waktu kuliah di Bandung. Bareng Indra, aku biasa masak juga nyuci. Indra sih, yang ngajarin. Awalnya sih, ogah. Tapi lama- lama terbiasa. Jadi uang untuk laundry dan makan di luar yang papa kasih lumayan bisa dihemat." Cerita Revan sambil menaruh kangkung yang sudah bersih ke dalam baskom kecil dan ia mulai memotonginya dengan pisau.
"Semakin kesini, makin kenal kamu. Jadi makin kagum," Meira menatap suaminya, lekat. Revan meliriknya sesaat dan bibirnya mengembangkan senyum.
Meira mengangkat ayam yang sudah matang dengan capit dan menaruhnya di penirisan gorengan. Ia matikan kompor. Suara mesin cuci masih terdengar.
Tiba- tiba suara Clarissa terdengar memanggil mereka. Bergegas mereka ke ruang tengah.
"Ayah, bunda. Itu lihat, ada opa di tivi!" Gadis kecil itu menunjuk ke arah televisi dengan jari telunjuknya.
Revan dan Meira melihat ke televisi. Dan di sana ada Andi Mahesa sedang melakukan kegiatan blusukan ke salah satu pasar tradisional. Pria itu terlihat merakyat sekali, bicaranya seakan begitu peduli dengan nasib para pedagang. Di sebelahnya ada Rina yang dengan setia menemani suaminya.
"Papa ... Blusukan lagi," gumam Revan.
"Papa kamu, berharap banget bisa menang," Meira menatap suaminya. Revan hanya mengangkat kedua bahunya.
"Papa ambisinya tinggi," ujar Revan. Matanya masih terus menatap ke televisi. Ia tahu betapa besar ambisi ayahnya itu, sangat ingin berkuasa. Tiba- tiba sorot mata Revan terlihat keruh. Entah apa yang sedang ada dibenaknya.
"Opa sama oma hebat, masuk tivi!" Clarissa terlihat girang. Meira mengelus kepala Clarissa dengan lembut.
"Jika aku ..." Revan bergumam, ia memandangi terus ke arah televisi dimana ayahnya terlihat bahagia berada diantara warga dan para pedagang pasar juga wartawan. "Apa nanti kau bisa menang, pa?" lirihnya. Meira menatap Revan dengan heran. Entah mengapa, seakan ada yang Revan sembunyikan.
***
Malam itu mereka melalui malam dengan indah, bergumul dalam gairah cinta. Ini bukan hanya soal sekedar tersalurnya hasrat, tapi ada nilai ibadah di dalamnya bagi pasangan yang halal.
Revan menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang, mendekap tubuh istrinya. Tubuh mereka hanya berbalut selimut.
"Mei ..." panggilnya lembut.
"Hmmm," sahut Meira yang sedang merebahkan kepalanya diatas dada bidang Revan.
"Suatu hari nanti, jika aku pergi dalam waktu yang lama. Apakah kamu akan selalu menjaga Clarissa?" Revan menatap lurus ke depan, ke dinding kamar yang ada di seberang.
"Kok kamu ngomong gitu, sih ...memangnya kamu mau pergi kemana?" Meira mendongakan wajahnya.
"Jawab dulu pertanyaanku," Revan membalas sorot mata Meira.
"Oke ... tentu saja, Revan. Aku akan menjaga Clarissa sepenuh hatiku," jawab Meira.
"Dan ... Jika aku pergi nanti. Apa kau akan tetap menungguku dengan segenap cintamu?" Mesra ia menatap manik coklat yang hanya berjarak beberapa centi dari wajahnya.
"Revan ...," Meira mengeratkan dekapannya," jangan membuat aku takut."
"Jawab dulu."
"Tentu Revan...aku akan setia menunggumu dengan hati yang tidak pernah berubah sedikit pun." Meira menyentuh dagu suaminya yang sedikit kasar karna bekas janggut yang tercukur.
"Terimakasih sayang," Revan tersenyum dan mengecup bibir Meira. Mendekapnya dengan erat.
"Jangan pernah tinggalkan aku dan Clarissa ..." ada rasa takut menyergapi perasaannya. Kata- kata Revan membuatnya takut. Ia takut Revan pergi disaat ia sudah benar- benar mencintai dan menerima Revan sepenuh hati.
"I love you," bisik Revan di telinga istrinya.
"I love you too," sahut Meira dengan matanya yang mulai berkaca- kaca. Revan menciumi wajah Meira. Mencubuinya dengan mesra. Lalu ....
***
Alisa sedang melangkah masuk ke sebuah restoran siap saji, ada janji dengan teman- temannya. Saat menuju tempat duduk yang mana sudah ada tiga orang temannya tengah asik menikmati jus segar di salah satu meja yang terletak di pojokan. Ia tak sengaja menabrak seorang pria yang sedang membawa segelas caffuccino dingin. Alhasil, minuman di tangannya tumpah mengenai kemeja biru lelaki berwajah indo arab itu.
Alisa mengucap istighfar karena kaget. Wajahnya langsung berubah panik saat menyadari baju lelaki itu tersiram es caffuccino.
"Aduh, maaf mas!" Alisa menggigit bibir bawahnya.
Ia dan pria itu bertatapan dan kemudian keduanya mengembangkan senyum.
"Alisa?"
"Syahid?"
Lalu mereka tertawa. Rupanya saling mengenal.
"Apa kabar?" tanya pria berambut agak ikal dan bermata jernih itu.
"Alhamdulillah baik," jawab Alisa. Kemudian terlibat sedikit obrolan dan pria itu lupa dengan baju yang terkena minuman berwarna coklat muda itu.
"Oh ya, ini kartu nama aku," pria itu mengeluarkan kartu nama dari saku kemejanya. Alisa menerimanya kemudian membaca tulisan di kartu berwana putih itu.
"Hmmm, pengacara...?" Alisa tersenyum kagum.
"Iya, kali aja butuh pengacara. Bisa hubungin aku," kata Syahid.
"Siap!"
Dimasukannya kartu nama itu ke dalam tasnya. Kemudian ia pamit menuju meja yang mana teman- temannya sudah menantinya. Sampai di sana, tiga temannya itu kompak menggodanya.
"Ciyeee!!!" Seru mereka membuat pipi Alisa merona.
***
Di White Rise Cafe, di bagian luar juga tersusun meja dan kursi lipat yang terbuat dari kayu mahoni, beratapkan payung- payung besar yang mana kayu penyangganya bediri tegak di tengah meja. Sore itu terlihat ramai para pengunjung yang memilih duduk di kursi luar.
Sepasang mata yang begitu tajam sedang memperhatikan Meira yang sedang asik menyapa beberapa pelanggan di kafe nya. Wajah Meira terlihat sangat ceria. Binar matanya terlihat begitu cerah.
Sepasang mata itu sangat menikmati senyuman Meira dari kejauhan.
Meira tiba- tiba merasa ada yang sedang mengawasinya, ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru. Kemudian ia mencoba menepis rasa takutnya. Ia melangkah masuk ke dalam.
"Suatu saat kau akan jadi milikku ..." ucap pemilik mata yang sedari tadi memperhatikan Meira dari kejauhan.
***
Nadia mendatangi Indra ke apartemennya.
"Ada apa sore gini, ke sini?" Indra duduk di sofa sambil mengisap rokok yang terselip di antara jarinya.
"Kapan kita menikah?" Nadia berdiri di hadapan Indra dengan menautkan alisnya.
Indra menghembuskan asap rokoknya dari mulutnya. Bulatan- bulatan tipis berwarna putih terbang ke udara, aroma tembakau dan asap pun menyeruak.
"Entah," sahut Indra, cuek.
Nadia tersenyum getir, "jangan main- main Indra!"
"Sulit aku rasa, menikah dengan wanita yang hatinya masih terpaut pada pria lain," Indra mematikan puntung rokoknya ke atas asbak yang di atas meja. Menekannya dengan kuat.
"Aku ... Hamil anak mu!" Nadia menatapnya dengan pandangan yang sangat tajam.
Indra bukannya kaget, air mukanya justru terlihat tenang, dingin.
"Gugurkan saja ...."
==========
"Gugurkan saja ...."
Nadia terperangah mendengar ucapan Indra. Ia tak percaya kalau Indra akan berbicara seperti itu. Indra terlihat sangat dingin dan seakan tak ada rasa bersalah.
"Tega kamu, Ndra!" Nadia jelas merasa terpukul dengan tanggapan Indra.
Tiba- tiba wajah Indra yang tadi terlihat dingin kini berubah, ia tersenyum. Kemudian ia beringsut dari sofa, mendekati Nadia.
"Sory, aku bercanda ...."
"Gak lucu!" Nadia kesal. Ia merasa kini kedua matanya mulai berkaca- kaca.
Indra hendak menciumnya. Tapi dengan cepat Nadia membuang wajahnya ke samping dan mundur beberapa langkah. Indra mendengus.
"Masih marah?"
"Ndra, ini tuh bukan main- main. Aku serius! Kamu paham gak, sih?" Nadia terisak.
"Sory," Indra mendekati Nadia lagi.
" Kalo aja kamu gak bikin aku mabuk malam itu. Ini gak akan terjadi! "
"Kamu juga mau aja, aku suruh minum!"
"Kamu paksa aku!"
"Sudah tau aku suka ke bar dan mabuk, kenapa kamu ikut sama aku?" Indra seakan tidak ingin disalahkan.
Nadia menangis. Ia merasa menyesal.
Indra meraih pinggang Nadia dan menariknya ke dalam pelukannya. "Aku pasti akan tanggung jawab. Aku akan jadi ayah," Indra tersenyum. Ia memeluk erat Nadia.
"Sudah berapa minggu?" tanya Indra.
"Empat minggu," sahut Nadia dintara suara tangisnya. Indra membelai rambut kecoklatan yang tergerai itu dengan lembut.
***
Malam ini, Revan bersama Clarissa dan Meira pergi ke rumah Andi Mahesa. Mereka makan malam bersama. Suasana di meja makan sangat berbeda dari sebelumnya, biasanya Revan jika sudah bertemu dengan ayahnya selalu saja obrolan mereka berujung dengan pertengkaran. Tapi kali ini tidak, suasana begitu akrab dan hangat.
Seusai makan, mereka berkumpul di ruang tengah. Mereka semua asik mendengarkan ocehan Clarissa tentang rumah baru, kafe, tempat mengajinya yang sekarang juga teman- teman bermainnya.
Tiba- tiba, ponsel Andi Mahesa berbunyi. Ia pun menerima telepon dari seorang temannya. Pria itu pergi meninggalkan ruang tengah, menuju ruang kerja pribadinya.
Revan menyusul ayahnya. Sampai di ruangan itu, Revan berdiri beberapa meter dari ayahnya yang sedang berbicara serius masalah kegiatan kampanye, Andi memunggunginya.
Setelah hampir lima belas menit berbicara, Andi menutup ponselnya. Ia membalikan badan dan agak terkejut dengan kehadiran putranya.
"Hhh, kau membuatku kaget!"
"Maaf, pa."
"Ada apa?"
"Aku ..." Revan menelan ludahnya, memandangi wajah sang ayah, lekat. Andi merasa aneh. "Seberapa yakin pemilu ini akan papa menangkan?"
"Sangat yakin, seratus persen. Seorang Andi Mahesa selalu yakin menang!" Kata pria itu dengan penuh keyakinan dan sedikit kepongahan.
"Bagaimana ... jika kau kalah?"
"Aku berarti sedang apes," sahut Andi, santai. "Dunia bisnis mengajarkanku siap kalah dan juga menang. Tapi yang kamu tahu, aku lebih sering menang bukan?" Andi menatap putranya.
"Hhh, ya ... Kau memang luar biasa!" Puji Revan. Lalu ia mendekati ayahnya dan memeluknya. Andi sempat merasa agak terkejut. Tidak pernah ia dipeluk putranya bahkan sewaktu kecil, Revan tidak pernah berlari dalam pelukannya. Semua karena kesibukan dan kekakuan sikapnya sebagai ayah, sehingga seperti ada jarak diantara dia dan putranya. Perlahan ia membalas pelukan putranya. Rasa haru menggerayangi hati Andi Mahesa.
***
Revan belum bisa memejamkan kedua matanya. Ia duduk di atas ranjang, memandangi wajah istrinya dengan lekat. Kedua matanya terasa mulai berkabut.
Lalu ia turun dari ranjang dan melangkah ke luar menuju kamar putrinya. Ia duduk di sisi ranjang. Dipandanginya wajah Clarissa yang begitu polos di bawah sinar lampu tidur yang redup.
Perlahan ia kecup kening dan pipi putrinya dengan penuh kelembutan. Air matanya menetes satu persatu.
***
Usai shalat subuh, Revan menarik istrinya ke tempat tidur dan mencubuinya dengan mesra.
Dan subuh yang dingin itu pun dilalui dalam kehangatan cinta di atas peraduan mereka.
"Revan," Meira memasangkan dasi ke leher suaminya.
"Hmmm."
"Minggu depan anniversary kita. Sudah satu tahun," Meira tersenyum menatap suaminya.
"Heeh," Revan membalas senyuman istrinya.
"Sudah setahun, rasanya ...." Meira berhenti berucap, diam beberapa saat. Sepertinya sedang mengingat momen menyedihkan setahun lalu. Menikah karena terpaksa. Hidup dalam rasa benci dan trauma selama beberapa bulan hingga akhirnya cinta itu datang diantara dirinya dan Revan.
"Aku mencintai mu, Meira ...." Revan melingkarkan tangannya kepinggang ramping istrinya. Meira sudah selesai memasang dasi suaminya. Revan menarik tubuh Meira hingga menempel dengan tubuhnya. Ia mengecup kening Meira sangat lama. Membuat Meira merasa terharu. Entah mendadak buliran bening menetes dari kedua mata Meira.
***
Revan mengantar Clarissa ke sekolah. Setelah itu mengantar istrinya ke kafe. Tadinya Meira ingin pergi dengan motor saja seperti biasanya, tapi Revan memaksa ingin mengantar Clarissa dan dirinya.
Mobil itu berhenti di depan White Rose Cafe yang masih sepi, hanya ada beberapa karyawan mereka yang sedang membersihkan kafe.
Meira membuka sabuk pengamannya. Sebelum ke luar dari mobil, ia mencium tangan suaminya dengan takzim. Revan menahannya untuk beberapa saat.
"Nanti dulu," Revan menggenggam tangan Meira, "aku ingin menatapmu beberapa saat."
Meira tersenyum. "Dari tadi kamu aneh," celetuk Meira.
Revan menyentuh pipi istrinya. Menatapnya dengan lekat.
"Jaga dirimu baik- baik," kata Revan.
"Iya sayang," sahut Meira. "Jangan lupa, nanti siang makan bersama, aku akan buatkan pie pizza untukmu," kata Meira.
Revan diam saja.
"Oke, selamat bekerja." Meira mengecup pipi suaminya, lalu mengucapkan salam dan ke luar dari mobil.
Revan memandang Meira dari balik kaca mobil, sampai wanita itu masuk ke dalam kafe. Ia mengusap sudut matanya yang berair. Kemudian perlahan menjalankan mobilnya meninggalkan kafe.
***
Indra masuk ke ruang kerja Revan. Tapi, ia tidak menemukan Revan di sana. Padahal sekarang sudah hampir jam sepuluh. Indra merasa aneh.
Ia mencoba menghubungi Revan melalui ponsel. Namun, hasilnya nihil. Ponsel Revan tidak aktif.
"Aneh? Kemana sih?" Indra bergumam penuh kebingungan.
Sudah jam satu siang, tapi Revan belum datang juga. Meira dan Clarissa menunggu Revan di kafe di salah satu meja dekat dengan pintu dapur. Hidangan favorit Revan pun sudah tersaji rapi di meja.
"Ayah jadi dateng gak, bunda?" tanya Clarissa.
"Mungkin sebentar lagi," Meira coba menenangkan.
Handphonenya berbunyi. Dengan cepat ia meraih benda tipis itu dari atas meja. Ia menatap ke layar, sebuah nomer telepon rumah. Ia mengernyitkan keningnya. Dengan ragu ia menerima telepon itu.
"Ya, hallo," sapa Meira.
Terdengar suara Revan di sana mengucapkan salam. Meira membalas salam suaminya dengan wajah ceria.
"Kok pake nomer rumah? Apa menelpon dari hotel?" tanya Meira.
"Aku ..., dengar sayang." Terdengar helaan nafas Revan, "sekarang aku ada di kantor polisi."
"Kantor polisi?" Meira heran.
"Iya, aku ingin hidup kita tidak dihantui rasa trauma dan dosa. Terutama aku ..." diam beberapa saat. Meira mulai merasa tangannya gemetar.
"Aku menyerahkan diri ... aku akan menjalani hukumanku atas perbuatanku pada mu ...."
Ponsel di tangan Meira terhempas ke lantai, jantungnya terasa sesak. Kepalanya seakan berputar. Penglihatannya mengabur dan kemudian gelap. Sempat ia mendengar teriakan Clarissa memanggilnya bunda, juga suara karyawannya yang memanggil namanya.
Dunianya seakan runtuh dan gelap.
***
Meira perlahan membuka matanya. Sedikit kabur, kemudian perlahan penglihatannya jelas. Alisa ada di depannya.
"Mei ...." Alisa merasa lega melihat Meira siuman.
Meira perlahan bangkit dan duduk di ranjang.
"Revan ...," lirihnya. "Revan ... Revan ...." kedua matanya dibanjiri air mata. Tubuhnya lemas, wajahnya pucat.
"Kenapa Revan?" Alisa belum tahu apa yang terjadi. Meira menangis pilu.
"Tadi Clarissa telpon aku. Bilang kamu pingsan... Terus kenapa dengan Revan?" Alisa sedang mempersiapkan diri untuk mendengar kabar yang mungkin kurang baik.
"Revan ... menyerahkan diri ke polisi mba...." Meira menggenggam tangan Alisa dengan erat.
Alisa terperangah, tak percaya dengan apa yang dia dengar. Bulir- bulir bening meluncur bebas dari matanya. Ia memeluk tubuh Meira yang lemah.
Membiarkan adik iparnya itu menangis sejadi- jadinya dalam pelukannya.
***
Alisa dan Meira mendatangi kantor polisi di mana Revan kini di tahan. Meira diijinkan bertemu suaminya di ruang besuk. Alisa menunggu di luar ruang besuk. Sebenarnya Alisa sangat ingin ikut masuk, tapi dia berpikir mungkin Revan dan Meira butuh berdua saja. Besok ia akan menemui adiknya itu.
Meira duduk di kursi kayu berwarna coklat yang sudah lusuh, ada meja kayu persegi panjang di depannya. Pintu terbuka, dan Revan muncul dengan baju kaos hitam dan celana jeans. Matanya begitu sendu. Meira tak tahan menahan laju air matanya saat melihat Revan.
"Dua puluh menit!" Seorang petugas polisi yang mengantar Revan ke ruang besuk itu mengingatkan. Lalu ia pergi meninggalkan Revan dan Meira.
"Revan ...." Meira berdiri dari duduknya dan berlari ke pelukan Revan. Beberapa detik mereka hanya diam. Isak tangis Meira saja yang terdengar. Revan menahan rasa sedihnya, membelai kepala istrinya yang tertutup jilbab.
"Kamu jahat, Revan!!!" Meira melepas pelukannya, "Kamu jahat ...." ia memukul- mukulkan tangannya ke dada Revan.
Revan bergeming, netranya kabur tertutup kabut. Meira masih memukulinya dengan tangisnya yang setengah meraung.
"Mei ..." Revan memegangi kedua tangan istrinya. Meira tergugu. "Meira ...." Panggil Revan lembut.
"Kenapa sekarang, kenapa???" Emosi bercampur duka mewarnai nada suaranya, "Kenapa kamu lakukan ini, disaat aku mencintai mu. Disaat aku sudah memaafkan mu. Kenapa?" Meira tak bisa mengendalikan laju air matanya.
"Tega kamu, Revan ...."
Revan menggenggam lembut jemari-jemari yang terasa begitu lemah dan gemetar itu. Satu persatu air mata Revan berguguran, tak kuasa melihat istrinya.
"Kita duduk, yuk..." Revan menggiring Meira ke kursi kayu. Meira menurut saja.
Kini mereka duduk berhadapan. Keduanya saling menatap dengan bola mata yang dipenuhi bulir- bulir bening.
"Kenapa Revan? Kenapa disaat aku sudah merasa nyaman bersamamu?"
"Sayang," Revan meraih tangan Meira, mencoba memberikan kekuatan pada istrinya, "Dengar ... aku harus lakukan ini agar tidak terus dihantui rasa bersalah. Aku selalu dikejar- kejar dosa."
Terus saja air mata Meira mengalir.
"Aku berharap setelah aku menjalankan hukumanku, mempertanggung jawabkan kesalahan ku. Kita bisa lebih tenang lagi dalam menjalani kehidupan kita," ujar Revan dengan matanya yang basah.
Meira masih menangis pilu. Rasanya ia ingin berteriak sekuat- kuatnya untuk meluapkan amarahnya, kesedihannya.
"Aku yakin kamu kuat, Meira ..." Revan mempererat genggamannya, "Kamu pasti bisa melalui hari tanpa aku. Kamu pasti tetap menunggu aku di pintu rumah kita, saat aku sudah melalui masa hukumanku."
Meira tak tahu harus berkata apa. Lidahnya kaku, tak sanggup ia berbicara. Hanya tangisan saja yang ia suguhkan untuk Revan.
"Aku tidak tau, vonis hukumanku berapa lama, tapi semoga itu tidak mengubah perasaan mu padaku."
Revan mencondongkan badannya ke meja, dan mengusap air mata Meira dengan jemarinya. Meira memejamkan matanya, merasakan hangatnya jemari Revan menyentuh pipinya. Kehangatan yang nanti akan jarang ia rasakan. Ia membuka matanya perlahan. Menatap kedua manik yang biasanya tajam tapi kini terlihat begitu kelam.
"Aku mencintaimu, Meira," ucapnya dengan suara lirih. Meira tersenyum diantara derai air matanya.
***
Andi Mahesa bagaikan disambar petir begitu mengetahui Revan menyerahkan diri ke polisi.
Sore itu, ia mendatangi Revan. Dan ia menampar putranya dengan keras. Revan diam saja.
"Andi apa yang kau lakukan?" Rina melerai suaminya yang kembali akan memukul wajah putranya.
"Dia sudah membuat aku malu! Besok media pasti akan menyerangku. Dan mereka akan menjatuhkan reputasiku!" Andi mengepalkan tinjunya. Revan tersandar di dinding, tamparan ayahnya tadi membekas di pipi kanannya.
"Tenang," Rina memegangi tangan suaminya. "Ayo kita duduk!" Ia menggiring Andi untuk duduk di kursi. Kemudian menyuruh Revan juga untuk duduk berhadapan dengan ayahnya.
"Bisa kah, menjaga sikap mu? " Rina setengah berbisik kepada suaminya yang masih tampak marah. Rina duduk di sebelah Andi. Menatap putranya dengan sedih.
"Kenapa kau lakukan ini, sayang?" Rina mulai merasa air matanya bermunculan.
"Maafkan aku, ma, pa," Revan menatap ayah dan ibunya bergantian. "Aku harus lakukan ini karna aku selalu dikejar rasa berdosa pada Meira. Aku harus mempertanggung jawabkan perbuatanku."
"Bodoh!" Bentak Andi, "Bukankah dia sudah memaafkanmu?!"
"Andi ...?" Rina menepuk bahu Andi, pelan.
"Aku tau, ini akan mempengaruhi polling suara papa dalam pemilu," Revan menatap ayahnya, "Tapi ... aku harus lakukan sekarang. Maafkan aku."
"Itu sebabnya, semalam kau memelukku?" Tajam matanya seakan menghujam kornea Revan. "Ternyata ... " Andi menyeringai.
"Ma, tolong jaga Meira dan Clarissa," Revan menggenggam tangan ibunya. Rina mengangguk pelan, air matanya begitu deras mengalir.
"Pa, aku hanya ingin menebus kesalahanku. Maaf ..."
Andi hanya diam dengan tatapan yang masih begitu penuh emosi.
"Sudah berapa biaya yang aku keluarkan untuk menutupi kasusmu. Untuk membungkam mulut wanita licik bernama Erna itu. Ujung- ujungnya ... kau menyerahkan diri," Andi mengusap wajah dan rambutnya dengan tangannya.
"Revan ...." Rina memanggil anaknya dengan suara serak, "aku tau, kau ingin bertanggung jawab nak ... Itu bagus," ia terisak. Menghela nafasnya yang begitu berat.
"Aku hanya ... Sedih, membayangkan dirimu meringkuk dalam sel. Sedangkan aku tidur nyaman di kamarku," bahunya berguncang hebat. Ia tak ingin melepaskan tangan putranya.
"Aku akan baik- baik saja, ma ... Ayolah, aku laki- laki dan aku sudah dewasa!" Revan mencoba menenangkan ibunya. Rina hanya mengangguk pelan.
Sementara Andi Mahesa masih tidak terima dengan tindakan Revan. Karena ini akan sangat mempengaruhi nama baiknya.
***
Malam ini, Alisa menginap di rumah Meira. Menemani adik iparnya yang masih terpukul dengan penyerahan diri Revan kepada pihak berwajib.
"Dulu, aku ingin memenjarakannya ...." Meira bersandar di kepala ranjang, tatapannya hampa. Alisa duduk di sisi ranjang, menghadap ke arah Meira.
"Sekarang, ketika aku melupakan itu ... Revan justru menyerahkan dirinya. Dan sekarang dia di penjara." Tangisnya kembali pecah. Alisa ikut menangis.
"Mei ... Sabar..." Alisa mengusap air mata Meira dengan tangannya. Tapi percuma, karena air mata itu kembali merembes.
Clarissa masuk ke kamar Meira. Ia naik ke atas tempat tidur.
"Bunda, kenapa ayah belum pulang? Kan ini sudah malam?" Mata kecil gadis itu menatap Meira dan Alisa, menanti jawaban.
Air mata Meira makin menjadi. Ia tak tahu harus menjawab apa. Ia tidak kuat menatap mata polos Clarissa. Sungguh ini benar- benar menyakitkan.
"Ayah kemana, bunda?" Clarissa mendekati Meira.
Tanpa suara, Meira memeluk tubuh mungil itu.
Bulir- bulir bening itu seolah tidak akan pernah berhenti bermunculan di kelopak matanya.
Dunia seakan begitu kelam. Keceriaan itu seakan sirna.
Sedangkan di dalam sel penjara.
Revan duduk di lantai yang dingin. Membayangkan wajah Meira dan Clarissa. Teman satu selnya sudah terlelap. Ia termangu diantara cahaya lampu sel yang redup. Menyandarkan tubuh dan kepalanya ke dinding yang juga terasa dingin. Entah berapa lama ia akan dijatuhi hukuman.
Berapa pun itu, ia hanya berharap Meira tetap menunggunya. Dan kelak akan menjalani hari- hari mereka dengan indah tanpa bayang- bayang ketakutan akan dosa yang seakan terus mengejarnya. Ia biarkan wajahnya basah terguyur oleh tetesan- tetesan air mata. Pikirannya tertuju pada rumahnya, dimana biasanya diwaktu seperti sekarang ini, ia menemani Clarissa tidur. Kemudian setelah itu berbincang- bincang bersama Meira di atas peraduan mereka. Revan memejamkan matanya, memohon kepada Sang Pemilik Alam Semesta agar ia dikuatkan dalam menjalani hari- harinya di dalam penjara.
Bersambung #17
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel