Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 27 September 2020

Ketika Duda Mencari Jodoh #4

Cerita bersambung

Hanif membuka satu persatu surat lamaran pekerjaan yang tersusun rapi di atas meja. Seminggu belakangan, ia sibuk mempersiapkan segala sesuatu menyangkut pernikahan, hingga dirinya tak sempat mengunjungi pondok pesantren yang sudah rampung ia dirikan. Kini, satu-satunya tugas yang tersisa adalah, menyeleksi guru ilmu salaf.
Di antara sekian banyak lamaran yang ia buka, matanya sempat membeliak ketika sebuah foto seorang gadis berhijab merah muda tersenyum dengan manis ke arahnya.
Ia bahkan tak percaya, jika gadis itu bernama 'Raudhatul Muna'.

Dengan segera Hanif membuka sampul berwarna biru itu. Meski dalam dada, desiran hebat hampir tak mampu ia bendung.

"Subhanallah ...." Hanif menghempaskan tubuhnya di sandaran kursi. Ia benar-benar tak menyangka akan bertemu kembali dengan gadis itu. Gadis yang pernah menolak lamarannya empat tahun silam.

"Muna, kenapa dia ada di kota ini?" desah Hanif penuh tanya. Ia tatap lekat foto yang tertempel dibagian depan map. Senyum gadis itu, seakan benar-benar nyata.

"Jika kamu tahu aku seperti sekarang, menyesalkah karena kau pernah menolak lamaranku dulu?" Sisi lain hati Hanif mulai mengacau pikirannya. Ya, kenyataan dulu memang dirinya tak seperti sekarang, sukses dalam segala hal.
Bukankah setiap orang pernah berada pada situasi yang buruk? Saat kenyataan bertolak belakang dengan harapan, beberapa kali mengikuti persidangan dan tak lulus-lulus, membuat Hanif hampir putus asa. Tapi dirinya tak menyerah. Hanya penolakan Munalah yang membuat ia benar-benar terpuruk.
Namun, semua sesuai kehendak Alloh Yang Maha Pemurah, ketika hati sudah menyatakan ingin berhenti, disaat itu pula ia mendapat bonus dari Alloh. Hanif dinyatakan lulus pada pendidikan sarjananya, bahkan tak lama setelah kelulusannya, iapun dinyatakan lulus pada tes S-2 di Dar Al Hadist Al Hassania, Maroko.

Pertemuannya dengan Aira sedikit mengobati kekecewaan lantaran ditolak oleh gadis bernama Muna tersebut. Hatinya yang sempat berantakan, perlahan menemukan kembali keceriaan. Apalagi ketika sesekali ia pulang ke Indonesia dan bertemu dengan Aira. Gadis itu, meski tak seperti Muna tapi cukup kuat inner beauty yang terpancar darinya. Cantik, smart, ikhlas menolong, meski sedikit manja dan pemalu. Itulah Aira dimata Hanif.
Hanif tersenyum tipis mengingat betapa hatinya jatuh cinta pada sosok Muna yang cerdas lagi suka berdakwah.

Saat ini, entah harus bahagia atau sebaliknya, Hanif hanya akan membiarkan takdir berjalan sebagaimana mestinya. Apapun kenyataan yang akan terjadi, pernikahannya dengan Aira tetap harus berlangsung.

“Itu adalah doaku,” lirih Hanif pelan.
***

Sebuah mobil pribadi berhenti di halaman butik ternama di kota Tangerang. Aira turun bersama sang ibu untuk fitting terakhir pakaian pengantinnya. Kedatangan mereka disambut ramah oleh seorang desainer perempuan bernama Mykaila. Wanita berusia kira-kira empat puluh tahunan itu masih kerabat dekat keluarga Hanif.
Mykaila menyapa Aira dan ibunya dengan ramah, kemudian menuntun ibu anak tersebut untuk masuk ke sebuah ruangan yang dipenuhi pakaian pengantin beraneka corak. Setelah membantu Aira mengenakan pakaian pengantinnya, wanita itu mulai mengukur dengan seksama, andai saja masih ada bagian-bagian yang kelihatan kurang indah di tubuh jenjang pelanggannya.

"Sempurna!" ucap desainer itu puas akan jahitannya sendiri.

Aira mengulas senyuman. Ia kini mematut diri di depan cermin besar berukiran mawar. Kebaya berwarna putih dengan taburan mutiara itu tampak indah di tubuhnya.

“Cantik sekali Aira. Kamu akan menjadi pengantin tercantik Hanif,” ucap Mykaila memuji customer yang sesaat lagi akan berkekerabatan dengannya. Ibunda Aira  juga ikut  berdecak kagum.

“Saya tinggal ke ruangan sebelah, ya?” ucap desainer itu sembari menggandeng tangan ibunda Aira. Meski baru pertama bertemu, Mykaila begitu mudah mengakrabkan diri.

Sepeninggal dua wanita tadi, Aira kembali berbalik, menatap sosoknya yang begitu anggun dalam balutan gaun pengantin.
Perlahan ingatan akan sosok lelaki yang ia harap akan menggandeng tangannya di hari pernikahan nanti, membesit di kepala. Aira menunduk, tiba-tiba saja matanya kembali terasa berat.

“Inikah pernikahan yang kata orang begitu membahagiakan?” sebut Aira dalam hatinya. Ia mengusap sebulir bening yang jatuh bebas di sudut mata. Sejenak menengadahkan kembali wajah dan berniat untuk melepaskan pakaian itu.
Namun, matanya membelalak. Benarkah yang ia lihat di belakang? Sosok lelaki yang tadi membuat mata Aira basah tengah berdiri gagah, menyeimbangkan diri, agar posisinya bisa bersebelahan dengan Aira di pantulan cermin.
Lelaki itu  mengenakan jas hitam, cocok sekali dengan gaun yang ia kenakan saat itu. Lebih tepatnya mereka terlihat seperti sepasang pengantin.

Sepersekian detik kedua pandangan mereka saling bertemu di cermin.

Deg!

Seakan kedua jantung serempak berhenti berdetak di waktu bersamaan.

"Kamu cantik!" ucap lelaki itu dari kejauhan.
Aira memicingkan matanya, "Mas Reza?"

Reza tersentak, tersadar akan yang baru saja terucap adalah sesuatu yang tak wajar, memuji calon pengantin orang. Lelaki itu sangat menyesali ucapannya. Ia segera membelakangi Aira, bermaksud meninggalkan ruangan tersebut. Namun, teguran Aira berhasil menggagalkan langkah Reza.

“Mas Reza kenapa disini?”

Reza berdiri kaku sambil menarik napas panjang. ‘Kenapa harus menghindar? Bukankah aku sudah melupakannya?’ yakin Reza pada diri sendiri.

“Saya ... ingin bertemu dengan pemilik butik ini,” ucapnya sambil kembali menghadap Aira.
“Mas Reza kenal sama Mbak Mykaila?”
“Beliau adik ibu saya.”
Aira tersenyum. “Ternyata dunia ini begitu sempit ya, Mas. Adik Ibu Mas Reza itu saudara Mas Hanif?”

Reza tersentak mendengar penuturan Aira.

"Hanif? Wajahnya begitu berbinar menyebut calon suami,” batin Reza berkata. Ia semakin menajamkan pandangan. Aira yang mulai tersadar dengan ucapannya, segera mencari pertanyaan lain untuk mencairkan suasana.

“Mas Reza mau fitting baju jugakah?”
“Buat apa fitting baju, calonnya saja menikah dengan lelaki lain?” jawabnya ketus.

Mendengar jawaban yang diutarakan Reza, wajah Aira seketika tertunduk pasrah.

 ‘Harusnya tadi aku tak menanyakan hal itu?' Aira membatin. Sementara di hadapannya, lelaki yang tadinya hendak beranjak pergi justru bergerak mendekat.
Jantung Aira semakin berdegup kencang saat mendapati langkah itu kini terhenti dua jengkal dari posisinya. Aira tak berani menengadah, ia hanya mampu menatap sesuatu yang sejajar dengan penglihatan.
Dada bidang yang terbungkus jas hitam yang rapi. ‘Andai dada ini tempatku bersandar kelak?’
Ada sesuatu yang berhasil membuat dadanya terasa begitu perih. Berada sedekat itu dengan sosok yang sangat ia cintai, namun jelas tak dapat dimiliki rasanya seperti mengemis pada orang fakir.
Reza menekukkan wajah, mensejajarkan penglihatan agar Aira bisa membalas tatapannya.

"Ya Alloh, kenapa wajah ini ada di hadapanku?" Aira meracau dalam hati. Ia ingin berpaling dan pergi menjauh, namun kenapa langkahnya seakan di betot dengan kuat. "Salahkah Alloh jika mata ini menatapnya sejenak?"

Perlahan tanpa Aira sadari, kelopak matanya mulai digenangi air. Bibirnya bergetar menahan agar genangan itu tak membanjiri wajah.
Namun sekuat apapun usaha, buliran itu tak lagi terbendung.
Reza terhenyak mendapati pipi Aira yang mulai dihujani air mata.

‘Benarkah gadis ini menangis karenaku? Oh Alloh ...’
“Hei? Kamu kenapa menangis?”

Ia menggerakkan tangan hendak mengusap bulir bening yang mulai bertetes di pipi gadis manis impiannya. Namun, Reza tahu, dirinya tak berhak melakukan hal itu. Hanya selembar tissu yang yang kini mengarah ke hadapan gadis itu.

"Sepertinya Tante Mykaila tahu jika saat fitting baju, banyak gadis yang akan menangis bahagia.” Reza berusaha bersikap garing.

Sejujurnya ada sesuatu juga yang berhasil mengiris-iris kulitnya sepanjang deraian air yang mengalir di pipi Aira.

Gadis itu menengadah. “Siapa yang menangis bahagia?” lirihnya dalam hati sambil meraih tissu dan mengusap wajah.

“Makasih.”
“Jangan menangis lagi, ya? Jika kamu menangis, ada seseorang yang juga akan ikut menangis.” Reza menarik napas sejenak, “tersenyumlah, karena jika kamu tersenyum, banyak orang yang akan bahagia. Termasuk saya.”

Aira tergugu. Betapa istimewanya lelaki itu, tapi ia hanya bisa mengikhlaskan, siapapun kelak yang akan bahagia hidup bersamanya.
Sekali lagi Aira memberanikan diri mencuri pandang menatap Reza yang justru membuang pandangan ke arah lain. Gurat ketampanannya begitu memancar, membius penglihatan Aira. Ia benar-benar tertegun akan Maha Karya Alloh yang nyaris sempurna itu.

“Astaghfirullah ....”

Diantara pikiran yang tengah membalut jiwanya, terdengar sebuah suara yang membuat Aira seperti lupa cara bernapas.

“Ibu?”

Wanita itu berjalan mendekati Aira. Dengan penuh tanya ia menoleh ke arah lelaki yang berdiri di samping anaknya. Reza membungkukkan tubuh, memberi hormat pada wanita yang sangat ia harap bisa menjadi mertuanya itu, dahulu.

"Kamu teman kerjanya Aira?" tanya Ibunda Aira dengan sorot mata tajam.
"Bukan, Bu. Saya Reza, saya ayahnya teman Abi, cucu ibu."
"Owh yang rapotnya ketuker itu, ya?"
Reza mengulum senyuman. "Benar, Bu.”
"Seminggu lagi Aira akan menikah. Kalau ada luangan waktu, datanglah bersama keluarga."
Reza bergeming sejenak, melebarkan dada untuk sesuatu yang begitu memerlukan keikhlasan. "Insya Alloh, Bu."
"Ya sudah, Ayo kita pulang Ra. Tidak baik seorang gadis yang hendak menikah bersama lelaki lain di tempat umum," ucap sang ibu sembari menarik tangan anak gadisnya.

Reza terhenyak. Perkataan ibunda Aira seakan menampar kuat angan-angan yang pernah ia bangun."Selamanya kamu hanya sebatas harapan. Mencintaimu seperti mendaki gunung tanpa puncak. Sekuat apapun usahaku, tetap takkan membuahkan hasil. Aku akan menjauh darimu, Aira. Semoga ini adalah cara terbaik membunuh rindu yang tak bertuan?
***

"Janjiku, setelah ini aku tidak akan pernah lagi menemuimu, sengaja atau tidak. Jika janji itu telanggar, maka aku bersedia mengiris tangan sebagai bukti, bahwa aku bersungguh akan melupakanmu."

==========

Reza menatap sebuah undangan berwarna keemasan yang tergeletak di atas meja. Matanya sibuk memperhatikan lengkung-lengkung huruf yang dituliskan dengan tinta warna hitam. Jemari tangan terus saja menutar-mutar sebuah bolpoin.
Seorang wanita yang tak lain adalah kakak kandungnya melintas di balik pintu. Langkahnya terhenti saat melihat adik semata wayangnya itu duduk sembari termenung. Elsa masuk untuk menghampiri.

"Eh, ada duda patah hati rupanya?" Sang kakak mencoba menggoda. Reza bergeming. Hatinya tengah bergemuruh hebat, kehadiran sang kakak malah membuat gemuruh itu semakin menjadi badai.

"Siapa yang patah hati? Nggak ada ah." Reza membantah guyonan sang kakak.
"Itu, duduk melamun ngelihatin undangan pernikahan, apa lagi kalau bukan patah hati namanya?"
"Ck. Ini namanya merenung."
"Ih, membantah. Udah, buruan samperin. Terakhir kali lho, tar nyesel!" ucap Elsa seolah tahu perasaan adiknya.

Wanita itu bahkan sudah bisa membaca perasaan cinta sang adik pada gadis bernama Aira, sejak pertama kali bertemu.
Reza merenung sejenak, otaknya terus berputar sambil mencerna situasi dan perasaan hati. Tak lama, iapun bangkit. Membuka laci dan mengambil sebuah kotak yang sudah terbungkus indah.

"Makasih ya, Kak," ucap Reza pada wanita di hadapannya.
"Hu um. Sukses yah! Hihihi ...." sahut Elsa sembari berusaha menutupi senyuman.

Kini lelaki itu sudah dibalik kemudi. Tekadnya untuk menemui Aira terakhir kali sudah bulat, ia akan menyerahkan sesuatu yang sudah lama ada padanya, dan bahkan mungkin Aira pun sudah tak mengharapkannya lagi.
***

Hanif tengah disibukkan oleh beberapa perias pengantin yang sedang mencoba memakaikan beberapa aksesoris di tubuhnya.
Acara akad nikah hari itu memang akan diadakan di rumah Aira, setelahnya dilanjutkan resepsi yang akan dihelat di ballroom sebuah hotel mewah di Kota Tangerang.

Sebuah pesan whatshapp masuk ke ponselnya. Ia mencoba membuka pesan tersebut. Dari semalam tak terhitung berapa banyak pesan yang masuk untuk sekadar mengucapkan selamat.
Namun, kali ini melihat layar ponsel persegi di hadapannya itu, mata elang Hanif membelalak. Deraian kebahagiaan menghujam tubuhnya.

[Barakallahulakuma Wabaraka ‘Alaikuma Wajam’a Bainakuma Fi Khair. Selamat menempuh hidup baru Mas Hanif, semoga SAMARA]

Hanif mengucek-ngucek kelopak matanya, tak yakin dengan apa yang ia baca barusan. Ia memang sempat menghubungi gadis itu kemarin, menyampaikan perihal penerimaan lamaran kerja sekaligus mengundang pada pesta pernikahannya.
Namun pesannya tak ditanggapi. Kenapa hari ini tiba-tiba rendah hatinya mengirimi pesan?

[Terima kasih. Kehadiranmu sangat diharapkan] balas Hanif.
[Maaf. Jangan terlalu berharap]

Hanif tak menyangka gadis itu mengirim whatshapp balasan yang ... membuat ingatannya terlempar pada empat tahun silam. Ia mengembus napas kasar. “Salahkah aku meloloskan lamaran pekerjaannya kemarin?” lirihnya.

Muna mencari pekerjaan, berarti sangat membutuhkan. Itulah yang sekilas tergambar di benak lelaki berjambang tipis itu. Dan tentu ia harus mengutamakan seseorang yang ia kenal, terlebih yang pernah begitu berarti, dahulu.
Tapi kenyataan bakalan setiap hari berhadapan dengannya, membuat hati Hanif mulai goyah. "Akankah aku bisa menjaga cinta untuk Aira?"

Hanif menggeleng-gelengkan kepala, wajah Muna seakan menari-nari di dalam benak. Sejujurnya ia ingin mengakhiri berkirim pesan itu, namun sisi lain hatinya berkata jangan. Sekurang-kurangnya ada kata penutup, supaya tidak terkesan sombong.

[Ya sudah] balas Hanif.

Lelaki itu menatap sejenak layar ponselnya, namun notif yang nampak dilayar 'Muna sedang mengetik balasan'. Hanif urung menutup ponselnya dan menanti balasan wa sang gadis.

[Saya akan hadir, sebagai ucapan terima kasih telah menerima lamaran pekerjaan saya tempo hari] ditambah emoticon senyum.

Kedua sudut bibir Hanif terangkat. Entah kenapa kebahagiaan seperti berlipat ganda memenuhi dadanya. Benarkah kebahagiaan itu tersebab mampu membaca aura cemburu Muna akan pernikahannya dengan Aira?
***

Humaira masih bergeming di depan kaca. Bayangan dirinya yang telah berbalut kebaya putih nampak begitu anggun di pandangan. Hijabnya yang berwarna putih dibiarkan menjuntai di bagian depan dada. Terlihat sangat memukau dengan tambahan flower crown berwarna silver.
Namun, siapa sangka jika wajah bak bidadari itu, tak menyiratkan kebahagiaan layaknya gadis-gadis lain di hari pernikahan mereka.
Siapapun yang menatapnya, tentu akan menemukan kehampaan dari sorot mata yang kuyu.
Pernikahan ini buatnya ibarat membangun istana di atas pasir. Setiap waktu bisa saja ombak kandaskan kekokohannya. Begitu pula dengan hati Aira, teramat mudah diombang-ambing, lantaran pegangan yang ia gunakan tak sekuat karang.

Sepanjang malam, Aira tak bisa tidur. Ia terus memikirkan dan berusaha menemukan cara untuk menghapus bayangan Reza. Namun, semakin kuat usahanya, justru rasa sakit itu semakin kentara.
Aira terhenyak, ia menyadari pintu kamarnya yang tak tertutup rapat perlahan terbuka. Sementara diluar, riuh suasana masih begitu terasa.
Nampaknya belum ada arahan tentang sampainya rombongan pengantin pria.

Aira menatap sosok yang kini berdiri di depan pintu kamar. "Kak Hanna?" Wanita yang terpaut umur dengannya tiga tahun itu berjalan mendekat. Ia baru tiba dari Kuala Lumpur tadi malam.

"Kamu manglingi, Ra?" puji sang Kakak," makasih ya, selama ini kamu udah jagain Abi?"

Aira mengangguk kemudian memilih menundukkan wajah. Menyadari sikap Aira yang tak biasa, sang kakak meraih jemari tangan adiknya seraya berkata,"kamu kenapa?"
"Kak?" Suara Aira terdengar serak, berusaha mencegah air matanya yang hendak berderai. Sang kakak kebingungan. Namun sedikit banyak bisa merasakan apa yang tengah melanda adik semata wayangnya itu.

"Kamu, nggak menginginkan pernikahan ini?"

Aira tak menjawab, ia hanya memejamkan mata sambil kembali menunduk. "Astaghfirullah, Sayang... Kakak nggak tahu apa masalahnya. Tapi seorang wanita harus berbahagia dihari pernikahan mereka. Sebab menikah bagaimanapun, harusnya sekali seumur hidup, jangan seperti pernikahan Kakak."

Aira menengadah.
“Kamu mencintai Hanif ‘kan?”
Aira masih bergeming.

“Yang Kakak dengar dari Ibu selama ini, kamu menolak lamaran banyak lelaki demi Hanif?”

Aira menelan saliva. Memang benar yang diucapkan Hanna. Tapi itu sebelum ia mengenal Reza.

Hanna menarik napas. "Ra, pernikahan itu adalah janji suci, yang diikrarkan di hadapan Alloh. Bukan suatu hal untuk dicoba-coba. Maka sebelum proses pernikahan berlangsung, Islam menganjurkan calon pengantin untuk ta'aruf. Mengenal satu sama lain. Agar setelah menikah tidak ada kata menyesal. Kamu sama Hanif kan sudah saling kenal, tapi kenapa yang Kakak tangkap, kamu tak menginginkan pernikahan ini?”

Hanna mencoba membaca perasaan adiknya lewat tatapan mata. Namun, tak menemukan sesuatu yang pasti, karena Aira sedikitpun tak mau membuka suara untuk menceritakan perasaannya.

“Sering kali seorang pengantin dibuat kacau pikirannya, terutama di hari pernikahan. Karena jin tidak suka melihat dua insan bersatu dalam ikatan suci yang diridhoi Alloh. Ingat ini Ra, menikah itu tujuannya untuk menggenapkan separuh agama. Hilangkan semua yang mengusik pikiranmu. Yakin bahwa Alloh akan membahagiakan setiap hambanya yang mau melaksanakan salah satu Sunnah Rasul ini.” Hanna mengangkat wajah Aira yang tertunduk, “apalagi yang akan menikahimu itu, lelaki seperti Hanif. Shaleh, lembut, penyayang dan setia. Kamu nggak akan menyesal, Ra. Insya Alloh kakak dan Ibu yakin, rumah tanggamu pasti bahagia."

Wanita itu membelai lembut pipi Aira. "Tersenyumlah, jangan membuat calon imammu bersedih hati melihat permaisuri hatinya merengut seperti ini."

Hanna mencoba membuat  Aira tersenyum kembali. Hal itu memang berhasil, namun tentu saja senyum yang dipaksakan. Sekadar pencitraan. Sebab bagi gadis itu, tak mudah menghapus cinta yang terlanjur tertanam kuat.

"Oh ya Ra, kakak mau ngasih titipan ini ke kamu, dari seorang lelaki namanya Reza." Hanna menyodorkan sebuah kotak dengan pita merah muda terlilit di bagian atasnya.

Aira tercengang."Jadi Mas Reza kemari?" lirihnya sambil meraih benda itu dari tangan Hanna.
"Jangan dibuka sekarang,  Ra.  Sebentar lagi Hanif dan keluarganya sampai, jadi fokuskan diri dulu ke acara sakral nanti. Jangan lupa terus berzikir dan bershalawat, mintalah pada Alloh agar pernikahan ini menjadi yang pertama dan terakhir dalam hidupmu," ucap Hanna yang sedetik kemudian melangkah meninggalkan ruangan itu.

Aira segera bangkit, tanpa lama berpikir. Ia berusaha sekuat tenaga menyibak tirai putih berenda yang menutupi seluruh dinding kamarnya.
Apa yang dikatakan Hanna memang menembus gendang telinga Aira, namun yang berbisik di hati lebih kuat mengubah kata nuraninya.
Tak lagi ia pikirkan bagaimana keadaan hijabnya yang tertarik saat ia meraih gagang jendela kamar dan memaksanya untuk terbuka.

Disana ... sepuluh meter di hadapannya, ia menemukan sosok itu, punggung yang lebar dan gagah itu hendak melangkah meninggalkan rumah yang di penuhi bunga. Tapi, selangkah hendak melewati pagar, sosok itu berhenti.

Aira merasakan tubuhnya bergetar, degup jantungnya semakin terasa, dan selalu seperti itu jika ia berdekatan dengannya. Lelaki itu ... lelaki yang selalu hadir dalam doanya. Ia berbalik, tak perlu lama, pandangannya langsung tertuju pada Aira.

"Aku tak tahu jika rasanya akan sesakit ini, Mas?" lirih Aira pelan.

Ingin ia mendekati lelaki itu dan memintanya untuk tetap tinggal. Tapi bagaimana caranya?
Aira terus memperhatikan sosok itu yang tak lama terlihat mengusap pipinya. Aira tahu bahwa lelaki itu menangis. Hal yang sama yang tengah  dilakukannya saat itu.
Tangisnya luruh berderai, menganak sungai membasahi pipi. Sejenak, ia memejamkan mata, mencoba memahami dan mengikhlaskan keadaan. Namun, semakin ia mencoba, rasa sakit itu semakin berdegup dalam dada.

"Andai bisa memilih, aku ingin pergi bersamamu'

Perlahan, kelopak mata Aira terbuka. Ia tak lagi mendapati Reza di hadapannya. Lelaki itu telah pergi.
Kini dalam kamar pengantin yang penuh bunga, Aira menyadari ada sesuatu yang membuatnya begitu sakit. Ia tahu, bahwa dirinya akan menjalani hari esok dengan rasa ini di dada.

Bersambung #5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER