Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 25 September 2020

Ketika Duda Mencari Jodoh #2

Cerita bersambung

Matahari sudah sepertiga condong ke arah barat, terik sinarnya sedikit berkurang dibanding saat sang bagaskara itu tepat berada di atas kepala. Pukul dua lewat, Aira telah sampai di rumah. Sedikit kaget karena ia mendapati sebuah mobil Range Rover terparkir rapi di halaman.


Bahagia? Tentu. Sebab sudah sekian lama ia tak bertemu dengan si pemilik roda empat mewah itu.

“Assalamualaikum,” ucap Aira begitu memasuki rumah yang pintu depannya tak tertutup. Di kursi tamu, tampak duduk ibunda Aira dengan seorang lelaki.

“Waalaikumsalam.” Terdengar sahutan bersamaan dari dua menusia yang seketika menoleh ke arah Aira. Netra gadis itu segera tertuju pada sepasang mata teduh yang sekian tahun ia nanti, untuk mengucapkan sebuah kata pengikat hati.

“Mas Hanif? Kapan pulang ke Indonesia, Mas?” tanya Aira lembut sembari melangkah masuk untuk menyalami ibundanya. Sejenak ia berhenti di hadapan pemuda itu dan mengucupkan kedua tangan. Hanif membalas dengan hal yang sama.

Sejujurnya tiap kali mereka bertemu, kekaguman Aira akan pemuda itu saban hari semakin bertambah. Bagaimana tidak, perpaduan Arab yang diwariskan sang papa juga Melayu yang diwarisi sang ibu, menjadikan pemuda itu tak kalah jika harus disandingkan dengan Omar Bolkan Al Gala.
Terlebih ketaatan ibadah yang tak diragukan lagi. Semua membuat Aira setia menolak berbagai lamaran yang datang, meski tak yakin dengan kesetiaannya yang akan berbalas hasil.
Sebab selama ini, bukan dirinya saja yang berharap mendapatkan tempat di hati Hanif. Sudah jadi rahasia umum jika anak pengusaha Batu bara asal Kalimantan itu menjadi incaran banyak foto model dan artis.

“Nak Hanif, sudah ada Aira, ibu tinggal sebentar, ya?” Ibunda Aira berpamitan pada mereka. Aira dan Hanif berpandangan sejenak, sebelum akhirnya sama-sama menyunggingkan senyuman.

“Mas baru sampai tadi pagi sekitar jam sepuluh,” jawab lelaki itu lembut setelah terjeda beberapa menit. Matanya menatap Aira penuh rindu.
“Wah, baru nyampe rupanya. Kok langsung ke Jakarta, nggak pulang ke Kalimantan dulu, Mas ...?"
“Ada seseorang yang membuat Mas rindu di rumah ini.” Potongnya cepat.

Aira terhenyak, bola matanya membulat dengan kepala sedikit mendongak, berusaha memastikan apa yang baru saja ia dengar.

“Hem ... rindu? Mas rindu Ibu?” Aira tersenyum sembari mengatup mulutnya.
Hanif menggeleng.

“Kalau begitu, Abi?”
“Bukan juga.”
“Di rumah ini dilarang merindukan selain yang dua itu.” Canda Aira yang diikuti dengan tawa lepas Hanif. Entah harus bahagia atau tidak, hal ini sudah lama dinanti Aira, dua tahun yang lalu.

Saat ia baru saja menyelesaikan studi Sarjana Kebidanan. Kala itu dirinya dan Hanif telah setahun berkenalan. Saat Hanif akan terbang ke Maroko untuk melanjutkan pendidikan Master.
Almarhum Ayah Humaira seorang pengacara yang masih termasuk kerabat, diminta oleh Papa Hanif untuk menangani kasus tuduhan penggelapan batu bara yang menimpanya.
Sejak itulah mereka dekat. Terlebih setelah persidangan dimenangkan oleh Papa Hanif, kedekatan dua keluarga itupun semakin kokoh.

Sekian lama berkenalan, baik Aira maupun Hanif tak pernah membicarakan sesuatu yang bersifat pribadi, apalagi untuk sebuah ikatan. Namun Aira tetap kukuh pada perasaannya, sebelum semua kini terasa berbeda, setelah kehadiran seorang lelaki berstatus duda. Meski ia tak begitu bisa memastikan.

"Sudah selelai pendidikannya, Mas?” tanya Aira memecah keheningan.
“Alhamdulillah sudah. Dan sesuatu membuat Mas ingin segera kembali ke Indonesia."
“Sesuatu? Tampaknya sangat rahasia?” Aira tampak begitu penasaran.
“Kamu akan segera tahu Ai? Sekarang biar rahasia dulu, ya?"
"Heem ....?" Aira tersenyum, Hanif terus saja memanggilnya dengan sebutan Ai. Sejujurnya, gadis itu ingin melarang, dan meminta lelaki itu memanggilnya dengan sebutan lain. Tapi, ya sudahlah. Bukankah itu panggilang yang langka?

"Pertemuannya cukup disini aja, ya." Hanif buru-buru bangkit dari duduknya. Ia merasa tak layak duduk berlama-lama dengan sebongkah rindu di dalam dada. Hanya akan menambah fitnah. Lagipula, apa yang ingin ia sampaikan pada ibunda Aira telah terlaksana. Jadi, yang harus ia lakukan sekarang hanyalah bersabar. Menunggu hasil.

"Lho, kok buru-buru, Mas?" Aira berusaha menahan kepergian lelaki itu yang terkesan mendadak.
"Ada yang harus Mas persiapkan untuk acara nanti malam?”
"Acara? Memangnya ada acara apa, Mas?"
"Syukuran kecil-kecilan. Kebetulan Papa sama Mama juga ke Jakarta. Kamu datang ya, Ai?"
"Syukuran?” Aira mengernyitkan dahi, ”em ... Insya Alloh, Mas."

Aira mengantar Hanif sampai di pintu, lelaki itu tersenyum sembari melambai ketika ia sudah duduk di balik kemudi, “Hati-hati ya, Mas.”

Pemuda itu mengangguk pelan. Perlahan kendaraan mewah yang terparkir di halaman rumah tampak menjauh dan menghilang dari pandangan Aira.
***

Sejenak Aira menarik napas dalam, ada yang berbeda dari pertemuannya dengan Hanif kali ini. Tak seperti yang ia rasakan ditahun-tahun kemarin. Harapan yang telah ia bangun dua tahun ini, seolah menghilang tak berbekas.
Nama Hanif seakan terhapus. Berganti sebuah nama dengan empat kosakata, ‘R E Z A’.
Aira tersenyum. Matanya nanar menatap semburat rona jingga yang keemasan, bak lukisan. Awan berarak semakin membuat hatinya takjub. Sungguh ciptaan Allah yang begitu sempurna. Namun, ada yang membuatnya lebih takjub, saat perlahan sekilas wajah Reza menjelma di balik awan.

“Astagfirullah ....” Aira berucap sambil menggeleng kepala. Begitulah jika membiarkan cinta hadir sebelum waktunya. Akan sangat sulit mengontrol ingatan, sebab cinta ibarat anggur, disatu kesempatan ia begitu menyenangkan dan memabukkan, namun di sisi lain, ia adalah penebar petaka yang terselubung.
***

Hanif mendesah panjang. Tangannya yang tengah memegang setir, ia gerakkan untuk meraih sebuah kotak beludru yang terletak di atas dashboard mobil. Kemudian ia membuka benda kecil itu seraya berkata, "malam ini saya akan melamar kamu, Ai."

Awalnya hanya ingin mengikuti permintaan kedua orang tua, yang terlanjur menyayangi Aira. Tapi, setelah melalui istikharah panjang, hatinya mulai mantap. Tiga tahun ia rasa tidak mudah bagi seorang gadis menanti tanpa sebuah ikatan. Dan hal itu berhasil dilakukan Aira untuknya. Hanif sangat menghargai kesetiaan gadis itu.
Kini, Hanif berjanji tak akan membuat Aira menanti lebih lama lagi. Ia akan segera menikahi gadis itu.
***

Gedung berlantai tiga yang dibangun dengan gaya streamline art deco, berbentuk garis-garis pada bagian badannya dan memiliki sebuah menara di puncaknya itu, tampak mulai lenggang.
Pintu masuk utama sudah di tutup dan ditempeli papan bertuliskan ‘CLOSE’. Namun begitu, satu dua orang masih tampak lalu lalang di depan mesin ATM. Sementara di dalam gedung, aktifitas masih berlanjut. Para karyawan masih sibuk bergelut dengan segudang kertas-kertas yang tertumpuk di meja masing-masing.

"Za, formulir costumer yang tadi maudepositoin uang, udah beres belum?" Seorang teller cantik menghampiri Reza sembari membawa selembar slip.
"Belum kak, jaringannya masih error."
"Owh ya, pantesan. Kalau sudah beres, antar ke teller, ya?" ucap wanita itu sambil berlalu pergi.

Reza kembali mengakses komputer di hadapannya. Lelaki berambut tebal itu membuka laci kerja, hendak mengambil penjepit kertas di dalam sana. Namun, netra kelamnya berhasil menatap sebuah kartu berwarna navy yang bertuliskan nama 'Humaira'.
Ia menghentikan gerakan lincah tangannya. Lalu menopang dagu dengan sebelah tangan. Kedua sudut bibirnya tertarik menjauh. Tampak deretan gigi putih yang terawat dengan sebuah ceruk di sebelah kanan. Lelaki itu Sungguh menawan jika tersenyum.

Reza menghela napas panjang, lalu mendesah sembari menyebut sebuah nama, " Humaira ... semoga saja kita berjodoh."

==========

Langit semakin kelam, seberkas sinar tampak menyembul dari balik awan. Rembulan telah sepenuhnya mengambil alih tugas sang mentari, meski tak terang benderang, namun sinarnya mampu menerangi langit malam yang begitu redup.
Aira baru selesai mengenakan gaun yang diberikan Hanif, saat bertandang ke rumah tadi pagi. Sedikit tersipu ia menilik tubuhnya di depan kaca.

"Alhamdulillah ... gaun ini begitu indah." Aira berdecak kagum tak henti-henti.

Sebuah gaun berwarna cream kini telah terpakai sempurna di tubuhnya. Lengkap dengan hijab instant berwarna coklat susu. Aira benar-benar tampak anggun dan memesona.

"Mas Hanif, dari mana ia tahu semua ukuran pakaian yang kugunakan?" Aira membatin penasaran.

Sebuah ketukan pintu, membuat lamunan gadis itu buyar. Ia membuka pintu kamar yang sengaja dikunci, takut ibundanya masuk saat dirinya tengah mengukir diri di depan kaca.

"Ibu?" ucapnya sedikit malu-malu setelah pintu terbuka.
"Masya Alloh, cantik sekali kamu Nduk ...." Puji sang ibu pada Aira. Gadis itu hanya tersenyum kecut.
"Kalau begini penampilanmu, ibu khawatir Hanif bakalan melamar kamu di acara nanti?" Ibunda Aira mencoba menggoda.
"Nggak mungkin ah, Bu. Aira rasa Mas Hanif hanya nggak mau Aira datang ke acaranya dengan pakaian biasa ...."

Ibunda Aira hanya tersenyum menanggapi ucapan anaknya. Detik kemudian, wanita itu mengantar Aira ke depan rumah.

"Maaf ya, Bu. Jadinya Ibu ikut capek nungguin Aira naik taksi. Harusnya tadi Aira naik mobil jemputan Mas Hanif aja?" desah gadis itu setelah lima belas menit menunggu taksi di depan rumah.
"Ibu nggak papa Aira," jawabnya menyemangati.

Tak lama, sebuah taksi berhenti tepat di depan pagar rumah minimalis mereka. Sebelum Aira berangkat, wanita itu berpesan agar apapun yang terjadi nanti, ia meminta anaknya agar mengikuti kata hati dan jangan lupa meminta petunjuk pada Alloh.

Aira mengernyitkan dahi, merasa ada yang disembunyikan wanita itu dari dirinya. Tapi apa, bertanyapun ia segan.
Selepas kepergian sang anak gadis, ibunda Aira menutup pintu rumah, "maafkan Ibu, Nak. Ibu tak bisa memberitahumu bahwa tadi pagi Nak Hanif telah melamarmu. Ibu takut kau menolak jika tahu perihal ini. Tapi, apapun keputusanmu nanti, semoga itu yang terbaik."
***

Jalanan sedikit macet, namun tidak memperlambat perjalanan dari Tangerang menuju Jakarta Barat.

Aira menatap pemandangan luar yang tampak begitu ramai. Lalu lalang kendaraan bermotor membuat matanya jenuh, hingga akhirnya ia berinisiatif mencari gawai di dalam tas. Sedikit ingin berbagi cerita pada Nita tentang perjalanan malam ini ke rumah Hanif.
Namun belum sempat ia menemukan ponselnya, taksi yang ia tumpangi berhenti mendadak. Tubuh Aira seketika terhunyung ke depan. Untung ia sempat berpegangan pada sandaran kursi. Jika tidak, tentu kepalanya akan terhantam kursi supir bagian belakang.

"Ada apa, Pak?" Aira bertanya penuh khawatir.
"Wah, nggak tau ini, Neng. Kayaknya mesinnya rusak. Coba saya cek dulu deh, Neng. Sebentar ya?"

Supir taksi berpakaian biru langit itupun turun dari mobil. Lelaki itu terbatuk-batuk akibat sumbulan asap yang mengenai wajah, ketika ia membuka penutup mesin mobil bagian depan.
Melihat hal itu, Aira juga memilih turun untuk menanyakan keadaan yang terjadi.

"Ada masalah, Pak?" tanya Aira meski dengan intonasi cemas bercampur kesal.
"Sampun, Neng. Mesinnya overheat, mungkin agak lama ini. Bagaimana ya?" Lelaki itu mengibas-ngibas wajahnya dengan topi, kelihatan gugup dan merasa tidak enak.

Aira hanya bisa mengembus napas kasar, padahal ia harus segera sampai ke tempat Hanif. Tapi mau gimana lagi. Tentu tak ada satu orangpun yang menginginkan rejekinya nyangkut tersebab oleh apapun. Termasuk juga supir tua ini.

Aira bergeming kasihan. Gadis itu menyodorkan uang sesuai yang muncul di argo, tanpa mempermasalahkan lagi bagaimana dirinya akan sampai di Kembangan nanti.
Suatu keberuntungan, taksi yang ia tumpangi malah mogok tepat di depan sebuah swalayan. Aira berniat membeli minuman di tempat itu, sekadar untuk melepas dahaga.

Tepat ketika tangannya hendak meraih gagang pintu swalayan, disaat itulah mata Aira bertabrakan dengan seorang lelaki yang juga berniat keluar dari dalam swalayan.

"Aira?" Terdengar suara bariton yang tak asing lagi di telinganya.
"Mas Reza?" Aira terhenyak tak percaya.
"Bunda Aira?" Seru seorang anak kecil yang berdiri tepat di samping Reza. Suara itu seketika membuat kedua mata yang saling bertatapan tadi, terhenyak.
"Abhi?" Aira beralih menatap bocah tampan di samping Reza.
“Mungkinkah ini sebuah kebetulan?” gumam Aira penuh keraguan.
"Bunda Aira cantik, kayak putri?" puja Abhi tanpa dikomando. Mendengar pujian manis yang terlontar dari mulut anak kecil itu, reflek manik mata Aira melotot tajam. Malu. Andai bisa request, ia ingin pingsan seketika.

"Hehehe ... Bunda Aira cantik-cantik mau kemana?” Anak itu kembali melontar pertanyaan.
“Emm, Bunda mau ke Kembangan.” Aira mencoba menelan saliva saat ingin menjawab pertanyaan Abhi. “Kamu ngapain disini?”
"Beli jajan, Bunda. Abi mana, Bun?” tanyanya lagi sambil meraih jemari Aira.

Aira tersenyum kecut dan menoleh ke arah Reza, membuat kedua mata itu kembali bertatapan untuk beberapa detik. Buru-buru Aira kembali menunduk. “Abi nggak ikut, Sayang.”
"Owh, Abi jam segini udah tidur ya, Bun.”
“Iya benar.”
“Terus kapan belajarnya?”
“Anak Papa dari tadi kok nyerang Bunda Aira terus?” Reza mencoba angkat suara.
“Nggak papa Mas,” ucap Aira menenangkan keadaan, ia kembali menoleh ke arah lelaki tampan yang memiliki tinggi sepinggangnya itu, ”kalau malam, Abi cuma belajar sebentar. Setelah itu dia shalat dan tidur. Nanti bangun tidur, selepas shalat subuh, barulah Abi mengulang kembali semua pelajarannya. Karena saat subuh itu pikiran masih bersih, jadi setiap apa yang dipelajari akan lebih mudah dipahami. Makanya Abi pintar?" Aira menjelaskan dengan seksama.
"Hihihi ... kalau aku, jangankan belajar, shalat subuh aja jarang, Bun. Habis Papa aja kadang nggak shalat. Kalau ada Umi, baru ada yang bangunin," ungkap sang anak tanpa malu-malu.
"Uhukkk ...." Reza seketika terbatuk, mendengar ucapan jagoannya. Lelaki itu menoleh ke arah sumber pembuka rahasia, "Abhi ...?” tegur Reza memberi isyarat.
"Hehehehe ... Aku tunggu di mobil ya, Pa?”
“Astahgfirullah ...,” gumamn Reza sambil mengacak-acak rambut.

'Duh ... tangannya yang kekar, kuku-kukunya yang bersih, wajahnya yang nyaris sempurna, kini tersenyum hangat memperlihatkan sebuah ceruk. Lelaki ini, tampan sekali.'

Meski dengan mencuri-curi pandang, Aira mampu merekam dengan apik seraut wajah yang begitu memikat di hadapannya. Andai keberanian itu ada, sudah tentu ia ingin menikmati sorot mata hazel yang sedari tadi dengan gagah menatapnya. Namun, apa daya, ia hanya mampu mengangkat dagunya sesekali.

"Benar kata Abhi ... kamu cantik," lirih Reza nyaris tak terdengar.
"Hah, kenapa Mas?" Aira kembali mendongak.
"Ng-nggak papa kok."
"Emm ... sebenarnya, Bunda Aira ini mau kemana?" Reza mencoba mempraktekkan gaya bicara Abhi.

Aira menoleh dan tersenyum. ‘
“Aira saja Mas?”
“Maaf, oke!” ucap Reza masih sambil terkekeh.
“Saya mau ke Kembangan, Mas. Tapi taksi yang saya tumpangi mogok tiba-tiba," Aira menunjuk sebuah taksi yang berhenti beberapa meter di hadapan mereka.
"Owh ... kalau gitu mari barengan. Saya juga mau ke sana, menjenguk neneknya Abhi yang sedang sakit.”
"Nggak usah repot, Mas. Saya nunggu taksi yang lain aja. Mungkin sebentar lagi ada yang lewat." Tolak Aira sedikit sungkan. Reza bergeming.
"Ya sudah,” ucap Reza sambil menatap lurus kedepan. ”Emm tadi kamu mau beli sesuatu?"
"Eh, i-itu, mau beli minuman.”
"Yang ini mau?" Reza menawarkan minuman yang ada di tangannya. Minuman dingin dengan rasa jeruk. Aira menggeleng dan tersenyum. Merasa canggung menerima dari seorang lelaki, apalagi lelaki itu baru saja ia kenal. Meski sudah terlanjur menjatuhkan hati.

"Nggak usah Mas, biar Aira cari yang lain aja?"
"Nggak papa, ambil aja." Reza ngotot menyerahkan minuman itu untuk Aira. Sempat bergeming sejenak, namun raut wajah lelaki di hadapannya membuat gadis itu tak mampu melakukan apapun selain menerima.

"Terina kasih.”
"Kamu merasa sesuatu nggak?" Entah untuk alasan apa, Reza ingin menggoda gadis cantik pemalu di hadapannya itu.
“Merasa apa?”
“Eh itu ada bintang jatuh. Minta doa yuk, kayak di film Bolliwood gitu?”

Aira menoleh. Tentu ia tak percaya pada hal demikian.

“Mas Reza percaya?”
Lelaki itu mengangguk dan mengatupkan tangan, berpura-pura berdoa.

“Mas, berdoa itukan sama Alloh?”
“Sssttt ...! Ini lagi berdoa sama Allah supaya kita berjodoh,” ucapnya masih sambil memejamkan mata.

Aira terhenyak mendengar ucapan Reza, seketika tubuhnya bagai kehujanan es, dingin hingga kemata kaki. Gadis itu menoleh, hendak memperjelas apa yang ia dengar barusan. Tapi urung ia lakukan. Sebab, hanya akan membuat mukanya yang sudah berblush on bertambah merah. Sementara itu, Reza sengaja membuka sedikit bola mata, ingin melihat reaksi Aira atas guyonannya barusan.

“Dia cantik sekali jika tersipu malu.” Reza berdecak bahagia.

Aira menarik napas perlahan, berharap segera ada taksi yang akan mengantarnya pergi dari tempat itu. Namun harapannya seakan jauh dari terkabul.

Ia sadar, gerimis kembali mulai berjatuhan.
“Hujan?” lirih Aira.
"Hah, hujan. Padahal tadi langitnya cukup cerah, ya?" ucap Reza seraya kembali membuka mata. gerimis itu perlahan bertambah lebat.

Reza hendak pamitan, ingin menjemput Abhi yang masih duduk di mobil. Namun, bidikan lampu depan sebuah mobil mewah mem buatnya tertunda.  Kedua insan itu tampak  memicingkan mata.
Reza menahan langkahnya, mendapati seorang lelaki berpakain rapi, yang ia taksir tak jauh terpaut usia dari dirinya, keluar mobil dengan sebuah payung.

Aira tergugu, ia tak menyangka yang keluar dari mobil itu adalah Hanif.

"Mas Hanif?” sebut Aira gugup.
“Kamu nggak papa?”
“Ng-nggak. Kok Mas Hanif tahu Aira disini?"
"Tadi Mas menyuruh supir buat mengikuti taksi yang kamu naiki. Untung saja ada Pak Karyo, kalau nggak Mas pastikan kamu kelamaan disini." Hanif menatap tajam ke arah Reza.

Sementara itu Reza hanya bergeming, sejenak rasa cemburu perlahan merayapi tubuhnya yang berdiri dalam kekakuan.

“Mas Hanif, kenalkan ini ....”
"Saya Reza." Cepat Reza mermperkenalkan dirinya.

Hanif melirik tangan Reza yang mengambang di udara. Tak ingin mengabaikan, iapun menyambut uluran tangan lelaki di hadapannya itu.

"Hanif."
Aira tampak kalap menghadapi situasi itu. Entah mengapa ia merasa sedang diperebutkan oleh dua lelaki.

‘Uh ... kepedean!’ Aira membatin.
"Ayo Mas antar kamu pulang?" ucap Hanif mengalahkan suara gerimis yang semakin deras
“Papaaa ...!” teriak Abhi dari dalam mobil. Reza segera menoleh.
“Sebentar, Sayang. Papa segera kesitu.”
"Emm, Abhi pasti ketakutan, Mas. Buruan samperin?"
“Emm ... Iya.”

Hanif kembali memberi isyarat agar Aira mengikutinya. Seulas senyum ia lempar ke arah lelaki yang raut wajahnya tak seperti tadi, penuh ceria. Raut itu kini hanya menyisakan kekecewaan. Aira memang tak yakin, tapi ia tahu Reza tak suka dengan kehadiaran Hanif.
***

Lelaki yang tampak begitu istimewa dalam balutan jas berwarna cream serupa dengan yang dikenakan Aira itu membuka pintu mobilnya, ia tak ingin hujan membasahi tubuh gadis yang ia sayangi. Perlahan kendaraan itu bergerak. Meninggalkan seorang lelaki yang terpaku menatap kepergian mereka.

Aira membalikkan tubuhnya, ia ingin tahu apa yang terjadi pada Reza selepas kepergiannya..

"Kita pergi sekarang?"Ucapan Hanif membuat pandangan Aira beralih ke depan. Gadis itu mengangguk.

Di luar mobil, hujan menitik semakin deras. Seolah mewakili perasaannya yang kadung berderai. Manik matanya nanar menatap kaca yang basah oleh tetesan air yang tak diminta untuk turun. Begitu pula dengan perasaannya, ia tak pernah meminta cinta itu datang. mengusik dan mengubah alur hidupnya yang landai.

"Ya Alloh, seperti apa hamba harus memaknai rasa ini, haruskah hamba lepas atau menggenggamnya dengan sebelah tangan?"

Aira teringat akan dua bait syair yang pernah ia baca pada biografi seorang ulama,
Jika cinta orang yang dimabuk asmara kepada Laila dan Salma, telah merampas hati dan pikiran.

Lalu, apa yang dilakukan oleh orang yang kasmaran, yang di dalamnya mengalir rasa cinta kepada Yang Maha Tinggi?"

Dalam sebuah abad, cinta Majnun terhadap Laila menunjukkan bahwa Majnun akhirnya mati karena cintanya kepada Laila. Qarun mati oleh cintanya kepada harta benda. Fir'aun mati karena cintanya kepada kedudukan. Tapi Hamzah, Ja'far, dan Hanzhalah mati karena cintanya kepada Alloh. Aira ingin menjadi salah satu yang hidup dan mati karena Alloh. Termasuk dalam hal mencintai, ia ingin mencintai seseorang karena Alloh.

"Mudahkan, ya Alloh?" gumamnya pelan.

Suasana di dalam mobil perlahan menjadi hening. Namun tak bertahan, Aira terhenyak saat mendapati Hanif membalikkan arah.

"Lho kok malah balik arah?" tanya Aira penasaran.
Hanif menoleh sekilas. "Bagaimana mau pergi jika pakaian kamu seperti ini?" Ia menunjuk bagian bawah gaun yang dikenakan Aira, hampir selutut basah, belum lagi bercak-bercak lumpur yang tampak menodai. Aira sedikit belingsatan.

"Maaf," gumam gadis itu pelan.
"Lho, kok minta maaf. Kamu nggak salah kok?" jawab Hanif berusaha mendamaikan kemelut dihati gadisnya.
"Harusnya, jika tadi Aira ikut bareng Pak Karyo, tentu sekarang sudah di rumah Mas Hanif 'kan?" sesal Aira.
"Hai, kenapa menyesali sesuatu yang sudah lewat?" Hanif menoleh sejenak, "nggak ada satupun kejadian di dunia ini yang luput dari perhatian Alloh, yang terjadi malam ini adalah bagian dari skenario hidup kita. Setidaknya., Mas sekarang tahu bahwa bukan Mas saja lelaki yang mencoba mendekatimu."
Aira menoleh seketika. “Mendekati?”
"Heeh. Yang tadi itu, lagi ngedekati kamu ‘kan?”
Aira tampak bingung, harus menjawab bagaimana pertanyaan Hanif tersebut. Ia hanya menunduk.

“Boleh nggak, Mas tanya sesuatu?"
“Mas Hanif mau nanya apa?”
"Apa kamu menyukainya?"

Tatapan sendu Aira seketika membeliak. Haruskah ia jujur? Sesaat keduanya kehilangan kata-kata.

"Lo, kok nggak dijawab? Biasanya diam itu punya dua arti lo, iya atau bukan. Kira-kira jawaban atas pertanyaan Mas tadi iya atau bukan?”

Lelaki itu menajamkan tatapan mata. Ada beribu tanya yang tersirat dari sorot hitam legamnya. Aira benar-benar kelabakan.
Mungkin ia tak bisa menjawab pertanyaan Hanif kali ini. Setidaknya sampai dirinya benar-benar bisa membaca perasaan dengan pasti.

"Aira ...?" panggil Hanif lembut.
"Ah, lupakanlah ... sebenarnya ada yang lebih penting yang akan Mas sampaikan sama kamu?"
“Mas mau ngomong apa?”
Hanif menarik napas panjang. “Mas mau melamar seorang gadis.”
“Apa, melamar? Emang, Mas Hanif mau ngelamar siapa?”

Lelaki itu menoleh ke arah Aira sambil tersenyum. "Mas namakan dia gadis bermata bidadari, dia cantik dan shalehah. Menurutmu, Mas bakalan diterima nggak, ya?”

Aira tersenyum hangat. “Insya Alloh, kalau yang ngelamarnya seperti Mas Hanif ini, Aira yakin bakalan diterima. Mas jangan ragu deh, segerakan jika tak ingin timbul fitnah?”
“Benarkah?”
“Iya, Mas Hanif.”
“Semoga dia tak menarik kata-katanya, “Hanif mengeluarkan sebuah kotak beludru dari saku celana,”Bismillah. Humaira ... maukah kamu menikah dengan Mas?”

Deg!

Aira tercengang. Seketika jantungnya seakan berhenti berdetak, cardiac arrest. Aira menarik napas cepat, mengembalikan aliran darah yang seolah ikut terhenti. Antara yakin dan ragu, Aira menelan saliva.

Bahagiakah dirinya? Atau sekadar tak menyangka bahwa setelah bertahun-tahun penantian panjang, akhirnya Hanif malah datang dengan sebuah lamaran?

"Mas Hanif, melamar Aira?"
“Iya, Mas melamar kamu menjadi istri Mas seumur hidup, maukah kamu menerimanya?”

‘Kenapa ini? Ada apa dengan hatiku?’gumam batin Aira.

Harusnya ia berbahagia, penantian panjang berbuah manis. Bukankah seorang gadis sangat menginginkan dilamar lelaki yang diincarnya bertahun-tahun. Tapi, ada apa dengan perasaan Aira? Benarkah cintanya telah berpaling? Sementara bertahun-tahun, ia sudah menghabiskan waktu untuk menyirami tunas-tunas cinta yang demikian besar?
Semudah itukah tunas tersebut mati, apakah tersebab oleh si empunya yang tak pernah menyirami, atau justru ada tanah lain yang terlihat lebih subur?
Aira mencoba untuk tersenyum, meski hatinya berkata lain. Dilihatnya Hanif membuka kotak berisi cincin berlian dengan permata biru di tengahnya, sangat indah dan elegant.

"Maaf jika lamarannya terkesan tidak formal. Sejujurnya, Mas ingin menyampaikannya pada acara malam ini, di hadapan kedua orang tua Mas juga ibumu, tapi Alloh berkata lain. Jika kamu tak keberatan, Insya Alloh besok, Mas akan minta orang tua Mas untuk bersilaturrahmi ke rumahmu," ucap Hanif dengan binar bahagia yang tak dapat ditutupi.

Mulut Aira masih menganga. "Emm ... Mas, Aira, sangat terkejut dengan lamaran Mas Hanif ini. Aira, tidak bisa menjawabnya sekarang. Beri Aira waktu untuk berpikir Mas?”
Hanif menghela napas. “Berapa lama?”
“Satu bulan.” Aira benar-benar bingung, apakah satu bulan cukup untuknya membaca perasaan sendiri. Namun, ia tak mungkin menangguh lebih lama.

Hanif memaksa untuk tersenyum. Tadinya ia begitu yakin lamarannya akan diterima. Namun, lelaki di swalayan itu ... mungkin, ialah menjadi penyebab terhambatnya lamaran ini. Atau bahkan pernikahan yang ia harapkan tidak akan pernah terjadi sama sekali. Entahlah.

Di luar, hujan turun semakin deras. Disaat dentingannya terdengar begitu menenangkan, namun dua sejoli itu nampak gelisah tak tenang. Ada harap yang berbeda yang teriring diantara tetes yang kian lama kian berderai.

Bersambung #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER