Perasaan Yang Terluka
Teruntuk Muna,
Assalamualaikum
Yang saya hormati, Ukhti Raudhatul Muna. Terasa sangat tak pantas menyampaikannya melalui surat. Namun, jujur untuk mengutarakan langsungpun saya tak mampu.
Dari awal bertemu, saya tak bisa menutupi kekaguman pada raut wajah juga kepribadian ukhti. Selaksa satu bintang yang bersinar terang diantara ribuan bintang lainnya.
Ukhti hadir sebagai penyemangat, juga menuntun seseorang untuk selalu menjadi yang terbaik. Dan orang itu adalah saya sendiri.
Andai ukhti berkenan, ijinkan seseorang yang bukan apa-apa ini untuk menyatakan keinginannya, menyempurnakan iman bersama. Jujur, ukhtilah yang pertama di hati.
Saya hanya ingin menghalalkan seseorang yang saya cintai. Jika ukhti menerima perasaan ini, saya akan langsung mengkhitbah. Sungguh harapan diterima sangat besar saya gantungkan pada Robbi.
Sekian. Tolong di balas.
Habiburrahman El Hanif.
----
Aira menelan saliva membaca untaian kata yang tertulis indah di sebuah kertas bergambar dasar hati. Sekujur tubuh serasa beku, denyut jantungnyapun serasa berhenti berdetak.
"Benarkah ini surat Mas Hanif untuk Muna? Jadi, selama ini mereka ...?"
Aira mengusap embun yang tiba-tiba mengalir di sudut mata. Mengetahui ada seseorang yang begitu berarti di masa lalu suami, ternyata tak bisa membuatnya bersikap tenang.
Tapi kenapa, bukankah semua orang punya masa lalu. Bahkan dirinya sendiripun belum bisa mengubur rapat seseorang yang harusnya sudah menjadi kenangan. Sempat terbesit pikiran demikian di hati Aira.
"Mas Hanif ... inikah yang membuatmu bersikap begitu dingin?" lirihnya sangat pelan, seakan mewakili buncahan rasa perih yang menimpa batin.
Tiba-tiba suara derit pintu kamar mandi yang terbuka, berhasil mengagetkan Aira dari lamunan. Segera gadis itu melipat kembali surat di tangan dan memasukkan ke tempat asalnya yang tergeletak di atas ranjang.
"Kamu lagi ngapain?" Hanif menyembul dengan wajah berbinar.
Aira menatap tajam suaminya. Kaget, takut sekaligus penasaran, ingin sekali ia tanyakan perihal surat tadi pada Hanif, namun ia urungkan mengingat belum satu jampun keberadaan kembali lelaki itu di rumah.
Aira memilih menunda dan focus pada pertanyaan Hanif. "Sedang membaca buku, Mas?" jawabnya singkat dengan sedikit berusaha menutupi buku yang berjudul 'Fiqih Wanita', yang ia pinjam dari Muna beberapa hari lalu, sebab ia tak ingin Hanif membuka dan mendapati suratnya dahulu untuk Muna ada dalam buku itu.
"Buku apa, novel atau buku inspirasi? Sampai koper Maspun belum tersentuh?" Hanif semakin mendelik penasaran. Ia sedikit mendongakkan tubuhnya agar bisa membaca sampul buku yang dimaksud Aira.
Aira segera bangkit sembari membawa buku tersebut ke dalam lemari. Hanif hanya menatapnya penuh curiga.
"Aira beresi sekarang ya, Mas," ucapnya setelah memasukkan buku itu ke dalam lemari.
Langkah Aira terhenti seketika di depan ranjang. Hanif yang dalam posisi berdiri berhasil meraih jemari sang istri.
"Biarkan saja dulu kopernya, Mas lelah. Mas mau berbaring di pangkuan istri Mas?" Hanif melepas genggaman dan meraih kedua pundak Aira. Lelaki itu lalu mendudukkan sang istri di atas ranjang. Kemudian ia merebahkan kepala di atas pangkuan gadis itu. Aira sedetik bergetar.
"Maaf, Mas pergi lama meninggalkanmu. Juga begitu sibuk hingga tak rutin memberi kabar. Humaira, apakah kamu marah?" Lelaki itu menatap lekat manik kecoklatan yang tampak redup, sementara Humaira hanya menunduk tanpa berani membalas tatapan sang suami yang begitu intens.
Aira bergeming dengan tanya yang masih memenuhi pikiran. Apa yang ditanya Hanif pun seakan hanya angin lalu belaka.
Melihat Aira tak bereaksi, Hanif meraih kedua jemari tangan gadis itu, membekap erat di atas dada, lalu menciumi perlahan. Aira tersentak, ia baru menyadari bahwa dirinya dan Hanif sedang berada pada jarak yang sangat dekat.
Ia semakin menunduk, berusaha agar tak bertatapan dengan lelaki itu.
Mendapati istrinya salah tingkah, Hanif sedikit mengangkat dagu, matanya liar memandangi arah tatapan lawan.
Lelaki itu berhasil mengunci mata Aira, hingga tak ada yang dapat menyisir penglihatan gadis itu selain raut wajah sang suami.
Aira semakin gugup, entah bagaimana mencegah, tapi jantung itu mulai berdentum tak normal.
Hanif tak lagi dapat menahan keinginannya, seminggu tak bertemu, rindu semakin membuncah di dada. Ia gerakkan sebelah tangan menyentuh pipi istrinya, kemudian mendekatkan wajahnya hingga bibirnya nyaris menyentuh bibir sang istri. Namun ...
Tok! Tok! Tok!
"Assalamualaikum." Sebuah salam terdengar dari luar. Hanif yang hendak menuntaskan hasratnya, seketika rebah kembali di pangkuan Aira.
Keduanya menarik napas panjang, entah lega atau kesal. Lelaki itu menyunggingkan senyuman sambil menyugar rambutnya. Aira hanya membalasnya dengan lirikan ke kiri kanan.
‘Hufht, selalu ada cara untuk gagal!’
Diluar, Aira dapat mendengar percakapan antara Hanif dengan seorang ustadz. Sedikit enggan, namun ia tetap harus bersikap layaknya seorang istri yang menghargai tamu sang suami, Aira bangkit ke dapur untuk membuat dua cangkir teh hangat, namun saat ia sampai di teras, tamu itu telah pergi.
"Kemana tamunya, Mas?" Aira bertanya setelah ikut duduk di sebelah Hanif.
"Ke Mushalla. Itu tadi Gus Fatih, anaknya Kiai Ahmad. Beliau menyampaikan pesan Abi, agar Mas menggantikan kajian malam ini di Mushalla putra. Kiai sakit apa?"
"Owh itu, semenjak Mas pergi, penyakit jantung yang di derita Abi mendadak kambuh. Setiap malam yang Aira tahu, tak pernah sekalipun ia mengisi kajian. Tapi, haruskah Mas menggantikannya malam ini, bukankah Mas juga baru sampai?" tanya Aira bersunggut-sunggut.
"Nggak masalah, lagian Mas juga tadi sudah istirahat di pangkuan isteri Mas." Hanif menimpali pertanyaan sang istri sambil tersenyum hangat.
Aira mengembuskan napas perlahan. 'Buat Mas memang nggak masalah, tapi buat saya? Seminggu Mas pergi meninggalkan saya seorang diri di tempat ini. Tak inginkan Mas tahu betapa saya harus melalui hari-hari yang sepi ini? Bahkan ketika tempo hari badan meriang, hanya jaket Mas Reza yang mampu menghangatkan tubuh, tahukah Mas akan hal itu? Sekarang baru sampai rumah, sudah harus pergi lagi. Pernikahan macam apa ini?’
***
Selepas kepergian Hanif, Aira membuka koper pakaian yang di bawa suaminya itu ke luar kota selama seminggu kemarin. Harum aroma maskulin yang lembut menguar dari dalam kotak segi panjang penuh pakaian itu.
Aira memicingkan mata, mencoba mengingat seakan aroma ini tak asing baginya. Namun, bukan milik Hanif. Ia yakin Hanif baru menemukan parfum ini selama bepergian kemarin.
"Ini ...." Aira berhenti memutar ingatannya, karena ia yakin beberapa kali pernah mencium aroma ini yang menguar dari tubuh seorang lelaki duda, pemilik wajah oriental dengan sebuah lesung di pipi.
Aira bangkit mendekati lemari, membuka dan mengambil sebuah jaket yang ia simpan di deretan paling bawah. Ia mendekatkan hidungnya hingga menyentuh permukaan jaket itu.
"Astaghfirullah, kenapa mereka berdua bisa pakai parfum yang sama?"
Aira memejamkan matanya, berusaha sekuat tenaga membuang pikiran tentang Reza.
"Jika terus dibiarkan, rasa ini semakin merebut gelar shalihah yang harusnya aku dapatkan dari Mas Hanif!" Gadis itu kembali memasukkan jaket kulit Reza ke dalam lemari, lalu fokus dengan koper suaminya.
Ia mengeluarkan sebuah plastik besar berisi pakaian kotor, di bawahnya ada sebuah plastik bertuliskan nama butik terkenal di kota Jakarta Pusat.
Aira begitu penasaran. Ia keluarkan plastik itu dan sedikit menilik apa isi di dalamnya. "Pakaian wanita?"
Aira tersenyum bahagia, "jadi Mas Hanif nggak benar-benar melupakanku?" Ia berucap lega.
Segera ia keluarkan isinya, di situ ada dua buah gamis dengan dua motif dan warna yang berbeda. Yang satu berwarna soft pink dan satunya lagi warna coklat susu.
Manik mata Aira langsung tertuju pada gamis berwarna soft pink, indah sekali pikirnya. Meski ia bukan pengagum warna pink-pink lembut, tapi dalam pandangannya, gamis itu begitu menawan.
"Makasih Mas," ucap Aira sambil mendekap gamis ke dada. Segera ia masukkan kembali kedua baju itu ke dalam plastik, biarlah esok Hanif sendiri yang menyerahkan."
***
Langit tampak gelap. Keadaan di luar rumah masih sangat sepi. Angin merambat perlahan, menembus melalui celah jendela, dan membelai lembut rambut Aira yang tergerai.
Gadis itu terhenyak, matanya membulat tak menyangka untuk kesekian kali tertidur saat menunggui Hanif pulang.
Ia menoleh ke samping. Hanif masih tampak pulas dalam lelapnya. Gadis itu mendekatkan wajahnya, memperhatikan dengan seksama tiap inci pahatan yang nyaris diciptakan sempurna.
"Apa yang terjadi dengan Muna, apakah dia menolakmu Mas? Lalu kenapa?" Aira bertanya pada sosok yang kelopak matanya masih tertutup itu.
Aira membuang napas kasar, jika mengingat surat itu, hatinya terasa perih. Doble perih jika mengingat bahwa dirinya juga bernasib sama.
"Tapi jika kamu menyukainya, kenapa kamu menikahiku? Harusnya kamu jangan memaksa Mas, maka kitapun tidak terperangkap dalam kepalsuan seperti sekarang ini?"
Ia menggigit bibir bawahnya perlahan, rasa perih kembali menjalari mulai dari tenggorokan hingga ke bagian yang terus berdegup.
"Astaghfirullah ...." Segera ia menepis perasaan itu.
Perlahan, jemari tangannya menyentuh pipi Hanif dengan lembut. "Mas, bangun. Udah jam setengah empat."
Hanif menggeliat tanpa bersuara. Tampaknya lelaki itu benar-benar lelah, setelah kemarin melakukan perjalanan jauh, malamnya masih juga harus mengisi kajian. Tapi, bukankah ia pernah mengatakan jika matanya tak terbuka, ia meminta Aira untuk membukakannya dengan berbagai cara.
Dua kali mengusap dengan lembut tak ada reaksi. "Kasihan, biar tidur lima belas menit lagi," lirih Aira sembari bangkit dari tidurnya.
"Kok menyerah?"
Aira mendadak berdiri kaku, ia baru tahu ternyata Hanif tak lagi sedang tertidur.
"Mas Hanif sudah bangun, Aira pikir ...."
Lelaki itu tersenyum, "Mas pikir bakalan dapat sesuatu yang special jika Mas terus memejamkan mata," ia terkekeh kemudian. Aira sedikit gugup.
"Kemarilah." Pinta Hanif. Lelaki itu sedikit membungkuk, meraih sebuah benda yang ia letakkan di bawah tempat tidur.
Hanif mengeluarkan sebuah plastik, yang semalam telah dilihat langsung oleh Aira.
"Apa itu Mas?" Aira pura-pura bertanya.
"Bukannya semalam kamu sudah lihat?" goda Hanif. Aira tampak semringah.
"Ini kado buat istri Mas yang cantik, dan sudah menunggu Mas pulang dengan setia." Hanif mengeluarkan gamis berwarna coklat susu dari dalam plastik.
Raut wajah Aira seketika berubah. Ia menanti, Hanif mengeluarkan satunya lagi dari plastik.
"Lo, kok cuma dilihat? Ayo diambil? Kamu gak suka?"
Aira melongo, ternyata memang cuma diberikan sepasang. Lalu buat siapa satunya lagi? Aira memberanikan diri untuk bertanya.
"Yang satunya lagi buat siapa Mas?"
Hanif semakin terkekeh. "Ternyata benar kamu sudah mengintip isinya?"
Aira tak lagi tersenyum, hatinya getir menanti jawaban yang keluar dari mulut Hanif.
"Em, rencana mau Mas berikan sama Muna, karena selama Mas di luar kota, diakan yang sudah nenemani kamu. Hanya sebagai ucapan terima kasih. Itupun, jika Istri Mas ini tidak keberatan."
Aira membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba terasa begitu kering. 'Ini sandiwara atau apa? Kenapa hatiku begitu sakit, apa aku cemburu ya Alloh?'
Aira masih bergeming, cukup membuat seluruh tubuhnya kaku mendengar bahwa gamis yang ia sukai hendak diberikan kepada orang lain. Lantas, kenapa hanya untuk Muna, Bu Nyai, kenapa beliau juga nggak diberi? Pikiran Aira benar-benar kacau, darahnya memanas.
"Lho, kenapa diam? Kalau kamu gak suka, ya tidak jadi ... dua-duanya untuk istri Mas deh"
Benar-benar menyakitkan!
Sesuka-sukanya Aira pada gamis itu, tentu tak mungkin ia menerima barang yang sudah diniatkan untuk orang lain. Amarah semakin bergejolak, namun gadis itu mencoba menenangkan diri, tak ingin terbawa emosi hingga Hanif bisa membaca perasaannya.
"Aira nggak keberatan. Mas. berikan saja pada Muna, berkatnya Aira tak kesepian seminggu kemarin."
Aira berucap dengan memasang nada sindiran. Harap-harap Hanif peka, tetapi justru lelaki itu semakin melebarkan senyuman. Seakan tak menyadari bahwa sebagai seorang suami ia tak seharusnya memberikan perempuan lain hadiah. Begitulah yang terpikir di benak Aira.
Hanif menyugar rambut. "Mas baru tahu, ternyata istri mas punya jiwa sosial tinggi?"
Hanif malah mencibir. Aira berpaling dan hendak pergi meninggalkannya. Tapi, lelaki itu berusaha menahan, "eh tunggu dulu?" Hanif bergerak dan meraih pergelangan tangan Aira.
"Mas mau, kamu yang berikan itu pada Muna?"
"Kok Aira, itu kan hadiah dari Mas Hanif ...?" sanggahnya dengan muka jutek.
"Mas tugasnya membeli. Kalau Mas juga yang ngasih, bisa dipecat jadi hamba Alloh Mas entar?" Hanif terkekeh.
Aira mendesah sebal. "Lalu apa bedanya, membeli dan memberi, yang jelas niat sudah ada. Ya tinggal dikasih aja Mas, Aira gak masalah kok ...?"
Hanif tersenyum dan menarik Aira dalam dekapannya, "Istri Mas cemburu?"
Masih mendekap, Hanif membisikkan sesuatu, "kebanyakan wanita umumnya pencemburu. Hanya saja cemburu yang tercela adalah cemburu yang membara di dalam dada. Kamu tahu, sesungguhnya, rasa cemburu dapat menyalakan api keraguan dan prasangka setiap waktu. Ia akan mengubah kehidupan keluarga bak panasnya neraka yang tak tertahankan,” Hanif mengurai dekapan, “apa benar istri Mas cemburu?”
"Aira nggak cemburu?" Ucapnya sembari berusaha melepas seluruh dekapan Hanif pada tubuhnya. Sesuatu kembali mengambang di pelupuk mata, tapi buru-buru gadis itu mengedip-kedipkan bola mata agar genangan itu tak merembes.
"Hem ... lupakan hadiahnya ya?" ucap Hanif sembari mengelus kepala Aira.
Jika tak memikirkan ego, tentu Aira akan berkata, "mana bisa melupakannya!" Tapi, ia hanya diam, membiarkan Hanif kembali mendekapnya erat tanpa lagi melawan.
Hanif menarik napas dalam, lama ia mendekap berharap Aira mengulurkan tangan membalas merangkul pinggangnya. Namun, harapannya tak terkabul.
"Apakah kamu mau lelaki di swalayan itu yang mendekapmu seperti ini?”
Hanif semakin mengeratkan pelukannya, sampai-sampai Aira harus menarik napas agar paru-parunya cukup mendapat oksigen.
Kertas putih bertuliskan 'Setelah mengembalikan benda ini, tak ada lagi alasan untuk kita bertemu', yang tak sengaja ditemukan Hanif sebelum ia berangkat ke luar kota, cukup membuat dada Hanif naik turun dengan cepat.
'Apapun yang terjadi, saya akan menjaga wanita yang telah saya minta pada Alloh menjadi istri.'
==========
Kenapa Begini, Mas?
Hanif berangkat sangat pagi, hari ini ia harus memberikan materi tentang kurikulum pada beberapa ustadz dan ustadzah, termasuk Muna. Lelaki itu keluar dengan membawa beberapa map berisi lembaran-lembaran yang ia dapat selama pelatihan.
Sepanjang perjalanan yang hanya berjarak beberapa meter itu, tampak beberapa santri lalu lalang di depan asrama.
Hari ini hari jumat, sekolah libur. Namun, Hanif tetap berniat membuat rapat dadakan, dan memulainya lebih awal agar tak mengganggu waktu shalat dhuha juga shalat jumat nanti.
Memasuki ruang rapat sekolah putra, seluruh peserta telah menduduki tempatnya masing-masing. Hanif memilih duduk di sebelah Gus Fatih, juga hadir di ruangan itu Ustadz Bahrur yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Kiai Ahmad.
Sebelum menghidupkan materi pada laptopnya, matanya menyapu ke seluruh ruangan. Sempat menatap Muna yang duduk di bangku kedua dari belakang. Hanif tersenyum samar, pada gadis yang saat itu mengenakan gamis hitam.
Dengan seksama Hanif mulai menjelaskan tentang prinsip penyusunan Kurikulum Pesantren yang dikenal dengan sistem KMI (Kulliyatul Mu'allimin wal Mu'allimat Al-Islamiyah). Dalam KMI, pendidikan agama dan umum diberikan secara seimbang dalam jangka waktu enam tahun. Yang membedakan antara kurikulum KMI dengan kurikulum sekolah biasa adalah ketika santri lulus dari kelas tiga KMI, mereka tidak langsung mendapat ijazah setingkat SMP. Ijazah KMI hanya akan didapatkan ketika telah menyelesaikan pendidikan selama enam tahun, atau setingkat SMA.
KMI juga mempunyai banyak kegiatan, ada yang bersifat mingguan, tengah tahunan, tahunan serta kegiatan co-kurikuler sebagai penunjang utama. Hanif juga menyatakan bahwa kurikulum yang digunakan adalah perpaduan antara beberapa kurikulum, yaitu kurikulum depag, kurikulum Depdiknas, kurikulum pesantren modern Gontor dan kurikulum pesantren tradisional.
Semua yang hadir tampak begitu antusias, tak terkecuali Muna. Ini adalah sekolah pesantren modern pertama tempatnya mempraktekkan ilmu selama ini.
Sebelum melamar menjadi tenaga guru ilmu salaf di pondok Al Falah, ia hanya bekerja sebagai guru di pesantren tradisional di kota kelahirannya, Surabaya.
Ummahnya yang mendorong agar ia ke Kediri, karena salah satu saudara mereka memberitahu bahwa tahun ini di kota Tahu itu didirikan sebuah pesantren modern. Muna benar-benar tak menyangka jika Hanif termasuk salah satu pendiri pesantren tersebut.
Lima tahun, bukan waktu sedikit untuknya melupakan seseorang yang pernah singgah di hati. Sebagai gadis yang bahkan tak pernah mengenal kata cinta, Hanif adalah orang pertama yang ia cintai. Namun, meski di dasari rasa cinta, ia tak mudah menjatuhkan pilihan.
Tampan dan mapan buatnya bukan nomor satu, ia ingin yang punya nilai lebih terutama dalam kecerdasan. Sayang, ketika itu yang ia tahu, Hanif gagal dalam mempertahankan sidang kelulusannya di Universitas Cairo.
Muna bertahan, dalam surat balasan yang diberikan kepada Hanif, ia tak bermaksud menolak. Hanya menunda. Namun kenyataannya, Hanif salah mempersepsikan tulisannya. Perlahan, dengan teratur Hanif mundur. Menjauh dan tak lagi berkabar padanya.
Muna menarik napas panjang, ingatan itu membuat dadanya sesak. Ia mencoba menata hati, bukankah ini tuntutan pekerjaan, biarpun ia harus terus menatap Hanif setiap waktu.
Satu hal yang harus ia tanamkan dalam hati, bahwa perasaannya tak boleh luluh, apalagi untuk sebuah kata menyesal.
"Tidak boleh!" Muna berucap tanpa sadar sembari menghentak tangan ke atas meja. Semua terhenyak dan menatap gadis itu penuh tanya.
"Bagaimana Ustadzah Muna?" tanya Hanif, "apa Ustadzah ingin menyampaikan sesuatu?"
Muna terbelalak, kedua alisnya sedikit terangkat. Mukanya yang ranum seketika merah padam menahan rasa malu.
“Tidak ada Ustadz,” ucapnya sambil menggeleng. Rasanya seperti membuka rahasia di depan umum, sungguh memalukan, pikirnya saat itu.
***
"Ustadzah Muna, bisa bicara sebentar?" Hanif memanggil Muna yang hendak berlalu meninggalkan ruangan. Beberapa yang mengikuti rapat sedari tadi telah meninggalkan tempat itu. Hanya Hanif yang masih sibuk dengan beberapa berkasnya, juga Muna yang tampak sedikit belingsatan dengan pelimpahan tugas barunya menata kurikulum.
Mendengar Hanif memanggilnya, Muna berhenti dan menoleh. "Ada apa Ustadz?"
"Njenengan ada yang ingin dikerjakan sekarang?" tanya Hanif sambil berjalan mendekati gadis itu. Di bahunya tas laptop telah bertandang, sementara di tangan beberapa file ada dalam dekapan.
"Tidak ada Ustadz, memangnya ustadz ada perlu sama saya?" Muna balik bertanya.
"Ukhti 'kan megang tugas menyusun kurikulum kitab klasik, Ini ada beberapa acuan, mungkin sedikit banyak dapat membantu ...?" ucap lelaki itu sembari membuka tasnya.
Hanif memicingkan mata, merasa aneh dengan isi tas yang ia bawa. "Kenapa ada disini ya?" tanyanya dalam hati.
Ia menyentuh plastik mengkilat berisi gamis yang sebelum berubah pikiran ia niatkan untuk diberi pada Muna. Namun, ia tak mengeluarkannya dari dalam tas. Membalikkan dengan punggung tangan lalu mengambil berkas yang hendak diserahkan kepada ustadzah di hadapannya.
"Wah, terima kasih Ustadz ... Tadi saya sempat bingung, jujur ini baru pertama kali saya lakukan, mohon bimbingannya?" ucap Muna sembari menundukkan kepala.
Hanif hanya melempar senyum, "insyaallah, saya akan membantu sebisanya. Panggil saja Mas, jangan kaku begitu," timpal Hanif. Muna menoleh seketika.
Jantungnya dua kali lebih rancak berdetak, terutama saat mendengar Hanif meminta memanggilnya dengan sebutan Mas.’ Bukankah itu hak penuh seorang istri, sementara yang lain, semua menyebutnya Ustadz? Apakah ini berarti ...?’ pikiran Muna mulai mengacau kewarasannya.
"Ya sudah, saya duluan ya?" Pamit Hanif kemudian. Ia berlalu dengan santai. Sementara Muna, gadis itu menggenggam kedua jemari, menahan rasa perih yang terlanjur menghujam hati.
***
Aira melirik jam yang bergantung di dinding, pikirannya ngelantur entah kemana. "Pasti Mas Hanif sudah memberi hadiahnya pada Muna.
‘Huh ... Coba kemarin itu aku menikah dengan ... Astaghfirullah! Sungguh kotor hati ini!’ Aira mengumpat diri sendiri.
"Harus istiqamah," ucapnya lantang. Ia teringat beberapa waktu lalu, gegabah pernah membuatnya menilai buruk Mas Reza, hingga akhirnya ia menerima pinangan Mas Hanif.
Tapi pernikahan bukan permainan, bukan pula sekadar coba-coba. Pernikahan itu diistilahkan mitsaqan ghalizan, yaitu sebuah perjanjian yang teguh. Jika tak sanggup, maka jangan menerima. Dan jika sudah menerima, dosa besar berharap untuk menyudahi.
Hanya bisa mengembuskan napas, Aira benar-benar pasrah! "Bukankah ini hanya rasa cemburu, aku harus bisa meredamnya." Aira membatin nelangsa. Ia akui, sekuat apapun menyangkal rasa terhadap suaminya, rasa cemburu itu datang dengan sendirinya .
Aira bangkit dari duduknya, mengambil buku berjudul 'Fiqih Wanita' dan berniat mengembalikan buku itu pada Muna. Dibaca tak sampai di hati, disimpanpun hanya menambah derita.’
Setelah buku ada dalam genggaman, ia membalikkan tubuh hendak berjalan keluar kamar. Namun, ketika hendak menggapai gagang pintu, ia kaget karena pintu itu justru terbuka dari luar.
"Mas Hanif?" spontan Aira melotot mendapati sang suami ada di hadapannya.
Hanif tersenyum melihat reaksi Aira, "Assalamualaikum Humaira ....”
"Wa-waalaikum salam." Aira menjawab dengan gemetar. Buku yang tadi dalam dekapan, seketika ia bawa ke belakang tubuh.
Sembari memejamkan mata, ia merutuki diri. Harusnya tak perlu bereaksi berlebihan, justru hal itu malah membuat Mas Hanif curiga. Atau bahkan bukankah lebih baik jika lelaki itu tahu saja perihal surat cintanya dulu, biar masalah ini cepat selesai.
Entahlah, Aira bingung. Tapi ia tak ingin ribut perkara ini. Biarlah perlahan dirinya sendiri yang mencari tahu, tentu dengan cara yang lain tanpa sepengetahuan Hanif.
"Apa yang kamu sembunyikan dari Mas?"
Aira gelagapan. "Bukan apa-apa Mas, ini hanya buku. Buku yang Aira pinjam dari Muna."
"Owh, coba Mas lihat." Hanif menengadahkan tangan.
"Em, tapi Aira mau mengembalikannya, Mas?"
"Lo, kenapa dikembalikan? Emang udah dibaca?"
"Udah, Mas? Aira pergi dulu, ya. Tadi sudah janjian sama beliau."
Hanif membuka mulut, ingin ia menghentikan langkah gadis itu. Meski di siang hari, ia tetap berniat menunaikan hajatnya yang tertunda dari semalam. Namun, belum sempat bersuara, sang istri malah sudah berlalu dari pandangan.
‘Ah, bukankah malam lebih baik dan lebih tenang?’ Ia meyakinkan diri meski terasa sedikit sulit.
Bersambung #8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel