Cerita bersambung
Berita penyerahan diri Revan ke pihak berwajib tentu menghebohkan tak hanya di dunia nyata tapi juga di jagad dunia maya . Masuk pemberitaan di surat kabar, dan serangan dari media untuk Andi Mahesa.
Di media sosial, Andi Mahesa mendapat banyak hujatan dari nettizen juga sindiran dari lawan politik dan rival bisnisnya.
Semua gempar mendengar kasus Revan Mahesa. Para tetangga tante Erna pun habis-habisan menyindir dirinya. Tante Erna yang gampang tersulut emosi tentu saja malah mengajak mereka yang nyinyir untuk berkelahi. Semua menjadi begitu kacau.
Revan sadar, semua menjadi kacau karena ulahnya. Tapi, ia telah mengambil keputusan. Dan ia harus menerima segala bentuk konsekuensinya. Walau itu juga berdampak pada seluruh keluarganya.
Andi Mahesa hanya bisa menebalkan mukanya di depan masyarakat, karyawannya, para wartawan yang terus mencari- cari informasi tentang putranya.
Ema prihatin dengan apa yang menimpa Andi. Nadia pun tak percaya dengan apa yang telah Revan lakukan. Di sudut hatinya, ia merasa iba. Ingin rasanya pergi ke hadapan Revan untuk memberi dukungan. Namun, menyadari siapa dirinya? Dia bukan siapa- siapa lagi di hati Revan. Meski begitu, satu sisi ia juga merasa senang karena dengan terbongkarnya kasus tersebut membuat popularitas Andi Mahesa turun, kemungkinan dia akan kalah dalam pemilihan gubernur.
Kini Andi hanya bisa pasrah. Marah pun tidak ada gunanya. Rina yang selalu menyejukan hatinya. Wanita itu yang dulu pernah ia khianati, selalu bisa mengendalikan emosi Andi.
***
Alisa dan Meira bertemu dengan Syahid di White Rose Cafe. Alisa yang meminta Syahid untuk datang. Mereka ingin membicarakan kasus Revan.
Tentu Syahid tahu soal kasus itu. Karena membaca dari media sosial dan koran.
Mereka duduk bertiga di kafe. Hari ini Meira sedikit lebih tenang, dan tidak terlalu banyak menangis seperti dua hari yang lalu.
"Apa yang bisa aku bantu?" Pria berwajah Arab itu menyeruput kopi hangat.
"Aku ingin menanyakan kasus Revan. Apakah bisa, Meira mencabut laporan Revan?" Alisa menatap Syahid sesaat.
"Jadi begini," Syahid menaruh kembali cangkir yang berisi kopi itu ke atas meja. "Kasus perkosaan dan pelecahan seksual itu masuk kasus delik biasa. Yang mana, meski tak ada laporan tapi, pelaku menyerahkan diri atau polisi mengetahui perbuatannya ... Tetap akan dilakukan penyidikan dan kasus tidak bisa dicabut," jelas Syahid.
"Jadi, aku tidak bisa membatalkan kasus ini?" Tanya Meira.
"Ya," angguk Syahid." Berbeda dengan kasus lain, misal pencemaran nama baik atau pencurian. Itu bisa dicabut jika ada kata damai dari korban. Kasus pelecehan seksual sayangnya tidak temasuk."
Meira terlihat sedih. Alisa mengusap- usap tangan Meira, sekedar untuk menenangkannya.
"Beberapa waktu lalu, ada kasus mirip dengan adik mu. Jadi, pelaku menikahi korban yang juga hamil dari hasil perkosaan. Lalu, keluarga sudah bilang untuk damai. Tapi, karena pihak berwajib tahu pria ini memperkosa, jadi setelah akad sang pria dibawa ke penjara dan diadili. Dapat keringanan sih, jadi hanya sekitar tujuh tahun." Syahid menjelaskan panjang lebar.
"Berapa lama hukuman untuk kasus ini?" Meira bertanya lagi.
"Dua belas atau sembilan tahun. Bisa kurang, tergantung kelengkapan alat bukti, saksi dan juga sikap pelaku. Mungkin Revan bisa lebih ringan," Syahid seperti memberi secercah harapan.
"Ini konyol," kata Meira, "berarti aku harus berhadapan dipersidangan dengan sumiku sendiri." Meira menggigit bibirnya.
"Sabar Mei," Alisa menggenggam tangan adik iparnya itu.
"Padahal kasus ini sudah lewat," kata Meira.
"Kasus itu ada masa kadaluarsanya. Beragam, ada yang tujuh bulan, ada yang dua hingga lima tahun. Lewat dari masa berlaku, kasus akan dianggap kadaluarsa. Nah, kasus asusila yaitu pencabulan dan pemerkosaan masa berlakunya tujuh bulan atau satu tahun. Kasus Revan belum genap satu tahun kan?" Tamya Syahid.
"Belum, kurang empat hari lagi. Kejadian itu genap satu tahun," sahut Meira.
"Revan sepertinya sudah memperhitungkannya," Syahid menghela nafas, menatap Meira dengan iba.
"Apa aku boleh berbicara dengan mu, Meira?" Lanjut Syahid.
"Membicarakan apa?"
"Kronologis kejadian itu."
Meira menoleh ke Alisa, seperti meminta persetujuan atau dukungan. Alisa mengangguk.
"Baiklah," Meira menoleh ke arah Syahid.
"Aku akan membantu Revan," Syahid melihat ke arah Alisa, "semoga aku bisa meringankan hukumannya."
"Terimakasih Syahid," ucap Alisa.
"Aku juga akan menemui Revan dan menanyakan kronologis kejadian dari sudut pandang dia."
"Oke, mungkin besok kau bisa bertemu dengannya," ujar Alisa.
"Bisa kau ceritakan sekarang. Bagaimana kronologis kejadian malam itu?" Syahid menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Ia juga mengambil bolpoin dan buku kecil dari tasnya.
Meira menarik nafas, kemudian perlahan menghembuskannya. Dengan perlahan ia mulai menceritakan malam kejadian itu.
Syahid mendengarkan dengan seksama dan sesekali ada yang ia tulis di buku kecilnya.
Selesai mendengarkan penuturan Meira. Syahid sedikit mengerutkan dahinya.
"Hmmm, berapa kali kau pingsan malam itu?"
"Seingatku dua kali," Meira menahan nafas karena harus mengingat peristiwa malam itu. "Jadi ... ketika Revan mengikat tangan dan menutup mulutku. Rasanya kepalaku pusing, dan seketika pandanganku gelap. Lalu, aku tersadar dalam kondisi terbaring dan tubuhku sakit. Aku merasakan bagian kewanitaanku yang basah dan sangat sakit. Aku ingin bangun, tapi tidak bisa. Kondisi gelap saat itu, hanya cahaya bulan yang masuk dari sela- sela pentilasi. Aku tidak bisa melihat dengan jelas. Aku hanya bisa merasakan Revan sudah tertidur di sampingku. Kemudian, saat itu aku menangis dan sepertinya pingsan lagi. Ketika sadar keesokannya, aku sudah di rumah sakit," jelas Meira.
Syahid menggaruk keningnya dengan telunjuknya. Membaca catatan yang ia buat tadi.
"Revan dalam kondisi mabuk berat?"
"Ya," angguk Meira.
"Mmm," dahi Syahid kembali berkerut, seperti ada sesuatu yang dia rasa janggal.
"Alisa, kau yang membawa Meira ke rumah sakit?"
"He_eh," Alisa mengangguk cepat.
"Jelaskan kondisi yang kau lihat saat, pagi itu kau melihat Meira dan Revan!"
Alisa pun menceritakan kronologi pagi itu. Dimana ia harus membuka pintu yang terkunci dengan kunci cadangan, lalu menemukan Meira pingsan dengan darah yang mengalir dari organ kewanitaannya. Menjelaskan pakaian Meira yang acak- acakan, bagaimana Revan yang kebingungan dan hanya mengenakan handuk.
"Jadi pintu terkunci?"
"Iya," angguk Alisa.
"Benar begitu Meira?" Syahid melirik Meira.
"Entah, aku tidak tau soal itu. Tapi, yaaa ...aku ingat, memang Revan memutar kunci." Meira tampak ragu.
"Lalu, kunci itu di mana?"
"Maksudmu?"
"Ya, kunci yang asli? Bukankah kau bilang membukanya dengan kunci cadangan?"
"Iya."
"Apa kunci cadangan itu sudah kau simpan lagi atau hingga sekarang masih dipergunakan?" mata lelaki itu terlihat serius menatap Alisa.
"Aku lupa ..."
"Maksud mu?" Syahid menautkan alisnya yang tebal.
"Aku lupa, apa kunci yang sekarang di bekas kamar Revan itu kunci cadangan atau asli?"
"Oke," Syahid menutup buku catatannya, kembali menyuruput kopinya yang mulai dingin.
"Kenapa Syahid?" Alisa merasa ada yang aneh dengan ekspresi wajah pria itu.
"Aku masih perlu mengumpulkan informasi. Tinggal keterangan Revan." Syahid menarik bibirnya yang kemerahan ke atas.
"Terkadang, ada kejutan yang tak terduga dari sebuah kasus. Aku sering mendapatkan kejutan yang tak terduga itu."
Perkataan Syahid barusan menimbulkan tanda tanya bagi Alisa dan Meira.
"Seprai dan pakaian Meira saat itu, apa kau menyimpannya?" Matanya tertuju kepada Alisa.
"Aku menyimpannya. Siang hari aku sempatkan pulang ke rumah untuk membersihkan kamar Revan. Tadinya ingin aku bakar pakaian Meira itu. Tapi entah kenapa aku menyimpannya di gudang. Untuk seprai aku mencucinya tanpa bantuan pembantu. Lalu ku simpan di lemariku," jelas Alisa.
"Kenapa kau menyimpannya?"
"Entahlah, aku hanya mengikuti kata hatiku. Baju itu masih tersimpan di dalam plastik. Ku taruh di sebuah kotak, dalam gudang. Sepertinya belum terbuang."
"Hmmm, bagus," ujar Syahid, membuat Alisa dan Meira semakin penasaran.
"Ini akan ku serahkan ke penyidik sebelum persidangan. Tolong baju itu kau jaga. Aku akan minta penyidik untuk mengecek sidik jari yang ada di baju itu."
"Oke," angguk Alisa.
"Oh ya, dimalam kejadian itu kau di mana Alisa?"
Alisa pun bercerita bahwa malam itu ia menginap di salah satu rumah temannya dan pulang keesokan paginya. Ia juga menceritakan kalau ayah dan ibunya ke luar kota. Sementara pembantu ada yang pulang kampung dan ada yang menjenguk ibunya yang sakit. Satpam rumah pun tidak ada saat malam itu, karena harus menemani istrinya uang hendak melahirkan. Jadi, saat itu hanya ada Meira dan Clarissa di rumah.
***
Sekitar dua puluh hingga empat puluh hari menuju persidangan. Syahid berusaha mengumpulkan data dan barang bukti. Ia juga akan ikut dalam penyidikan.
Pagi ini, ia mendatangi Revan. Ia memperkenalkan diri, tapi Revan rupanya mengenal pria itu.
"Aku ingat, kau teman mba Alisa saat dia ikut BEM dan MAPALA. Ketika kuliah di Bandung, aku satu tahun dibawah kalian. Beda fakultas, tapi sering bertemu di agenda organisasi. Bukan begitu?" Revan menyunggingkan senyum.
"Ya, benar sekali," sahut Syahid.
"Apa Alisa yang memintamu?"
"Ya, dia ingin aku menangani kasus mu dan mendampingimu di persidangan. Semoga aku bisa membantu, setidaknya mengurangi masa tahananmu," ujar Syahid.
"Terimakasih."
Mereka duduk berhadapan. Syahid mengeluarkan buku dan bolpoin dari tas hitamnya.
"Jika kau tidak keberatan. Aku ingin kau ceritakan kejadian malam itu. Mulai dari bar, kemudian kau mabuk, dan melakukan hal itu."
Revan mendesah. Ia memainkan jemarinya. Sakit rasanya mengingat malam kelam itu. Tapi, ini demi penyidikan. Akhirnya ia pun bercerita.
***
"Gak nyangka, cowok yang selalu kamu cintai ternyata seorang pemerkosa," Indra berdiri di ambang pintu rumah Nadia. Membuat Nadia agak kaget dan menoleh ke arah pria itu.
Indra mendekati Nadia yang sedang asik memainkan ponsel.
Nadia hanya meliriknya sekilas, kemudian kembali asik dengan ponselnya.
"Tumben sabtu pagi gini, ke sini?" Matanya masih asik tertuju ke layar benda pintar di tangannya.
Indra duduk di sebelah Nadia.
"Aku ingin mengajakmu jalan," kata Indra sambil membelai rambut Nadia yang tergerai.
"Oh," mulut gadis itu membulat, "aku pikir tadi mau mengajakku mengurus pernikahan," nada bicaranya terdengar menyindir. Indra mendengus.
"Dimana ayahmu?"
"Di kamar," sahut Nadia, ketus.
"Kamu masih takut kalo aku gak akan tanggung jawab?"
"Jujur... iya," Nadia mendelik kepada Indra.
"Kamu bisa sabar gak, sih?" Indra mulai terlihat kesal, "Revan masuk bui, dan otomatis sementara aku yang dipercaya sama om Andi untuk menghandle semua urusan hotel. Jadi aku sangat sibuk." Indra menyandarkan dirinya ke punggung sofa.
"Hah, ya ... sibuk," Nadia menyeringai, "Perutku sudah nambah besar, Ndra."
"Belum keliatan banget kok," sergahnya, cuek.
Nadia meremas ponselnya.
"Dengar, kalau sampai tiga bulan kamu belum nikahin aku. Lihat aja, aku akan melakukan sesuatu yang bisa membuat mu menyesal seumur hidup!" Nadia mengancam Indra.
"Coba aja," Indra tersenyum, santai. Nadia makin gusar.
***
"Jadi, malam itu kau ingat diantar sahabatmu?"
"Iya, karna aku selalu berpesan pada nya. Jika aku mabuk berat, tolong antarkan aku pulang."
"Sering seperti itu?"
"Iya," angguk Revan. "Aku mudah mabuk. Berbeda dengan Indra, dia sangat kuat. Bahkan berani kebut- kebutan meski mabuk berat," jelas Revan.
"Kalau dia mengantarmu, lalu dia pulang naik apa?"
"Biasanya dia membawa mobil ku. Tapi, lebih sering naik taxi," Revan memandang Syahid seperti heran.
"Sahabatmu, untuk malam itu. Sampai mana dia mengantarmu?"
"Yang aku ingat dia membantuku menaiki tangga. Tapi, sampai di atas ... dia langsung pergi."
"Oke," Syahid menuliskan sesuatu ke dalam buku catatannya.
"Lalu, kunci..." Syahid meletakan ke dua tangannya di atas meja kayu itu, "apa kau yakin mengunci dengan benar pintu kamar?"
"Hhh, entahlah," Revan tampak ragu, "seingatku ... aku memutar kunci. Tapi ... entah terkunci atau tidak, aku tidak yakin."
"Kau lempar kunci itu?"
"Seingatku ... iya."
Syahid memicingkan matanya, dia seakan menangkap keraguan pada Revan.
"Lalu, di mana kunci itu?"
Revan terhenyak, ia menatap Syahid. Karena selama ini, ia lupa hal itu. Dan ia tidak pernah menemukan kunci itu di lantai kamarnya.
***
Syahid mengirimkan pesan kepada Alisa.
[Tolong tanyakan kepada pembantu mu soal kunci kamar Revan. Semoga ingat. Karena setelah kejadian itu, Revan tidak menemukan kunci yang katanya ia lemparkan ke lantai saat peristiwa itu terjadi. Jika sudah, tolong hubungi aku.
Terima kasih].
Alisa membalas dengan singkat.
[Oke].
Ia segera ke luar dari kamarnya, dan melangkah menuju dapur mencari bi Jum dan mbak Ina.
Saat melintas ruang tengah, sekilas melihat ayahnya sedang berdiri di dekat jendela, sepertinya sedang mengamati sesuatu di luar sana.
Kemudian Alisa bergegas menuju dapur. Di sana, ia menanyakan soal kunci kamar lama Revan.
Awalnya mba Ina seperti lupa. Tapi, mendadak ia baru ingat soal kunci tersebut.
***
Syahid menepikan mobilnya, saat hand phonenya berbunyi. Lalu, ia mengambil benda tipis itu dari jok yang ada di sebelahnya.
"Alisa ..." desisnya saat membaca nama yang tertera di layar ponselnya. Ia pun menyentuh tombol terima dan mengucapkan salam, Alisa menjawab salamnya.
"Ya, Alisa ... bagaimana?"
"Kunci yang sekarang menggantung di kamar lama Revan adalah kunci cadangan yang aku gunakan ketika tahun lalu harus membuka kamar Revan."
"Lalu, kunci yang asli?"
"Ditaruh oleh pembantuku di tempat penyimpanan kunci yang ada di garasi mobil."
"Dimana pembantumu menemukannya?" Tanya Syahid.
" Di lantai garasi. Kata pembantuku, ia menemukan kunci itu, saat aku dan Revan ke rumah sakit."
"Oke, apakah dalam setahun ini Revan ada menukar kuncinya?"
"Aku rasa tidak."
"Ambil kunci itu, tapi gunakan sapu tangan atau kain. Lalu masukan ke plastik bening." Perintah Syahid.
"Oke," sahut Alisa.
"Besok aku akan ke rumah mu."
"Iya ...."
Telepon pun terputus, Alisa bergegas melakukan apa yang diperintahkan Syahid.
***
Menjelang sore, Revan mendapat kunjungan dari Indra.
"Jadi ini bro, penyebab kamu nikah sama Meira?" Indra duduk di hadapan Revan.
"Ya," Revan mengangguk pelan.
" Hhh," Indra menghela nafas. Menatap iba sahabatnya. " Kenapa kamu malah serahin diri ke polisi?"
"Biar hidupku tenang," jawab Revan. Indra tersenyum tipis.
"Soal hotel, sementara om Andi percayakan sepenuhnya padaku," kata Indra.
"Ya."
"Soal Meira dan Clarissa, gak usah khawatir. Sebisanya aku akan bantu jaga mereka."
Revan mendesah, "gak perlu serepot itu. Masih ada Alisa, papa dan mama aku yang akan bantu Meira dan Clarissa." Revan seperti kurang suka dengan ucapan Indra yang dengan sok ingin melindungi Meira dan putrinya.
"Nyantai bro," Indra seakan tahu jika sahabatnya itu kurang suka dengan ucapannya.
"Entah, setelah tau kamu dan Nadia sudah bersama. Aku sedikit sanksi padamu."
"Jadi, kamu sudah gak percaya aku lagi?" Indra menautkan alisnya. Revan hanya diam.
"Aku gak akan berkhianat. Kamu sudah seperti saudara buat aku," kata Indra. Namun, tetap Revan saat ini merasa ragu dengan ucapan dan sikap Indra.
***
Indra berdiri di depan pintu rumah Meira. Setelah menekan bel dua kali, akhirnya pintu terbuka. Meira bediri di hadapannya.
"Indra?" Meira agak kaget.
"Sory, ganggu ya?"
"Hmmm," Meira gugup. Seperti biasa ia selalu kurang nyaman jika di dekat Indra, entah. Selalu seperti itu.
Indra tersenyum padanya dan menyodorkan setangkai mawar putih yang sedari tadi ia sembunyikan di balik punggungnya. Jelas Meira terkejut.
"Untuk mu," ucap Indra. "Terima lah," pintanya.
Meira mengernyitkan dahi, bingung.
"Ambilah, aku tau kau suka bunga mawar putih."
Ragu, ia pun mengambil bunga itu. Kini mawar itu ada di tangan Meira.
"Dari mana kau tau aku ..."
"Aku tau tentangmu!"
"Maksudmu?"
"Ya, aku tau kesukaanmu. Warna favoritmu ... semua hal tentang mu." Indra melempar senyum kepada Meira yang justru membuat wanita itu tampak ketakutan.
"Aku sahabat Revan, suamimu. Jadi, aku juga tau tentang mu."
Meira diam saja. Ia mengalihkan pandangan agar tak bertemu dengan mata Indra yang tajam itu.
"Revan di penjara, kau jangan khawatir aku akan menjagamu," ucapnya penuh percaya diri. Membuat Meira mengernyitkan dahinya kembali.
"Apa aku boleh masuk?"
"Maaf, tidak," sahut Meira cepat. "Karna tidak boleh seorang wanita menerima tamu yang bukan mahramnya. Apalagi suaminya sedang tidak ada," jelas Meira. Indra pun tersenyum dan mengangguk.
"Oke."
"Mawar ini, maaf. Ambil saja. Aku tidak bisa menerimanya!" Meira menyodorkan bunga itu." Hanya Revan yang berhak memberikannya."
Indra tampak kesal, tapi kemudian ia berusaha tetap ramah. Ia pun mengambil kembali bunga itu.
"Maaf Indra," ucap Meira.
"Tidak masalah, "sahut Indra. "Jika butuh bantuan, hubungi aku!"
Meira tidak menjawab. Kemudian Indra pergi dari hadapan Meira. Ia masuk ke dalam mobilnya. Dan melempar bunga mawar itu ke jok sebelahnya. Ia meremas stir mobilnya. Sorot matanya terlihat sangat tajam. Ia pun menyalakan mesin mobilnya dan tak lama mobil itu meluncur dengan cepat.
Meira masuk ke dalam rumah. Clarissa sudah tertidur. Ia mengecup pipi gadis kecil itu dengan bulir- bulir bening yang mulai bermunculan. Setelah itu, ia pergi ke kamarnya. Berdiri di balik pintu, memperhatikan seluruh ruangan itu. Seperti sedang membayangkan saat- saat bersama Revan. Air matanya luruh lagi.
Ia ayunkan langkah perlahan menuju lemari pakaian, dan mengambil satu kaos berwarna putih milik Revan yang biasa dipakai ketika tidur. Meira mengganti bajunya dan mengenakan kaos itu, seakan itu bisa meredam kerinduannya dan juga kesedihannya. Ia berbaring di ranjang, di sisi kiri sebagaimana biasanya ketika bersama Revan. Ia memiringkan tubuhnya ke kanan, menghadap ke tempat Revan berbaring. Ia menyentuh bantal dan kemudian bagian tempat tidur yang biasa ada Revan di sana dengan senyumnya yang hangat dan tatapan matanya yang mesra. Meira menangis pilu.
Sementara di atas pembaringan yang terasa kaku dan dingin, Revan pun sedang memikirkan istri dan anaknya. Ia menatap ke langit- langit kamar selnya yang sudah terlihat jabuk. Sepi. Hanya suara dengkuran teman sekamarnya saja yang terdengar.
"Sementara raga kita terpisah. Tapi hati kita tak akan terpisahkan. Bersabar lah sayang ... kita akan bersama lagi nanti. Biarlah rindu ini menumpuk, dan bukankah itu akan semakin menguatkan cinta diantara kita?" Lirihnya dalam heningnya malam dan dinginnya sel penjara.
==========
Alisa telah menyerahkan pakaian Meira dan kunci kamar Revan kepada Syahid, yang pagi ini datang ke rumahnya. Ia akan menyerahkan dua benda tersebut kepada tim penyidik.
Usai berbincang- bincang sebentar dan berkenalan dengan Andi dan Rina, pria berbadan tinggi itu pun pergi.
Dua benda yang ia dapat dari Alisa, diserahkan kepada tim penyidik untuk diperiksa. Syahid meminta mengecek sidik jari yang terdapat pada pakaian dan kunci itu. Usai berdialog dengan para tim penyidik, dan berharap dua benda itu bisa menjadi barang bukti. Syahid kembali mengunjungi Revan.
Seperti sebelumnya, Syahid selalu mencatat beberapa hal penting ke dalam buku kecilnya. Ia menanyakan hubungan Revan dengan Indra. Serta seberapa jauh Revan mengenal keluarga Indra.
"Jadi, kau baru tau soal ibunya?" Syahid memperhatikan air muka Revan.
"Iya," angguk Revan, "ternyata ibunya adalah teman papa dan mamaku."
Syahid mengangguk, kemudian mencatat sesuatu ke dalam bukunya.
"Selama ini yang aku tau. Indra tinggal bersama pamannya, dan ibunya di kota berbeda. Tepatnya di Tenggarong. Dan dia meninggalkan rumah ibunya, ketika dia lulus SMP ." Revan meletakan kedua tangannya di atas meja yang ada di hadapannya.
"Hmmm, apa alasan dia pergi?"
"Ibunya menikah lagi dengan duda yang merupakan pengusaha properti tempat ibunya bekerja. Dia tidak setuju, akhirnya minggat dan hampir sebelas tahun dia tidak bekomunikasi dengan ibunya. Meski dia tau, ibunya diam- diam sering mengirimi uang kepada pamannya. "Jelas Revan," sekarang dia dan ibunya sudah berbaikan. Walau Indra tetap memilih tinggal di apartemennya sendirian."
"Oke," Syahid tampak serius mencatat beberapa hal ke bukunya.
"Maaf, kenapa sampai menanyakan Indra?" Revan tampak penasaran.
"Segala hal yang berhubungan dengamu dan juga peristiwa malam itu, harus aku ketahui. Banyak hal yang tak terduga, termasuk orang terdekat kita. Apalagi malam itu, Indra mengantarmu kan?" dengan serius menatap Revan.
"Iya," angguk Revan. "Apa ada keterlibatan Indra dengan kasusku?"
"Bisa iya, bisa tidak," , sahut Syahid, "aku akan terus menggali segala hal yang ada di sekitarmu. Ada beberapa hal yang janggal dari peristiwa kelam malam itu," Syahid memasukan buku kecil dan bolpoinnya ke kantung kemejanya.
"Kau sangat mempercayai sahabatmu itu?" Kali ini tatapan mata Syahid cukup dalam.
"Ya, sangat percaya," angguk Revan, " dia juga asistenku di tempat kerja."
"Oke," Syahid menyunggingkan senyum, membuat pria itu semakin menawan dilihat. "Aku berharap, masa tahananmu bisa sedikit ringan." Ia berdiri dari duduknya. Setelah berjabat tangan dengan Revan, ia pun pergi.
Sedangkan Revan harus kembali ke dalam sel .
***
Meira mulai menyibukan diri. Ia mulai kembali beraktifitas di kafenya. Setidaknya jika dia sibuk, sedikit mengurangi kesedihannya dan juga kerinduannya pada Revan.
Pengunjung di kafenya tetap ramai seperti biasanya. Walau satu dua orang ada yang dengan secara berani menanyakan kasus Revan dan juga soal dirinya yang menjadi korban. Menyebalkan memang, tapi Meira berusaha tetap ramah dan tidak banyak bicara soal aib suaminya dan juga dirinya.
Saat ia asik membuat kue di dapur kafe, seseorang datang mencarinya dan menunggunya di salah satu meja pengunjung. Meira pun meminta karyawan wanitanya untuk menyelesaikan olahan kuenya. Ia mendatangi orang yang sedang menunggunya.
"Fandi?" Meira duduk berseberangan dengan Fandi.
"Hai, apa kabarmu?" sapa Fandi, ramah. Ia menatap wajah Meira yang tampak sendu.
"Baik," sahut Meira.
"Hhhh, tampak di wajahmu kalo kamu sangat berduka," ujar Fandi. Meira diam.
"Aku baru percaya sekarang, kalo Revan benar- benar memperkosa mu."
Meira memainkan jari- jarinya yang ia letakan di atas meja. Ia masih bergeming.
"Andai hari itu, aku langsung percaya padamu. Mungkin Revan sudah di penjara lama, Mei ... aku menyesal hari itu mengusir mu dan menuduhmu sebagai wanita penggoda, pembohong," Fandi tampak menyesali perbuatannya setahun lalu, saat Meira memohon bantuannya tapi justru ia mengusirnya.
"Sudah, jangan bicarakan masa lalu dan penyesalanmu. Karena bagiku sudah tidak berguna," Meira berbicara dengan nada yang cukup tegas.
"Sekarang, aku mencintai Revan. Aku sudah melupakan semua peristiwa menyakitkan saat kau menghempaskanku," Meira tersenyum getir.
"Mei ... Tak ada kah lagi aku di hati mu?" Fandi menatapnya lekat.
"Tidak," sahut Meira, tegas.
Kecewa terlukis diwajah Fandi.
"Aku istri Revan. Selamanya aku akan menunggunya. Akan setia dan mencintainya."
Kata- kata itu bagai belati yang menusuk jantungnya. Sakit.
Benar, menyesal itu kadang menyakitkan.
"Fandi, jangan pernah memintaku untuk kembali. Karena kamu telah melepaskanku. Dan sekarang aku hanya ingin menjalani hidupku bersama Revan. Meski dia pernah menyakitiku, merusak hidupku. Tapi dia juga yang membangkitkan hidupku, dia juga yang membuatku nyaman dan merasa dicintai," Meira menghela nafasnya yang terasa sesak.
"Jalani saja kehidupan kita masing- masing."
Fandi hanya bisa membisu, tubuhnya seakan membeku di kursi kayu yang ia duduki. Sebegitu berartinya Revan di hati Meira. Cinta memang terkadang konyol, meski Revan telah merenggut kehormatannya justru kini Meira mencintai lelaki itu dengan sepenuh hati.
"Aku harus kembali ke dapur, pulanglah!" Meira beranjak dari kursinya dan tanpa menoleh lagi ia pergi ke dapur.
Dengan langkah gontai, Fandi mengayunkan kakinya. Pergi dengan harapan yang sudah hancur berkeping- keping.
***
Syahid membuat janji bertemu dengan Andi Mahesa. Mereka bertemu di rumah Andi.
Alisa menyambut kedatangan Syahid di depan pintu, dan menggiringnya ke ruang kerja ayahnya.
"Kenapa sampai harus mengintrogasi papa?" Alisa jalan bersisian dengan Syahid. Aroma tubuhnya yang wangi membuat Alisa sedikit terganggu, mungkin lebih tepatnya tergoda. Ditambah dengan perawakan Syahid yang terkesan begitu maco, dengan janggut dan cambang tipis yang menutupi bagian rahangnya, persis gaya pangeran- pangeran Arab. Alisa terpana menatapnya dari sisi samping.
"Aku butuh informasi banyak. Aku menduga pemerkosaan Meira ada kaitannya dengan Indra sahabat adikmu itu," Syahid berhenti melangkah, Alisa ikut berhenti. Pria itu membalas tatapan Alisa.
"Sepertinya dari tadi kau menatap ku terus? Ada apa?" Alis tebalnya yang begitu rapi tertaut. Mendadak Alisa jadi salah tingkah. Sadar kalau pikirannya mulai kurang fokus.
"Aa...emmm, i- itu... Ah, gak pa-pa," jawabnya bingung dan terlihat gugup.
"Oke," Syahid dan Alisa melanjutkan langkahnya.
"Jadi, kamu mencurigai Indra?" Alisa berusaha mengatur nafasnya yang sepertinya kurang teratur sejak beberapa menit lalu lelaki di sebelahnya membalas tatapannya.
"Bisa dibilang begitu," sahut Syahid.
"Ini ruang papa. Ruang kerjanya jika di rumah," Alisa berhenti di depan pintu coklat mengkilap itu. Syahid berdiri di sampingnya.
Alisa mengetuk pintu, dan terdengar suara ayahnya dari dalam mempersilakan masuk ke ruangannya. Alisa membuka pintu dan masuk bersama Syahid.
Setelah mengantar Syahid ke ayahnya, ia ke luar dari ruangan itu. Buru- buru ia pergi ke kamarnya, dan membenamkan wajahnya ke bantal. Entah dia seperti orang yang salah tingkah saat berdekatan dengan Syahid.
"Ayolah Alisa ... Jangan konyol! Sadar diri, apa yang bisa kau berikan pada laki- laki, hah?" Alisa berbicara sendiri. Ia menyadari akan kekurangan dirinya.
"Jangan Alisa ... Kalo gak mau sakit hati lagi!" ujarnya merutuki dirinya.
***
Andi Mahesa menjawab beberapa pertanyaan dari Syahid seputar hubungannya dengan Ema.
"Hanya hubungan teman?" Syahid menatapnya serius. Andi mendengus dan menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
"Aku mohon, ceritakan secara jujur apa saja tentang Ema dan hubungan anda dengannya. Karena ini sangat membantuku dalam menangani kasus Revan. Ada hal yang janggal dalam peristiwa malam itu." Jelas Syahid. Ia masih belum mengalihkan matanya dari Andi Mahesa.
"Baiklah," Andi menelan air liurnya, berusaha menenangkan gejolak hatinya. Rasanya sakit, jika harus mengingat masa lalunya dengan Ema.
"Aku ... pernah menikahinya, dua puluh delapan tahun yang lalu," ada yang menyesak di dadanya. Bayang- bayang Ema berkelebatan dalam ingatannya. "Hanya satu tahun, kemudian aku menjatuhkan talaq padanya. Kami berpisah, dan sejak hari itu. Aku tidak pernah tau kabarnya, keberadaannya. Aku kembali pada kehidupan rumah tanggaku dengan Rina. Aku sibuk mengurus beberapa bisnis. Ku lakukan sebagai pelampiasan atas rasa sakitku karna melukai Ema dan juga Rina. Ku isi pikiranku hanya dengan berjuta ambisi- ambisiku," jelas Andi dengan raut mukanya yang berubah kelam.
Syahid mencatat beberapa hal di bukunya. Kemudian kembali wajahnya terlihat serius.
"Pernahkah, anda membayangkan mantan istri muda anda itu memiliki anak dari anda?"
Andi mengerutkan dahinya, ia bingung. Selama ini ia tidak memikirkan hal itu. Yang ia tahu, Ema tidak pernah bilang hamil padanya.
"A- aku ... entahlah," Andi bingung, "aku benar- benar tidak tau tentangnya. Sampai Tuhan menakdirkan kami bertemu lagi, sepuluh bulan yang lalu karna urusan bisnis. Dia mempunyai seorang putra, yang ternyata dia adalah sahabat anakku dan juga bekerja di hotel milikku. Aku pikir, dia anak dari hasil pernikahannya dengan almarhum suaminya yang seorang pebisnis properti."
"Anda harus tau, Ema menikah saat usia Indra empat belas tahun."
Andi terhenyak. Mungkinkah Indra ...?
"Indra melarikan diri dari rumah, karna tidak setuju ibunya menikah. Menurut Revan ... Indra tidak pernah tau siapa ayah kandungnya. Mungkinkah itu anda, tuan Mahesa?" Syahid menggerak- gerakan bolpoin di tangannya.
Andi sedang berpikir.
"Anda coba tanyakan hal ini pada mantan istri anda itu," saran Syahid, "aku harap bisa secepatnya, agar proses penyidikan cepat selesai dan sidang bisa dilaksanakan. Aku sedang mencari dan mengumpulkan data, kasus Revan ada kejanggalan. Aku sanksi Revan yang memperkosa Meira," ia berhenti menggerak- gerakan bolpoinnya yang terhimpit diantara jari telunjuk dan jari tengahnya.
Andi Mahesa menghirup udara sebanyak mungkin, berusaha cara itu bisa menetralkan otaknya yang sedikit kacau dan tegang.
"Kondisi Revan, menurut keterangan Meira dan Revan sendiri sedang mabuk berat. Aku yakin anda paham, kondisi lelaki saat terlalu mabuk seperti apa? Terutama jika dihubungkan dengan sex ...." Syahid menutup buku catatannya.
Andi diam, seperti masih sedang berpikir.
"Aku memang tidak pernah mabuk apalagi menegak minuman keras, setetes pun tidak. Tapi, aku tau bagaimana kondisi lelaki jika mabuk yang terlalu. Aku membaca beberapa artikel, menanyakan hal ini ke dokter dan juga pengalaman dari beberapa temanku." Syahid menghela nafas.
Kemudian ia berdiri dari kursinya, dan mengulurkan tangannya kepada Andi.
Pria itu pun membalas uluran tngan Syahid dan kemudian saling berjabat tangan. Syahid pamit dan mengucapkan salam sebelum akhirnya meninggalkan Andi Mahesa di ruangan itu.
"Apa iya, Indra anak ku?" Andi bergumam. Ia mengusapkan tangannya ke rambutnya yang sudah memiliki dua warna, hitam dan sedikit putih.
***
Syahid sudah mendapatkan keterangan dari Andi Mahesa bahwa benar Indra adalah anaknya. Mereka berbicara melalui telepon. Syahid meminta agar sementara merahasiakan kebenaran tersebut, sampai penyelidikan selesai. Andi mengiyakan saja. Meski ia ingin sekali membuka kebenaran itu kepada Indra dan juga keluarganya.
Usai menutup ponselnya, Syahid duduk di kursi dengan meja persegi empat yang dipenuhi buku, alat tulis, berkas- berkas dari kepolisian dan satu laptop.
Ia membuka akun Facebook milik Indra, yang ia dapat dari Revan saat ia mengunjunginya di lapas. Mengecek- ngecek isi akun Indra. Mungkin ada sesuatu yang bisa ia dapatkan.
Karena barang bukti yang sudah ia berikan ke penyidik belum tentu bisa membuktikan Indra terlibat. Sidik jari itu bisa saja hilang, mengingat kejadiannya sudah setahun yang lalu.
***
Indra datang ke White Rose Cafe. Ia memesan segelas es caffuccino. Ada Meira sore itu, ia tersenyum melihat istri sahabatnya itu. Memandanginya dari tempat ia duduk. Meira sedang mengobrol dengan beberapa pelanggan kafe. Meira sadar diperhatikan, ia pun merasa risih dengan tatapan Indra.
Selesai berbincang dengan pelanggannya itu, Meira ingin pergi ke dapur saja. Ia malas menemui Indra. Tapi, lelaki itu memanggilnya. Karena tidak enak akhirnya Meira menghampirinya berdiri saja di depan Indra.
"Apa kabar, Meira?" tanya Indra dengan tatapan yang menurut Meira aneh.
"Baik," sahut Meira singkat.
"Tumben sore masih di sini? Clarissa mana?"
"Tidak pa-pa, aku ingin menyibukan diri. Clarissa sedang bersama mamanya, Tiara." Jelas Meira.
"Kau terlihat lebih baik, apa sudah tidak terlalu memikirkan Revan?"
"Aku selalu memikirkannya," sahut Meira.
Indra tersenyum tipis. "Beruntung banget Revan, memperkosa tapi korbannya jatuh cinta. Bahkan tetap setia menunggu. "
Meira tampak tidak suka dengan ucapan Indra.
"Kalo aku jadi kamu, aku akan minta cerai dan menuntutnya!" Indra menatap tajam ke netra yang sayu itu.
"Itu kamu, Ndra. Bukan aku," sergah Meira, "aku gak suka kamu bicara seperti itu. Maksud kamu apa? Kamu kan sahabat Revan, gak seharusnya kamu bicara seperti barusan! " Meira tampak gusar.
"Revan itu ...selalu beruntung. Meski nanti di penjara, sepertinya kau tetap setia?" Indra terkekeh, "manis sekali."
"Sudah ya, aku banyak pekerjaan di belakang. Maaf," Meira hendak mengayunkan langkah. Tapi, lengannya dicekal oleh Indra. Meira melotot, cepat- cepat ia menghempaskan tangan Indra.
"Apaan, sih. Ndra?" Meira menatap Indra sengit. "Kamu aneh setelah Revan di penjara!"
"Jangan marah Meira," ucap Indra, santai, "aku hanya ingin dekat denganmu. Apa yang Revan suka, aku juga suka..." ujarnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
Jantung Meira mendadak terpompa kencang, tubuhnya gemetar. Takut.
"Kamu aneh!" Meira mempercepat langkahnya. Ia masuk ke dapur kafe.
Indra yang masih duduk di kursi, menggenggam gelas berisi es caffuccino di hadapannya dengan sangat kuat, hingga permukaan punggung jarinya berwarna putih.
***
Indra mengayunkan langkah nya memasuki apartemennya. Ia duduk di sofa. Mengambil sebatang rokok dan menyalakan korek, kemudian ia sulutkan ke rokok yang ada di sela jari nya. Ia menghisap rokoknya, menghembuskan asapnya yang perlahan membentuk bulatan- bulatan tipis, menari- nari di udara, menguarkan aroma tembakau. Ia meraih botol minuman yang ada di meja kaca di hadapannya. Ia membuka tutup botol itu, seketika aroma minuman berakohol menyeruak. Ia menegaknya beberapa tegukan. Pikirannya melayang, terbang ke masa lalu. Masa kecilnya.
Ia sering menangis sendirian di sudut kamarnya yang sumpek. Hampir setiap hari selalu ada saja yang mengejeknya.
Mengejek dengan kata- kata sadis. Dilabeli anak tanpa ayah, anak haram, miskin, anak pelacur. Ia kenyang dibully. Selalu merasa sepi. Setiap bertanya soal ayahnya, ibunya selalu memarahinya.
Hingga suatu hari, saat ia lulus dari sekolah menengah pertama. Ia menemukan foto pernikahan ibunya dengan Andi Mahesa. Ia juga membaca buku harian ibunya yang menyatakan bahwa ia adalah anak Andi Mahesa.
Ia meminta kejujuran ibunya, tapi tidak ia dapatkan. Ibunya masih saja berbohong. Amarahnya memuncak, jiwa mudanya berontak. Akhirnya ia pergi meninggalkan ibunya. Nekad pergi ke kota di mana ia bisa dekat dengan ayahnya. Ibunya menikah dengan pengusaha yang merupakan atasannya. Ia tidak peduli.
Ia mendatangi teman masa kecil ibunya. Lelaki yang hanya berprofesi sebagai satpam di sebuah mall. Ia menumpang di sana. Diperlakukan cukup baik. Karena lelaki itu tidak dikaruniai anak. Ia dan istrinya menyayangi Indra. Diam- diam Indra tahu, ibunya mencari keberadaannya. Dan tahu Indra menumpang di rumah temannya itu. Setiap bulan menerima transferan uang dari ibunya. Indra tahu hal itu, walau lelaki yang ia panggil paman itu tidak pernah memberitahunya.
Indra mengisap rokoknya lagi, pikirannya melayang seiring kepulan asap yang ia keluarkan dari mulut dan hidungnya. Kembali ia menenggak minuman berakohol itu. Ia mulai teler, dan meracau.
Nadia datang, wanita itu masuk ke sana karena pintu yang tidak terkunci. Ia menutup hidungnya dengan telunjuk. Mengibaskan tangannya ke udara, seolah bisa mengusir aroma minuman dan asap rokok.
"Indra?" Nadia kesal melihat Indra yang sedang rebahan di sofa dengan kondisi setengah mabuk.
"Hehhhh.. Meira..." ucapnya sambil terkekeh. Nadia mengernyitkan keningnya.
"Aku Nadia!" Kata Nadia dengan keras.
"Meira ...." panggilnya.
Nadia mengambil puntung rokok yang jatuh ke lantai. Meletakannya ke dalam asbak. Menarik botol minuman dari tangan Indra, dan menaruhnya di meja.
"Kau tau ... aku sangat menikmati tubuhnya malam itu....hahaha," Indra tertawa.
"Apa?" Nadia terperangah. Kemudian ia mengambil sesuatu dari tasnya.
"Kau bilang apa barusan?" Tanya Nadia.
"Aku ... hahaha... Revan bodoh. Dia di penjara, padahal ...."
"Padahal apa?" desak Nadia. Jantung Nadia mendadak terpompa dengan kencang.
"Revan bodoh ... aku ..."
***
Indra terjaga dari tidurnya. Sedikit merasa pusing. Ia memegangi kepalanya. Ia terkejut saat melihat Nadia ada di meja makan.
"Selamat pagi, Indra sayang," Nadia tersenyum manis. Indra memicingkan matanya dan melihat hidangan tersaji di atas meja.
"Sarapan, yuk," ajak Nadia.
Indra beringsut dari sofa kemudian duduk di dekat Nadia.
"Sejak kapan kau di sini?" Indra menatap Nadia.
"Semalam," Nadia menaruh sepotong roti bakar ke piring yang ada di depan Indra." Tapi kau teler. Aku putuskan tidur di sini. Di kamar mu. Ada hal penting yang ingin ku bicarakan. "
"Berarti kau meninggalkan ayahmu semalaman?" Indra mengambil gelas berisi air putih. Meminumnya beberapa tegukan.
"Ada yang menjaganya sekarang. Ibu mu yang membayar perawat itu," Nadia tersenyum lagi. Indra merasa aneh.
"Kau aneh ..." Indra meletakan kembali gelas di tangannya.
"Aku ingin minggu depan kita menikah," Nadia menatap Indra, serius.
Indra mendengus," jangan bahas itu dulu!"
"Harus," sergah Nadia." Aku sudah jadi bahan gosip tetangga dan orang kantor, " Nadia menahan rasa kesalnya. Ia menggigit roti di tangannya. "Jangan menghindar lagi!"
Indra menatap kesal kepada Nadia. "Jangan mendesak ku. Aku tidak suka!"
"Tapi kau harus tanggung jawab!" Suara Nadia meninggi.
"Aku tidak suka terikat!"
"Ohhh, jadi ... mau lepas tanggung jawab?"
"Begitu lah..."
"Kamu ..." Nadia melempar roti di tangannya ke atas piring. Ia berdiri dari duduknya.
"Kamu kenapa, sih, Ndra?" Nadia marah.
"Aku gak suka lagi sama kamu," jawaban Indra bagaikan petir yang menyambar.
"Kenapa? Karna Meira?"
Indra mendelik. Ia seperti ingin menelan Nadia.
"Bukan urusan mu!"
Nadia mengambil ponselnya dan menyalakan sebuah rekaman suara di benda pintar itu. Terdengar suara Indra yang meracau, yang mengakui kebejatannya.
"Sialan!" Indra berdiri dari duduknya dan hendak merampas ponsel Nadia. Tapi, dengan sigap Nadia menghindar dan segera memasukan ponsel itu ke tasnya. Memegang tas di tangannya dengan erat.
"Ingat, minggu depan kita menikah. Jika tidak, rekaman ini akan ku serahkan ke polisi." Ancam Nadia.
"Shit!!!" Indra menendang kursi makan. Memandang Nadia dengan tatapan emosi.
"Oke," Indra menghela nafas. Berusaha mengatur nafasnya. Menahan emosi. Ia sudah terjebak.
"Kita menikah."
"Bagus," Nadia sedikit lega.
"Berikan rekaman itu sekarang!"
"Maaf, nikahi aku dulu. Setelah itu, rekaman ini akan ku hapus!"
Indra mengusap wajahnya. Kemudian menatap Nadia, "oke ..." Indra pasrah.
"Bagus," Nadia merasa menang dan juga sedikit lega.
Indra berusaha menetralkan emosi yang sedang menguasainya.
***
Nadia mengirim rekaman itu ke hand phonenya yang satu lagi. Ia simpan ponsel nya itu ke dalam laci. Hanya untuk jaga- jaga. Khawatir Indra akan menyakitinya, setidaknya dia masih menyimpan copyan rekaman itu.
"Maafkan aku, Revan ... aku harus begini. Memanfaatkan situasi ini. Aku juga tidak mau menderita lagi. Aku tidak ingin anakku lahir tanpa ayah," Nadia berbicara sendiri sambil terisak.
"Biarlah kau di sana, biar ayahmu yang sombong itu bisa sedikit merasakan malu ...." Nadia mengusap air matanya sambil mengelus perutnya.
***
Syahid mulai paham, kenapa Indra mungkin saja terlibat dalam pemerkosaan itu. Dia mendapat sejumlah imformasi mengenai Indra di masa lalu. Ia juga memberanikan diri menemui Ema, meminta keterangan soal Indra di masa kecilnya.
Tapi, untuk menjerat lelaki itu ke kasus ini, Syahid harus punya cukup bukti untuk bisa membawa Indra sebagai tersangka.
***
Pekan ini, Clarissa dijemput Tiara. Ia akan menginap di rumah Tiara. Meira mengijinkannya. Mereka saling berpelukan, sebelum Clarissa pergi. Tiara seakan memberi dukungan agar Meira tegar menghadapi masalahnya.
Setelah Clarissa pergi. Meira memutuskan pergi ke kafe saja, untuk menyibukan diri.
Sampai di kafe, ia bahagia sekali karena pengunjung ramai. Ia pun ikut turun tangan membantu karyawan nya yang sibuk mengantar pesanan para pengunjung.
Dari kejauhan seseorang memperhatikannya dengan tatapan yang sangat penuh gairah.
***
Revan sedang membaca Al Qur'an yang Meira berikan padanya beberapa hari lalu. Membacanya perlahan, sesekali membaca terjemahannya. Hatinya sedikit gelisah, memikirkan Meira. Entah ... ada semacam kecemasan. Ia hanya berdoa semoga Meira baik- baik saja.
Alisa menelpon Meira, tapi tidak diangkat. Hingga sepuluh kali ia mencoba menelpon. Kemudian putus asa, ia menelpon Syahid.
"Bagaimana, apa Meira ada di rumahnya?" tanya Syahid.
"Handphone gak diangkat. Mungkin dia di kafe."
Syahid diam beberapa saat.
"Kenapa sih, harus ajak dia malam ini juga untuk nginap di sini?" Alisa penasaran.
"Meira seperti dalam bahaya," kata Syahid.
"Kenapa bisa begitu?"
"Aku baru saja mbaca status Indra di wall FB nya."
"Apa?"
"Malam ini, aku ingin mengulangnya ..."
"Ah, Kamu. Kaya paranormal aja." Alisa sebenarnya terlihat cemas, "aku tau, bocah tengil itu lagi kamu curigai. Tapi masa iya dia setega itu."
"Ayolah... dia itu agak aneh," ujar Syahid.
"Jadi gimana?"
"Kita ke kafenya Meira," kata Syahid. Alisa melirik jam di atas nakas. Sudah hampir jam sepuluh malam.
"Semalam ini?"
"Aku jemput, ya. Setelah itu kau dan Meira akan ku antar," kata Syahid yang langsung menutup teleponnya.
Alisa mendengus. Tapi sebenarnya senang karena akan bertemu dengan Syahid. Ia pun minta ijin dengan ayah dan ibunya. Sedikit bingung, tapi akhirnya diijinkan.
***
Tepat jam sepuluh, kafe sepi. Satu persatu karyawan pulang. Meira nasih merapikan beberapa perkakas di dapur. Ia menyuruh semua karyawannya untuk pulang. Ada yang ingin menawarkan diri untuk menemaninya hingga beres urusan dapurnya, tapi Meira bilang kalau dia tidak usah ditunggu. Jadilah semua karyawan nya pulang. Hanya dia di sana, sendirian.
Ia asik membersihkan peralatan kuenya.
Langkah seseorang terdengar. Meira berhenti mengelap alat kuenya. Tiba- tiba lampu padam. Meira panik, ia meraba- raba untuk mencari korek. Tapi tidak ketemu. Suara debur ombak di luar sana menambah suasana sedikit menjadi mencekam. Meira pelan- pelan melangkah menuju kamar, untuk mengambil ponselnya.
Tapi ...
"Meira ..." sebuah suara yang tidak asing baginya. Begitu dekat dengannya. Ia bisa merasakan hembusan nafas orang yang nemanggilnya itu. Meira mulai ketakutan, ia mundur beberapa langkah. Sialnya, ia terjebak ke dinding. Dan sosok asing itu mendekatinya dan menguncinya dengan kedua tangannya yang diletakkan ke dinding. Meira berada dalam perangkap orang asing itu.
"Jangan takut ...aku tidak akan menyakitimu. Kali ini, aku ingin menikmatinya dalam kondisimu yang normal. Tidak pingsan seperti malam itu ...." ia terkekeh.
Meira menangis, ketakutan. Tubuhnya gemetar. Ingin teriak tapi tenggorokannya seakan tercekat.
Bersambung #18
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel