Cerita bersambung
Karya : (un_known)
"Mas, boleh kenalan nggak?"
Seorang lelaki berambut tebal dengan garis rahang tegas, tampak terkejut dengan customer di hadapannya. Ini memang bukan kali pertama ada yang sengaja membuka rekening, karena ingin berkenalan dengannya.
Lelaki itu bernama Muhammad Reza Rahardiansyah. Diantara sekian banyak customer service yang duduk berjejer di bank tempatnya bekerja, ia adalah satu-satu incaran kaum hawa, muda maupun tua, bermaksud ingin kenalan, atau sekadar cari yang bening-bening.
Tutur bahasanya lembut dengan suara bariton yang khas, badannya athletis, memiliki kulit bersih dan bertubuh wangi.
Reza tersenyum menanggapi gadis muda berseragam hijau di depannya. Dalam hati ia berdoa,
"Alloh, pertemukanlah kembali aku dengannya?"
***
Sementara itu, di belahan lain kota Tangerang...
"Astaghfirullah ...!" Humaira menghentikan sepeda motornya mendadak. Ia hampir saja menabrak seorang wanita yang melintas di tengah jalan.
"Maaf, Bu?" ucapnya sambil menunduk. Wanita setengah baya itu mengangguk dengan sedikit omelan.
Jalan besar yang dilalui Humaira ini memang jalan utama menuju beberapa sekolah, termasuk sekolah bertaraf International tempat keponakannya menganyam Ilmu.
Namun, sebelum sampai ke kawasan persekolahan tersebut, banyak rumah-rumah mewah berjejer di kiri dan kanan jalan. Salah satunya rumah mewah berlantai dua yang terus dilirik Aira saat melintas di depannya.
Liarnya mata Aira bukan tanpa sebab, semua berawal dari kejadian sehari sebelum libur panjang kenaikan kelas dimulai. Saat itu Abi membawa pulang sebuah rapor ke rumah. Aira yang baru saja selesai membersihkan luka pasien tabrak lari langsung menyapa bocah itu.
Sayangnya, Abi berlalu tanpa menggubris.
“Bi, kamu marah, ya?” tanya Aira saat anak itu meletakkan tas di tangannya ke atas meja. Abi hanya bergeming dan meneruskan langkah menuju kamar.
Aira yang mendapati sikap acuh sang ponaan ikut menyusul ke kamar. Ia mengetuk pintu perlahan, tapi tak ada reaksi. Akhirnya Aira mencoba membuka pintu yang memang tak pernah dikunci Abi dari dalam.
"Yah, udah tidur. Nggak pernah dia begini." Aira mendekat dan mengelus puncak kepala Abi.
"Coba kamu ada disini, Kak?" lirih Aira sembari bangkit dan mencoba membuka rapor yang diletakkan Abi di samping kepalanya.
"Sudah kelas dua, tiap tahun dapat juara satu. Pasti kali ini juga sama," gumam gadis itu pelan.
Namun, saat Aira membuka buku berhard cover itu, matanya justru membelalak.
“Astaghfirullah ... nggak mungkin! Kok bisa merah?” Aira bergumam tak percaya, “pasti ini yang membuat Abi diam.”
Karena terlanjur dibungkam sesal, Aira lupa meneliti lebih lanjut, pun untuk sekadar membuka lembaran semester sebelumnya.
Satu hal yang ia pikirkan saat itu hanyalah meluncur langsung ke sekolah. Meminta pertanggung jawaban wali kelas atas berubahnya nilai sang ponaan.
***
Siang itu, Aira langsung meluncur ke sekolah Abi. Semua tampak sepi. Di parkiran hanya tersisa beberapa kendaraan bermotor.
Bersamaan dengannya, berhenti juga di halaman sekolah sebuah mobil Camri berwarna hitam. Aira hanya menoleh sekilas.
Gadis itu terus berjalan melewati beberapa ruang, hingga sampailah ia di kelas Abi. Bu Siti tampak tengah merapikan beberapa kertas dan berniat keluar ruangan. Aira segera menghampiri wanita berkaca mata itu dan mencegahnya keluar dari ruangan.
“Assalamualaiku, Bu Siti." Suara Aira mengagetkan wali kelas Abi.
“Waalaikumsalam. Wah, ada Ibu Humaira. Silahkan masuk, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" jawab wanita itu sembari kembali duduk di bangku guru.
“Maaf Bu, saya baru bisa datang sekarang. Kebetulan tadi ada pasien kecelakaan di depan rumah,” ucap Aira sambil ikut duduk di hadapan Bu Siti.
“Ah tak apa, Bu Aira ... Oya, selamat ya Bu, Abi juara satu lagi di kelas.”
Aira terhenyak kaget.
“Juara? Tapi kenapa nilainya menurun drastis begini, Bu?” tanya Aira sambil menunjukkan rapor yang ada di tangan.
Bu Siti kaget bukan kepalang, ia mengucek-ngucek matanya setelah menaikkan kacamata.
“Kok bisa begini? Bisa saya minta sebentar Bu, rapornya?”
Aira menyodorkan rapor di tangan pada wanita itu. Bu Siti mulai menutup lembaran yang telah dibuka dan tertawa terkekeh.
“Wah, ini ketukar Bu. Bagaimana bisa ya, ketukar?” tanyanya lagi masih sambil terkekeh.
Mendengar pertanyaan Bu Siti, kedua alis Aira saling bertaut. Berusaha menemukan jawaban pasti atas kejadian membingungkan itu. Namun, belum kelar mencari jawaban, dari luar justru terdengar seseorang mengetuk pintu ruang. Aira mengehela napas. Pandangannya dan Bu Siti kini menoleh keluar bersamaan.
Mata gadis itu membelalak, tatkala di hadapannya berdiri seorang lelaki berpostur tegap dengan setelan jas rapi dan sepatu mengkilat.
Aira tak mampu berkedip, menatap takjub lelaki gagah dengan rambut tebal yang menyunggingkan senyuman ke arahnya.
“Ini Hyun Bin bukan, ya? Mirip benar?" decaknya tak percaya. Tubuh tinggi dengan kulit putih, hidung segitiga dengan bibir ranum, lengkap dengan sebuah ceruk di pipi kanan, persis Oppa Korea yang terkenal itu.
Lelaki itu berjalan mendekat. Pandangan Aira yang tengah terpana seketika tertunduk.
“Aduh, ini namanya jodoh. Silahkan masuk, Nak Reza." Bu Siti mempersilahkan lelaki itu masuk, "mari duduk di sini, Nak Reza." Tunjuknya pada bangku kosong di samping Aira.
Reza duduk dengan rapi, harum aroma tubuhnya menguar ke penciuman Aira. Membuat jantung gadis itu berdetak dua kali lebih rancak. Aira melirik lelaki disampingnya dengan ekor mata, tinggi tubuhnya terhadap lelaki itu dalam keadaan duduk setinggi bahu.
Maka lirikan Aira pertama kali jatuh pada leher jenjang dengan jakun naik turun saat berbicara dengan Bu Siti.
"Ya Alloh, redakanlah gemuruh di dada ini ...," pintanya sambil memperbaiki konsentrasi.
Seumur hidup, tak pernah ia deg-degan begini. Apakah ini yang namanya jatuh cinta?
Angannya menari-nari sejenak, dan kembali dari alam mimpi saat Bu Siti mulai menjelaskan perkara rapor yang tertukar.
"Tadi, Abi dan Abhi, dua-duanya saya panggil ke depan. Abizar dan Abhizar, dua nama yang sama, hanya beda satu huruf. Jadi harap maklum Bu, Pak, jika saja ketukar ngasih rapor setelahnya," jelas Bu Siti, “saya bukannya ingin membandingkan Pak Reza, Bu Aira. Saya hanya meminta Abhi belajar pada Abi tadi. Supaya ketularan pinternya. Karena sudah empat kali pengambilan rapor Abhi masih bertahan dengan peringkat terakhir dan nilainya juga sangat-sangat tidak memuaskan.”
Reza menarik napas panjang, sedikit menenangkan jiwanya yang dipenuhi rasa malu dan kecewa. ”Mohon Abhi dibimbing Bude. Ia dibesarkan oleh neneknya, jadi sedikit manja. Padahal Abhi anak yang cerdas dan bijaksana. Hanya malas kalau disuruh belajar.”
Aira menarik napas panjang berkali-kali. Suara bariton lelaki di sampingnya berhasil membuat gadis itu berkeringat dingin. Entah bagaimana cara menenangkan jiwanya yang terlanjur terpana.
“Tidak boleh, tidak boleh ... jangan terpikat pada lelaki yang sudah beristri," batinnya bergumam. Wajah Aira seketika pias kecewa, saat tersadar bahwa lelaki di sampingnya tentu adalah seorang ayah.
"Iya, Bude mengerti Nak Reza. Anak-anak itu memang unik, kadang ia tahu mana ibu mana nenek. Hasilnya tetap beda, meski nenek merawatnya dengan sepenuh hati. Bukde hanya berharap kamu lebih sabar. Berikan Abhi waktu yang lebih. Anak-anak itu semakin besar, semakin paham akan sesuatu hal. Jadi jangan sampai ia merasa tidak adil karena tidak memiliki ibu seperti anak-anak yang lain, hal itu bisa memicu jiwa pemberontak dalam dirinya.” Tegas Bu Siti panjang lebar.
Mendengar ucapan Bu Siti, Aira terkesiap. “Tidak memiliki Ibu? Maksudnya Mas ini duda atau bagaimana? Alhamdulillah, mudah-mudahan aja duda...." Aira membatin kegirangan.
Hampir sepuluh menit Bu Siti mencoba menasehati lelaki yang Aira tebak berstatus duda itu. Ia terus saja menjadi pendengar setia. Baginya hari itu, malah terkesan seperti menghadap penasehat pernikahan. Semoga saja suatu saat. Harap Aira.
Rasa sedih tiba-tiba menyusup di dada, saat tahu bahwa lelaki tersebut ditinggal selingkuh sang istri. Tanpa sadar dalam hati Aira mulai melangitkan doa dengan sungguh-sungguh, 'Ya Allah, andai engkau jodohkan hamba dengannya, hamba akan setia dan menjadi istri yang shalelah dunia akhirat.’
Sementara di luar, gerimis mulai menitik membasahi bumi. Sebuah doa yang tak sengaja tersebut, namun menjadi alasan kuat untuk terkabul, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Carilah doa yang mustajab pada tiga keadaan : bertemunya dua pasukan, menjelang shalat dilaksanakan, saat hujan turun.”
***
Banyak hal yang dibicarakan Bu Siti dengan Reza. Seakan terlupa ada orang lain di ruangan itu, yang terus mendengar dan semakin berharap. Terakhir bu Siti meminta agar Aira dan Reza saling menukar rapor. Saat itulah kedua pandangan mereka bertemu untuk pertama kali. Pandangan yang pada akhirnya menghasilkan letup tak lazim di dalam dada Aira.
Deg!
Tiba-tiba saja Aira merasa darahnya berhenti mengalir. Tatapan elang yang tengah menyorotnya itu, membuat Aira gugup hingga memilih menundukkan pandangan.
‘Beginikah rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Allah,, boleh minta sesuatu nggak? Jodohkan saya dengannya ...?’
Saat itu, sesuatu seakan terluput dari benak Aira. Seorang lelaki yang hadir di hidupnya selama tiga tahun belakangan ini. Lelaki yang terus menggantungkan harapannya, hingga matapun selalu tertutup akan lamaran lelaki lain.
Tapi hari itu, harapan tersebut seolah berpindah tempat. Ditransfer via JNE, karena prosesnya begitu cepat. Aira tersenyum sendiri.
Tanpa menatap, ia hendak meraih rapor yang di sodorkan ke arahnya beberapa menit lalu. Cukup lama karena diselingi kecanggungan.
“Ehm ...!” Reza berdehem pelan, berharap Aira sportif dan saling unjuk pandang, tidak menunduk.
Tapi, sifat Aira yang pemalu membuatnya hanya menoleh sekilas, lalu menarik dengan cepat benda di tangan Reza. Lelaki itu tersenyum samar, merasa malas berurusan dengan ibu-ibu pemalu.
Sejurus kemudian Reza ia langsung membalikkan badan dan melangkah keluar.
Perlahan Aira berusaha menengadahkan wajahnya, merasa menyesal kenapa tadi menundukkan wajah. Kini hanya aroma maskulin yang tertinggal, menguar di seluruh penciuman Aira hingga menusuk palung jantung.
Diantara derap langkah lelaki di hadapannya, ia berharap penuh agar Reza berhenti dan menoleh. Mengucapkan sesuatu yang menjadi pertanda bahwa bolehlah ia berharap status lebih, ‘istri’.
Satu
Dua
Tiga.
Ting!
Harapan Aira terkabul, Reza menghentikan langkah dan menoleh.
"Oh ya, selamat ya, atas prestasi Abi, anak Bu Aira. Mudah-mudahan anak saya Abhi, bisa belajar dari anak ibu, Abi," ucapnya sembari tersenyum hangat, sehangat mentari di musim hujan.
"Tapi, wait? Anak? Ya Tuhan, anak?" Aira mengerucutkan bibirnya, menyesali atas apa yang diketahui sang lelaki tentangnya.
"Saya bukan Mamanya Abi, dia ... keponakannn?"
***
"Bunda ....!" jerit Abi dari belakang motor, lamunan Aira seketika buyar. "
“Bunda, kalau bawa motor bisa hati-hati nggak?"
'Aish, ini anak!'
"Oke, siap Bos!" Aira membercandai Abi yang terlihat sewot. Dengan semangat ia kembali melajukan motor. Bibirnya melengkung, mengingat kejadian yang sudah berlalu lebih dari sebulan itu, rasanya nganu, kayak baru kemarin gitu.
"Kapan ya, ketemu lagi? Apa perlu saya yang mendatangi rumahmu, Tuan?" pekik batinnya.
==========
Humaira berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Setelah mengelus puncak kepala Abi, ia berniat untuk segera sampai ke Rumah Sakit, hari ini ia piket di ruang bersalin.
Jika pagi, sampai tepat waktu adalah tujuan utama. Sebab selain harus mengikuti apel, pagi hari itu waktunya beramai-ramai, ramai pasien, ramai pula stafnya. Meski ramai tapi tetap saja kerepotan, terutama jika semua pasien yang dalam fase persalinan, masuk ke tahap mengedan di detik-detik operan. Rempong tak terkira!
Sebagai seorang bidan yang baru saja terjun langsung ke dunia pelayanan, tentu ini menjadi tantangan berat buat Aira. Terlebih dengan kondisi dirinya yang masih single. Meski begitu, Aira tidak tergesa-gesa mengakhiri masa lajangnya di usia muda. Ia masih menikmati kesendiriannya, sambil terus memilih, mana lelaki yang dapat mengikat hatinya.
Tapi nyatanya, Aira nggak pernah memilih, semua yang melamar ia tolak. Harapannya cuma pada satu orang lelaki. Lelaki yang tengah menuntut ilmu di negeri para nabi. Yang tak pernah menyatakan suka, apalagi cinta. Tapi Aira kadung simpati pada sosoknya yang berwibawa dan ... tampan.
***
Abi menghilang di ujung koridor sekolah, Aira segera membelokkan motor jika saja manik matanya tidak terbidik pada satu objek. Objek yang selama ini terus mengusik pikirannya.
Tiba-tiba saja detak jantungnya menjadi tak terkendali. Dadanya berdesir hebat, belum pernah ia merasa seperti ini, padahal umurnya sudah beranjak dua puluh tiga, dan lagi yang ia targetkan sudah ada.
"OMG, Mas duda?"
Ciettt ...!
Aira mengerem mendadak. Ia menjatuhkan tas sandangnya dengan sengaja, supaya terkesan ada sesuatu yang membuat ia urung menjalankan motor.
“Arggghhh ...! Memalukan sekali ide ini!” Aira membatin. Tak menyangka, dirinya yang selalu dingin terhadap kaum Adam, justru meleleh di hadapan duda korea itu. Eh, mirip ... mirip doank!
Sementara Camry yang dikendarai Reza hanya berjarak lima langkah dari posisinya. Jika diteliti, tak mungkin Aira luput dari pandangan sang duda.
Sedetik dua detik, Aira menanti lelaki itu membuka kaca mobil, dan yang lebih ia nanti adalah sapaan. Bukankah sebulan lalu mereka pernah bertemu, mudah-mudahan saja lelaki itu tidak melupakannya.
Dua menit berlalu, kaca mobil tak jua terbuka, sementara ia bertahan dengan posisi tak bergerak di tempat. Lebih tepatnya ia seperti gantungan orang-orangan di tengah sawah.
Hanya sebuah pajangan, tanpa ada yang peduli akan hadirnya. Sungguh menyedihkan untuk sebuah penantian sapaan. Namun, yang lebih menyayat hati Aira, ketika ia tahu bahwa kendaraan beroda empat itu justru kembali berjalan setelah seorang anak kecil keluar dari pintu depan.
"Ya Tuhan, malah pergi. Apa artinya tadi aku mematung disini," desis Aira penuh kesal. Hatinya yang tadi berbunga-bunga plus deg-degan kini malah seperti terbakar bara api.
Namun, perlahan bara api itupun tersirami air. Aira menengadahkan telapak tangannya.
"Hah, ternyata gerimis?" Aira kaget sebab hujan mulai turun perlahan, seolah menggambarkan suasana hatinya yang kadung berderai.
Ck ...Ck!
"Bunda Aira?" Anak lelaki tadi menyapa Aira yang hendak melajukan kembali motornya.
"Eh, Abhi?" sahut Aira. Dalam hati ia berpikir, bisa ya anak itu tahu namanya. “’Wah, detektif cilik ini.’
Abhi mendekat dan meraih jemari Aira untuk diciumi. Seperti yang biasa keponakannya lakukan.
‘Masya Alloh, inikah anak yang besar tanpa sentuhan sang ibu? Sopan sekali ...pasti seperti neneknya. Eh, beda banget sama bapaknya.’ Aira tersenyum sambil mencerocos dalam hati. Meski satu hal yang tak dapat ia tutupi, tampannya copy paste sang ayah. Aira semakin semringah.
"Kamu temannya Abi, ‘kan?” tanya Aira.
“Iya, Bunda. Nama saya Abhi juga ....” sahutnya menggemaskan.
“Iya, Bunda tahu. Abhi masuk gih, nanti bajunya basah?" pinta Aira pada anak kecil itu.
"Iya, Bun. Aku masuk dulu ya?" jawabnya sambil tersenyum. Sedetik kemudian Abhi berlari menuju pagar.
Aira terus memperhatikan tubuh Abhi yang berlalu darinya, "hmm ... hari ini anaknya yang menyalami tanganku. Tapi semoga suatu saat nanti, tangan ayahnya bisa aku salami secara halal. Amiiin ...." Aira kembali melangitkan doa diantara gerimis hujan.
Gadis itu larut dalam bahagia, tanpa sadar gerimis yang tadi sebesar biji padi kini malah sebesar biji jagung.
Aira tersentak. Sambil tersenyum ia melajukan kembali motornya dengan cepat. ‘Basah tak mengapa, sebab inilah hujan rahmat. Rahmat cinta! Decaknya dalam hati.
***
Hari itu rumah sakit terlihat ramai, lalu lalang pasien sudah menjadi makanan sehari-hari. Aira selesai mengamprah obat-obatan, membereskan satu-persatu sesuai nama pasien dan meletakkan pada rak yang sudah disediakan.
"Nit, temenin aku ya?" Aira menelpon Nita tepat pukul sepuluh lewat tiga puluh menit. Ia sudah mengerjakan semua pekerjaannya pagi itu, kebetulan ruangan sedang sepi. Aira meminta ijin pada senior untuk keluar sebentar.
"Aku lagi sibuk Ra. Emangnya mau kemana sih?" Terdengar suara dibalik telepon.
"Ke bank. ATM-ku tiba-tiba nggak bisa kepakek. Malas juga dikit perlu harus ngantri ke teller. Bisa ya Nit, please?"Aira memohon pada sahabatnya.
"Oke lah, tapi kalau lama, aku tinggalin."
"Sip. Aku jemput sekarang ya?"
"Oke!"
***
Tepat pukul sebelas mereka sampai di depan sebuah bank. Aira memarkir motor di parkiran, kemudian sejenak menatap wajahnya di kaca spion. Memperbaiki hijab putih menutupi dada yang ia kenakan.
"Ra ... tukan rame. Aku bilang juga apa. Aku cuma punya waktu setengah jam lho," ucap Nita begitu mereka sampai dalam ruangan.
"Tapi nomer antrian di customer servisnya nggak banyak lo Nit. Nomorku setelah ini."
Aira menunjuk kertas antrian di tangannya. Ia kemudian mengedarkan pandang ke seluruh ruangan. Tampak dihadapannya beberapa CS sedang duduk manis melayani customer.
Namun ada satu meja yang menyita perhatian Aira, sebuah meja dengan papan nama bertuliskan 'REZA'.
Seketika tubuh Aira seperti tersengat listrik, bergetar hebat. Dadanya kembali tak karuan. Ia mencoba mengingat duda tampan yang bertemu dengannya tempo hari. Padahal nama Reza ‘kan tak cuma satu. Bahkan satpam rumah sakitpun namanya Reza.
"Kamu kenapa Ra?" tanya Nita menyadari teman di sampingnya mengelus-elus dada.
"Ah nggak apa Nit, aku cuma demam."
"Hah, demam?" Nita langsung memegang dahi sahabatnya, memastikan yang dikatakan Aira tentang kesehatannya.
"Ah, nggak panas? Kok bisa tiba-tiba sih?"
Aira tak menggubris lagi pertanyaan Nita, matanya kini terbelalak, tak menyangka bahwa CS yang akan melayaninya sesaat lagi adalah sang duda idaman hati.
"Subhanallah ...."lirih Aira tanpa mengedipkan mata.
"Alamak tu CS tuampan wae. Aku ikut ya Ra?" Nita memelas ingin ikut bersama Aira.
"Serius? Tempat duduknya 'kan cuma satu?” potong Aira saat tahu Nita juga tengah membidik duda incarannya.
“Please, Ra. Berdiri juga nggak papa?”
‘Yaela ni anak. Ngebet benar.’
“Nit, hari ini aku dulu ya. Besok deh aku temenin kalau kamu mau kemari lagi." Canda Aira pada Nita. Gadis itu mencubit pinggang Aira, dan Aira hanya tersenyum meski sejujurnya ia tak dapat menutupi gugup yang tiba-tiba meradang.
Dikumpulnya segenap keberanian, sembari mengucap basmallah. Kali ini sepertinya bukan suatu kebetulan, semua sudah direncanakan Alloh, begitu yang ada dibenak Aira. Bukankah tadi pagi ia berharap ditegur olehnya. Lalu, jika sekarang Alloh mempertemukan mereka, bukankah ia harus bersyukur?
***
"Silahkan duduk." Reza mempersilahkan Aira duduk tanpa menatap.
Sedikit gemetar Aira menarik kursi dan duduk dihadapan sang CS. Kedua jemari tangannya saling meremas, menandakan kegugupan yang teramat sangat. Kini malah kursi yang ia duduki terasa panas, seperti ada yang menyalakan tungku di bawahnya.
"Beginikah rasanya jika berhadapan langsung? Oh Alloh, tolonglah hamba-Mu ini ...?"
"Hai." Sebuah sapaan yang membuat tubuh Aira bagai disirami air, lega ...
"Hai ...." Aira membalas sapaan Reza. Ia berusaha mengontrol perasaannya, dan berniat meluruskan kaki yang tiba-tiba bergetar.
"Oh!" Aira menarik kembali kakinya ke posisi semula. Sepertinya gugup tak hanya dirasakan Aira, lawannya pun demikian. Sebelah kaki Aira yang berusaha ia julurkan malah bertabrakan dengan kaki Reza yang ... entah kiri atau kanan yang juga ternyata ikut-ikutan dijulurkan.
Lelaki itu tertawa, menyadari kekonyolan yang baru saja terjadi.
"Kamu ....?" Reza berusaha mengingat-ingat dimana pernah bertemu dengan Aira.
Sementara Aira hanya menoleh sedikit, kemudian menunduk lagi. Malu plus grogi.
"Emm ... Abi? Kamu Mamanya Abi 'kan? Wah, kebetulan sekali, ada yang bisa saya bantu, Buk?"
‘Hah, Buk? Tampang masih perawan gini dikata ibuk-ibuk!’
Aira menarik dan membuang napas. Ingin ia menjelaskan status keperawanannya, agar tidak terjadi salah paham, dan tentu saja agar dirinya memiliki kesempatan untuk dilirik, eh.
Tapi apalah daya, lelaki itu terlanjur mencapnya 'ibu-ibu'.
"Saya ... mau memperbaiki ATM," ucap Aira pasrah. Gadis itu memberanikan diri menatap kembali wajah Reza.
‘Uh ... Nggak kuat ... ini artis korea layaknya jadi bintang film, jangan kerja di bank! Hiks ... Hiks ...’
Hanya lima detik. Aira kembali menunduk untuk mengeluarkan benda yang ia maksud dari tasnya. Aira meletakkan ATM juga KTP-nya diatas meja. Tak kuasa jika harus menyerahkan langsung ke tangan Reza, takut lelaki itu melihat jemari tangannya yang gemetaran seperti orang tua yang kena penyakit saraf.
"Owh, sebentar saya cek dulu?"
Lelaki itu kemudian membalikkan benda tipis yang sudah di tangannya dan kembali menatap Aira, "wah ini kertas pengamannya hilang. Mungkin tergesek sesuatu saat dimasukkan ke dalam dompet." Ia menjelaskan dengan seksama.
Perlahan Aira menengadahkan wajah hingga kedua mata mereka saling bertemu pandang. Buru-buru Aira menunduk lagi, menghindari menatap mata berbius itu terlalu lama."Bisa diperbaiki?" tanya Aira tak fokus.
Reza tersenyum sembari meletakkan kartu itu di atas meja. Ia mulai menyadari bahwa custumernya saat itu tengah mengalami kegugupan. Sebelum menyelesaikan pendidikan di Managemen Akutansi dan Bisnis, lelaki itu sempat dua tahun menuntut ilmu psikologi. Jadi hal-hal seperti ini sedikit banyak sudah dapat ia tebak.
"Bisa."
Hanya itu, Reza sengaja tidak melanjutkan ucapannya, ingin menebak apa yang akan dilakukan wanita dihadapannya itu yang terus saja menunduk.
Hening beberapa saat. Hingga akhirnya Aira mengeluarkan suara.
“Terima kasih, saya pamit.”
"Eh, tunggu dulu." Tak sengaja Reza menarik lengan Aira yang berbalut jas kerja berwarna putih, "besok datang lagi ya, saya usahakan ATM baru siap besok."
Aira memperbaiki posisi jasnya.
"Ya Alloh, kok bias ada adegan begini, ya?"
Aira menghela napas sambil mengangguk, sedikit menoleh lalu mengalihkan pandangan. Dengan tergesa, ia berjalan menuju kursi tunggu.
"Eh, keren banget adegan kamu tadi, Ra? Romantis beud, kayak di film?" ketus Nita.
Tanpa menjawab, Aira menarik tangan Nita dan keluar dari bank dengan penuh resah.
“Kenapa tiap kali bertemu dengannya, harus canggung begini?” Aira membatin kesal.
Sementara di dalam, kehadiran Aira telah membuat hati seorang duda tergugah. “Kenapa dia diam saja saat aku memanggilnya Ibu?” ucap Reza saat menatap tulisan status belum menikah di KTP Aira.
“Oh, pemalu rupanya? Tapi cantik!”
Bersambung #2
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel