Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 26 September 2020

Ketika Duda Mencari Jodoh #3

Cerita bersambung

Jam kerja telah usai. Semua karyawan sedang bersiap-siap untuk kembali ke rumah masing-masing. Namun, seorang lelaki berkemeja batik tampak sibuk melirik ke luar jendela. Sesekali ia meneguk air mineral yang tinggal seperempat lagi di dalam botol.
Harapannya akan kehadiran seseorang tak kunjung terkabul.

Lelaki itu menghela napas, hingga tak satu orangpun lagi ada yang bersamanya, yang ia harap benar-benar tak menunjukkan batang hidung.

“Kemana dia?” Reza memasukkan kembali kartu yang ada di tangannya ke dalam laci.

Sambil meraih kunci mobil, ia menggeser layar ponsel, menerima panggilan telepon dari seseorang.

[Assalamualaikum, Mbak?]
[.................]
[Oke, aku kesana]
***

Embusan angin masih menusuk kulit. Sisa-sisa dingin tumpahan air dari langit semalam masih terasa membekukan aliran darah.

Aira meraih jaket menutupi tubuhnya yang sudah mengenakan seragam berwarna hijau. Seperti biasa, ia mengeluarkan motor matic kesayangan dan siap melaju menuju sekolah sang keponakan.
Tanpa terlupa, di sepertiga perjalanan, matanya selalu mengerling ke sebuah rumah yang terletak di pinggir jalan.
Mulut bisa saja menipu, tapi hati takkan bisa berdusta. Yang ia niatkan tempo hari untuk tak bertemu Reza memang ia lakukan, tapi untuk berhenti berharap akan melihat sosoknya, sampai detik itu tak dapat dipenuhi seutuhnya.
Masih saja ada harap yang tercipta, akan bisa melihat sosok Reza setiap hari, meski itu secara diam-diam.

Aira melambatkan laju motornya, ketika ia dapati dari rumah Reza keluar seorang perempuan cantik berpakaian syari. Tiba-tiba saja, dadanya bergemuruh hebat.
Rasa cemburu seketika menghujam palung hati. Sebuah rasa yang tak pantas, sebab antara dirinya dan Reza memang tak ada ikatan sama sekali. Lagipula, bukankah Hanif tengah menunggu kejelasan akan lamarannya tempo hari?
Namun, menolak rasa itupun seperti berharap bisa terbang dengan kedua tangan. Inikah akhir dari rindu yang berduyun-duyun di dada?

Aira bergumam dalam hati. “Mungkin dialah calon istri Mas Reza? Cantik sekali ... sangat pantas?” Ia mulai membandingkan wanita itu dengan dirinya.

Rasa penyesalan datang begitu saja tanpa diminta. Berbagai pikiran seakan dibisik untuk dijejer satu persatu. Aira bahkan ingin menertawai dirinya, yang pernah berharap suatu saat bisa melukis bahagia bersama Reza.
Matanya kini benar-benar berembun, jika tak memikirkan ada Abi di sisinya, ia sudah membiarkan tangisan itu berderai.
***

Malam semakin larut, setelah terbangun untuk shalat tahajud, Aira malah tak bisa lagi memejamkan mata. Ingatannya masih berkelebat pada perempuan cantik yang ia lihat tadi di rumah Reza.

“Apa benar perempuan itu calon istri Mas Reza? Bisa saja kan cuma seorang teman, kakak atau saudara?” Aira berusaha menepis perasaan buruknya terhadap Reza. Sesaat, ia melirik gamis pemberian Hanif yang tergantung di samping lemari.

“Maafkan Aira Mas. Aira ... mencintai Mas Reza,” ucapnya sambil menyeka sebulir kristal bening yang mengalir di pipi.

Gadis itu baru tahu, rasa rindu bukan saja merampas kesadaran, juga membuatnya ingin amnesia. Lupa segala dan hanya ingin mengingat yang dicinta seorang.
Untuk meredam gejolak itu, Aira bertekad akan menemui Reza esok hari. Bukankah membuktikan lebih baik, daripada memendam seorang diri. Berkata jujur lebih diutamakan daripada berkata dusta, benarkan? Aira berharap semoga esok ada petunjuk pasti akan jodohnya.
***

Pukul delapan pagi, Aira telah sampai di depan Bank tempat Reza bekerja. Untung hari ini ia off dinas, jadi bisa menuntaskan inginnya tanpa teringat ada pasien dalam tahap persalinan tengah menunggu.
Dengan busana syari polkadot kesayangan berwarna hitam, berdasar putih, Aira tampil anggun dengan sebuah  hijab instant menutupi dada. Senyumnya ranum menghiasi bibir. Ia sudah mengambil nomor antrian dan duduk di bangku paling depan.
Perlahan ia menarik napas, membayangkan sesaat lagi akan berhadapan kembali dengan lelaki pemilik ceruk di pipi kanan.

“Ehm, pertama, tanyakan ATM-nya dulu, setelah itu basa basi tanya perempuan kemarin.
Hufht ... kok jadi deg-degan gini, ya?” lirih Aira  sambil meremas-remas jemari tangan.
Aira masih menanti kehadiran CS yang duduk di bangku pertama. Sudah sepuluh menit berlalu, namun bangku itu masih terlihat kosong.

‘Nomor antrian dua, silahkan ke counter dua!” Aira menghela napas. Nomor antriannya telah disebut, tapi tidak untuk duduk di depan Reza. Melainkan di hadapan seorang wanita di counter dua.

“Silahkan duduk Mbak?”
Aira mengangguk dan menarik kursi untuk bisa menyandarkan bahu sejenak. Menahan rasa gugup ternyata lebih melelahkan dari menolong persalinan sehari semalam.

“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” tanya CS cantik pada Aira. Gadis itu terhenyak. Namun segera bisa mengendalikan situasi.

“Beberapa hari lalu, saya sempat meminta bantuan Pak Reza untuk memperbaiki ATM saya yang rusak. Tapi karena kesibukan, baru hari ini saya sempat datang untuk mengambil kartu itu. Pak Reza kemana ya, Bu?”
“Wah, Reza? Aduh coba saya telpon dulu ya. Nggak biasanya dia telat dan nggak kasih kabar?” Wanita di hadapan Aira tampak sedikit panik. Beberapa kali ia memencet nomor yang sama, namun selalu saja dijawab oleh call center.

“Kang ...?” Wanita itu memanggil seorang sequrity yang sedang berlalu di hadapannnya.
“Reza ada nelpon Akang nggak kasih kabar kalau nggak masuk atau apalah?”

Lelaki berpakaian seragam hitam putih itu menggeleng. Aira mengembuskan napas kasar, kembali pikirannya dirasuki bisikan-bisikan aneh. Sudah tentu yang terbesit tak lain mengenai dugaan bulan madu Reza.

“Kemana ya, anak itu?” gumam wanita di hadapan Aira, namun lirih suaranya masih bisa di dengar Aira dengan jelas, “apa jangan-jangan hari ini ia sedang akad nikah ya, kok nggak ngabar- ngabari?”
“Akad nikah? Ya Tuhan, ini kabar palsu atau asli?” Rasa getir kini mulai kembali memenuhi ruang hati Aira. Ia berusaha tetap duduk tegak meski yang ia dengar barusan, terlepas dari benar salahnya, sudah berhasil membuat tulang-tulang Aira lolos dari persendian.

“Oh, Pak Reza sedang cuti menikah ya, Bu?” Aira memastikan yang ia dengar barusan meski tiap kata yang keluar seakan mampu mengoyak dadanya.

“Eh, hehehe ... kali aja Mbak, ‘kan dia duda keren incaran banyak perempuan! Ih, owalah kok jadi ngomongin Reza. Gini aja Mbak, tinggalkan nomor handphone Mbak di kertas ini. Jika nanti Reza datang, saya suruh langsung hubungi situ ya, bisa?” jawab perempuan itu.

Aira hanya mengangguk lesu sambil menulis nomor handphonenya di notebook. Pias kecewa tergambar jelas pada raut wajah gadis itu.

‘Sekarang sudah jelas, cintaku bertepuk sebelah tangan.’

Aira menghidupkan motor maticnya, di balik helm yang menyelubungi seluruh kepala, ribuan air mata tak tertakar tumpah bak air hujan membasahi bumi. Meski tak mampu menghapus, namun cukup membuat luruh sesuatu yang terasa beku karena cemburu.
***

Siang itu sepulang Abi dari sekolah, Aira memberanikan diri bertanya perihal Reza, meski sejujurnya rasa malu tak dapat ia sembunyikan.

"Bi, teman kamu si Abhizar itu, sekolah nggak hari ini?"
"Owh Abi, udah lama dia libur, Bun."
"Oya?"
"Katanya sih keluar negeri, nggak tau deh kemana dan mau ngapain?"cerita Abi. Tangannya sibuk mengeluarkan bungkusan makanan yang ada di dalam tas.

Lagi-lagi, Aira hanya bisa menelan saliva. Ia tak bisa mencegah kegundahan yang semakin membuncah.

“Sudah! Harusnya aku berhenti berharap. Dia bahkan tak menghubungiku, padahal ATM masih di tangannya!” gerutu Aira, antara sedih dan kesal.

Tanpa basa basi ia berlari ke kamar, dan menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Perlahan tanpa ia sadari air mata berderai di tiap-tiap sudut.

"Ah, kenapa harus menangis?" Rasa cemburu tiba-tiba kembali membalut jiwanya, teringat akan wanita yang tempo hari pernah ia lihat di rumah Reza. Mungkinkah Reza dan wanita itu menikah?
"Bodoh sekali aku berharap lelaki itu datang menyatakan perasaannya," keluh Aira sembari mengusap airmata.
"Nduk, kamu kenapa?” tanya sang ibu sembari berjalan mendekat. Aira yang kaget akan kehadiran sang ibu segera mengusap wajah.

“Hanif menyakitimu?"
Aira memberanikan diri menoleh, ia ragu untuk menceritakan perasaannya. Karena jelas, ini bukan tentang Hanif. Tapi, memendam seorang diripun ia tak mampu.

"Aira ... tak bisa menerima Mas Hanif, Bu? Aira tidak menyukainya?” lirih gadis itu berucap, sang ibu tampak terkejut.
"Ada apa ini, Ra? Apa yang membuatmu tidak menyukainya? Dia tampan, kaya, kuat ibadah, lulusan Maroko? Kamu sadar nggak mau menolak lamaran siapa?”

Aira menunduk mendengar suara lantang sang ibu. Debar jantungnya terdengar hingga ke telinga.

“Nuwun Sewu, Bu. Tapi Aira terlanjur menyukai orang lain?” ucap Aira dengan suara yang bergetar.
“Siapa, duda yang baru sebulan kamu kenal itu? Astaghfirullah Ra ...?” Wanita di hadapan Aira menggeleng tak percaya.
“Bu, bukankah kita harus menikah dengan yang kita sukai? Aira menyukainya?”
“Oke! Apa dia juga menyukaimu? Apa dia melamarmu, seperti yang Hanif lakukan?”
Aira terdiam. Pertanyaan wanita itu seperti hendak membangunkannya dari tidur lelap.

“Kamu bahkan diam saat ibu bertanya seberapa seriusnya lelaki itu padamu? Atau jangan-jangan, cintamu bertepuk sebelah tangan?”

Aira masih bergeming. Mulai goyah dengan perasaannya sendiri.

“Aira ... Aira ... Ibu bukannya tidak setuju kamu menyukai lelaki manapun, tapi harus jelas siapa dan bagaimana sifat lelaki itu. Tapi, coba kamu pikirkan baik-baik, alangkah menyesal jika kamu jadi menolak seseorang yang sangat serius denganmu. Sebagai lelaki, Hanif itu nyaris sempurna. Jangan ragu lagi anakku, Ibu yakin kamu tidak salah memilihnya.” Sang Ibu berusaha meyakinkan putrinya. Aira menengadahkan wajahnya yang tertunduk.

“Buka hati kamu Aira, jangan ikuti perasaan yang salah, siapa tahu itu datangnya dari setan. Tapi ikutlah kebaikan. Boleh jadi sekarang kamu tak suka pada Hanif, tapi setelah bersama, rasa itu perlahan akan muncul dengan sendirinya. Saat itulah kamu akan menyadari, bahwa apa yang ibu katakan sekarang tidak pernah salah.”

Aira tergugu, perkataan sang ibu begitu menyentuh kalbunya. Ingin ia menyangkal keadaan, andai Reza datang melamar, tentu kebahagiaan akan sempurna.

"Nduk, dengar ya, memilih jodoh bukan seperti membeli baju, nampak dimata indah, cocok harga langsung beli. Memilih jodoh itu harus relevan, dilihat dari berbagai aspek, terutama agamanya,biar nggak menyesal nanti saat sudah bersama dalam membina rumah tangga?"
“Jika kamu menyayangi Ibu, terimalah lamaran Hanif. Hanya itu Ra, permintaan Ibu."

Wanita itu menggerakkan kedua tangannya untuk merengkuh sang anak. Aira sedikit lebih tenang, merasa ada kekuatan dan kepastian yang dialirkan sang ibu melalui dekapannya.
Meski ia tahu, rasa itu takkan bertahan lama. Karena sesungguhnya, ia goyah. Cinta untuk sang duda terlalu terpatri di dalam dada.

“Jika ini takdir-Mu ya Alloh? Hamba akan belajar ikhlas dan sabar. Meski diri ini yakin, dalam setiap sujud di sepertiga malam, hanya wajah lelaki itu yang selalu muncul ....”

Sepeninggal sang ibu, gadis itu perlahan bangkit. Menyirami mukanya dengan secuput air. Ia ingin menyenangkan ibundanya. Meski bahagia adalah taruhan.

Kini Aira mulai yakin, bahwa tak selalu yang datang dalam mimpi adalah pertanda jodoh. Begitu pula dengan Reza.

"Tapi Alloh, bisakah aku meminta? Pertemukanlah kami kembali?"

==========

Hanif dan keluarga telah sampai di rumah Aira tepat pukul sembilan pagi. Ibunda Aira sempat kaget dengan banyaknya hantaran, yang dibawa calon besan itu. Berkali-kali ia mewanti-wanti agar Aira tak mengecewakannya dan orang tua Hanif.

Sementara itu di kamarnya, Aira tampak mematut diri di depan cermin. Tubuhnya yang semampai kini telah berbalut gamis syari berwarna putih. Sebuah selendang warna senada menjadi pelengkap keanggunan gadis itu.
Suara derit pintu kamar memalingkan pandangan Aira. Sang ibu masuk  untuk menuntunnya keluar. Dari kejauhan, ia dapat melihat lelaki yang sesaat lagi akan melamarnya tampil begitu mempesona, dalam balutan koko putih lengan panjang dipadu celana katun berwarna hitam, lengkap dengan kopiah warna senada. Lelaki itu terlihat begitu sempurna dan berkharisma.
Aira berjalan perlahan dan duduk di hadapan kedua orang tua Hanif. Setelah membuka percakapan, acara sakral itu memasuki tahap lamaran.

"Saya rasa anak-anak kita sudah saling membicarakan perihal kedatangan kami kemari. Saya selaku orang tua Hanif hanya akan memperkuat apa yang sudah ia sampaikan tempo hari. Besar harapan kami, agar Ibu dan Nak Humaira bisa menerima niat baik ini?”

Aira menarik napas panjang, mengatur ritme jantung yang semakin kencang. Melihat raut wajah ibundanya yang penuh harap, tidak ada kata lain yang ingin ia ucapkan. Hanya pengorbanan yang bisa ia beri, untuk membalas segala kasih sayang wanita itu untuknya selama ini. Ia sempatkan melirik calon suaminya sesaat.Tenang, seperti biasa.

"Bismillahirrahmanirrahim ... Aira sangat bahagia atas kedatangan Ibu, Bapak dan Mas Hanif di rumah kami yang sederhana ini. Sudah sebulan, Aira menimbang sembari bermunajat pada Alloh mengenai jodoh.
Pada akhirnya, Aira mendapatkan sebuah keputusan yang mantap. Aira harap semua bisa berbahagia dengan keputusan ini."

Raut wajah Aira tak dapat dibaca sempurna oleh Hanif. Ada rasa takut yang tiba-tiba mendera, teringat akan pemuda yang pernah ia temui di swalayan sebulan yang lalu. Hanif menarik napas panjang, ia sudah mempersiapkan diri apapun nanti yang akan diucapkan Aira.

"Mas Hanif.” lelaki itu terlonjak mendengar Aira memanggilnya, ”Aira ... bersedia untuk meneruskan hubungan ini, semoga Alloh memudahkan segalanya."
"Alhamdulillah ...." Terdengar sahutan dari semua yang ada di ruangan itu.
"Aamiin ... In syaa Alloh, Humaira. Terima kasih."

Hanif menelungkupkan kedua tangan ke wajah. Terlihat begitu lega, tak merasa sia-sia penantiannya sebulan ini. Ia menatap Aira, gadis itupun tak sengaja menoleh, hingga tatapan mereka bersiborok.

Hanif tersenyum sembari mengucupkan kedua tangannya. Aira hanya membalas sikap itu dengan mengangguk. Datar, ia tak menunjukkan sikap bahagia, namun tak pula bergeming nestapa.

Sebuah takdir yang sudah tertulis di Lauhul Mahfzud, hari ini kembali terjadi. Dua keluarga akan bersatu dalam ikatan pernikahan.
Keluarga Hanif hanya memberi waktu dua minggu untuk mempersiapkan resepsi.
Meski terkesan mendadak, namun ibunda Aira menyetujui. Tak ingin mengulur waktu jika kata sepakat sudah tercipta.

Senyum bahagia terkembang di bibir tiap-tiap insan di rumah itu. Hanya Aira yang tersenyum membawa sesuatu yang berbeda.  Jiwanya memang ingin memberontak, tapi akalnya membisikkan sesuatu, sabar. Ia hanya harus belajar meyakini diri, bahwa setelah resepsi pernikahan di gelar dan malam pertama terlewati, hanya Hanif yang akan menari-nari di pikiran, tidak untuk yang lain, apalagi Reza.
***

"Esok udah nggak boleh lo ngantar-ngantar Abi lagi, kamu harus masuk masa pingitan Aira." Ibunda Aira menmperingati anaknya untuk kesekian kali.
"Iya, Bu. Aira janji hari ini terakhir Aira ngantar Abi."
"Klinikmu itu juga, mbok ya ditulis kata tutup, biar pasien pada tahu kalau kamu itu mau nikah."
"Nggih, Bu."
“Kerja juga udah cuti,'kan?"
"Nggak bisa dulu Bu, paling bisa ambil cuti seminggu sebelum resepsi?"
"Huft, jaman sekarang memang sudah kebalik. Kalau dahulu masa ibu nikah, nggak ada yang bisa membantah dan menolak masa pingitan. Tapi kalau sekarang, mau dipingit aja sibuk mikir kerjaan?"

Ibunda Aira mendengkus kesal. Sebelum akhirnya berlalu keluar kamar tanpa bicara lagi. Gadis itu mempercepat gerakan, tak ingin Abi terlambat sampai sekolah.
***

Aira melajukan motornya sedikit pelan, ingat pesan ibu untuk berhati-hati. Ditengah perjalanan, matanya membelalak saat melihat sebuah bendera merah terpasang di depan rumah Reza.

"Bendera merah pertanda orang meninggal bukan, ya ?" tanya Aira tanpa sadar.

Abi yang mendengar pertanyaan itu menoleh seketika, "mana Bun?"
Aira menunjuk halaman rumah teman Abi yang sudah dipenuhi para tetangga. Beberapa mobil sudah terparkir di dalam dan luar pagar.

"Kita singgah dulu ya?" Aira berucap lirih. Ia memberhentikan motor dan memarkirnya di sisi jalan.
Meski sedikit sungkan, ia beranikan diri memasuki halaman rumah berlantai dua itu. Semua mata tertuju padanya saat mereka berdiri di depan pintu utama.
Melihat Reza yang tengah duduk di samping sebuah jenazah yang sudah di tutupi kain kafan, Aira terperanjak.
Kekagetannya tak sampai disitu, matanya memanas melihat wanita yang tampak di rumah Reza sebulan lalu, duduk sangat berdekatan dengan lelaki duda itu.
Aira membalikkan badan, hendak meninggalkan rumah duka jika saja sebuah suara tak menghentikan langkahnya.

"Aira ....!"

Gadis itu menoleh, sebelah tangannya masih menggenggam tangan sang keponakan.
Reza sedikit berlari menghampir gadis itu. "Sudah lama tak bertemu," ia menatap Aira lama, seolah begitu merindukannya, "masuklah dulu."

Lelaki itu menggandeng tangan Abi, membuat Aira tak punya alasan untuk pergi. Ia ikuti langkah Reza melewati kerumunan manusia yang tengah mendegungkan ayat suci.
Aira duduk bersebelahan dengan wanita cantik yang tempo hari sempat membuatnya cemburu. Wanita itu tersenyum, dan menjabat tangan Aira hangat.

Senyap, tak ada suara selain lantunan ayat-ayat pengantar jenazah menuju liang kubur. Aira tak beranjak, ia tak ingin meninggalkan Reza tanpa ada penjelasan siapa sebenarnya jenazah yang sudah tertutup kain kafan.
***

Pemakaman telah selesai, hampir tengah hari kala itu. Aira sudah menghubungi guru kelas Abi, meminta ijin karena keponakannya tak berhadir  ke sekolah. Usai pembacaan doa yang di pimpin seorang Ustadz, satu persatu pelayat mulai meninggalkan pemakaman.
Kecuali Reza, Abhi, seorang lelaki bertubuh tegap dan wanita cantik yang belum ia ketahui namanya.
Aira dan Abi berdiri di sisi kiri. Menyadari pemakaman telah sepi, gadis itu berbalik, hendak berlalu pergi. Meski di hatinya ada tanya yang belum tertuntaskan. Tapi tentu menuntaskan hal itu saat ini bukanlah waktu yang tepat.

Belum dua langkah ia bergerak, lelaki yang masih berjongkok di samping kuburan ikutan bangkit dan berjalan mendekatinya.

"Aira?" Reza memanggil Aira hingga langkah gadis itu terhenti..
"Bisa kita bicara sebentar?"

Aira bergeming, sesaat menoleh ke arah wanita yang tengah menyirami gundukan tanah dengan air bunga. Wanita itu sedikit tersenyum, seolah mengisyaratkan keizinan.

"Sebentar saja?" ulang Reza.
"Baik?"
"Abi mau nggak main sama anak Om sebentar?" rayu Reza pada Abi yang masih menggandeng tangan Aira.
“Ya, Om.” Bocah itupun berjalan mendekati sahabatnya yang duduk di sisi pemakaman.

Semenjak kejadian tertukar rapot, kedua bocah itu menjadi sangat akrab. Tak segan, Abi bermain di rumah Abhi sepulang sekolah, terutama jika Aira tak bisa menjemput.

"Maaf baru memberitahumu, yang dikubur itu, ibuku." Reza mengajak Aira duduk di sebuah kursi panjang di sebelah kanan pemakaman.
Sebuah pohon Kamboja, sedikit menutupi keduanya dari terik mentari yang menyengat siang itu.

“Apa?” Aira begitu kaget mengetahui siapa yang sedari tadi ia ikuti proses pemakamannya. Jika saja ia tahu dari awal, tentu lebih khusuk ia melangitkan doa buat wanita yang sudah berpulang ke Rahmatullah itu.

"Kira-kira sebulan yang lalu, tepatnya pagi saat saya mau berangkat kerja. Mbak Elsa datang membawa kabar tentang vonis penyakit yang di derita ibu kami. Kakak kandung saya itu meminta saya menyetujui agar ia membawa Umi berobat ke Singapure. Barangkali ada jalan kesembuhan disana, namun semua takdir sudah ditetapkan Alloh. Sebulan dirawat, ibu bukan semakin membaik, malah semakin drop dan akhirnya mengembuskan napas terakhir di negara itu."

Kelu. Lidah Aira seakan tak mampu bergerak, meski hanya untuk menelan ludah. Wanita yang sempat ia kira istri baru Reza itu ternyata, adalah kakak kandungnya?
Rasanya ingin ia memaki-maki diri sendiri, kenapa begitu mudahnya bersu'uzan, tanpa mencari bukti lebih akurat. Seketika itu pula hatinya goyah, merasa ada yang salah dengan keputusannya kemarin, soal lamaran Hanif!

"Ya, Tuhan ... kenapa hati ini begitu sakit?" Aira membatin. Ia memilih kembali menunduk, menutupi raut wajahnya yang menyiratkan kepedihan teramat sangat.

"Selama disana, saya selalu dihantui rasa takut akan kehilangan dua hal ...,“ lanjut Reza masih dengan pandangan nanar ke depan, “pertama, saya sangat takut kehilangan ibu, dan kedua, saya juga takut kehilangan ... kamu!"
Aira tersentak kaget. “Jadi, benarkah keyakinanku selama ini, bahwa Mas Reza ...? Astaghfirullah.”

Aira memejamkan matanya yang tiba-tiba memanas, berharap buliran bening yang mulai mengenang di pelupuk mata, tak berderai di hadapan lelaki itu.

"Maaf Aira, terdengar sangat tidak bijaksana menyatakannya saat ini. Tapi, saya takut akan menyesal jika terus memendamnya seorang diri?" Kini Reza memberanikan diri menatap gadis itu. Hanya sejenak saling bertatapan sebelum kemudian Aira menyadari suatu hal, dirinya telah bertunangan. Gadis itu seketika menunduk.

"Saya ingin melamar kamu Aira?" ucap Reza lirih.
Aira tercengang, kalimat yang diuatarakan Reza barusan, pernah menjadi harap haru baginya. Namun, tidak untuk sekarang. Dimana pintu hatinya haruslah sudah tertutup.
Bukankah tak halal menawar dagangan yang telah ditawar saudara? Dan dirinya, adalah barang yang sudah dipinang seseorang, yang harusnya terbungkus dan siap dikirim ke pembeli.

“Ya Alloh, bimbinglah langkah rapuh ini ...?”

Sejenak nestapa merajai hati gadis itu. Aira mengerjap berkali-kali. Menahan bulir-bulir bening yang terus mendesak keluar. Rasanya begitu sakit, mengetahui perasaan Reza padanya disaat tak ada lagi harapan untuk menyambut rasa itu.
Andai bisa mengukir kembali takdir, tentu ia akan meminta pada Rabb. Demi lelaki yang selalu ada tiap kali dirinya menengadahkan tangan. Agar kejadian ini berlangsung lebih cepat, setidaknya sebelum ia memberi keputusan kepada Hanif kemarin. Tapi demi apapun, itu hanya impian yang tak pernah terwujud.

"Maaf, Mas reza ....” Aira memberanikan diri berucap, meski dengan suara lirih bergetar, “Aira... sudah dilamar, Mas."
"Astaghfirullah! Maaf ...!” Reza menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi. Ia merahup muka dengan kedua tangan.

Kenyataan yang ia takutkan benar terjadi. Gadis idamannya telah bertunangkan lelaki lain.

“Saya terlambat. Jadi ... kapan pernikahannya berlangsung?” Sekuat tenaga ia berusaha tetap tegar. Meski kecewa menyelimuti seluruh relung hatinya.
"Dua minggu lagi, Mas.”

Reza kembali menarik napas dalam. Hanya bisa pasrah, tanpa bisa berbuat apa-apa lagi.

"Humaira ... itu namamu bukan?"
"Iya." Aira mengangguk tanpa menoleh. Tak sanggup jika harus bertemu pandang dengan bola kelam lelaki itu.
"Tolong lihatlah saya," pintanya penuh harap. Awalnya Aira ragu, tapi akhirnya gadis itu menuruti kata hati, melawan nurani. Hanya hitungan detik, Reza mampu membaca apa yang tersirat dari beningnya mata gadis yang ia cintai.
Bahkan ia mampu membaca kedalaman rasa hingga membuat dadanya terasa di tusuk belati tertajam, menembus hingga membuat jantungnya berhenti berdetak.

Aira membuang pandangannya. Reza tahu, bahwa gadis itu juga mencintainya, namun ini adalah salahnya. Dia terlambat.

Reza membuang napas kasar. "Pulanglah, saya sudah mendapatkan jawabannya. Maaf jika membuatmu terganggu."

Aira memejamkan matanya. Sungai yang membendung hampir meluap. Dengan segera gadis itu bangkit dan hendak menjauh. Namun, lagi-lagi suara Reza meluluh lantakkah perasaannya.

"Oya, selamat atas pernikahanmu, semoga kalian berbahagia!"

Aira berhenti melangkah, namun kali ini ia tak ingin menoleh. Seperti mengangkat berton-ton bongkahan batu yang dililitkan di kaki, sungguh sulit, namun ia tahu itu adalah rasa yang harus ia bunuh mati.

Bersambung #4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER