Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 03 Juni 2020

Bunga Tanpa Mahkota #18

Cerita bersambung


Ketakutan itu kembali lagi, bahkan kali ini rasanya lebih dahsyat dari kejadian setahun yang lalu itu. Tubuhnya gemetar, dalam gelapnya ruangan. Suara debur ombak di luar membuat suasana semakin mencekam.
"Kamu ..." Meira terisak.
"Apa kau ingat?" Indra menyentuh wajahnya. Nafas lelaki itu begitu jelas terdengar di telinganya.
"Malam itu, aku mengantar Revan yang mabuk berat. Aku mengantarnya hingga ke tangga atas. Lalu turun ..." Indra menyentuh dagu Meira.

Terdengar tangisan Meira semakin menjadi. Ia mencoba untuk lari dari perangkap Indra. Tapi tubuhnya lemas.

"Lalu, aku dengar jeritanmu ..." Indra ingin mencium bibir Meira, tapi cepat wanita itu membuang wajahnya ke samping kiri.
"Aku naik ke atas lagi. Dan ku dengar kamu menangis di kamar Revan. Aku membuka pintu ..." ia terkekeh, " pintu itu tidak terkunci. Aku bisa lihat samar- samar Revan mengikat tangan dan menutup mulutmu."
Meira merasa sesak, sulit bernafas. Siluet mengerikan malam itu seakan hadir kembali di hadapannya.

"Aku membiarkan ... Ku tunggu hingga akhirnya Revan rubuh di atas tubuhmu. Ahhh, kau juga pingsan." Kembali ia menyentuh dagu Meira, kemudian menyentuh pipi wanita itu.
"Aku dorong tubuh Revan ...hahaha, orang mabuk berat mana bisa bercinta," ia tertawa." Aku menikmati tubuhmu ..." Indra menurunkan tangannya dan menyentuh lengan Meira.
"Jadi ...."
"Ya, aku yang menikmati tubuhmu. Aku sayang." Tegasnya, suaranya begitu mengerikan.
Meira hanya bisa menangis.
"Aku menginginkanmu sejak lama. Sejak melihatmu pertama kali. Tapi, kamu gak peduli. Kamu gak pernah melihatku," Indra seperti terdengar sedih. "Makanya, malam itu tidak ku sia- siakan. Selain itu akan menghancurkan Revan dan keluarganya. Aku yang menikmati biarlah saudaraku itu yang menanggung rasa bersalah," Indra tertawa lagi.
"Tapi ... ternyata, justru kalian jatuh cinta. Ah..." Indra memukul dinding dengan telapak tangan kanannya, "makanya aku marah... Bahkan saat dia sudah di penjara kamu tetap mencintainya dan akan menunggunya." Indra terdengar marah.

Dengan tenaga yang dimiliki, ia mendorong Indra dengan ke dua tangannya yang gemetar, lelaki itu sempat mundur sedikit, tapi dengan cepat langsung mencekal lengan Meira. Sangat kuat.
"Lepasin ...." Meira kembali merasakan ketakutan itu. Indra menariknya ke dalam pelukannya. Meira berusaha melawan, tapi lagi- lagi ia kalah.

Indra mendekap pinggangnya. Meira meronta- ronta dengan suara parau. Indra kemudian membekap mulut Meira dengan tangannya. Sementara tangannya yang lain memegangi tangan Meira dengan posisi tangan di belakang. Kemudian menggiringnya ke samping, terdengar suara pintu ditendang, dan kemudian terbuka. Indra membawanya masuk ke kamar yang biasa ia gunakan untuk Clarissa tidur dan juga shalat.

Indra mendorong tubuh Meira dengan kuat hingga wanita itu jatuh ke lantai dan kepalanya terantuk benda keras. Meira merasakan sakit di sekitar keningnya.
Terdengar Indra menggerakan kunci, sepertinya sedang mengunci pintu. Kondisi ruangan sangat gelap. Seperti Kejadian setahun lalu.
***

Sedangkan di dalam sel tahanan, Revan menutup Al Qur'an di tangannya. Wajahnya terlihat risau. Ia gelisah.
Ia menatap dinding penjara yang penuh coretan, tulisan tangan. Ia melafalkan istighfar perlahan.
Kemudian terdengar ia menyebut nama istrinya dengan lirih, "Meira ...."
***

Alisa terus mencoba menelpon ponsel Meira. Belum diangkat juga. Syahid mengemudikan mobilnya dengan cukup kencang.
"Belum diangkat!" Alisa gelisah.
Syahid terus memacu mobilnya di tengah jalan raya yang sudah tidak terlalu ramai.

Indra membanting ponsel Meira yang sejak tadi berbunyi, ke atas lantai lalu menginjaknya dengan kuat.
Meira menangis, dan berusaha menghindar. Tangannya meraba- raba di sekitarnya mungkin saja bisa menemukan sesuatu yang bisa ia jadikan senjata untuk memukul Indra.

"Indra!" Terdengar suara seseorang di luar.
"Aku tau kamu di dalam. Dasar ba**ngan!!!" Pintu kaca di luar di gedor dengan keras.
"Pengganggu," umpatnya. Ia menarik tangan Meira dengan kasar. Lalu, ia mengambil ponsel dari saku celananya dan menyalakan senter. Ruangan sedikit bercahaya. Ia taruh ponselnya di atas nakas. Kemudian membuka-buka laci, mencari sesuatu. Dan ia menemukan lakban berwarna hitam. Ia mendorong Meira hingga terjerembab ke tempat tidur. Kemudian menaruh kedua tangan Meira dibelakang pinggang.
***

Rupanya Nadia ada di luar, ia menuju meteran listrik yang ada di bagian dinding sisi kiri kafe. Menekan tombol biru ke arah on. Seketika suasana kafe menjadi terang. Meira sedikit bisa bernafas saat lampu menyala.
Ia berada di atas ranjang, dengan tubuh tengkurap. Kedua tangan dililit dengan lakban. Kakinya diikat dengan kain berwarna hitam. Pintu kamar terbuka, Meira bisa melihat dapur. Indra entah ke mana. Meira mencoba menggerakan tubuh dan tangannya. Ia ingin bangun, tapi sulit.

Indra membuka pintu kaca itu, dan menarik Nadia masuk ke dalam. Ia mengunci pintu kembali dan memasukan kunci itu ke kantong celananya.
Nadia menatapnya dengan nyalang. Ia hendak menampar Indra. Dengan cepat Indra menangkap pergelangan tangan Nadia dan mencengkeramnya dengan kuat.
"Kenapa kamu bisa ke sini?" Indra gusar.
"Aku hanya menduga-duga. Benarkan ternyata kamu ke sini. Kamu memang ba**ngan, Ndra!" Nadia meludahi wajah Indra. Itu membuat Indra makin marah.
"Kamu mau lari dari tanggung jawab kan? Pembohong!!!"

Satu tamparan keras mendarat di wajah Nadia. Gadis itu menangis, pipinya merah. Sudut bibir kanannya mengalir cairan merah.
"Kamu sudah tidak berguna. Rekaman itu sudah aku hapus," Indra terkekeh dengan sorot mata mengerikan.
Lalu, ia menyeret Nadia ke dapur. Di sana gadis itu di dorong hingga jatuh ke lantai tepat di depan kamar. Meira terbelalak melihat Nadia yang tersungkur di lantai.

Nadia merasakan sakit di perutnya, ia meringis sambil memegangi perutnya. Meira hanya bisa menangis.
Kemudian Indra muncul dan menarik rambut Nadia, memaksa gadis itu berdiri. Dan kemudian kedua tangan Indra mendarat di leher Nadia. Meira melotot dan ketakutannya semakin menjadi.
***

"Telpon polisi!" Perintah Syahid, ia mengeluarkan ponselnya dan menyodorkannya ke Alisa.
"Di situ ada nomer petugas kepolisian. Aku menulisnya police dalam bahasa inggris." Syahid terus mengemudikan mobilnya dengan cepat.
Alisa mengambil ponsel Syahid dan melakukan apa yang diminta pria itu. Alisa terlihat tegang.
"Kau yakin, Indra berbuat sesuatu pada Meira saat ini?" tanya Alisa sambil menunggu telpon yang masih belum terhubung.
Ia menyalakan loud speaker ponsel.
"Ya, aku yakin itu." Sahut Syahid tanpa rasa ragu.
Dan telpon pun terhubung.
***

Meira menangis dalam ketakutan. Ia menyaksikan tubuh Nadia yang terbaring kaku di atas lantai. Matanya terbelalak. Nadia sudah tidak bergerak. Indra terkekeh, seperti orang yang bahagia menatap Nadia yang terbujur kaku.

Kemudian Indra masuk ke kamar, dan duduk di sisi ranjang. Membelai kepala Meira dengan lembut. Meira makin gemetar.
"Kita akan pergi dari sini, dan hidup bahagia bersama." Ucapnya dengan suara lembut, tapi begitu mengerikan bagi Meira.
***

Letak White Rose Cafe memang agak berjauhan dengan beberapa resto dan kedai kopi lainnya. Jadi, memang sepi lingkungan sekitar kafe milik Revan itu.

Mobil honda jazz merah berhenti tak jauh dari kafe. Alisa ke luar dari mobil itu, ia melihat tak jauh dari mobil Syahid sebuah mobil fortuner terparkir. Jelas Alisa tahu siapa pemilik mobil itu.
Dengan berlari Alisa menuju kafe. Ketika hendak membuka pintu, ia tidak bisa membukanya karena pintu terkunci.
"Terkunci!" Alisa setengah berteriak kepada Syahid.

Syahid bergegas menuju bagasi mobil mengambil sesuatu, sebuah kunci roda untuk membuka ban mobil. Ia membawa benda yang terbuat dari besi itu, sampai di depan pintu kafe ia ayunkan benda itu untuk memecahkan pintu kaca.
"Indra!!!" Panggil Syahid. Tak ada sahutan.
"Meira!!!" Alisa berlari ke belakang kafe, mungkin saja pintu belakang tidak terkunci.

Sementara di dalam, Indra terlihat kesal. Ia membuka ikatan di kaki Meira. Kemudian menarik tubuh Meira agar berdiri.
Indra membawa Meira ke luar dari kamar. Meira menahan nafas saat melintasi Nadia yang terbujur kaku di lantai. Indra menggiringnya melewati meja yang ada di tengah dapur dan mengambil satu buah pisau.  Meira semakin ketakutan. Lelaki itu menggiringnya ke ruang utama.

Syahid berhasil memecah kaca pintu kafe. Memecahnya hingga ia bisa masuk ke dalam.
Indra berdiri di hadapannya dengan Meira yang ada dalam kuasanya. Ia menodongkan pisau itu ke arah leher Meira.
"Maju selangkah, aku akan lukai Meira!" Ancam Indra.
Syahid mengatur laju nafasnya, wajah putihnya merah dan berpeluh. Ia mencoba tenang, meski sedikit cemas melihat keadaan Meira yang sedang menjadi sandera.
"Oke," ucap Syahid berusaha tenang.
"Biarkan aku dan Meira pergi!" Indra mengayunkan kakinya dua langkah ke kiri. Syahid masih di tempatnya.
Indra terus bergerak, bergeser dengan menyeret Meira. Syahid diam saja.
Kini Indra sudah dekat dengan pintu yang sudah dipecahkan oleh Syahid.

Alisa mengambil sebilah kayu ulin berukuran sedang yang ia temukan di samping bangunan kafe.
Ia melangkah ke bagian depan kafe. Dan melihat Indra yang sedang memegangi Meira. Indra dalam posisi membelakangi pintu.
Syahid yang kini berdiri menghadap ke arah pintu, memberi kode pada Alisa melalui gerakan mata.

Meira hanya menangis saja. Pisau itu masih mengarah ke lehernya. Nafas Indra yang tak beraturan begitu terasa di telinga Meira yang tertutup kain jilbab. Tangannya terasa sakit. Tangan kiri Indra yang melingkar di sekitar lehernya membuat leher dan bahunya terasa pegal.

Alisa dengan kedua tangannya yang gemetar mengayunkan kayu tersebut dan memukulkannya tepat ke bagian tengkuk Indra dengan cukup keras. Sebenarnya kayu itu lumayan berat, tapi Alisa seperti mendapatkan kekuatan untuk melumpuhkan Indra.
Indra meringis, Alisa sekali lagi memukul punggung Indra. Ulin itu tentu saja menimbulkan rasa sakit yang sangat, jika di pukulkan ke bagian tubuh.
Indra melepas Meira dan berbalik. Ia melihat Alisa, tatapannya begitu sadis kepada Alisa.

Syahid langsung menyerang Indra. Menghajar lelaki itu. Indra melawan. Kunci roda yang Syahid pegang jatuh ke lantai, menimbulkan suara dentingan yang cukup keras. Alisa menerobos masuk dan membantu Meira berdiri. Melepas lakban dari mulutnya. Terdengarlah suara tangisan Meira yang penuh ketakutan.

Syahid dan Indra saling hajar, mereka kini berada di luar kafe. Pisau yang tadi di tangan Indra entah jatuh ke mana. Indra sangat kuat, Syahid jatuh dan kini Indra menghajar wajah Syahid, ia berada di atas tubuh Syahid.
Alisa histeris, ingin menolong tapi ia harus membawa Meira ke luar.
"Ayo kita ke mobil!" Alisa memegangi lengan Meira yang masih terikat dengan lakban. Mereka berjalan ke luar.

Syahid terjepit, Indra ada di atasnya dan mencekik lehernya. Perlahan Syahid menggerakan kedua tangannya, lalu menempelkan ke dua tangannya ke bagian pelipis Indra. Kemudian menekan mata Indra dengan ujung ibu jarinya. Indra mengerang kesakitan. Ia mundur dan terduduk di atas pasir.
Syahid bangkit dan menarik kerah baju Indra, menghempaskan lelaki itu ke atas pasir dengan posisi tubuh tengkurap. Syahid memelintir lengan kanan Indra. Lagi, sebuah erangan kesakitan terdengar dari mulut Indra yang babak belur.

Sebuah mobil patroli polisi akhirnya datang. Indra langsung lemas dan akhirnya pasrah. Empat orang petugas langsung mengamankan Indra. Menggiring pria itu ke mobil.

Meira menatap dari balik jendela mobil. Air matanya masih belum berhenti. Alisa sedang membuka lakban yang melingkar kuat di kedua pergelangan tangan Meira dengan sebuah pisau cutter yang ia ambil dari bagasi mobil Syahid.
Akhirnya kedua tangan Meira bebas. Ia menghela nafas lega, tangannya terasa pegal.
Kemudian, Meira berpelukan dengan Alisa.

Dua orang polisi memeriksa kondisi kafe. Dan mereka menemukan mayat Nadia.
Usai berbicara dengan polisi, Syahid mendatangi Alisa dan Meira yang berada di mobilnya. Mobil patroli itu pergi membawa Indra. Sedangkan dua polisi yang lainnya masih berada di dalam kafe.

Alisa membuka pintu mobil, ia melihat lebam di wajah Syahid, ada darah yang menempel di bibir merah pria itu. Alisa menatapnya iba.
"Hei, kau bawa mobilku. Pulanglah... aku masih ada urusan dengan mereka," ujar Syahid.
"Oke," sahut Alisa."Kau tidak pa-pa?"
"Ya," angguk Syahid, "hanya sedikit sakit dan pegal," ia menyunggingkan senyum.
"Terimakasih Syahid," ujar Meira dengan suaranya yang parau. Syahid mengangguk pelan dan menatap Meira sesaat.

Alisa ke luar dari mobil.
"Besok, aku akan ke rumahmu," ujar Syahid. Alisa hanya mengangguk saja. Ingin sebenarnya mengobati luka di wajah Syahid. Ah, tapi sudahlah. Alisa harus membawa Meira pulang.
Ia pun masuk ke mobil, duduk di belakang kemudi. Sementara Meira duduk di jok belakang dengan kondisi yang masih syok berat.
***

Ayah Nadia hanya bisa menangis begitu mengetahui putrinya meninggal. Ema meminta maaf padanya atas apa yang Indra lakukan kepada Nadia, walau itu sebenarnya tidak akan bisa menebus kesalahan putranya.

Perawat yang menjaga ayah Nadia menyerahkan ponsel dan secarik kertas yang Nadia titipkan sebelum ia pergi mencari Indra.
Ema membaca tulisan di kertas itu dengan linangan air mata. Isi pesan yang tertulis itu, meminta Ema untuk memberikan ponselnya itu kepada pihak berwajib. Di dalam benda persegi panjang itu ada suara rekaman Indra yang berisi pengakuan kejahatannya pada Meira.

Indra memanglah anaknya, tapi ia juga harus bersikap adil. Indra salah dan harus menerima hukumannya. Ema akan menyerahkan bukti itu kepada polisi setelah pemakaman Nadia.
***

Meira memandangi langit yang tampak mendung melalui kaca jendela kamar Alisa. Semalam ia tidur di kamar Alisa.
Pintu terbuka, Alisa muncul dengan wajah ceria dan di sebelahnya ada dokter Dea.
" Meira," panggil Alisa. Meira menoleh ke arah Alisa.
"Ada dokter Dea," kata Alisa. Meira tersenyum dan langsung menghambur ke arah dokter Dea kemudian memeluknya.

Dokter itu membalas pelukan Meira. Membelai rambutnya yang tergerai, dengan lembut. Membiarkan Meira menumpahkan kesedihannya dalam pelukannya. Alisa meninggalkan mereka berdua di kamarnya.

Meira mengurai pelukannya kemudian mengajak dokter itu duduk di sofa. Duduk saling berhadapan, lalu  menceritakan semua yang ia alami semalam kepada dokter Dea.
***

Dipemakaman.

Andi mendekati Bahran yang terlihat begitu terpukul. Mereka saling bertatapan.
"Maafkan aku," ucap Andi. Bahran hanya mampu menatapnya, karena ia tak bisa berbicara.
"Tapi, penyebab kebakaran itu bukan aku. Bukan orang suruhanku," ujar Andi," aku minta maaf, karna pernah berbuat kasar padamu. Aku memang tidak suka jika Nadia menjadi menantuku," Andi mendesah.
"Alasanku karena aku tidak ingin berbesanan dengan seorang yang gemar mencuri."

Bahran tertunduk, ada rasa malu terlukis di wajahnya.
"Kau sering mencuri di hotel. Padahal aku menggajimu lebih dari para cleaning service lainnya. Aku pikir kau berubah. Ternyata tidak, selalu terulang lagi. Begitu juga dengan istrimu. Dia bekerja sebagai tukang cuci di rumahku, tapi dia sama seperti mu, suka mencuri barang- barang kami dan juga uang."

Andi menatap Bahran yang tertunduk malu. "Dan aku tau, sengaja kau menyuruh Nadia mendekati Revan agar bisa masuk ke keluarga kami. Mencari cara agar kaya dengan cara instan. Itu yang membuatku tidak setuju. Walau aku tau Revan mencintai putrimu. Namun saat itu yang aku pikirkan adalah aku tidak sudi anakku menikah dengan orang yang mencintainya karna harta."
Andi menepuk bahu Bahran, pelan. Kemudian berlalu dari hadapan pria lumpuh itu.
Ema sedang bersama Rina di dekat mobil yang terparkir.
"Maafkan aku Rina. Andai aku jujur dari awal, mungkin ini tak akan terjadi."

Rina memeluknya, untuk beberapa saat dua wanita yang dulu adalah sahabat itu tenggelam dalam diam. Mereka saling menikmati pelukan itu. Pelukan yang dulu sering Ema berikan jika Rina sedang sedih. Begitu juga sebaliknya.
"Sudah Em, inilah takdir. Jalani saja," Rina melepas pelukannya. Ia mengusap air matanya dengan jemari lentiknya.
"Indra anak Andi. Saudara Revan dan Alisa. Walau Indra sudah melakukan banyak kesalahan, tetaplah kita sebagai orang tua memaafkannya dan tetap mencintainya. Indra cukup dekat dengan kami, dulu dia sahabat Revan." Rina tersenyum.
"Rinaaa, kau polos. Tapi sangat tulus dan berhati lembut." Ema membalas tatapan Rina, "Andi memang pantas untukmu. Dia keras kepala, dan hanya kau yang mampu membuat dia tenang...."

Rina memegangi tangan Ema.
"Aku gagal mendidik anakku," dadanya terasa sesak, "aku salah menyembunyikan soal ayahnya. Andai ...." Kembali air matanya berurai.
"Takdir kita begini amat, ya ..." Rina terkekeh sambil menangis.
Ema mempererat genggaman tangan Rina.
"Tapi, selalu ada hal indah dalam pahitnya takdir yang Tuhan berikan pada kita."
"Ya, kamu benar Rina," Ema menyeka air matanya. Andi memandangi dua wanita yang begitu berarti dalam hidupnya dari kejauhan.

Tapi ... tetaplah Rina yang patut ia cintai, karena wanita itu yang selalu mencintainya, selalu mampu memadamkan amarahnya, selalu setia dan senantiasa memaafkan dirinya.
***

Siang itu Meira diantar Alisa menemui Revan.
Meira langsung berlari ke dalam pelukan suaminya. Menangis sejadi-jadinya di atas dada bidang itu hingga baju yang Revan kenakan basah.

"Sabar sayang," Revan mengecup kening Meira. Lalu mereka duduk berhadapan dengan kedua tangan yang saling bertautan. Alisa memilih menunggu di luar dan di sana bertemu dengan Syahid.
" Aku ... gak nyangka kalo Indra yang ...." Revan tak sanggup melanjutkan ucapannya.
"Iya Revan ..." Meira terisak, "dia yang sudah merenggut kehormatanku."
"Maafkan aku, ini semua gara- gara aku," Revan merutuki dirinya. Andai tidak mabuk malam itu, mungkin saja tidak akan terjadi peristiwa mengerikan itu.
"Itu sebabnya, kenapa aku selalu takut kalo Indra ada di dekat ku."
"Ya, itulah insting," ujar Revan.
"Semoga semua ini cepat selesai. Dia diadili dan kau bisa bebas."
"Iya, Mei ... dan kita akan melalui hari- hari kita tanpa gangguan, tanpa dihantui rasa bersalah, trauma dan teror," Revan melepaskan genggamannya dan mengusap air mata istrinya dengan ujung ibu jarinya.
***

"Apa wajahmu masih terasa sakit?" Alisa melihat pipi Syahid yang tampak lebam, pelipis kanannya diberi plester, keningnya tampak kebiruan. Tapi tetap saja terlihat tampan.
"Masihlah," sahut Syahid.
"Serem banget kejadian semalem," Alisa bergidik.
"Ya, tapi dengan begitu Indra mudah kita seret ke meja hijau," Syahid duduk di sebelah Alisa.
" Dia itu sepertinya mengalami gangguan kepribadian. Aneh..."
"Sepertinya begitu ... mengerikan."
"Tapi dia adikmu!"
"Iya ... bagaimana pun dia adik ku juga. Aku memaafkannya tapi tetap ingin dia diadili. Semoga saja dia dihukum seberat-beratnya." Alisa tampak emosi, mengingat betapa kejamnya Indra yang telah membuat fitnah pada Revan.
"Semoga," Syahid tersenyum kepada Alisa dan tanpa sengaja kedua netra mereka saling bertemu. Untuk beberapa saat mereka saling diam. Kemudian akhirnya tersadar, dan keduanya saling mengalihkan tatapan. Alisa merasakan pipinya menghangat.
***

Andi Mahesa menemui Indra. Beberapa detik ia memandangi Indra. Ia baru sadar, jika mata elang milik Indra berasal darinya. Mereka memiliki mata yang sama.
"Mau apa ke sini?" Indra memandang Andi dengan sinis.
"Aku sudah tau semuanya," Andi mendekati Indra. "Kau putraku!" Andi memeluk Indra.
Untuk beberapa saat Indra diam saja. Bagaimana pun buruknya seorang anak, tetaplah seorang ayah akan selalu memaafkan kesalahan putranya.

Lalu tiba- tiba, Indra mendorong tubuh ayahnya dengan kasar.
"Tidak usah memelukku!" Indra gusar.
"Tenang Indra," Andi mencoba menenangkan putranya.
"Selama ini aku diabaikan."
"Bukan seperti itu," sanggah Andi.
"Aku dihina, dipinggirkan. Aku butuh ayahku saat aku kecil ..." Indra menangis.
"Ibumu tidak mau memberi taukan kebenaran soal mu!"
"Aku mencarimu, dan aku ingin dekat denganmu. Aku dekat dengan saudaraku, dengan kalian. Tapi, aku sakit ...karna tidak berani mengungkapkan yang sebenarnya," Indra luruh ke lantai. Ia duduk dengan kedua lututnya yang ia peluk erat.
"Aku selalu sendiri ... Yaaa, sendiri."

Andi merasa sulit untuk bernafas melihat Indra seperti itu
"Apa yang Revan suka, harus aku suka. Tapi ... Meira, aku suka padanya sejak lama. Aku selalu menatap nya saat dulu, dia menggendong Clarissa yang masih kecil. Aku memandanginya saat ia dengan sabar menemani Clarissa bermain di halaman rumah. Tapi ..." Indra terisak, "dia tidak tau ... "

Andi mulai merasakan matanya memanas.
"Aku juga membantu mu. Saat kau mengancam Nadia akan membakar rumahnya. Aku mewujudkan ancamanmu itu. Aku suruh pamanku untuk membakar rumah Nadia," Indra terkekeh, "aku senang bisa membantu ayahku, " ia kini tersenyum aneh.

Andi tak tahan melihat kondisi putranya itu. Wajahnya penuh lebam, sorot matanya begitu aneh, wajahnya melukiskan kepedihan yang mendalam.

==========

Lingkungan itu sangat mempengaruhi kepribadian seseorang. Perhatian orang tua pun pasti juga sangat mempengaruhi sikap seorang anak.

Bullying, hanya akan selalu meninggalkan jejak luka bagi setiap korbannya. Ada yang kuat, ada yang tidak. Hingga menyisakan trauma, rasa sakit, rendah diri, terkucilkan. Maka jangan pernah membully seseorang terutama anak- anak, karena kita tidak pernah tahu kelak itu bisa jadi sangat membekas di hati dan menjadikan seseorang berprilaku menyimpang.
Satu hal lainnya, perceraian orang tua. sekali lagi ... hanya akan menyisakan rasa sakit pada anak- anak. Ada yang tegar, ada yang rapuh. Setiap anak berbeda dalam menyikapi takdirnya.
Seperti itulah yang Indra alami, terlalu kenyang dengan ejekan. Selalu merasa sepi, tak ada sosok ayah di sisinya. Ibu yang selalu menutupi kebenaran tentang siapa ayahnya. Ia tumbuh menjadi pribadi yang 'aneh'.
***

Persidangan kasus pemerkosaan Meira akhirnya telah sampai di meja hijau. Wartawan dan sebagian aktifis  penggalak pembela kaum wanita ikut memenuhi area sekitar gedung pengadilan. Mereka ingin memberi dukungan kepada Meira, untuk menuntut seberat- beratnya pelaku pemerkosaan.

Anggota keluarga hadir di ruangan sidang. Meira duduk di kursi saksi setelah mengambil sumpah dengan kitab Al Qur'an. Ia memberikan keterangan sesuai dengan apa yang ia alami.
Beberapa pertanyaan dari jaksa penuntut umum ia jawab dengan tenang.
Kemudian Alisa maju sebagai saksi. Ia menjelaskan dengan rinci peristiwa pagi setahun yang lalu.

Setelah keterangan para saksi dan juga beberapa barang bukti. Tibalah giliran Revan yang memberikan keterangan. Dialah penyebab awal terjadinya peristiwa itu.

Setelah itu, Indra pun duduk di kursi tersangka. Ia menceritakan semua yang ia lakukan. Sudah tidak bisa mengelak lagi.
"Malam itu, aku awalnya tidak berniat apa- apa. Tapi, ketika melihat Revan mengikat dan menutupi mulut Meira. Kemudian ia pingsan, aku berpikir untuk memanfaatkan situasi itu," Indra menatap ke arah Revan lalu ke arah Meira.

Revan begitu emosi, matanya tajam, gigi- giginya bergemeletuk, rahangnya mengeras. Ia begitu marah kepada Indra. Orang yang selama ini begitu dipercayainya.

"Aku hanya ingin sedikit memberi pelajaran kepada saudaraku, Revan," seuntai senyum mengerikan terlukis di bibirnya," biar dia tau, rasanya berada dalam bayang- bayang dosa. Aku hanya ingin membuat dia ketakutan" ia terkekeh. Revan semakin tampak emosi.
"Aku juga menyukai gadis itu, Meira." Indra mengalihkan pandangannnya kepada Meira yang duduk di kursi sebelah kanan ruangan. Meira merasakan dadanya sesak. Alisa mencoba menenangkan dengan mengelus punggungnya perlahan.
"Jadi aku nikmati saja dia," Indra terlihat seperti tidak merasa bersalah, "aku hanya meneruskan apa yang saudaraku lakukan, bukan begitu, Revan? " Kembali ia menatap Revan dengan tatapan sinis.
Revan menelan salivanya, nafasnya mulai memburu. Syahid menyentuh tangannya, memberi kode dengan gerak matanya agar Revan tidak terpancing emosi.

Hakim agung, jaksa penuntut umum dan juga peserta yang hadir tetap tenang mendengarkan penjelasan Indra.
"Revan mengunci pintu tidak benar, jadi aku bisa masuk dengan mudah. Selesai menikmati Meira ...."

Terdengar suara isakan Meira. Ia merasa terluka dengan ucapan Indra barusan.
"Aku membuka pakaian Revan dan menutupinya dengan selimut. Lalu saat aku hendak ke luar, aku menginjak kunci. Aku ambil kunci itu, lalu mengunci mereka dari luar. Agar Revan tidak bisa kemana- mana nantinya," Indra terkekeh lagi.

Revan mengepalkan tangannya hingga punggung jari- jarinya seputih tulang. Meira masih terisak, nafasnya mulai tidak teratur.

"Aku ke luar melewati pintu samping, yang terhubung dengan garasi. Handphone di saku celanaku berbunyi, rupanya taxi yang ku pesan sudah datang. Aku lupa, kunci yang ku taruh di saku celanaku rupanya jatuh dan aku tidak pernah memikirkan untuk mencari kunci itu." Pungkasnya dengan ekspresi datar.

Ema hanya bisa menangis di kursi tempat ia duduk. Meratapi nasib anaknya juga merutuki dirinya.
Indra kemudian menjawab beberapa pertanyaan dari Syahid dan jaksa penuntut. Wajah Indra benar- benar tenang, seakan ia tidak takut dihukum.

Indra mengakui seluruh kejahatannya. Termasuk pembakaran rumah Nadia yang mana, ia menyuruh orang yang ia panggil paman itu untuk membakar rumah Nadia. Alasannya hanya ingin membantu Andi Mahesa, ayahnya untuk memisahkan Nadia dari Revan.
Ia juga mengakui teror telepon dan kotak berisi bunga yang pernah ia lakukan untuk mengganggu Meira dan Revan.

Dan ternyata, dia juga melakukan ancaman pembunuhan kepada dokter yang menangani Meira pada hari kelam itu. Sang dokter diminta untuk pergi meninggalkan kota ini dan menghilangkan hasil pemeriksaan mengenai adanya kekerasan seksual pada Meira.

Hukuman yang sangat berat harus Indra terima. Tiga puluh tahun penjara. Itu yang hakim putuskan.

Sedangkan untuk Revan, hakim memutuskan hukuman kurungan penjara selama satu tahun. Sebab ia melakukkan kekerasan pada Meira, dan menjadi gerbang pembuka kasus pemerkosaan.
Dikurangi masa tahanannya yang telah ia jalankan selama satu bulan, sehingga sisanya tinggal sebelas bulan.

Sidang pun selesai. Hakim telah mengetuk palu. Riuh suara orang- orang di ruang sidang pun di luar ruangan. Para aktifis wanita bersorak gembira. Setidaknya hari ini, masih ada keadilan bagi wanita yang menjadi korban pemerkosaan.

Di luar sana, masih banyak perempuan- perempuan yang direnggut kehormatannya tapi tidak bisa mendapatkan keadilan, tidak berani memperjuangkan haknya, terkurung dalam rasa takut dan trauma.
Dan masih banyak pula para pelaku pemerkosa yang bebas menjalani hidup tanpa diadili dan bahkan tidak merasa berdosa.

Revan yang sejak tadi tampak emosi, melangkah mendekati Indra dan mendaratkan sebuah tinjuan yang sangat keras ke hidung Indra. Ruang sidang menjadi ricuh.
Indra terhuyung ke belakang. Ia memegangi hidungnya yang merah, darah segar mengalir dan menempel di jarinya. Ia malah tesenyum.

"Bagus, sahabatku, saudaraku ... ayo, pukul lagi!" Indra malah menantang. Revan maju lagi dan menghantam pipi Indra hingga ia jatuh ke lantai. Revan hendak melanjutkan aksinya, tapi Syahid menahannya. Revan meronta, ingin dilepaskan. Andi Mahesa mendekati Revan, dan memegangi tangan putranya itu.
"Hentikan Revan!" Suara Andi tegas terdengar.

Revan menoleh ke arah ayahnya. Andi menggelengkan kepalanya memberi kode agar Revan tenang.
"Dia sudah menerima hukumannya, dan dia ..." Andi menghirup udara perlahan, dan menghembuskannya dengan berat, "saudaramu. Kalian anakku. Darah dagingku."

Emosi Revan mulai mengendur. Indra hanya menyeringai menatap Revan dan Andi Mahesa. Kemudian petugas menggiring Indra membawanya pergi menuju sel tahanan.

Meira mendekati Revan. Kemudian mereka saling berpelukan.
Satu persatu orang-orang di ruang itu mulai beranjak pergi.
"Tunggu aku," Revan memandangi Meira setelah melepas pelukannya.
"Ya, tentu saja," sahut Meira dengan kedua matanya yang berkaca- kaca.
"Jaga dirimu dan Clarissa," Revan mengusap lembut dagu Meira.
"Kau juga, jaga diri mu selama di dalam tahanan." Air matanya mulai berguguran.
"Raga kita hanya akan terpisah sementara, tapi hati kita tidak akan pernah terpisah." Kata- kata Revan membuat Meira tersenyum diantara rinai air matanya.
***

Pemilihan gubernur sedang berlangsung. Dan Andi Mahesa kalah dalam pemilu itu. Yang keluar sebagai pemenang adalah Darmawan, ayah Tiara.
Sedih, tentu saja. Karena tidak sedikit dana yang Andi keluarkan untuk urusan kampanyenya. Belum nyinyiran dari pihak yang tidak suka padanya kerap harus ia terima. Tetapi, inilah takdirnya. Ia memang  belum pantas untuk menjadi pemimpin. Ia menerima kekalahannya dengan jiwa ksatria.

Rinalah yang selalu bisa mengendalikan amarahnya juga menghiburnya disaat ia berada dalam keterpurukan.
***

Syahid menemui Alisa di toko sepatu milik keluarga Mahesa.
Ia berpamitan pada Alisa. Ia akan pergi ke Jakarta.
"Ada beberapa hal yang aku kerjakan di sana," ujar Syahid.
Alisa hanya tersenyum tipis. Ada semburat kesedihan di matanya.
"Aku senang bisa membantumu dan keluargamu," ujar Syahid yang duduk berseberangan dengan Alisa.
"Ya, aku juga," ujar Alisa. "Rasanya bisa bernafas lega, seakan telah berminggu- minggu tidak bisa bernafas dengan benar," Alisa menyandarkan punggungnya ke sandaran kursinya. Mengingat betapa menegangkannya hari- hari yang ia dan keluarganya lalui dalam menghadapi urusan Revan dan Meira.
"Ya, betul sekali," Syahid tertawa kecil. Kemudian mereka saling diam.  Alisa berusaha mengalihkan pandangannya ke arah lain, agar tidak bertemu pandangan dengan Syahid.

Hening.

"Mmm, oke ...salam untuk keluargamu," Syahid berdiri dari kursi.
"Oh, ya," Alisa sedikit gugup, "aku sudah membayar jasa mu dengan pas kan?" Alisa meliriknya sekilas.
"Ya, aku bahkan belum menengok rekeningku," sahutnya.
"Tengoklah, takutnya aku kurang membayar jasamu," Alisa tertawa kecil.
"Tidak masalah jika kurang. Jadi ... suatu saat aku punya alasan untuk menemui mu lagi," kata Syahid. Itu candaan atau bukan, entahlah rasanya sedikit menyejukan perasaan Alisa.
"Sampai jumpa lagi lain waktu," kata Syahid dengan bibirnya yang tersenyum begitu menawan.
"Ya, semoga bisa bertemu lagi. Good luck ya!"

Syahid mengucapkan salam dan kemudian melangkah ke luar dari ruangan Alisa. Ia bertemu dengan para karyawan penjaga toko yang tersenyum kepadanya, ia membalas senyuman mereka. Ia melangkah melewati beberapa rak- rak kaca yang berisi deretan sepatu- sepatu wanita. Pergi meninggalkan toko itu dan juga Alisa yang masih termangu di kursinya, mengusap sudut matanya yang basah.
***

Sebelas bulan berlalu ....

Revan berdiri di depan lapas tahanan, dengan tas ransel yang ia selempangkan di bahu kanannya. Ia sedang menunggu seseorang.
Revan mendongakan kepalanya, menatap langit yang begitu biru dan awan yang sangat putih, matahari cukup terik menerpa bumi.

Revan memejamkan kedua matanya, merasakan angin yang berembus menyapu wajahnya, bibirnya bergerak perlahan mengucapkan syukur, menghirup udara sebanyak- banyaknya. Udara kebebasan.
"Ehem," seseorang berdehem. Membuat Revan membuka ke dua matanya, dan memandang lurus ke sosok wanita yang ada di depannya. Senyumnya begitu manis. Revan pun membalas senyum wanita berjilbab biru itu.
"Nunggu angkutan?" tanya wanita itu.
"Hmmm," Revan mengangguk, "tapi, sepertinya sepi ya?" Revan menoleh ke kanan dan ke kiri, benar kondisi jalan di depan sana sepi dari lalu lalang kendaraan.
"Numpang sama aku aja, mau gak?" tawar wanita itu.
"Naik apa?"
"Motor. Tuh!" wanita itu menunjuk sebuah motor matic berwarna hitam terparkir di dekat pagar.
Revan mengulum senyum.
"Kenapa? Gak biasa naik motor ya?"
"Gak juga, sih," Revan menahan tawa, "cuma masa saya diboncengin cewek."
"Gak masalah dong," sahut wanita bermata sayu itu, "atau kamu aja yang bawa, bonceng saya."
"Sudah lama gak naik motor," kata Revan ragu.
"Kalo gitu saya yang boncengkan. Gak masalah kan? Lagian dari pada nunggu angkutan, gak bakal dapet." Ujar wanita itu sambil terus menatap Revan.
"Oke deh," sahut Revan, setuju.

Angin menerpa wajah mereka. Debu di jalanan berterbangan, sedikit mengganggu pernafasan dan pandangan. Keduanya saling diam, tenggelam dalam tatapan penuh kerinduan.
"Boleh tau, siapa nama mu?" Tanya Revan.
"Meira," jawab wanita itu. "Kamu?"
"Revan."
"Ayo, saya anter. Sebutin aja alamatnya!" Meira mengulum senyum.
Matanya terasa mulai memanas.

Revan tertawa, kemudian langsung menarik tubuh langsing di depannya. Memeluknya dengan erat. Meira membalas pelukan Revan. Satu menit, dua menit hingga menit ke lima akhirnya mereka sudahi pelukan yang mengandung rindu itu.
"Jadi ..." Meira mengusap air matanya dengan jari telunjuknya.
"Apa?"
"Siapa yang dibonceng?"
***

Motor matic itu meluncur bebas ke jalan raya yang ramai. Revan memeluk pinggang Meira dari belakang. Serius, yang bawa motor Meira!

Beberapa orang pengendara memperhatikan mereka, dan senyum- senyum geli. Revan menutupi wajahnya dengan kaca helm... Meira menahan tawa sambil terus menjalankan motornya.
"Ini gokil, Revan!" Suara Meira cukup keras karena bersaing dengan angin.
"Hahaha, bodo amat ..." sahut Revan.
"Serius gak bisa bawa motor?"
"Bisalah... Cuma sudah lama banget gak bawa motor. Lagian biarinlah, aku kan lagi pengen peluk kamu dan pengen manjah!"  kata Revan rada alay. Meira terbahak. Revan mengencangkan tangannya memeluk pinggang istrinya.
***

"Turun!" Motor berhenti di halaman mungil rumah mereka. Mobil pajero sport miliknya terparkir di pinggir halaman, ditutupi dengan penutup mobil.
"Iya," Revan turun dari motor. Melepas helmnya, meletakannya di atas stang motor. Meira juga melepas helm bergambar hello kitty miliknya, dan menaruhnya di atas motor.
Revan memandangi rumahnya. Tak ada yang berubah. Masih seperti setahun yang lalu. Meira menggamit lengan Revan, mesra. Kemudian melangkah masuk menuju rumah mereka.

Saat membuka pintu, Clarissa menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Gadis kecil itu berlari ke arah ayahnya.
"Ayah!!!" soraknya.
Revan memeluknya erat. Kemudian menggendongnya.

Di ruang tamu sudah banyak orang menyambutnya. Kedua orang tuanya, Alisa, tante Erna dan Nisa yang terlihat semakin kurus dan pucat tapi berusaha tetap tersenyum.

Andi Mahesa dan Rina memeluk putra mereka dengan penuh suka cita.
***

Saat Revan sedang asik menikmati makan siang bersama keluarganya. Terdengar suara bel berbunyi.
Meira hendak berdiri dari kursinya, tapi Alisa menahannya.
"Biar aku aja," kata Alisa.
"Oke," Meira kembali duduk.
Alisa beranjak dari kursinya dan melangkah menuju ruang tamu. Ia membuka pintu dan ia terpana dengan sosok pria di depannya.
"Sya... Syahid?" Alisa mendadak gugup.
"Hai, Alisa. Apa kabar?" Matanya yang teduh menatap Alisa.
"Emmm,  ba- baik," sahut Alisa masih gugup.
"Tadi aku janjian dengan papa mu. Tapi, beliau suruh aku ke sini. Revan hari ini bebas?"
"I- iya," angguk Alisa. Hatinya berdesir hebat, sudah setahun tak bertemu juga tidak berkomunikasi dengan Syahid. Ada rindu yang tertahan bersembunyi di dalam hatinya.
"Masuk!" Alisa mempersilahkan Syahid masuk ke dalam.
Ia diajak ke dapur dan ikut makan siang bersama.
"Ada apa kau menelponku tadi pagi?" Andi bertanya kepada Syahid yang duduk di seberangnya.
"Oh, ya," Syahid menegak air putih di hadapannya. Setelah puas, ia meletakan kembali gelas yang masih berisi setengah air putih.
"Saya ..." Melirik ke arah Alisa yang sejak tadi terlihat gugup. Semua diam, menanti ucapan Syahid.
"Saya ingin melamar Alisa, pak Andi. Apa anda setuju?" Syahid berusaha menyembunyikan kegugupannya. Beberapa detik semua terdiam. Alisa bengong, seperti tak percaya dengan ucapan Syahid.
"Mmm, tapi ... Kau harus tau, Alisa ..." Andi ragu melanjutkan kalimatnya.
"Saya tau," Syahid menatap Alisa, "dan saya menerima itu. Menerima semua kekurangan Alisa." Kata Syahid dengan sungguh- sungguh.
"Kau yakin?" Andi terlihat ragu.
"Ya," angguk Syahid mantab.
"Aku hanya tidak ingin nanti kamu menuntut Alisa soal anak." Andi masih terlihat ragu.
"Insya Alloh pak Andi, saya menerima segala resikonya. Saya serius dengan ucapan saya."
"Oke," Andi mengunyah makanannya, "aku setuju. Bagaimana Alisa?" Andi menatap putrinya.
Alisa bengong. Revan menyenggol siku kakaknya. Alisa terkesiap, ia tersadar dari lamunannya.
"A-aku ..."
"Idihhh, terima aja. Pake malu," goda Revan yang langsung mendapat pelototan mata dari kakaknya itu.
"Iya babang Syahid...gitu aja jawabnya susah amat, " Revan masih menggoda Alisa.
"Ih, rese!" Alisa mendelik dan memukul kepala Revan dengan ujung sendok.
"Alisa .. jawab sayang!" Rina ikut bersuara.
"Mmm, i- iya ...aku bersedia menikah dengan mu, Syahid." Jawaban Alisa membuat Syahid lega.
"Ciyeee..." Revan menowel pipi kakaknya.
Alisa kembali membesarkan matanya ke arah Revan.
***

Indra lebih memilih menyendiri di sel tahanannya. Ia jarang bicara dengan sesama narapidana.

Ema sering mengunjunginya. Tapi, sambutannya selalu dingin dan lebih banyak diam.
Andi Mahesa pun sering mengunjunginya. Memberinya semangat, tapi ia bergeming saja. Ia seakan tidak begitu peduli dengan kunjungan ibu ataupun ayahnya.

Seperti hari ini, ia duduk di pojokan sel sendirian. Ia memegang  pecahan kaca, lalu menggoreskan benda tajam itu ke dinding yang kumuh itu. Di sana ia menulis sesuatu.
'Meira ...'
Ia tersenyum, seakan hatinya merasakan ketenangan memandangi nama yang tertulis di dinding itu.
***

Dua minggu setelah melamar Alisa, pesta pernikahan pun berlangsung. Kebahagiaan terlukis jelas di wajah Alisa dan Syahid saat berada di pelaminan.

Revan menarik tangan istrinya, membawanya pergi menjauh dari keramaian.
"Mau kemana?" Meira penasaran.
Revan tak menyahut ia terus saja mengayunkan langkah dengan menggandeng tangan istrinya.
Mereka masuk ke dalam lift menuju lantai paling atas. Lalu masuk ke salah satu kamar.
"Kok ke sini?" Meira bingung. Ia memperhatikan kamar yang dihiasi banyak bunga mawar putih dan lilin aroma terapi yang menggoda penciuman Meira.
"Inget kamar ini?" Revan mengunci pintu.
"Hmmm," Meira mengangguk.
Ya, kamar ini dulu seharusnya menjadi tempat malam pertama mereka. Tapi, sayang itu tidak terjadi pada saat itu.

Dua tahun yang lalu, Meira menangis penuh luka di kamar ini. Sementara Revan meninggalkannya dan tidur di kamar berbeda.
Saat itu, tak ada rasa cinta diantara mereka. Hanya ada kebencian dan kemarahan.
Revan memeluk Meira dari belakang. Mengecup leher Meira yang tertutup jilbab putih.

"Waktu itu, kita gak ngapa-ngapain," ujar Revan. "Sekarang, gimana kalo kita ...." Revan mempererat pelukannya.
"Apa?" Tanya Meira dengan wajahnya yang mulai merah.
"Jangan pura-pura gak tau," canda Revan. Meira tersenyum, malu.
"Kali aja, dapet Revan junior," bisiknya, semakin membuat pipi Meira merona merah.
"Entar Clarissa nyari, terus masih banyak tamu di bawah. Kita dicariin papa sama mama nanti."
"Biarin aja, yuk ah ...." Revan melepas pelukannya dan menggendong Meira.
"Revan ..." Meira terlihat malu, ia melingkarkan kedua tangannya ke leher Revan dan pasrah menaruh kepalanya di dada suaminya.
"Semoga gak ada lagi yang bikin kita trauma dan takut. Kita akan mengarungi samudera kehidupan bersama. Saling menguatkan disaat lemah, saling mengingatkan disaat alpa kepada Tuhan, saling menghargai, saling berlomba untuk lebih banyak memberi dari pada menerima. Dan tentu saja cinta yang tulus. Semoga kita selalu bersama hingga ajal memisahkan kita." Jelas Revan sembari menatap lekat kedua bola mata Meira yang menyejukan itu.

Ia membawa Meira ke ranjang yang dipenuhi kelopak mawar putih. Mengecup bibir lembut istrinya dengan penuh cinta. Berlanjut dengan menghujani sang istri dengan kecupan-kecupan hangat yang membuat aliran darah mereka mengalir cepat.
Dan ....

*** END ***

Balikpapan, 5 Oktober 2018

Note : Terimakasih untuk ust. Deris yang dengan senang hati menjawab pertanyaan seputar nikah siri.
Dan seorang teman dari kepolisian bang Uli. Thank you soal diskusi tentang delik aduan dan delik biasa. Juga kasus hukum pemerkosaan.

Salam Penulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER