Cerita bersambung
Rasa yang mulai memudar
"Sekuat apapun menyangkal, Hanif tetaplah yang telah menyuntingku menjadi istri. Ialah tempat kutujukan segala pengabdian, yang harus kujaga perasaannya. Aku harus marah atau kecewa, saat malam pertama kami, imamku terus bertadarus, hingga akupun tertidur tak menghiraukannya."
***
Aira terduduk lemas di atas ranjang pengantin. Sesegukan sembari menyeka airmata dengan sehelai tissu. Bayangan kepergian Reza terus berputar di memori kepala.
Seakan diketuk martil berkali-kali, begitulah yang gadis itu rasa di sebelah kiri kepalanya.
Terlebih dengan segala yang bertahta di tempat terhormat itu. Ingin rasanya ia melepas pakaian dan merebahkan diri di atas kasur. Tapi tentu tak mungkin ia lakukan, sebab di luar terdengar kabar bahwa Hanif dan keluarga telah sampai.
Dalam duduknya, Aira menyadari, seseorang datang membuka pintu. Namun dirinya tetap tak ingin berpaling, sembari terus menatap cermin.
"Aira, Hanif sudah sampai. Sebentar lagi proses ijab qabulnya segera dimulai. Nanti jika sudah saatnya, ibu akan menjemputmu." Ibunda Aira berbicara di depan pintu, tak melangkah.
"Baik, Bu," jawab Aira sebisa mungkin menutupi suaranya yang sedikit berubah serak.
Gadis itu menarik napas panjang, mulutnya mulai berzikir diselingi shalawat, seperti yang dipesankan Hanna. Selang beberapa menit, Aira dengan jelas dapat mendengar Hanif mengijab qabul namanya dengan lantang, dalam sekali helaan napas. Semua mengucap alhamdulillah, kecuali ... dirinya.
"Astaghfirullah ...." Aira bergumam pelan.
Harusnya ia bersyukur, bukan menyesali takdir? Bukankah segala yang terjadi dalam hidup adalah rahmat?
Aira mengelus dada perlahan, "berilah kelapangan hati bagi hamba-Mu ini ya Alloh ...."Gadis itu menitikkan airmata saat kedua tangannya menyapu wajah.
Tak ada yang lebih menyakitkan yang ia rasa, dari mencintai namun tak bisa memiliki.
Hari itu, Aira benar-benar terguncang, cinta seakan membuatnya terlupa, bahwa sangat besar peluang kehilangan jika kita menyerahkan cinta yang demikian besar untuk sesama makhluk.
Bahkan, kebersamaan dengan makhluk yang dicintai sekalipun berpeluang mengalami perpisahan. Begitu pula perasaan ingin memiliki, bukan kewajiban Alloh menjadikan dua orang yang saling mencintai untuk memiliki. Namun, qadarullah makhluk ciptaannya, hanya Alloh jua yang tahu mana yang terbaik.
Meyakinkan diri bahwa setiap cobaan yang diberikan kepada manusia, tak lain hanya ingin meningkatkan derajat di sisinya, adalah jalan menuju kebahagiaan. Insya Allah.
Memang berat, tapi inilah hidup, bukan sekadar dongeng pengantar tidur. Kini Aira berusaha memendam kenyataan pahit cintanya sekuat tenaga. Ia berharap, kerelaan hatinya ini akan berbuah manis. Yakni kebahagiaan bersama Hanif.
Perlahan Aira mengingsut air mata yang menetas. Membiarkan ibundanya menggandeng tangan menuju ruang ijab qabul. Di sana, lelaki tampan mengenakan beskap berwarna putih tampak tersenyum menyambut kedatangan sang istri. Yaitu, dirinya.
***
Aira menatap sekilas wajah Hanif, yang tengah menyalami para tamu undangan di gedung resepsi mereka. Betapapun lelaki itu sangat menawan, tetap saja yang terbesit di jiwanya adalah wajah lelaki lain. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepala, berusaha menghapus copyan wajah Reza yang kadung terpatri di benak.
Sinar mata gadis itu meredup, hubungan antara keputusasaan dan kecewa yang terpendam.
Sebaliknya Hanif tampak berbinar-binar. Senyumnya merekah menyambut para tamu yang datang menyalami silih berganti.
Aira mulai tampak jengah, ia ingin acara itu segera usai. Harapnya bisa segera merebahkan tubuh di atas ranjang, melepas segala lelah juga pikiran yang memenuhi kepala.
Gedung luas yang seluruhnya hampir ditutupi bunga Lily itupun tak mampu membuat Aira merasa ingin berlama-lama memandang. Sebab, gadis itu tak butuh kemegahan. Ia hanya butuh tempat bersandar, dan tentu hanya punggung Hanif tempat yang telah ia pilih.
Namun, tampaknya lelaki itu terlalu bahagia hingga melupakan sang istri yang sedari tadi berdiri mematung di sisinya.
'Lupa atau melupakan diri?' Aira mulai sebal.
Hanif menoleh ke arah Aira yang mulai mengibas-ngibaskan tangannya. "Capek, ya?" ucapnya sambil tersenyum. Aira hanya cemberut.
"Sebentar lagi, ya?" Lelaki itu menggenggam jemari Aira sejenak, berusaha mengalirkan sedikit kekuatan agar tetap bersabar. Hanya hitungan detik, sebelum kemudian melepas kembali jemari lentik itu untuk menyambut tangkupan tangan seorang wanita cantik.
"Selamat ya, Mas?" ucap wanita itu lembut.
Sebuah suara yang membuat Aira seperti tersentil. Mendadak ia menoleh, mencari tahu pemilik suara lembut yang kini tengah menyalami suaminya.
"Terima kasih ... Humaira, ini Ustadzah Muna. Dia salah satu guru yang akan mengajar di pesantren. Juga akan membantu kita mengurus di asrama." Hanif mengenalkan wanita di hadapannya pada Aira yang tampak berdecak kagum.
"Cantik sekali?" gumamnya dalam hati.
Aira menjabat tangan wanita itu, "selamat ya Mbak, semoga Jannah hingga ke syurga." Gadis itu tersenyum sembari menyalami tangan Aira.
"Amiinn ...," sahut Hanif dengan binar bahagia. Aira memandangi suaminya yang menatap wanita itu intens. Tatapan yang bahkan tak pernah ia dapati dari awal mereka bertemu.
Seperti ada yang mendesir di dada, namun tertutupi karena kekalutan yang tengah melanda jiwa gadis itu.
Nampaknya, Aira memang tak ingin peduli, pun di jiwanya masih terus menari-nari bayangan lelaki lain. Meski jujur melihat sang suami bersama wanita itu, Aira yakin satu hal, sepertinya diantara mereka, pernah terjadi sesuatu dahulu. Namun, ia berharap ini hanya sekedar penilaian luar saja, sebab hati sedang tak menentu. Hingga apapun yang ia lihat, pasti hanya akan menambah-nambah daftar kesengsaraan.
***
Sore menjelang, para tamu perlahan meninggalkan gedung hotel satu persatu. Gedung mewah yang masih terlihat segar dengan bunga hidup itupun kini mulai tampak sepi.
Setelah berpamitan pada keluarga, Hanif memandu Aira memasuki kamar pengantin mereka di hotel itu. Sebuah kamar yang di desain khusus olehnya. Indah, terutama ranjang pengantin yang penuh taburan mawar merah. Sangat kontras dengan aksesoris lain di sekeliling yang tampak putih bersih.
Hanif mendudukkan Aira di atas ranjang, "kamu suka?"
Aira mengangguk. Bagaimanapun, gugup tetap mendera, sebab ini adalah kali pertamanya ia sedekat itu dengan seorang lelaki. Namun besar keinginannya agar bisa melalui malam itu tanpa ada kegiatan berarti. Setidaknya sampai perasaan cintanya buat Hanif hadir, meski sebesar kerikil.
"Mas, mau bersihkan diri dulu, ya? Habis itu, kita shalat berjamaah." Ragu, namun Hanif memberanikan diri mendaratkan kecupan di kening sang istri, membuat gadis itu gugup hingga menundukkan wajah. Cukup lama Hanif melepas kecupannya. Ada rasa rindu yang berpadu terlepas lewat sentuhan itu.
Hanif lalu melepas tangan yang berada di kedua pundak Aira, sembari mengurai kecupan. Kemudian ia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri tanpa berkata apapun. Terasa begitu hambar.
Sementara Aira masih bergeming di bibir ranjang. Matanya tiba-tiba mengembun, buliran bening kembali memenuhi pelupuk mata.
"Andai semua perlakuan ini dari Mas Reza, pasti penuh canda...," desahnya diikuti guyuran air di kedua pipi.
Aira melirik ranjang pengantinnya. "Tempat tidur ini, malam ini, sungguh indah, dan amat indah jika dilalui oleh dua pasang insan yang saling mencintai karena Alloh. Ampuni hamba-Mu ini ya Alloh, yang belum sepenuhnya ikhlas."
Aira memejamkan mata, ingatan akan Reza seakan membuat dadanya tercabik-cabik.
***
Pintu kamar mandi terbuka. Aira segera menyeka sisa-sisa air mata yang berlinang di wajah. Rasa ini, biarlah dirinya saja yang tahu. Tak perlu bercerita kepada siapapun, apalagi kepada Hanif.
Aira memperbaiki posisi duduknya yang hampir roboh. Sementara Hanif keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang sudah rapi. Sepertinya ia berusaha keras menghindari kecanggungan jika saja tadi ia memaksa keluar dengan memakai handuk.
"Bersama segarkanlah dirimu di dalam sana. Supaya kelelahan yang menggelayuti badan, luruh deraian air," ucap Hanif setelah memperhatikan wajah istrinya yang kelihatan murung.
Aira buru-buru bangkit, mengikuti titah suami tanpa membantah. Jikalau bisa, ia justru ingin berlama-lama di dalam sana. Supaya terhindar dari segala hal yang bisa membuat air matanya kembali berderai.
Hampir setengah jam, gadis itu di kamar mandi. Membuat Hanif yang menungguinya merasa khawatir, hingga ia beranikan diri untuk memanggil.
"Humaira ...?"
"Sebentar, Mas," jawab Aira dengan suara serak. Ternyata di kamar mandipun, ia masih menyempatkan diri untuk menangis.
Setelah memakai kembali jilbab, akhirnya gadis itu keluar dengan wajah menunduk, berusaha menutupi mata yang kentara sembab.
"Ehm ...." Hanif mencoba mencairkan suasana. Jujur ia ingin bertanya, kenapa masih pakai hijab, sementara mereka sudah sah secara agama. Tapi melihat dirinya sendiri yang juga masih sama lengkapnya, hal itu jadi urung dilakukan.
"Yuk kita shalat," ucapnya sambil berjalan mendahului Aira.
‘Beginikah perlakuannya? Ah, bukankah ini yang aku harapkan?’
***
Usai shalat bersama, Hanif membalikkan badan, memberi kesempatan pada sang istri untuk menyalaminya. Dengan takzim Aira memenuhi kewajiban, mencium telapak tangan suami meski masih dalam keadaan menunduk.
Canggung dan gugup, ruangan itu diliputi dua hal yang sulit diredam.
"Mau istirahat terus atau tadarus dulu?" tanya Hanif sedikit menundukkan kepala, agar bisa mejangkau pandangan sang istri.
Jika saja tak memberi pilihan tadarus, sudah pasti Aira memilih istirahat. Kepalanya yang berat serta mata yang perih, meminta untuk segera direbahkan di ranjang.
"Aira, bacakan artinya saja ya, Mas?" ucap gadis itu sedikit menengadah.
Hanif tersenyum hangat. Detik kemudian ia membuka sebuah mushaf dan mulai melantunkan ayat pertama surat An-Nisa dengan irama salah satu Qari asal Mekkah, 'Misyari Rasyid'
Subhanallah, Aira terenyuh mendengar merdunya suara sang suami. Hal itu berhasil membuat jiwanya yang berguncang sedikit lebih tenang.
Hanif berhenti diakhir ayat, giliran Aira yang membacakan terjemahannya.
"Wahai Manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), Dan Alloh menciptakan pasangannya (Hawa) dari dirinya. Dan Dari keduanya Alloh memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak ...." suara Aira tiba-tiba tercekat, netra gadis itu mulai berkaca-kaca.
Perlahan, air mata yang sudah memenuhi pelupuk mata luruh membasahi pipi. Hanif terhenyak, segera lelaki itu menggerakkan tangannya untuk menyeka air mata sang istri.
"Hei, kenapa menangis?"
Aira menggeleng, tak mampu menjawab. Hanya isakan yang mewakili seluruh perasaannya.
"Ya sudah, jangan diteruskan. Istirahat di sini saja, ya?" Hanif menepuk kakinya yang masih terlipat.
Aira hanya mengangguk, meski terasa aneh tapi ia turuti permintaan Hanif. Jauh dilubuk hatinya, ada rasa yang semakin tersakiti.
"Maafkan Aira, Mas. Aira tahu kewajiban seorang istri itu apa, tapi Aira tak ingin melakukan apapun malam ini. Aira hanya ingin mengubur bingkai wajah yang begitu membekas di ingatan. Hingga tak ada celah seraut itu menodai baktiku padamu." Batin Aira menjerit kuat. Tapi, sekuat apapun jeritannya, tentu harus ia saja yang bisa mendengar.
Perlahan, matanya yang begitu lelah terasa amat berat. Suara Hanif yang merdu, cengkokan yang mengalun indah, membius mata dan pendengaran Aira.
Sedikit-sedikit gadis itu mulai meninggalkan alam sadarnya menuju alam bawah sadar yang begitu nyata. Bertemu dengan lelaki impian dan menari bersama dalam kepedihan.
***
Usai menbacakan cerita untuk Abhi, Reza merebahkan tubuh di sebelah jagoannya itu. Ingatannya masih saja dipenuhi akan sosok Aira. Ingin ia membanting kepala, berharap amnesia hingga melupakan gadis itu. Tapi apa daya, bocah kecil di sisinya, menuntut agar ia terus sadar menemani hidup sepanjang umur.
"Pa, Mama kenapa nggak pernah jengukin aku?" Abhi bertanya sebelum matanya tertutup satu jam lalu.
Reza menelan saliva, bingung harus bagaimana menanggapi pertanyaan itu.
"Mama udah nikah lagi ya Pa, sama orang lain?"
Reza tersentak, "darimana kamu tahu? Siapa yang ngajari kamu ngomong begitu?"tanya Reza sedikit keras.
"Bunda Elsa."
Reza berdecak sebal. "Anak-anak segini umur, ngapain jujur sih, Kak?"
"Pa, kenapa Papa nggak nikah lagi aja? Abi kepingin punya Mama?"
Netra Reza kini benar-benar membulat sempurna. "Siapa lagi yang ngajari kamu ngomong begini? Bunda Elsa?"
"Hihihi ... Iya Pa? Ayo Pa, kasih Abhi Mama baru, ya?" rengeknya sambil menggoyang-goyangkan tubuh tegap sang Papa.
Reza mendesah pasrah. "Kamu serius mau Mama baru?"
Anak kecil itu mengangguk kegirangan.
"Papa janji akan memenuhi keinginan kamu itu, tapi satu syarat. Kamu harus dapat juara, minimal juara tiga? Gimana?"
"Benaran Pa?"
"Iya, Papa janji."
"Abhi juga janji Pa, bakal rajin belajar. Tapi Papa nggak boleh mengingkarinya, ya?"
"Iya, sayang." Reza mengecup puncak kepala Abhi.
Kedua jari kelingking mereka saling bertaut. Sebuah janji yang menjadi bongkahan batu besar di hati Reza. Bagaimana jika Abhi bisa memenuhi janjinya? Kemana ia harus mencari wanita yang bisa menjadi Mama untuk anak itu.
Perlahan Reza bangkit, menyisir jalan menuju kamar mandi. Hanya pada-Nya, tempat mengadu. Reza sadar, selama ini ibadahnya bukan saja tak sempurna, namun jauh dari kesempurnaan. Ia bertekad, akan memperbaiki diri. Bukankah Alloh maha penerima taubat. Ia datang, membawa segenap kerendahan diri.
Berharap All9h membuka jalan terbaik untuknya. Juga untuk buah hatinya.
***
Sementara itu, Aira tersentak dari lelapnya tidur. Perlahan kelopak mata gadis itu terangkat. Wangi mawar menguar ke indera penciumannya. Lembut dan romantis, ternyata ia baru sadar bahwa tubuhnya telah terbaring di kasur pengantinnya bersama Hanif.
Ia bahkan tak sadar kapan Hanif mengangkat tubuhnya ke atas ranjang. Sementara di sana, hanya berjarak tiga meter dari tempat ia terbaring, Hanif masih duduk di atas sajadah sembari melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran.
Aira menarik napas sembari menutup kembali mata. Rasa perih belum sempurna menghilang. Suara Hanif, membuat kalbunya terbuai. Seakan kegundahannya sedikit terobati kembali.
Gadis itu benar-benar tak ingin bangkit, seakan terlupa jika malam itu adalah malam pengantinnya. Perlahan, dua bola matanya kembali terpejam, kini dalam waktu yang lebih lama dari semula. Hingga fajar tiba.
==========
Semua, Masa Lalu
"Mas Hanif?" Aira memicingkan mata menatap pantulan cahaya yang menerpa seraut wajah khas ketimuran, hidung mancung, dengan bulu-bulu halus memenuhi pinggiran dagu hingga menyentuh bagian bawah telinga. Manik kecoklatan itu menatap lembut ke arahnya sembari tersenyum.
"Tidurmu nyenyak sekali, jika bukan karena azan subuh berkumandang, Mas tak tega membangunkan," ucap Hanif sambil mengelus lembut pipi Aira, membuat gadis itu segera bangkit dari tidur dan menyibak selimut tebal yang menutupi sebagian tubuh.
Hanif mendekatkan posisi duduknya sejengkal. Hingga tangannya dapat dengan leluasa menyentuh rambut sang istri yang tergerai.
Aira dapat merasakan bagaimana lengan kekar itu secara perlahan mengenai rambutnya, hingga menyentuh bahu. Rasanya memang mendebarkan, namun mengapa hatinya begitu menolak perlakuan tersebut.
"Ya Tuhan, aku tak menginginkan berada pada keadaan ini ...." Aira membatin gelisah. Jemari tangan kanannya ia gerakkan untuk membawa rambut poninya ke belakang telinga. Seolah ada yang ganjil. Ternyata ia baru sadar, bahwa sebelum tidur, kepalanya masih tertutup mukena.
Pikiran Aira seketika dirasuki notif negatif, saat ia tahu bahwa mukena itu tak lagi membalut kepalanya.
Segera Aira menundukkan pandangan, memastikan kelengkapan pakaian yang dikenakan. Siapa tahu semalam ia dan Hanif melakukan hal-hal aneh tanpa disadari. Ah, tapi itu tak mungkin terjadi. Sebab ia kenal betul bagaimana sifat Hanif selama ini. Tak mungkin Hanif melakukan sesuatu tanpa minta ijin terlebih dahulu.
"Ehm, Maaf, tadi Mas yang buka mukenanya, karena Mas lihat kamu kelihatan gerah saat tidur," ucap Hanif seakan dapat membaca keresahan sang istri.
Aira menarik napas panjang, merasa bodoh dengan pikiran ngawurnya barusan. "Owh, nggih Mas, nggak papa ... emm, ma-maaf Mas, Aira kesiangan bangunnya."
Aira jadi salah tingkah, juga merasa berdosa. Ia berniat akan meminta maaf pada Hanif, karena telah mencurigai lelaki itu melakukan hal-hal yang semestinya memang dilakukan oleh sepasang suami istri di malam pertama.
"Rata-rata pengantin baru pasti terlambat bangun ...." Hanif menggantungkan ucapannya, "bisa karena terlalu capek mengikuti resepsi, bisa juga karena kegiatan lain."
Deg!
Aira menunduk, ia tahu tidur sepanjang malam di malam pengantin memang suatu hal yang salah. Terlebih tidur tanpa memastikan keadaan pasangan. Tapi mau bagaimana lagi, ia benar-benar belum siap. Daripada berhubungan, tapi yang nampak di mata lelaki lain, bukankah lebih baik tidak sekalian. Pikirnya.
"Mas, maaf, Aira ...." Suaranya bergetar, ia tak mampu meneruskan ucapan. Hanya gerimis kecil yang tampak mulai membasahi pipi.
Hanif terkesiap, tangannya ia gerakkan untuk menengadahkan wajah sang istri. Hendak memastikan apakah benar gadisnya lagi-lagi menitikkan air mata. "Kenapa menangis lagi? Mas salah bicara ,ya?"
Aira masih menunduk, meski wajahnya telah disejajarkan dengan wajah Hanif
"Aira minta maaf sudah mengabaikan Mas Hanif ...."
"Ya Alloh istriku Humaira ... Mas nggak bermaksud menyalahkanmu, justru Mas lah yang salah, terlalu asyik bertadarus. Maafkan Mas, jangan nangis lagi, ya?" Hanif membawa Aira dalam dekapannya. Akhirnya kekakuan diantara mereka sedikit mencair. Lelaki itu memberanikan diri mencium pucuk kepala sang istri.
Aira menanggapinya dengan rasa perih yang menjalari sekujur tubuh. ‘Dekapan dan ciuman yang tulus ini, kenapa masih saja membawa jiwaku berlari ke tempat lain?’
Menyakitkan sekali rasa itu. Aira merasa hatinya benar-benar rapuh. Akankah selamanya begini. Apa yang harus aku lakukan? Apakah berpura-pura baik adalah penawar atas keputusannya yang salah?
‘Ya Alloh ... cukuplah aku saja yang tersakiti dengan rasa ini, sampai kapanpun Mas Hanif tak boleh tahu. Lelaki ini ... ia tak bersalah. Semua adalah salahku?’
Setelah beberapa menit menumpahkan bendungan yang memenuhi matanya, perlahan Aira mulai tenang. Tak ada lagi air mata, hanya isakan yang kentara. Hanif mengurai pelukan.
Meski di dalam dada terasa ada yang mengganjal. Tak mungkin jika tangisan yang begitu pilu ini hanya karena tertidur di malam pertama, pasti ada hal lain yang seakan Hanif bisa membacanya.
"Jika kelamaan pelukannya, nanti bisa terlambat bertamu pada Alloh. Mas wudhu duluan, ya?" ucap Hanif setelah mengelus pipi Aira.
Gadis itu mengangguk sambil memperbaiki rambutnya yang berantakan. Ia paksakan untuk tersenyum, membalas senyuman indah lelaki tampan yang sudah menjadi imamnya kini.
Sejurus kemudian, Hanif berlalu ke kamar mandi.
Di dalam ruang tertutup itu, perlahan, langkahnya mendekati cermin besar yang terpajang di samping bathup. Ia menatap wajahnya yang nampak kusam tak bercahaya.
"Saya tahu, kita merasakan hal yang sama Humaira. Astaghfirullah ... tak pernah terlintas akan terasa seperti ini. Harusnya memang tak bertemu, jika memang syaitan menjadi penggoda. Hufht ... bahkan, duduk zikir sepanjang malampun tak sepenuhnya jadi penawar."
***
Usai shalat, Hanif mengajak Aira ke balkon. Menatap indahnya sunrise berpadu dengan pemandangan kota yang masih lenggang dari kendaraan.
Cuaca dingin membuat Aira mengetatkan jaket yang ia kenakan. Keduanya masih nampak kaku, meski berdiri berjajar dan menatap satu titik yang sama. Namun, tak ada omongan, hanya embusan napas yang bergerak merambat.
"Pemandangannya bagus." Hanif akhirnya membuka percakapan.
Aira tersenyum, "Iya. Mas."
"Kamu ngerasa nggak, kita jadi seperti baru kenal?"
Aira menoleh. "Perasaan Mas Hanif aja kali," jawab Aira sekenanya.
Mendengar jawaban ngasal Aira, Hanif ikut menoleh.
Satu detik, dua detik bertahan tanpa berkedip. Seolah ada magnet, Hanif seperti tertarik mendekati Aira. Tatapan mata Hanif kini beralih ke bibir, bibir tipis ranum kepunyaan istrinya.
Hanif sedikit membungkuk untuk mencapai permukaan yang tampak mengkilat karena polesan lipstik tipis itu.
Awalnya Aira ingin menghindar, namun sebelah tangan Hanif telah melingkari pinggangnya.
Teettt ....!
Keduanya tersentak kaget. Hampir saja kedua bibir itu bertemu, sebelum akhirnya bel kamar berbunyi.
Hanif tersenyum kikuk. Sementara Aira, hanya menundukkan pandangan, menutupi penyangkalannya atas apa yang hampir saja terjadi.
Keduanya masih tak beranjak, ingin melupakan apa yang baru saja menjadi pengganggu. Detik kemudian, bel kembali berbunyi.
“Aira buka pintunya dulu, Mas?" Gadis itu memilih masuk ke dalam untuk membuka pintu kamar yang sudah beberapa kali dipencet itu.
***
Seorang bellboy tampak bertengger di depan kamar, ia mendorong sebuah meja yang penuh dengan makanan dengan berbagai variasi.
Aira masih tercengang dengan hantaran sarapan yang lebih cocok dimakan beramai-ramai itu.
"Ini semua, Mas yang pesan?"
"Iya. Tolong diletakkan di sana ya, Mang." Hanif menunjuk ruangan yang sedikit lapang di dekat kaca.
Meski sedikit terkejut, tapi Aira menyukai semua ini. "Romantis." Satu kata yang sedikit membuat hatinya bak dipercik air kebahagiaan. Ia tersenyum manis sembari mengikuti langkah Hanif. Keduanyapun begitu menikmati sarapan pertama mereka sambil diiringi alunan musik Qasidah dari grup Nasyid favorit Hanif.
***
"Humaira, pagi ini kita langsung berangkat ke Kediri, ya. Soalnya, nanti malam diadakan rapat pertama penerimaan santri baru di pesantren," ucap Hanif setelah keduanya selesai menyantap sarapan mereka.
"Langsung berangkat hari ini, Mas?"
"Iya, Mas rasa bulan madu bisa kita perpanjang di sana." Hanif mengelap mulut dengan selembar kain. "Kamu nggak keberatan 'kan?"
"Ehm ...." Ucapan Hanif disambut gugup oleh Aira. Gadis itu berusaha menelan ludah mendengar kata bulan madu terucap dari bibir sang suami. Kenyataan, ia memang mencintai Reza, namun ia pula tak membenci Hanif.
Bukankah sebelum Reza, Haniflah yang ia harap menjadi tempatnya melabuhkan cinta?
"Kamu masih mau kita di sini?"
"Emm ... itu, ng-nggak Mas, Aira ikut saja gimana kata Mas Hanif. Bukankah sekarang Mas kepala keluarga, jadi Mas berhak untuk mengatur." Aira bersunggut-sunggut menjawab pertanyaan Hanif. Meski sejujurnya, ada banyak pertanyaan yang ingin diajukannya saat itu.
"Kamu juga memiliki hak untuk mengatur, karena rumah tangga kan dibangun oleh dua individu yang berbeda."
"Iya, Mas. Sebenarnya banyak yang mau Aira tanyakan." Aira menelisik wajah Hanif.
"Kamu mau nanya apa, pelan-pelan aja. Mas nggak akan kabur kok?" candanya sambil terkekeh.
Aira tersenyum ragu. "Apa setelah hari ini, kita akan menetap selamanya di Kediri?"
Hanif menghentikan kegiatannya. Tangan kanan Hanif berusaha mengelus jemari Aira yang masih terlipat di atas meja. "Iya, atau kamu mau Mas mengubah rencana itu?"
"Ng-nggak Mas, Aira nggak keberatan kok."
"Alhamdulillah ... kalau gitu sekarang gantian Mas yang minta sesuatu sama kamu."
Aira menatap tajam manik kecoklatan yang juga mengarah padanya. "Apa, Mas?"
"Mas mau kamu berhenti bekerja. Jadilah seorang istri yang hanya mengurusi Mas dan rumah tangga kita. Tapi, nanti Mas janji akan ajukan kamu sebagai kepala klinik di Pesantren. Meski tak sepenuhnya bisa menjadi seorang bidan, tapi setidaknya masih bisa membantu yang sakit dan membutuhkan?"
Aira mengembuskan napas perlahan, terasa sakit di dada. Entah itu karena keputusan Hanif agar mereka menetap di Kediri, atau karena ia harus memutuskan untuk membatasi keahliannya. Aira bergeming.
"Humaira ... kamu keberatan?"
"Nggak Mas. Nggih," jawabnya singkat.
Aira kembali mencuri pandang Hanif yang tengah menyesapi kopinya. Meski tak sekarang, namun ia yakin, pasti suatu saat cintanya untuk lelaki ini akan tumbuh kembali.
Betapa tidak, segala kelembutan yang Hanif miliki, keshalehahnya, kasih sayang, mengingatkan Aira pada sosok ayahnya yang telah tiada.
Barangkali hanya butuh kesabaran. Bukankah batu saja pipih jika terus kejatuhan air. Apalagi hatinya.
Detik kini berjalan tak selambat kemarin. Semua sebab rasa ikhlas mulai hinggap di sudut kalbunya. Tentu, rasa ikhlas yang 'kan mengantarnya menuju rumah tangga yang bahagia.
***
Reza tampak rapi dalam balutan kemeja batik bercorak Mete Hijau. Lelaki itu menyisir rambut tebalnya ke samping, sembari memberikan sedikit pomade water based agar terkesan mengkilap dan basah alami.
Pagi ini pikirannya lebih tenang, semalaman ia melakukan sesuatu yang tak pernah ia lakukan seumur hidup. Menghabiskan malamnya dengan shalat dan zikir. Rasanya lebih menyenangkan daripada tidur semalaman tapi saat bangun justru merasa kantuk lagi.
"Bismillah." Reza mengganti kata-kata penyemangat paginya. Dahulu, setiap kali bercermin, ia selalu mengatakan pada dirinya, 'nikmati hidup'.
Lagi-lagi ia tersenyum pada pantulan bayangannya sendiri. Memang ada bagian yang masih terasa sakit, disudut paling kecil hati. Tapi ia berjanji akan segera mencari penawarnya.
***
Sebelum berangkat kerja, Reza menyempatkan diri mencicipi nasi goreng buatan sang kakak terlebih dahulu. Sejujurnya bukan tersebab rasanya yang enak, karena jelas Kak Elsa tak jago masak. Ia hanya tak ingin mendapat siraman rohani pagi-pagi jika menolak sarapan yang sudah disiapkan.
"Pagi, Sayang." Reza mengecup puncak kepala Abhi yang sudah terlebih dahulu menyantap sarapannya. Ia melirik ke dapur, Elsa tampak masih menggoreng sesuatu. Mungkin saja wanita itu sedang menggoreng udang kriuk untuk dibawa Abhi ke sekolahnya.
"Pa, hari ini hari apa?" tanya Abhi saat papanya sudah duduk di kursi makan. Anak kecil itu terlihat begitu bahagia, binar matanya menyiratkan sesuatu sedang begitu dinanti-nanti.
"Hari kamis," jawab Reza datar. Ia mulai menyendoki nasi ke dalam mulut.
"Emm, tapi tanggal berapa, Pa?"
"Sepuluh November 'kan ya? Emang kenapa, Sayang, pagi-pagi nanya tanggal? Ada acara di sekolah?" tanya Reza sembari menyentikkan jari telunjuknya ke hidung sang anak.
Abhi semakin antusias, diiringi senyuman yang merekah, ia lalu melempar lagi pertanyaan buat sang Papa, "Pa, ingat nggak, sepuluh November itu hari apa?"
"Emm ... hari pahlawan,” jawab Reza sambil menunjukkan ekspresi penasaran.
"Selain hari pahlawan, yang Papa ingat hari ini hari apa?"
Reza mengernyitkan dahi, mencoba mempraktekkan perintah sang anak, 'mengingat-ingat', lalu ia tertawa. "Hari Papa beli mobil, hari kamu di sunat, hari ...."
Bermaksud membercandai sang anak. Namun Abhi malah bereaksi lain. Anak itu membanting sendok ke piring lalu belari keluar tanpa pamitan.
Elsa yang baru sampai dari dapur ikut terperangah, tak menyangka sebegitu cepat perubahan mood sang ponaan.
"Abhi, nggak salam Papa dulu, Sayang?" teriak Elsa meski ia tahu anak itu telah berlalu pergi. Ia lalu menatap Reza yang tak kalah bingung dengan perubahan sikap anaknya.
"Kamu melupakan sesuatu?" tanya Elsa.
"Sepertinya nggak?"
"Anak kecil itu marah kalau bukan karena capek dan lapar, ya karena ada sesuatu yang kita lupakan."
Reza mencoba mengingat-ingat sesuatu yang penting yang pernah diucapkannya pada Abhi.
"Ya Alloh, hari ini ulang tahunnya Abhi!"
"Pantesan aja dia ngambek. Kamu sih kebanyakan mikirin Humaira!"
"Mbak ...."
"Mbak yang antar Abhi, ya?" potong Elsa.
"Biar aku aja, Mbak!" Reza mengakhiri sarapannya. Ia berniat meminta maaf pada sang anak karena telah melupakan hari paling ditunggu-tunggu bocah itu.
"Za ...." teriak Elsa.
"Apa lagi, Mbak?" Reza berhenti melangkah dan menoleh ke arah Elsa yang memilih duduk di salah satu kursi makan.
"Sini bentar deh!"
"Apaan sih, aku telat ini?"
Elsa bangkit, berjalan mendekati Reza dan menempelkan sesuatu di dadanya.
Reza meraih kertas persegi yang menempel di dadanya, sebelum benda itu terjatuh ke lantai.
"Namanya Raudhatul Muna. Lulusan UIN Sunan Gunung Djati. Sekarang menjadi salah satu pengajar di ponpres Kediri."
"Terus?"
"Sabtu ini, kita ke Kediri. Bertemu orangnya."
Reza menatap sekali lagi foto di tangannya.
"Udah, cantik itu orangnya. Agamanyapun oke!"
"Bukan itu Mbak? Emang dia mau sama duda?"
"Za, lelaki itu tidak meninggalkan bekas, sekalipun dia duda sepuluh perempuan. Beda sama wanita!" Elsa berlalu pergi, meninggalkan Reza yang tampak kebingungan. Ia berpikir sejenak, lalu menatap kembali foto gadis yang bernama Raudhatul Muna itu.
Lama ia memandang, namun kenapa sebingkai wajah oval dengan mata sayu itu berubah menjadi sosok yang lain.
'Humaira?'
Bersambung #6
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel