Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 31 Juli 2020

Pengawal Membawa Cinta #12

Cerita bersambung

Dirga melirik jam yang melingkar dipergelangan tangan untuk ke tiga kalinya.
Duduknya mulai tidak tenang, Rindi sudah 45 menit belum juga kembali dari toilet.
“Apa wanita memang selama itu jika ke toilet?” gumamnya.
“Dirga, apa Rindi belum kembali?” Aviie tadi sempat meninggalkan Dirga, saat kembali Aviie belum melihat sahabatnya kembali.
“Belum, sebaiknya gue susul kesana…!” Dirga berlalu dari hadapan Aviie setelah mendapat anggukkan dari gadis itu.
Dirga menghampiri toilet wanita, melongokkan kepalanya ke dalam, lalu dengan sedikit ragu Dirga memasuki toilet itu, namun tidak lama kembali keluar setelah mendapat umpatan dari pengunjung toilet.
Dirga mulai gusar tidak melihat Rindi diantara wanita yang berada didalam toilet, Dirga segera mengeluarkan ponselnya menekan tombol panggil untuk Ratu Eka Rindiyani.
Dirga mengernyitkan dahi, suara iphone Rindi terdengar tidak jauh darinya. Dirga mencari sumber suara dering ponsel gadis model itu. Langkah kakinya berhenti di dekat rimbunan bunga. “Tas Rindi…?”
Dirga meraih tas selempang milik Rindi yang tergeletak di atas rumput dekat rimbunan bunga, lalu mengeluarkan ponsel Rindi dalam tas itu.
“Shiitt..!”
Dirga berlari masuk kembali ke dalam ruangan hotel dimana Aviie masih menunggu dengan setia. Aviie bangkit dari duduknya begitu melihat Dirga setengah berlari ke arahnya.
“Dirga dimana Rindi? ko gue ga lihat?”
“Rindi tidak ada, gue cuma menemukan tasnya tergeletak dirumput..” Dirga menyerahkan tas Rindi ke tangan Aviie.
“Astaga..! trus Rindi kemana..?” Aviie mulai cemas.
“Apa Rindi memiliki musuh? maksud gue apa ada pesaing sesama model yang membenci Rindi yang elo undang kesini?”
Aviie menggeleng, “setahu gue Rindi tidak memiliki musuh, kecuali.. Raisya..! tidak mungkin Raisya tidak gue undang..!” Aviie nampak bingung, mencoba mengingat-ingat.
“Kenapa elo nanyain musuh Rindi?” tanya Aviie penasaran.
“Firasat gue tidak enak, ada kemungkinan Rindi dibawa pergi.” Dirga mulai gelisah, keringat dingin bergulir di dahinya.
“Maksud elo Rindi diculik..! oh no..!” Aviie membelalakkan matanya terkejut, bagaimana kalau benar sahabatnya diculik, bisa jadi kemungkinannya benar, mengingat Rindi seorang model terkenal pasti pesaingnya dimana-mana.
Yang jadi pertanyaan siapa yang menculik Rindi? Dirga sendiri sebagai Bodyguard Rindi sampai kecolongan, Anak majikannya hilang dia tidak tahu.
Aviie tiba-tiba mengingat seseorang yang ia undang, tanpa sadar mulutnya menyebut sebuah nama, “Devan…?”
“Devan..? maksud elo..?” Dirga menyela cepat.
“Devan, gue undang Devan ke acara gue ini, dan gue tidak melihat Devan dari tadi.. Heii Dirga elo mau kemana?”
Dirga berlari, tidak menghiraukan seruan Aviie, gadis itu ikut berlari mengikuti Dirga dari belakang. Dirga berlari lewat tangga, fikirannya hanya fokus satu hal, mencari Devan.. jika benar Devan membawa kabur putri majikkannya, Dirga berjanji akan menghajarnya tanpa ampun.
Dirga tiba di loby hotel lantai bawah, dan langsung menuju recepsioniest, “Maaf, apa anda melihat seorang wanita….?” Dirga menyebutkan ciri-ciri Rindi.
Aviie sudah berdiri disamping Dirga, dengan suara tersengal Aviie ikut berbicara menyebut ciri-ciri Devan, berharap dua orang yang di sebutkan dengan ciri-ciri tersebut terlihat oleh resepcioniest hotel.
“Maaf saya hanya melihat pria dengan ciri-ciri yang mbak sebutkan, tapi wanita dengan ciri-ciri yang tuan sebutkan saya tidak melihatnya.” ujar resepcioniest itu.
Dirga mengusap wajahnya gusar, merutuki kebodohannya, kenapa tadi ia tidak menguntit Rindi ke toilet.
“Tapi…!” Sambung si pelayan hotel.
“Tapi apa..? cepat katakan..?” tanya Dirga tidak sabar.
“Pria yang dimaksud nona ini sedang memangku wanita bergaun merah, saya sempat mendengar pria itu bicara pada security disana katanya istrinya pingsan karena sakit.”
“Devaaan, brengseeekk…!” Geram Dirga, mengepalkan tangannya.
“Dirga tunggu..! gue ikut..!” teriak Aviie melihat Dirga kembali berlari, kali ini ke luar dari gedung, mencari mobilnya.
***

“Elo tenang Ga, elo lagi nyetir jangan sampai hilang konsentrasi nyetir elo, bisa berakibat fatal…” Aviie mencoba menenangkan Dirga yang kalut, mesti hatinya sendiri ikut kalut dan khawatir dengan keadaan sahabatnya.
Dirga melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi, Aviie sekali-kali memejamkan mata karena merasa ngeri dengan cara mengemudi laki-laki yang dilanda emosi itu. Dirga dengan gesit menyalip setiap kendaraan yang ada di depannya.
Aviie bergidig melihat wajah Dirga yang merah padam menahan amarah, Aviie yakin Dirga memiliki perasaan lebih pada sahabatnya, bukan sekedar jadi penjaganya saja.
“Dimana tempat bajingan itu..?” tanya Dirga dengan suara dingin, dengan mata fokus ke arah jalanan.
Aviie menyebutkan alamat apertemen Devan yang pernah Aviie datangai sewaktu mengantar Rindi.
***

Devan membawa Rindi ke apartemennya, setelah lolos dari gedung hotel, tempat acara universary pernikahan perak orang tua Aviie tanpa ada yang curiga.
Rindi masih tergolek pingsan dipangkuan Devan, hingga tiba diapartemen miliknya.
Devan membaringkan tubuh Rindi di atas tempat tidurnya, Devan tersenyum penuh kemenangan, “Sebentar lagi elo akan menjadi milik gue” gumamnya.
Devan mengusap lembut pipi gadis yang terbaring di sampingnya, membuat Rindi menggeliat, dan kesadaran mulai menghampiri gadis itu.
Rindi membuka matanya perlahan, mengerjapkannya untuk memperjelas penglihatannya yang masih suram, Devan menatap intens wajah cantik yang selalu mengusik hatinya.
Rindi berusaha bangkit, namun tubuhnya kembali ambruk, obat bius yang dihisapnya masih menyisakan pening di kepalanya.
“Gue dimana…?” lirih Rindi.
“Elo ada bersama gue, gue sayang sama elo Rin..!”
“Devan…! a-apa yang elo lakukan terhadap gue..?” kesadaran Rindi mulai terkumpul, dan mulai berusaha bangkit kembali dari tempat tidur melawan rasa peningnya.
“Gue membawa elo ke apartemen gue, hanya ada elo dan gue, kita akan merajut kembali kisah cinta kita disini.” Suara Devan lemah lembut.
“Elo sudah gila Devan..! Gue sudah berapa kali bilang antara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa, kita sudah putus Devan, pu-tus..!” teriak Rindi.
Rindi mulai berjalan ke arah pintu namun tangannya ditarik oleh Devan lalu dilempar kembali ke atas tempat tidur, Rindi meringis kesakitan tubuhnya serasa linu.
“Kesabaran gue sudah habis, gue ngga bakalan lepasin elo sebelum gue dapatin elo..?” geram Devan seraya mencium Rindi dengan kasar.
“Plaaakkk..” sebuah tamparan mendarat di pipi Devan, membuat Devan berang, pipinya serasa panas akibat tamparan Rindi.
“Dasar wanita munafik…” Devan semakin gencar menciumi Rindi. Rindi semakin berontak, sekuat tenaga melepaskan diri dari dekapan Devan, Aksi berontak Rindi semakin membuat Devan bernafsu, “Brreeett..” Devan merobek kasar baju Rindi.
“Dirgaaaa…” Rindi berteriak namun tubuhnya semakin lemah, efek obat bius yang masih tersisa membuat kepala Rindi serasa dihantam martil teramat sakit, tenaganya terkuras dipakai berontak.
“Dirgaaa.. tolongin gue..!” Desis Rindi disisa tenaganya sambil berurai air mata.
“Bbrrraaaakkk…” Suara keras dobrakkan pintu apartemen mengalihkan aksi brutal Devan pada Rindi, belum sempat Devan menyadari siapa yang datang mendobrak pintu apartemennya hantaman beruntun di wajahnya membuat Devan berkali-kali tersungkur tanpa sempat mengelak maupun melawan.
“Bajingan..!” Geram Dirga kembali menghantam tinjunya ke arah perut Devan.
“Pengecut.. gue ga bakal mengampuni perbuatan elo..” untuk yang kesekian kalinya Dirga hendak mendaratkan hantamannya, namun seseorang menahannya dari belakang.
“Cukup hentikan, dia sudah tidak berdaya, dia bisa mati karena perbuatan anda, saya yakin anda bukan seorang pembunuh,” salah seorang security menahan tubuh Dirga.
Dirga mulai tersadar, sikapnya mulai melunak, Dirga menatap Devan yang pingsan tidak berdaya dengan tatapan geram, “Astaghfirullah’aladzim..” Dirga berigstifar mengusap wajahnya.
Aviie yang datang bersama security langsung menghampiri Rindi yang tergolek lemah.

==========

Dirga…”
Suara Aviie Owsam menyadarkan Dirga dari rasa geramnya terhadap Devan, Dirga segera menghampiri Aviie yang berusaha membangunkan tubuh lemas Rindi.
Dirga membuka pakaian jasnya menyisakan kaos t’striet putih, lalu menutupi tubuh Rindi bagian atas yang terbuka akibat gaunnya dirobek tangan Devan.
Dirga segera memangku tubuh Rindi menyadarkan kepala Rindi di dada bidangnya. Aviie mengikuti Dirga ke luar dari apartemen Devan. Devan yang mulai tersadar namun tidak mampu untuk bangun dibantu security dan beberapa pelayan apartemen.
***

Dirga menghentikan mobilnya tepat di depan gedung hotel untuk menurunkan Aviie, hotel dimana acara ulang tahun pernikahan orang tua Aviie dilangsungkan.
“Makasih Ga udah nganterin gue kesini, tolong jaga sahabat gue baik-baik.” kata Aviie sebelum memasuki gedung hotel.
Dirga kembali melajukan kendaraannya setelah basa basi sejenak dengan Aviie. Dirga melirik ke arah Rindi yang bersandar lemas ditempatnya. wajah cantiknya terlihat pucat. Dirga tanpa sadar memukul stir, rasa geramnya kembali, mengingat kejadian brutal Devan yang hampir menodai Rindi, andai saja ia datang terlambat dan Devan berhasil menodai Rindi, mungkin sudah dihabisinya bajingan itu.
Rindi mulai tersadar, matanya terbuka menatap sendu wajah Dirga yang masih di selimuti kemarahan.
Dirga memasuki mobilnya ke garasi, lalu pemuda itu kembali memangku tubuh Rindi.
Rindi merasa kepalanya begitu berat dan sakit, tubuhnya serasa linu, lemas sulit bergerak.
Rindi membiarkan Dirga membopong tubuhnya, dan kembali menyandarkan kepalanya di dada Dirga, seakan mencari kenyamanan di sana.
Dirga dengan perlahan membaringkan tubuh Rindi di atas tempat tidurnya, lalu menyelimuti tubuh yang tergolek lemas itu.
“Dirga…?” Rindi menarik tangan Dirga, saat Bodyguardnya hendak meninggalkannya.
Dirga melirik ke arah tangannya yang dicekal Rindi.
“Terima kasih sudah menyelamatkan aku.”
Dirga kembali duduk di pinggir tempat tidur, tangannya sudah terlepas dari genggaman Rindi “istirahatlah, jangan banyak bergerak, tubuhmu sangat lemas, bersyukurlah pada yang di ATAS karena masih menjaga kesucianmu.”
“Ternyata Tuhan masih menyayangiku dan menjagaku dari kebejadan Devan, padahal aku begitu sering melupakanNya” Rindi mulai terisak.
“Allah tidak akan pernah meninggalkan umatnya apa lagi disaat teraniaya, selama masih ada kesadaran di hati kita untuk mengingatNya Insyaa Allah pertolongan Allah begitu dekat.”
Perkataan Dirga sungguh menohok hati Rindi.
“Maafkan aku..”
“Tidurlah..!” Dirga beranjak bangun, namun kembali tangannya dipegang Rindi.
“Jangan tinggalkan aku, temani aku disini, aku masih takut.” air mata Rindi menetes, matanya menatap nanar ke arah Dirga.
Dirga tak kuasa menolak, hati kecilnya sungguh terrenyuh, gadis itu terlihat begitu shock, dengan lembut jari Dirga mengusap bulir bening yang menetes disudut retina gadis itu.
“Tidurlah, aku akan menemanimu di sini.” Dirga menarik kursi rias lalu duduk tepat di hadapan Rindi, mata keduanya saling beradu menimbulkan getaran halus di hati keduanya.
Rindi mulai terlelap, Dirga membetulkan selimut Rindi yang tersingkap di bagian dada, Jari Dirga menyingkirkan rambut Rindi yang menempel di pipinya.
***

Kumandang Adzan subuh membangunkan Dirga dari tidurnya, sejenak Dirga mengumpulkan kesadarannya, pemuda itu bangkit dari sofa tempat alas tidurnya di kamar Rindi, Dirga terhenyak kaget tidak mendapati Rindi di atas tempat tidurnya.
“Rindi…?” Dirga hendak berlari ke luar kamar, namun langkahnya terhenti begitu telinganya mendengar gemercik air di kamar mandi, nafasnya kembali lega. Tak berapa lama pintu kamar mandi terbuka, Rindi ke luar dengan menggunakan pakaian rumahan dan handuk menggulung rambutnya ke atas.
Rindi sedikit terkejut mendapati Dirga sudah bangun dan berdiri di depan pintu kamar sedang memandang ke arahnya. “Ka-kau sudah bangun…?” tanya Rindi gugup.
“Eeh, i-iya sebaiknya aku ke luar, kelihatannya kau sudah membaik?” balas Dirga sama gugupnya.
“Alhamdulillah kelihatannya aku sudah segar kembali.” Sahut Rindi dengan senyum mengembang di bibirnya.
Dirga terpaku, telinganya merasa tidak salah mendengar Rindi mengucapkan “Alhamdulillah,” kata yang belum pernah ia dengar dari mulut gadis foto model itu selama mengenalnya.
Dirga semakin terdiam dengan mata masih memperhatikan Rindi, gadis itu kini mendekap peralatan shalatnya. “Kalau tidak keberatan mau kah kau jadi imamku? maksudku kita shalat subuh bersama?”
Permintaan Rindi yang tak diduganya sontak membuat Dirga mematung, pikirannya tiba-tiba dipenuhi kalimat-kalimat yang sulit dijabarkan, bahkan permintaan gadis itu bagaikan Air es yang menyiram hatinya begitu menyejukkan.
“Dirga, kau tidak apa-apa..?” Rindi mengibaskan telapak tangannya di depan wajah Dirga yang mematung.
Ucapan Rindi menginterupsi khayalan tingkat tinggi Dirga kembali pada dunianya, “Eeh iya, aku baik-baik saja, kau bisa menunggu sebentar aku ke kamar dulu untuk ganti baju.”
“Baiklah, Aku akan menunggumu..!”
Dirga segera keluar dari kamar Rindi, pikirannya merasa konyol, perubahan Rindi yang tiba-tiba mampu menyihir otaknya, sampai tubuhnya pun tidak berkutik.
Tak berapa lama Dirga masuk kembali ke kamar Rindi, kali ini sudah berganti kostum, pakaian lengkap untuk ibadah, lengkap dengan sajadahnya.
“Sebaiknya kita shalat bersama tapi dengan niat masing-masing, karena aku belum pantas jadi imammu.” kata Dirga diangguki oleh Rindi yang faham akan aturan shalat bersama yang bukan mahromnya.
Merekapun melaksanakan shalat bersama disatu ruangan hanya terpisahkan oleh satu tempat tidur sebagai penghalang.

Bersambung #13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER