Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 29 September 2020

Ketika Duda Mencari Jodoh #6

Cerita bersambung
Aku cemburu
Perjalanan yang hampir memakan waktu seharian itu tak terasa melelahkan bagi Humaira. Hanif, sang suami, terus saja mengajak Aira berbicara masa lalu mereka, hingga bisa sampai ke tahapan sekarang.
Hanif juga terus menceritakan tentang keadaan pesantren. Gadis itu sangat bersyukur, sedikit banyak ia mulai memahami tentang situasi pondok, yang sama sekali tak pernah dirasakannya sejak kecil hingga dewasa.

Aira juga baru tahu bahwa Hanif sang suami masih saudara dekat dengan KH. Ahmad Dahlan, pimpinan pesantren Darul Falah, tempat dimana mereka akan menetap kini di Desa Paru, Kediri.

Tepat pukul lima sore, mobil memasuki pekarangan pesantren yang cukup luas. Aira terlihat begitu berapi-api, matanya celingak-celinguk menatap jejeran bangunan yang bergaya arsitektur modern itu. Dari kejauhan, sebuah bangunan memanjang dengan jendela kaca tampak di bagian tengah, Hanif mengatakan itu adalah kantor induk.
Di dua sisi berbeda, ada dua bangunan yang merupakan ruang belajar. Sementara asrama terletak di belakang gedung. Di bagian kiri asrama santriwan, dan di sebelah kanan asrama santriwati. Pesantren itu juga dilengkapi dengan sebuah mesjid besar, yang mampu menampung bahkan hingga ratusan orang di dalamnya.

Hanif terus menjalankan mobil mengitari halaman depan kantor dan berhenti di sebuah bangunan yang terletak di sisi kanan asrama putri. Sebuah rumah yang dikelilingi taman bunga kecil. Aira yakin, ini adalah rumah pimpinannya.

Hanif turun dan mengajak Aira masuk. Jujur, Aira suka tempat ini. Tapi ia tak dapat menutupi rasa gugup yang tiba-tiba mendera. Bertemu dengan orang-orang baru, biasanya ia bertemu dengan sesama teman sejawat atau pasien juga keluarganya. Disini, ia tidak menemukan hal itu. Justru sepanjang perjalanan, ia hanya mendapati para santri yang berbusana cukup sopan dan tertutup.
Meski ragu, genggaman tangan Hanif cukup membuatnya merasa nyaman dan berani melangkah.

"Kita masuk ke rumah Kiai Dahlan dulu, ya?" ucap Hanif pada Aira.

Gadis itu hanya mengangguk dan ikut saja kemana kaki sang suami melangkah. Tampak dua orang santri berlalu di hadapan mereka sambil tersenyum. Aira membalas tersenyum ke arah santri itu, yang tampaknya baru saja keluar dari rumah Kiai.

"Assalamualaikum ...."
Salam Hanif dijawab serempak oleh seluruh penghuni rumah. Ramai, Aira bahkan tak mengira jika kedatangan mereka sudah dinanti-nanti. Seorang wanita bergamis besar juga berniqab menyambut kedatangan mereka dengan hangat.

"Saya Bu Nyai Badriah, panggil saja saya Umi, seperti panggilan Hanif untuk saya. Semoga kamu betah tinggal di asrama ini ya, Anakku," ucapnya pada Aira.

Airapun menyambut uluran tangan itu dengan salam hangat diiringi senyuman. Sementara itu Hanif tampak membaurkan dirinya dengan beberapa lelaki berjubah besar di ruangan yang berbeda.
Bu Nyai Bad menuntun Aira untuk berkenalan dengan beberapa ustadzah yang ada di ruangan tengah. Tampak pula ditempat itu ustadzah Muna, yang kemarin sempat dikenalkan Hanif padanya.

Lagi-lagi, Aira terpesona pada penampilan gadis ayu itu. Ia tampak sangat anggun dalam balutan gamis hitam yang dipadukan dengan hijab lebar yang terulur menutupi setengah tubuhnya. Aira melirik dirinya, dia memang mengenakan gamis dan hijab, tapi jika dibandingkan dengan ustadzah Muna atau ustadzah-ustadzah lain, dirinya masih tidak ada apa-apanya. Sangat jauh dari kata syar'i.

Tiba-tiba hatinya bergetar, merasa begitu ingin berhijrah diri menjadi lebih baik. Terutama dalam hal berpakaian.

"Njenengan masih ingat sama saya,'kan?" sapa Muna setelah berada di dekat Aira.
Aira sedikit kaget, karena sedari tadi dirinya sibuk menata hati, "masih."
"Alhamdulillah. Kalau butuh bantuan, jangan sungkan bilang ke saya. Insya Alloh saya siap membantun jenengan," ucap Muna kemudian.
Aira mengangguk. "Terima kasih."

Hampir satu jam mereka di rumah itu, dan tanpa disadari Aira terus saja secara diam-diam memandangi Muna. Mulai dari cara berbicara hingga tersenyum, Aira benar-benar menyukai kepribadiannya. Gadis itu tersenyum sendiri, baru kali ini ia bertemu seorang perempuan yang jika dipandang begitu menyejukkan.

Selintas pikirannya dibawa melantur, "kira-kira, sudah ada yang punya belum ya? Uh, pantesnya sih yang seperti Mas Hanif ...," gumamnya.

Tak berapa lama, Hanif malah menghampiri dan mengajak Aira untuk berpamitan.

Di luar, warna langit semakin jingga, awan yang terang itupun beralih menjadi temaram.
Sebelum meninggalkan rumah Kiai,  menuju rumah mereka yang terletak di sebelahnya, Muna memanggil Hanif dan memberikan selembar kertas. Entah apalagi yang mereka bicarakan hingga membutuhkan waktu lebih lima menit buat Aira menanti di teras rumah.
Dari jarak beberapa meter, masih jelas tertangkap oleh penglihatan Aira, bagaimana sikap Hanif ketika berhadapan dengan gadis itu. Ia benar-benar kelihatan canggung.
Padahal hanya diberikan selembar kertas.
Tanpa sadar, Aira merasa sesuatu membuat hatinya terasa ngilu. Aira menggeleng, mungkinkah ia?
***

Hanif masih di kamar mandi, saat Aira telah selesai memasukkan beberapa pakaian ke dalam lemari. Rumah dengan dua kamar, satu ruang tamu, dan dapur ini, meski tak terlalu luas namun sangat nyaman untuk di tempati.
Hanya perlu mengganti tirai penutup jendela, menambahkan lukisan, serta bunga-bunga, rumah ini akan kelihatan sangat indah. Pikirnya.

Suara gemericik air kran terhenti saat gadis itu selesai mengeluarkan pakaian dari koper.

"Maaf Mas, ini pakaiannya sudah Aira siapkan. Aira keluar saja," ucap Aira sambil menatap sekilas tubuh Hanif yang hanya ditutupi handuk sebatas lutut.

Hanif hanya tersenyum, tak mengiyakan juga tak melarang. Sementara Aira, kakinya terus melangkah keluar meski sejujurnya ada yang aneh terasa di dasar hatinya.

Di balik pintu,  Aira menarik dan meghembuskan napas kasar. Ia memilih duduk di sofa putih yang terletak di ruang tamu.

Tak lama Hanif keluar dari kamar. Lelaki itu sudah rapi dengan sarung hitam dan koko putih, sebuah kopiah hitam membuatnya terlihat sangat menawan."Mau ikut shalat berjamaah?"

Ucapan Hanif mengangetkan Aira, dan membuyarkan duduk melamunnya. Gadis itu terkesima melihat sang suami amat berkharisma.

"Aira shalatnya dirumah  aja Mas. Belum mandi soalnya."
"Ya sudah, jika kamu mengantuk, tidur saja duluan. Nggak usah nunggu Mas, takut rapatnya terlambat selesai," ucap Hanif seraya mendekati Aira. Dikecupnya kening sang istri sekilas. Aira tak menolak, tanpa sadar ia mulai menikmati tiap kali bibir itu menyentuh keningnya. Seperti ada sesuatu yang membuat dadanya berdesir.

Aira memilih untuk mengantar Hanif sampai depan pintu.
Alih-alih nunggu waktu azan berkumandang, gadis itu malah merebahkan tubuhnya di atas kasur. Lembut bantal juga harum aroma mawar yang menguar dari selimut tebal di pipinya, membuat kelopak mata Aira perlahan tertutup. Hanya semenit, gadis itu telah meninggalkan alam sadarnya.
***

Aira tersentak dari tidurnya, entah berapa lama ia sudah tertidur. Ia bahkan tak menyadari kapan Hanif pulang dan merebahkan diri di sisinya.

"Ah, ceroboh sekali. sudah dua kali aku ketiduran. Jadi nggak bisa nungguin Mas Hanif pulang!" Aira bergumam kesal. "Tapi bukannya malah bagus, jadi nggak harus melakukan sesuatu yang belum ingin dilakukan." Sisi hatinya yang lain ikut mengacaukan pikiran. Ia lirik sekilas jam yang tergantung di dinding kamar.
"Masih pukul dua dini hari."

Aira bergegas bangkit, teringat akan shalat isya yang belum tertunaikan, sekaligus shalat tahajud. Perlahan ia bergerak tanpa membuat sang suami terbangun.

Setengah jam kemudian ia kelar melaksanakan kewajibannya. Gadis itu masih merasakan bola matanya berat dan minta untuk dipejamkan kembali. Dengan perlahan Aira kembali tidur di sisi Hanif.
Namun sebelum ia kembali menutup mata, ada ingin yang menyusup di sudut hati untuk memandang wajah kekasih yang tengah tertidur pulas.

"Tampan sekali Mas Hanif, andai Aira tak pernah mengenal Mas Reza?" ucapnya lirih.

Gadis itu menggerakkan tangan hendak mengelus rambut Hanif yang bergelombang. Namun lelaki itu menggeliat. Spontan Aira seperti kesetrum listrik, ia segera merebahkan kembali tubuhnya di atas bantal.
Dalam tidur yang pura-pura itu, Aira membuka sedikit kelopak mata, ingin tahu apa yang akan dilakukan Hanif malam-malam begini.

Lelaki itu bangkit, menoleh ke arah Aira. Gadis itu segera mengeratkan penglihatan, tak ingin Hanif tahu ia sedang terjaga.
Sebuah kecupan mengenai kening Aira, terasa hangat menjalari sekujur tubuh. Aira masih menanti apalagi yang akan dilakukan Hanif selanjutnya. Tapi, ia justru mendapati langkah-langkah yang semakin menjauh. Aira memberanikan diri membuka mata.

"Hufht ... pasti Mas Hanif mau tahajjud  di mesjid." Aira membatin sambil menutup kembali matanya.
***

Pagi kedua, Aira bangun tiga puluh menit sebelum azan subuh berkumandang. Ia melirik ke samping, namun tak menemukan sang suami di tempat itu.

"Mungkinkah Mas Hanif tak pulang semalam?" Batin Aira mulai diliputi rasa cemas.

Tak berapa lama, Hanif mengetuk pintu kamar. "Assalamualaikum ...?" ucapnya sambil melangkah masuk. Wajahnya yang putih tampak berseri-seri.

"Waalaikum salam, Mas Hanif dari mana subuh-subuh begini?" Aira tersentak kaget dan sedikit kecewa. Secepat-cepatnya ia bangun, Hanif malah selalu mendahului.

"Mas habis dari mushalla, shalat tahajud sekalian murajaah. Kamu cepat bangunnya, padahal tadi Mas rencana mau bangunin?"
Aira tersipu malu. "Bukan seharusnya Aira yang bangunin Mas Hanif?" jawabnya ragu.
"Santai aja, jika Mas yang duluan bangun, maka udah jadi kewajiban Mas buat bangunin kamu. Sekarang mau ngapain?"
"Nyiapin sarapan dulu, sambil nunggu azan, Mas?"
"Mas bantu, ya?"
"Emm, nggak usah Mas. Aira sendiri aja. Mas di kamar aja, rebahan bentar."
"Kok dikamar? Mas tunggu di ruang makan, ya?"

Aira menghela napas. Tak seharusnya juga ia melarang Hanif membantu, bukankah semua istri di dunia ini paling suka dibantu suaminya?
"Ya udah, boleh Mas."

Hanif mengekori langkah Aira ke dapur, seperti anak kecil yang minta dibuatkan nasi goreng. Lelaki itu terlihat begitu canggung untuk jalan bersebelahan dengan istrinya.

Sesampai di dapur, Aira segera mengambil wajan yang sebelumnya sudah ia perhatikan dengan baik letaknya.
Sementara di atas kursi makan, Hanif melirik Aira yang tampak sibuk mengaduk-aduk nasi goreng. Angannya dibawa berlari ke beberapa tahun silam. Saat itu ia pernah membayangkan, bisa menikmati sepiring nasi goreng buatan Muna.

"Astaghfirullah ...."
Lelaki itu segera mengusap wajahnya. Pikiran itu masuk tanpa bisa dielak. Ia bangkit, dipikirannya hanya ada satu jalan untuk membuang jauh pikiran yang dikelabui setan, yaitu berwudhu.

"Mas mau kemana?" tanya Aira ketika menyadari kursi duduk Hanif bergerak.
"Mas ke kamar mandi dulu," jawabnya singkat.

Aira mendesah panjang. Kecewa iya, tapi kesal akan sikapnya juga iya. Gadis itu tak paham apa yang diingin hatinya. “Harusnya kamu jangan pergi, Mas. Temani Aira masak, meski hanya duduk dan diam.”
***

Nasi di piring Hanif habis tak bersisa. Lelaki itu bahkan menjilati jemari tangannya seperti sunnah Rasulullah. Aira tersenyum, tak pernah ia mendapati lelaki seperti Hanif. Baru setelah Hanif menjelaskan panjang lebar tentang suri tauladan Baginda Nabi, Aira mengulum senyuman.
Duduk menikmati sarapan bersama, sejenak membuat Aira melupakan segala kesedihan. Hanif, selain menyandang status suami, juga ustaz yang sangat Aira butuhkan untuk menambah pengetahuannya tentang agama.
Perlahan tapi pasti, sikap yang lelaki itu berikan, pasti akan mampu mengetuk sisi hati Aira yang penuh akan sosok lelaki lain.

Setelah berbincang-bincang sejenak, Aira berniat untuk membersihkan meja makan, namun Hanif menarik lengan gadis itu.

"Ada apa Mas?"
"Em ...ada yang ingin Mas sampaikan."
Aira kembali duduk. "Mas mau ngomong apa?"
"Em ....” Hanif nampak memutar-mutar bola matanya, “pagi ini Mas mendapat tugas keluar kota selama satu minggu. Tapi, Mas tak bisa membawamu, karena disana Mas menginap di hotel bersama beberapa orang lainnya dari seluruh Indonesia. Semua dipilih untuk mengikuti pelatihan 'Managerial Pimpinan Pondok Pesantren'. Humaira, apa kamu keberatan jika Mas pergi?"

Meski ragu, Hanif memberanikan diri berterus terang. Ia menatap penuh harap pada manik kecoklatan sang istri. Bagaimanapun ini adalah tanggung jawabnya sebagai kepala pesantren.
Namun mengingat pernikahan mereka yang bahkan bulan madu saja belum terlewati, rasanya sangat tak wajar meninggalkan Humaira seorang diri ditempat yang begitu asing buatnya.

Aira bergeming sejenak. "Mas pergilah. Aira nggak masalah tinggal sendirian, lagipula ada Bu Nyai Bad, jika butuh sesuatu nanti Aira sampaikan pada beliau."

Hanif sedikit mendongak, meyakinkan diri bahwa tak ada raut keterpaksaan yang terpancar dari wajah istrinya. Disaat bersama-sama, Aira mencoba untuk tersenyum, menutupi rasa perih yang tiba-tiba hinggap di dadanya.

"Alhamdulillah ... jika bosan, temuilah Muna. Dia bisa kamu jadikan teman bicara. Nanti Mas juga akan menyampaikan padanya, agar selama Mas di luar kota ia bisa menemanimu tidur."

Aira spontan menggerakkan kedua tangannya. "Tidak usah Mas, Aira tidak apa-apa tidur sendirian ...."
"Kamu yakin?"
"I-iya."

Sejujurnya, Aira memang butuh seorang teman  yang menemani tidurnya, apalagi ia baru satu hari menempati rumah itu. Tapi ... ia tak ingin Hanif menemui gadis itu khusus untuk meminta menemani Aira tidur.

"Kamu kenapa?" tanya Hanif melihat Aira menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Nggak ada apa-apa, Mas?"
"Kalau gitu, bantuin Mas masukin baju ke koper, ya?"

Aira mengangguk. Sedikit kaget saat Hanif meraih jemari Aira dan bergandengan tangan memasuki kamar.
Gadis itu menoleh, menatap sosok tegap suaminya dari samping. 'Bagaimana nasibku tanpa kamu, Mas Hanif? Baru menikah sudah ditinggal, rasanya Aira pengen pulang ke rumah Ibu?' jerit batin Aira.

==========

Takdir itu Pasti
"Buatku, cukup seperti ini. Duduk di sebelahmu tanpa berbicara, membuat rindu yang sehasta ini berderai. Andai waktu lupa cara bergerak?" Reza.
***

Aira menatap kartu persegi mengkilat yang ada di tangannya. Goresan tinta hitam di lembaran lain berwarna putih cukup membuat kelopak mata gadis itu terasa berat dan sedikit panas, 'Setelah mengembalikan ini, tidak ada alasan lagi bagi kita untuk bertemu.'
Ia mengerjap berkali-kali, "perasaan ini, kenapa masih saja sama?" gerutunya dengan rasa perih yang hampir memenuhi rongga dada. Semakin terasa menyesakkan menerima sikap Hanif padanya dua hari ini, setelah lelaki itu berada di luar kota.

Aira merasa dirinya tak dipedulikan, untung saja kehadiran Muna cukup membuatnya merasa nyaman. Terlebih Bu Nyai Bad, yang tidak pernah absen menanyakan kabar, seperti menerima titah dokter dalam mengkonsumsi obat. Tiga kali sehari, tak pernah kurang. Aira merasa seakan mendapat pengganti sang ibu di tempat itu. Tapi Hanif, mengapa bahkan jika Aira tak menelpon, lelaki itu tak ingat untuk memberi kabar? Ia bersikap seolah mereka belum menikah, atau lebih tepatnya seperti tahun-tahun yang lalu, saat Hanif masih di Mesir.

"Apa Hanif tak mengingatku? Atau sesibuk itukah hingga tak sempat memberi kabar?"
Aira mendesah panjang, kesal dengan inginnya yang datang disaat tidak tepat.
Jika bukan karena Tahu dan Takwa Bah Kacung sudah memenuhi kepala, Aira tak ingin menelpon Hanif duluan.
Menunggu meski sampai mata terpejampun tak apa, sebab ia ingin tahu seberapa kehadirannya berarti bagi lelaki yang sudah menjadi imamnya itu.
Beberapa kali gadis itu memencet nomor Hanif, bermaksud meminta ijin ke kota. Namun satu kalipun panggilannya tak ada jawaban.
Aira memilih untuk mengirim pesan via whatsapp.

[Assalamualaikum, Mas. Aira mau minta ijin keluar pondok, mau ke kota membeli Tahu Takwa, bolehkan Mas?]

Segera ia kirim pesan itu. Lima menit menanti, room chat masih tertulis kata on line. Ia urungkan sejenak, menanti hingga ada kabar balasan.

Tak lama, ponselnya pun berdering. Aira segera meraih benda pipih itu, kemudian menggeser layar hijau panggilan.

[Assalamualaikum, Mas Hanif]
[Waalaikum salam. Maaf Humaira, tadi Mas sedang di ruangan pelatihan. Ini Mas sudah di luar. Kamu mau ke kota? Apa nggak sebaiknya nunggu Mas pulang?]

Aira memejamkan matanya, ‘orang udah kepingin masih disuruh menunggu.’

[Aira kepingin sekali,  Mas. Sudah dua hari ditahan. Hari ini sudah tak tahan lagi?]
[Hahaha ...] Tawa Hanif pecah di seberang sana.
[Emm ... maaf istriku. Sebenarnya boleh aja, tapi mau pergi sama siapa? Mas khawatir kamu tersesat?]
[Aira 'kan bukan anak kecil lagi, Mas. Nanti Aira tanya-tanya deh?]
[Tetap jangan, ajak Muna aja. Mas telpon dia, ya?]
[Nggak usah,  Mas. Aira bisa sendiri. Percaya sama Aira, ya?]

Hanif terdiam sejenak, membuat Aira ragu untuk meneruskan keinginannya. Namun, tak berapa lama ...

[Ya sudah, pesan taksi aja, ya? Biar aman. Langsung sebutkan mau kemana, biar nggak muter-muter.]
[Iya, Mas]
[Humaira ... maaf ya, Mas nggak bisa menemani?]

Aira menarik napas panjang, ada rasa sakit mendengar permintaan maaf Hanif padanya.

[Iya Mas, nggak papa.]

Aira mematikan ponselnya. Rasa perih semakin memenuhi dada. Ia alihkan pandangan sejenak keluar melalui celah jendela, langit biru yang dihiasi kumpulan awan putih, terlihat seperti boneka salju yang begitu menggemaskan. Matanya mulai berkaca.
Sejenak ia berpikir, sejatinya menikah itu membahagiakan. Namun, jika menikah terus memikirkan bahagia, tentu kita akan menjadi gila. Juga apabila terus memikirkan penderitaan, kita akan menjadi seorang pesakit. Sebaiknya, ya seimbangkan jalan pikir.
Bahagia itu terwujud dari kerja keras dan berlapang dada.  Jannati Huna wa jannati fii qolbi. Bukankah surga itu ada dihati saya?

Aira menyeka air matanya yang luruh. Entah untuk apa ia menangis, yang ia tahu, stok air matanya banyak. Setiap saat, kapan saja siap berderai jika diminta.
***

Setelah meminta ijin pada Bu Nyai Bad, akhirnya Aira keluar dari gerbang pondok. Beberapa kali Muna menawarkan diri untuk menemani. Namun Aira menolak, mengingat satu jam kedepan, gadis itu akan mengajar di kelas 1 Tsanawiyah.

Beberapa meter berjalan kaki, sampailah Aira di sebuah halte. Di tempat itu tidak hanya dirinya yang menunggu angkutan jurusan kota, beberapa wanita yang kelihatannya sudah lama menanti juga tampak memenuhi tempat tunggu bis tersebut.
Aira memberanikan diri bertanya, tentang bis atau sejenis taksi-walau ia sedikit ragu. Salah seorang wanita mengatakan bahwa sebentar lagi bis tujuan kota akan sampai, tapi seperti biasa, selalu penuh.
Wanita itu juga berpesan, agar Aira tak menunggu orang lain mendahuluinya, jika tidak ingin ke kota sambil berdiri.
Aira tersenyum, baru pertama kali ke kota tahu kuning itu, sudah aja bertemu orang seperti wanita yang tadi berbicara padanya.

Sepuluh menit berselang, sebuah bis akhirnya berhenti di halte itu. Semua saling mendorong agar dapat masuk duluan. Aira tak berani menerobos, karena yang mendahuluinya berbadan lebih besar juga sedikit kasar.

"Ah, berdiripun jadi, yang penting sampai." Gadis itu lebih memilih menunggu yang lain masuk, baru setelahnya melangkah perlahan.
Beruntung ada satu deretan kursi yang masih kosong, deretan sebelum kursi memanjang dibagian belakang. Sambil tersenyum dan mengucap syukur, Aira menelusuri koridor bis yang sedikit sempit.

"Sudah siap semua?" tanya supir bis itu pada seluruh penumpang.
"Sepertinya ini akan jadi perjalanan yang menyenangkan."Aira bergumam bahagia.
"Tunggu!" Teriak seseorang dari luar bis. Kendaraan panjang yang sudah siap berangkat itupun seketika menekan rem. Semua terhunyung ke depan karena rem dadakan yang dilakukan sang supir.
Beberapa penumpang terdengar mengoceh kesal karena penumpang baru itu. Aira bergeming sambil mencari tahu pemilik suara yang sedikit menggetarkan kalbunya.

"Masih ada tempat, Pak?"
"Sampeyan naik saja dulu, lihat sendiri." Supir bis itu menimpali.

Aira sedikit mendongak, sudah pasti penumpang baru itu duduk di sampingnya. Karena hanya tempat duduk di sebelah Aira yang tersisa. Sedetik kemudian, matanya membulat sempurna.

“Alloh, inikah yang namanya jodoh? Lalu apa arti pernikahan kemarin?”
Aira tak pernah menyangka jika yang ia lihat saat itu adalah ...

“Mas Reza?” Sejenak tatapan mereka saling bertemu.
“Tuhan, berdosakah aku jika berharap waktu berhenti di detik ini?” batin Aira. Ia segera menundukkan pandangan. Gelisah dan merasa berdosa.
Tapi ia tak dapat menutupi kebahagiaan yang muncul karena bisa kembali melihat lelaki itu. Lelaki yang masih saja ia dengungkan dalam doanya.
Sementara Reza, lelaki itu tampak bingung. Harus meneruskan langkah, atau membalikkan badan menunggu bis lainnya.

"Ayo masuk, ini bis terakhir." Supir bis memberitahu pada Reza.

Setelah lama melempar pandang, akhirnya dengan pasrah Reza berjalan gontai menuju tempat duduk yang tersisa.

Sementara Aira, dengan sekuat tenaga ia mengatur detak jantung yang terlanjur berdegup kencang. Sesaat lagi, mereka akan duduk bersisian. ‘Apa yang harus dibicarakan? Diam saja atau bagaimana? Alloh, selamatkanlah diri ini dari sikap yang salah?’ batin gadis itu kembali berbisik.

Setelah pertemuan terakhir yang menguras air mata di hari pernikahan, keduanya sepakat memang tidak berharap untuk kembali bertemu. Tapi hari ini?

‘Ada apa dengan hari ini ya Alloh?’

"Maaf, pasti saya akan mengganggu perjalananmu?" ucap Reza dingin.
Aira melirik sekilas. Posisi mereka kini sudah saling bersisian. "Tidak masalah, Mas. Ini kan kendaraan umum."

Gadis itu menggigit bibirnya perlahan. Ibarat kata mati tidak akan menyesal, luka tidak akan menyiuk. Ia tidak boleh menyesali kepergiannya hari ini. Dirinya hanya harus meyakini bahwa tidak ada suatu kejadianpun dibumi Alloh yang berjalan tanpa ketentuan-Nya.
Sedikit menggeser, Aira berusaha agar duduknya tak bersentuhan dengan Reza. Dengan wajah terunduk, ia berulang kali menghela napas panjang.

"Kenapa ada disini?" ucap Aira akhirnya berusaha mencairkan kekakuan di antara mereka.
"Ada keperluan," jawab Reza singkat.
"Em ... ATM-nya, terima kasih, ya?"
"Ya."

‘Kenapa hanya ya, tidakkah ada hal lain yang ingin engkau sampaikan? Atau, kamu sudah melupakanku di hatimu, Mas? Sedang aku masih saja mencari cara untuk menghapus namamu dihati?’ Aira menelan saliva.
Keinginannya untuk berbicara panjang lebar takkan mungkin terwujud. Tentu salah, seseorang yang sudah terikat pernikahan meluapkan kerinduannya dengan seseorang yang pernah begitu ia cintai bahkan hingga saat ini.

Sepanjang perjalanan, tak satu patah katapun keluar dari bibir keduanya. Tanpa menoleh juga tak bergerak.

‘Buatku, cukup seperti ini. Duduk di sebelahmu tanpa berbicara, membuat rindu yang sehasta ini berderai. Andai waktu lupa cara bergerak?’
***

Tiga puluh menit bukan waktu yang pendek, namun Aira merasa siang itu waktu bergerak begitu cepat. Rasanya ia ingin berharap agar bis mutar-mutar seluruh kota baru kemudian singgah ke terminal.

“Astaghfirullah ...!”

Bis berhenti di terminal kediri tepat pukul satu siang. Suasana di pemberhentian bis itu cukup ramai, belum lagi terik mentari seolah membakar tubuh. Reza buru-buru keluar bis, mungkin mencegah agar mereka tak berpas-pasan saat di luar. Lagi-lagi Aira hanya bisa mengembuskan napas.

Setelah menunggu seluruh penumpang turun, barulah Aira melangkah keluar. Gadis itu berjalan beberapa meter hingga menemukan sebuah kios yang menjual minuman dingin. Ia menyisir pandangan ke seluruh terminal, tapi sosok Reza tak lagi ada di tempat itu.

‘Kemana dia, cepat sekali menghilang?’
Aira menghela napas, merasa lebih baik tak lagi bertemu. Untuk alasan apapun, lebih baik mengambil langkah yang berbeda. Aira tahu, ibarat kata orang pacaran, jika mereka bersama, maka yang ketiganya adalah syaitan. Akhirnya Aira memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya. Ia mencoba bertanya pada seorang wanita yang tengah berdiri dengan beberapa tas di tangannya.

"Bu, kalau mau membeli tahu takwa, harus pilih jalan yang mana, ya?"
Wanita itu bergidik, lalu menjawab,"kalau mau ke Bah Kacung, mbak naik ojek aja, paling cuma sepuluh menit. Jalan kaki bisa juga, tapi bisa sejaman."
"Saya bisa dapat ojek dimana, Bu?"
"Itu." Tunjuk wanita tersebut pada persimpangan yang dipenuhi tukang ojek berhelm kuning.

Aira mengangguk mengerti. Sebelum melangkah, ia berpikir untuk berkunjung terlebih dahulu ke salah satu rumah makan di samping terminal. Banner berukuran jumbo bertuliskan 'Nasi Pecel Tumpang Mang Karyo' cukup membuat perut Aira berkeriuk lapar.
Memang gadis itu sengaja tak mengisi lambung di rumah, harap-harap ada sesuatu berbeda yang dapat di makan nanti.
Gadis itu melirik jam di tangan, ‘wah, bisa sekalian numpang shalat.’ batinnya berkata.
Sementara itu, jauh di sisi lain. Di bawah sebatang pohon Mahoni sebelah utara terminal. Reza masih belum beranjak, mencuri pandang sang gadis yang masih menjadi idaman.

"Katanya mau beli tahu takwa, kenapa malah masuk toko nasi pecel? Dasar wanita ...!" gerutu Reza.

Ia memilih menunggu Aira, entah mengapa lelaki ia berpikiran bahwa meninggalkan Aira seperti melepas burung dalam sangkar. Setelah pergi, pasti ia takkan tahu jalan pulang.
***

Setengah jam berlalu, Aira belum keluar juga dari rumah makan pecel. Reza mendesah sebal, "makan apa sih, lama banget?"

Sembari menoleh ke kiri, sebuah lengan keriput mencengkeram lengan kanannya.

"Tolong bantu Nenek menyeberang, Anakku ...."

Perempuan berbaju lusuh dengan kacamata hitam meminta dengan suara serak pada Reza.
Sempat kaget, melihat seorang perempuan tua berada di belakangnya. Namun, Reza segera mengiyakan permintaan sang nenek.
Reza menggenggam jemari keriput itu tanpa merasa enggan. Sampai di seberang jalan, perempuan tua tersebut mengucapkan sesuatu yang membuat sekujur tubuh Reza bergetar hebat.

"Jangan takut Anakku, kalau jodoh itu tidak kemana. Berdoa dan serahkan semua pada Alloh."
"Hah?" Reza tampak bingung dengan apa yang diucapkan perempuan itu, ia hanya mengangguk.

Nenek tersebut lalu menghilang di balik sebuah truk yang berdiri di pinggir jalan. Reza menghela napas panjang. Kenapa yang dikatakannya seolah menyiratkan sesuatu yang sedang ia alami?

"Ah, mungkin dia peramal?" ungkap Reza seorang diri. Di satu sisi ia ingin mengejar perempuan tua itu, namun di sisi lain dirinya takut jika Aira telah selesai makan dan pergi ke tempat lain.
Akhinya Reza memilih untuk kembali menunggui Aira.

Sepuluh menit berlalu, tak ada seorangpun yang keluar. Tak tenang dengan situasi begitu, Reza memutuskan untuk terjun langsung. Meski dengan menutup-nutupi sebagian wajahnya dengan selembar kertas.
Lama ia melirik sana sini, tak ada keberadaan Aira di tempat itu. Reza mendecak perih, sekian lama menunggui, namun sekejap mata hilang bak ditelan bumi.

"Apakah dia pergi saat aku mengantar nenek tua tadi?"

Tanpa lama berpikir, Reza langsung memasang target menuju lokasi tahu takwa. Ia yakin pasti Aira sudah di sana.

Sesampainya Reza di Jalan Trunojoyo. Lelaki itu memilih toko Bah kacung karena tempat inilah yang paling terkenal. Dengan bergegas, Reza berhamburan ke dalam toko. Melirik sana sini, namun sayang tak ada wanita yang ia cari di tempat itu.

"Baiklah, akan kucari ke tempar lain." Ia masih bersemangat.

Tekad sudah seratus persen, tapi bumi seolah melawan. Tiba-tiba, langit yang tadinya terik seperti ketumpahan air. Hujan turun dengan derasnya, dan perlahan langit yang tadi cerah berubah menjadi gelap.

"Kemana dia?" Reza masih saja memikirkan Aira.
***

Aira baru saja selesai shalat Zuhur di Mesjid Agung. Rencana mau membeli tahu takwa malah gagal sebab di luar hujan turun dengan derasnya. Aira menarik napas panjang, mau pulang ke Pagu juga bagaimana caranya. Ke terminal sudah pasti harus jalan kaki, atau minimal naik ojek. Tapi kalau hujan-hujan begini tetap nekat menerobos, bisa basah kuyup.
Dalam kebimbangan yang memenuhi pikiran, Aira melihat sebuah taksi berdiri tepat di pintu gerbang mesjid. Gadis itu berharap taksi tersebut bisa mengantarnya membeli tahu lalu pulang ke pondok.
Ia gerakkan langkahnya menerobos tetesan hujan yang terus turun dengan deras. Tak ia pedulikan hujan yang nyaris membuatnya seperti baru saja keluar dari pemandian. Aira terus berlari hingga sampai di depan taksi.
Namun, ia sedikit terhenyak saat mendapati seseorang membuka pintu mobil dengan cepat.

"Mas Reza?" lirihnya tak menyangka, akan bertemu Reza kembali di tempat itu.

Diantara rintik hujan yang semakin deras mengguyur, Aira menyapu wajahnya yang sudah bersiborok dengan wajah Reza.

"Kenapa nekat kemari, kamu bisa basah kuyup?" Dengan cekatan Reza segera memayungi gadis yang tampak menggigil kedinginan itu.

"Takut taksinya pergi," jawab Aira sambil menggenggam jemari tangan.
“Tapi kamu jadi basah ‘kan?” ketus Reza sambil menghela napas. Ia menatap lekat gadis di hadapannya. Sementara Aira hanya menunduk sambil terus menggosok-gosok tangannya.

‘Alloh, aku tak kuat menahan rasa ini ....’ Reza membatin.

Menyadari sesuatu mengalir dari pandangannya, Reza ikut menunduk. Tanpa basa-basi, lelaki itu  membuka jaket kulit yang  ia kenakan, kemudian menyematkan pakaian hangat itu di bahu Aira. "Pakai ini biar kamu nggak kedinginan?"

Aira menengadahkan wajahnya, ia ingin menolak. Namun, Reza  buru-buru membuka pintu taksi dan menyuruh Aira masuk, "kamu pulang naik taksi ini, ya?"
"Mas Reza bagaimana?"
"Nanti saya cari taksi lain, yang penting kamu bisa segera mengganti pakaianmu biar nggak masuk angin."

Sejujurnya, begitu banyak pesan yang ingin ia sampaikan pada Aira, tapi semua seakan tertahan di tenggorokan. Mengingat wanita yang ia khawatirkan itu sudah terikat dengan lelaki lain.

"Ini buat kamu?" Sebelum pintu mobil ia tutup, Reza menyodorkan sebuah plastic kresek berisi ke arah Aira.
"Ini apa?"
"Katanya kamu kepingin tahu takwa?"

Aira menyipitkan mata, ‘kapan pernah ia bilang ke Reza kalau dirinya ingin makan tahu takwa? Ah, apapun itu, lelaki ini sudah memporak-porandakan hati Aira untuk kesekian kalinya.
Aira meraih pemberian Reza.

"Mang, matikan AC-nya, ya?" pinta Reza pada supir taksi. Aira terperangah, perhatian Reza benar-benar membuat matanya menghangat.
"Begitu sampai langsung ganti pakaian."

Reza menatap Aira sejenak sambil menutup pintu taksi.
Aira tergugu, tak dapat berkata apapun.

‘Apakah ini bagian dari takdirmu ya Alloh, bagaimana hamba harus menahan diri dari rasa ini? Astaghfirullah ....'

Perlahan, taksi itupun bergerak menjauh. Aira membalikkan badannya yang sudah sempurna bersandar di kursi, menatap sosok lelaki yang masih berdiri di gerbang mesjid.
Pandangannya tak berpaling, hingga bayangan Reza hilang tertutup kabut seutuhnya.
Di luar, hujan terdengar semakin deras.
Tetesannya seumpama duri yang menghujam tubuh. Aira dan Reza, keduanya semakin yakin, bahwa tidak ada yang lebih baik kecuali hidup di dua benua. Karena menjauh adalah cara terbaik untuk membunuh rindu pada sosoknya yang haram dirindui.
***

"Darimana aja kamu?" Elsa menyerang Reza yang baru saja membuka pintu rumah.
"Mbak gak lihat bajuku semua basah? Di Kediri tadi itu hujan deras, jika bukan karena kamu yang minta, aku sudah membatalkan pembeliannya."
"Ish, sensi aja!" Elsa menyambar bungkusan makanan di tangan sang adik,"tapi, makasih, ya?"
"Hem ... Abhi mana?" tanya Reza saat tak menemui jagoannya di ruang tamu rumah Bukde mereka.
"Tidur."
Reza melirik jam di pergelangan tangan,"Bukannya malam ini kita ke rumah Pakde Danu?"
"Em ... kagak jadi sih Za?"
"Lho, kenapa?"
Elsa sedikit ragu menyampaikan alasan batalnya pertemuan mereka malam itu. Tapi apa boleh buat, tak ada cara lain selain jujur.

 "Za, Muna nggak bisa ijin keluar tadi siang. Gantiin jadwal ngajar pimpinannya yang kebetulan ke luar kota. Gitu sih katanya."
Reza mendelik kesal, "Ck, udah bela-belain kemari, eh dibatalin."
"Pakde bilang, minggu depan. Kali ini Muna benar-benar janji."
"Ah, Mbak aja yang ketemuan. Reza udah ogah."
"Ih, jangan ngambek gitu donk. Kalau mau nyari yang terbaik, ya kamu harus rela berkorban ...."
Reza bergeming, 'bahkan dengan mengorbankan perasaanku untuk bertemu Aira?'

"Andai Mbak tahu, bahwa hari ini Alloh bukan mempertemukanku dengan Muna, melainkan dengan Humaira. Pasti Mbak takkan memaksa lagi ke kota ini. " gumam Reza dalam hati.

Di kamar, Perlahan ia berjalan mendekati jendela, menatap langit malam yang penuh bintang. Sebuah bangunan besar berwarna hijau di kelilingi pagar beton yang menjulang tinggi. Di dalamnya, entah di bagian kiri atau kanan, ia yakin, ada seorang wanita yang tengah memikirkannya. Seperti ia yang tak henti memikirkan wanita itu.

“Astaghfirullah ... apakah ini namanya cinta? Bukankah cinta itu meredakan segala resah dan gelisah? Mungkin aku terlalu mencintai sesama makhluk, hingga lupa hakikat cinta yang sebenarnya.

Sementara itu, di sudut sebuah kamar, seorang gadis meringkuk kedinginan. Badannya terasa panas, sementara ujung kaki dan tangan bergetar karena menggigil. Suaminya tak memberi kabar, bahkan untuk mengucap selamat tidur.
Di tubuhnya, jaket kulit hitam masih membalut, sedikit hangat meski tak menghangatkan hatinya yang kadung sebeku es dikutub utara.

Bersambung #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER