Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 01 Oktober 2020

Ketika Duda Mencari Jodoh #8

Cerita bersambung

Bukan Dia, Tapi Kamu

Matahari mulai meninggi di atas kepala, aura panas yang dipancarkan mulai terasa membakar kulit. Aira berjalan beberapa meter ke utara.

"Pasti Muna mencari-cari surat ini. Terus, bagaimana reaksinya jika tahu aku sudah membaca surat cintanya dulu dari Mas Hanif?"
Aira bertanya-tanya dalam hati.
"Pasti Muna bakalan merasa gak enak, terus mencari perujukan yang tepat untuk menjelaskan perihal surat itu."

Ia mengangkat bahu, berusaha menebak namun takut salah.
Baru melangkah beberapa meter, matanya sudah bergerak cepat mendapati Muna berjalan ke pintu keluar.

Sontak ia berteriak memanggil.
"Ustadzah Muna?"
Gadis yang dipanggil itupun menoleh. "Mbak Aira?"
Humaira mempercepat langkahnya sambil menggenggam buku di tangan.

"Mau kemana Ustadzah?"
"Mau ke kios depan, nyari perlengkapan mandi. Mbak Aira ada perlu sama saya?"
"Iya, saya mau mengembalikan buku yang saya pinjam kemarin dari njenengan. Ini?" Aira menyodorkan buku ke hadapan Muna.
"Cepat sekali dikembalikan. Emang sudah habis dibaca, Mbak?"
"Em ... sudah. Saya boleh ikut Ustadzah keluar?"
"Mau ngapain Mbak?"
"Cari jajanan."
"Lo, apa nanti nggak dicariin sama Ustadz Hanif, Mbak?"
"Udah ijin kok tadi."
"Oh, ya sudah. Ayok,” ajaknya bersemangat.

Aira mulai memasang antena, ini saatnya mengulik masa lalu Hanif dan Muna. Perihal masa lalu, Bukankah ini urusan enteng. Ia selalu menanyakan riwayat masa lalu pada pasien-pasiennya. Meski yang ditanya bukan perihal cinta, melainkan riwayat penyakit, obat-obatan, dan apapun menyangkut kesehatan.

"Ustadzah sudah lama kenal sama suami saya?" tanya Aira tanpa menoleh. Keduanya secara berbarengan melangkah keluar pagar. Menapaki trotoar sekitar tiga meter untuk mencapai sebuah kios di seberang jalan.

Muna tersenyum, "Kok tiba-tiba nanya Ustadz Hanif, Mbak?"
Aira bergidik, "Ah nggak, cuma pengen mengenal teman-temannya dulu aja ustadzah. Setau saya, Mbak kan salah satu temannya?"
"Oh, iya benar. Saya mengenal Mas Hanif itu udah lama Mbak, lebih dari lima tahun yang lalu. Waktu itu dia sering main ke rumah di Surabaya. Ustadz Hanif itu, temanan sama Abang saya ketika di Cairo." tukas Muna antusias.
"Oh gitu ...?"
“Ustadzah tahu bagaimana suami saya dulu?”
Muna menoleh. “Maksud Mbak?”
“Ya, kalau tampang pasti nggak berubah ya, Utadzah? Yang saya ingin tahu, karakter, sifat, ibadahnya juga akademisnya gitu, Ustadzah pasti tahukan?” jawab Aira sambil tersenyum.
Muna ikut tersenyum. “Sebenarnya ini bukan ranah saya ya, Mbak? Tapi saya kasih sedikit bocoran deh ...,” Muna menarik napas sejenak, “yang tidak pernah berubah dari sosok Ustadz Hanif adalah ketulusan dan tanggung jawab. Ia lelaki yang baik dan taat ibadah, kalau akademis, yang saya tahu beliau dulu sempat gagal. Tapi saya juga heran, tau-taunya sudah lulus S2 Mbak. Ustazd Hanif bahkan nggak ngabari saya, untungnya Abang saya yang beri tahu?”
Muna menarik napas panjang, mengingat hal yang membuatnya mempertimbangkan lamaran lelaki itu dahulu. Dan hal itu pula yang membuat lelaki itu pergi kelain hati.

Aira menggut-manggut mendengar cerita Ustadzah Muna. "Begitu, ya? Terus, Ustadzah pernah dengar nggak kalau beliau suka mabuk-mabukan?"
"Astaghfirulloh ... Ustazd Hanif bersih dari perbuatan tercela begituan, Mbak."
"Hihihi ... saya bercanda, Ustadzah. Kalau soal wanita, Ustadzah tau nggak sebelum sama saya, dia pernah taaruf sama siapa?"

Muna terhenyak mendengar pertanyaan Aira, kelopak matanya terangkat dengan mulut sedikit bergetar. Gadis itu lalu tersenyum dan menjawab, "saya tak tahu perihal itu. Jika Mbaknya penasaran, sebaiknya ditanyakan langsung sama tersangkanya."

Muna terkekeh mengusir rasa sakit di dada, mengingat dirinyalah wanita yang pernah dikhitbah Hanif. Aira yang tahu kejadian sebenarnya juga memaksakan diri ikut tersenyum. Meski jauh di lubuk hati yang paling dalam, rasa cemburu berlipat-lipat ganda menghujamnya. Ia tetap bersikap tenang.

Lebih tepat, mereka berdua berusaha bersikap tenang. Kedua tangan gadis itupun kini saling bergandengan, saat langkah kaki teriring bersama menyeberangi jalan besar menuju sebuah kios di depan pondok.
***

Usai berbelanja, Aira dan Muna memesan dua coppucino dingin di kedai sebelah. Aira cukup menikmati kebersamaan itu, sejenak terlupakan perihal surat cinta yang begitu menganggu pikirannya sejak semalam. Ia benar-benar menyukai pribadi Muna yang ceria dan pintar.
'Pantas saja Mas Hanif suka.'

Hampir satu jam mereka menghabiskan waktu di kedai itu. Tiba-tiba Muna seperti menangkap sosok Hanif di pos satpam. Ia memicingkan mata untuk memastikan penglihatannya.

 "Mbak, itu kayaknya Ustadz Hanif deh. Pasti Ustazd, kecarian ini Mbak?" Suara Muna memecah keramaian dengan lalu lalang kendaraan yang hendak menuju Mesjid, untuk pelaksanaan shalat Jumat.

Dari jarak yang dibatasi dua sisi jalan itu, Aira dapat melihat sang suami yang terlihat seperti orang kebingungan. Pandangan lelaki itu mengikuti kemana arah telunjuk penjaga pesantren memberi kode. Sepertinya sedang menunjuk keberadaan mereka.

"Iya, itu Mas Hanif. Kita balik yuk, Ustadzah?" ajak Aira.
"Oh iya, kita pergi lupa waktu deh kayaknya. Pasti Ustadz Hanif cemas," ucap Muna sembari terus menatap lelaki itu dari kejauhan.

Entah apa yang tiba-tiba membelenggu pikiran Muna. Sesaat ia merasa begitu beruntung gadis di hadapannya, baru hilang satu jam saja sudah dicariin kemana-mana.

"Andai saja ia yang ada di posisi itu, Astahgfirullah ...," Muna membatin.
"Pak, ini berapa? Hari ini saya yang traktir, oke!" ucap Muna sembari mengeluarkan beberapa lembar uang di saku gamis hitamnya. Aira hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

Muna menggandeng tangan Aira, sambil terus mengobrol, mereka berjalan hendak menyeberang jalan. Beda dengan beberapa saat tadi, kali ini jalanan tampak sepi.
Tanpa memastikan dengan baik, keduanya langsung melangkah. Terluput dari pandangan, sebuah motor melaju dengan kencang dari arah yang sama.

Sementara itu, dari kejauhan Hanif tersenyum saat akhirnya mendapati sang istri di seberang jalan. Meski sedikit silau karena pantulan sinar matahari yang jatuh tepat di atas atap sebuah kedai, namun Hanif masih dapat melihat sebuah motor berkecepatan tinggi berjalan di sisi yang sama dengan istri juga Ustadzah Muna.

"Humairaaa?"
Hanif berteriak dengan keras dan menunjuk ke sisi kiri, berharap Aira menyadari dan menghentikan langkahnya, namun sia-sia. Kedua gadis itu keasyikan ngobrol.
Secepat kilat motor itu menyambar keduanya. Tapi Hanif berhasil menyelamatkan salah satu gadis. Ia dan gadis yang diselamatkannya terhunyung ke trotoar jalan. Sementara satu gadis lainnya terpental sejauh tiga meter ke depan.

Dengan dada yang berdebar dan napas yang terengah-engah, Hanif melepas rangkulannya.
Lelaki itu dapat merasakan detak jantung yang berpacu pada gadis yang berhasil ia selamatkan barusan. Dengan gemetar dan berlinang air mata gadis itu menengadahkan wajah.

"Humaira, kamu nggak papa?" Hanif yang masih belum seimbang penuh memandang sosok yang kini ada di hadapannya.
"Astaghfirullah, Muna?" Hanif tercengang, ia segera menjauhkan tubuhnya dari gadis itu. Hanif baru menyadari jika yang ia selamatkan itu bukanlah istrinya, melainkan gadis lain.
"Humairaaa ...."

Dengan gegabah lelaki itu bangkit. Ia berlari dengan kaki gemetar. Hampir luruh seluruh tulangnya melihat gadis yang sangat ingin ia selamatkan, tergeletak bersimbah darah di atas jalanan.

"Lailahaillallah .... " Hanif mengangkat tubuh Humaira yang sudah tak sadarkan diri. Air matanya berderai dari kedua sudut mata.

Dari berbagai sisi, warga sekitar mulai berdatangan. Hanif tak menghiraukan berbagai tanggapan masyarakat, pikirannya kalut. Darah yang terus mengalir membasahi telapak tangan, membuat napasnya tercekat.
Jantungnya seakan benar-benar berhenti berdetak. Dengan gemetar ia mengangkat tubuh sang istri yang berlumuran darah.

"Bertahan, istriku. Kita akan segera mencari pertolongan." Hanif mendesah dengan air mata yang henti berderai di kedua pipi.
***

Gus Fatih menekan pedal mobil, melaju secepat kilat membelah jalanan kota Kediri menuju rumah sakit umum. Di samping lelaki berjenggot tipis itu, duduk Mang Baim, satpam pondok. Sementara di kursi belakang, Hanif masih merangkul sang istri yang tak sadarkan diri.
Tangan kirinya memegang jemari kiri Aira yang terkulai dengan beberapa goresan di siku, merobek lengan gamis warna navy yang di kenakannya.
Sementara tangan kanan Hanif, menekan bagian belakang kepala Aira yang terus saja mengeluarkan darah. Serasa waktu berputar layaknya siput berjalan, meski jarum barometer di angka 80/100 km/jam namun bagi Hanif mobil roda empat itu seakan merangkak di atas jalan.

Subhanallah, Subhanallah, Subhanallah, Hanif menggerakkan telunjuknya pada tiap garis di lima jemari Aira untuk berzikir. Sesekali ia mengusap bulir embun yang lepas dari kelopak mata.

Matanya tak lepas dari menatap wajah sang istri dengan luka lecet di bagian sudut dahi, hatinya membawa penyesalan teramat, mengapa begitu ceroboh hingga tak bisa melindungi seseorang yang sangat ingin ia lindungi.

‘Humaira ....” Hanif terus membatin, berharap istrinya bisa selamat dari musibah itu. Lama ia memejamkan mata, menahan sekian banyak muara air yang terus ingin mengucur dengan deras. Andai bisa, ia ingin dirinya saja yang ada di posisi Aira saat ini.

Kurang dari tiga puluh menit, mobil mewah range rover itu sampai di halaman rumah sakit. Hanif mengangkat tubuh Aira dengan kedua tangan. Dengan sigap perawat memberikan brankar agar tubuh berlumur darah itu dapat di baringkan untuk dilakukan tindakan.

"Dok, tolong selamatkan istri saya?" Hanif memohon pada seorang dokter muda dengan name tag 'Reza'.

Ingin Hanif mengeluh, kenapa banyak sekali nama Reza di dunia ini. Namun tentu itu tak seberapa dibanding rasa cemasnya akan keselamatan sang istri.

"Berdoa pada yang diatas Pak, Insyaa Alloh kami akan melakukan yang terbaik," jawab dokter itu yang sejurus kemudian menghilang di balik tirai berwarna hijau.

Hanif meremas-remas jemarinya, jantungnya terus bertabuh semakin kencang. Tak ia hiraukan ucapan Gus Fatih yang memintanya untuk tenang dan tidak mondar mandir di depan UGD.

Lima menit berselang, dokter muda yang tadi menangani Aira keluar. "Maaf Pak, ibu mengalami luka parah di bagian kepala, kita harus segera melakukan operasi untuk menutup luka dan menghentikan perdarahan. Satu lagi, tulang betis beliau sebelah kanan patah, juga akan memerlukan tindakan operasi. Kami butuh persetujuan suami untuk semua tindakan itu."
“Astaghfirullah ....” Hanif tercekat, kerongkongannya yang kering hampir tak mampu bersuara. "La-lakukan yang terbaik Dok, secepatnya. Jangan biarkan darahnya terus keluar hingga bisa berakibat fatal," jawab lelaki itu dengan suara bergetar.

Ada tangis yang semakin ingin berderai, menyadari musibah itu telah membuat istrinya mengalami derita di seluruh tubuh.
Namun sebagai seorang lelaki, ia harus kuat. Dan sebagai seorang yang beragama, ia harus yakin bahwa Alloh akan segera mengijabah doanya.

“Bertahanlah istriku, Humaira, akan Mas gunakan seluruh hidup Mas untuk menjagamu. Meskipun harus tiap saat memapahmu kemanapun kau ingin pergi ...." Hanif terus berharap sambil tak henti menyebut kebesaran dan kemurahan sang Illahi.

==========

Hiduplah Untukku
Rombongan Bu Nyai Bad sampai di rumah sakit. Muna ada dalam rombongan itu. Ia masih setengah sadar, rasanya tak begitu menapaki dunia. Peristiwa yang menimpanya dan Aira tadi seakan bagai mimpi buruk di siang hari.
Rasa bersalah seakan menggerogoti jiwa, ketika ia sadar bahwa yang seharusnya ada di posisi Aira adalah dirinya. Jika saja dia tidak mengelak, atau menukar posisinya dan Aira saat kecelakaan itu terjadi.

Kejadiannya begitu cepat. Muna yang berdiri di sebelah kanan Aira, terlebih dahulu mengetahui ada motor berkecepatan tinggi yang datang dari sisi kanan mereka. Ia ingin menyelamatkan diri dengan cara berbalik ke sisi trotoar. Tapi gerakannya justru membuat tubuh Aira yang masih dalam posisi melangkah terseret hingga hampir terjatuh.
Gadis itu kehilangan keseimbangan, dan ketika ia menyadari ada motor dengan jarak yang sangat dekat dengannya. Tentu Aira tak siap menghindar, hingga motor tak terkendali itu langsung menghantam keras tubuhnya.

"Astaghfirullah ... Mas Hanif bukan ingin menyelamatkanku, tapi Mbak Aira." Kejadian tabrakan itu terus berputar ulang di memorinya. Muna merasa dadanya begitu perih mengingat kejadian tersebut.
Sedikit berjingkat, ia menahan pinggangnya yang sakit akibat terhantam pinggiran jalan. Muna terus menyeimbangkan jalan Bu nyai Bad dan beberapa ustadzah lain yang ikut ke rumah sakit.

Mereka sampai di depan ruang operasi, di tempat itu Gus Fatih dan Mang Baim masih menanti.

"Ustadz Hanif kemana?" tanya Bu Nyai Bad khawatir.
"Punten, beliau ke mushallah Bu Nyai, mau shalat sunat katanya nyambi doa." Mang Baim menjawab dengan aura wajah pucat.

Sudah hampir satu jam Aira di dalam ruangan operasi, namun tak ada satupun yang keluar untuk sekadar memberitahu kondisinya seperti apa.

Tiba-tiba, pintu yang tadi tertutup rapat tergerak. Seorang lelaki mengenakan pakaian berwarna hijau keluar. Ia melepas masker yang menutupi wajahnya.
Semua yang ada di lorong yang tampak lengang dari para pengunjung itu langsung berhamburan mendekati sang lelaki.

"Bagaimana keadaan Humaira, dok?" tanya Bu Nyai.
"Operasi sudah selesai, tapi Ibu Humaira belum sadarkan diri. Selama satu jam ke depan, kami akan memonitor keadaan umumnya, sebelum kami pindahkan beliau ke ruang ICU. Dan satu lagi, pasien juga mengalami kehilangan banyak darah, jadi beliau sangat memerlukan donor darah?" jawab lelaki itu lemah.
"Saya siap mendonorkan darah saya dok, golongan darah saya O?" sanggah Muna seketika.
"Iya. Tapi, Ibu Humaira memiliki golongan darah yang unik dan sangat langka. Bahkan di rumah sakit inipun tak tersedia pasokan darahnya."
"Golongan darahnya apa, Dok?" tanya Bu Nyai.
"Beliau memiliki golongan darah AB(-). Silahkan jika ibu-ibu sekalian mau bantu mencarikannya, lebih cepat lebih baik."

Rasanya seperti menelan pil pahit, kenyataan yang disampaikan dokter itu, tak membawa banyak kebahagiaan. Justru, semakin membuat hati siapa saja yang ada di tempat itu cemas dan berduka.

"Baik dok, tapi tolong dari pihak rumah sakit juga dibantu carikan?"
"Insya Alloh."
Semua saling berpandangan. "Apa sebaiknya saya panggil Ustadz Hanif, Ummah?" tanya Gus Fatih.
"Biarkan saja dulu. Ummah akan coba menghubungi beberapa kerabat, siapa tahu ada yang bisa membantu." timpal Bu Nyai sambil menyeka sebulir air yang ikut menetas di pipi.
***

Ruangan kecil yang lantainya dialaskan karpet beranyamkan pintu masjid itu tampak sepi, hanya sesosok lelaki yang tampak tengah larut dalam munajat. Di sujud terakhirnya, ia tak dapat lagi membendung tangis, hanya kepada-Nyalah ia selalu mengaduh.

Kejadian hari ini, ia begitu menyesali tindakannya.  Mestinya, Humairalah yang ingin ia tolong, bukan Muna.  Tetapi,  kenapa gadis itu yang ada dalam rangkulannya?
Berbagai penyesalan kembali menghujam jiwanya, ia sadar beberapa waktu lalu,  akalnya sempat goyah akan penikahan yang sudah terjadi, tentu karena kehadiran Muna.  Namun, ia tak dapat menutupi,  rasa cinta yang hadir setelah melalui semalam saja bersama Humaira.

Perkataan seorang bijak bestari seakan dibisik di telinga Hanif, "Jika aku ingin membuatmu jatuh cinta, maka aku harus bisa membuatmu tersenyum. Tapi mengapa, tiap kali kau tersenyum, justru aku yang semakin jatuh cinta."

'Alloh, inilah yang aku rasakan setelah menikahi Humaira, aku mencintai istriku. Selamatkanlah ia Rabb....'
***

Suasana koridor di depan ruang operasi masih begitu menegangkan. Semua tak bisa duduk tenang sebelum melihat Aira dikeluarkan dari ruangan pembedahan itu.
Sembari menanti satu jam lagi yang dijanjikan dokter, Bu Nyai terus saja mencoba menghubungi beberapa kerabat. Namun, belum ada satupun yang bisa memberi kabar membahagiakan.
Sementara itu, di atas kursi tunggu, Muna tampak tergugu. Mulut dan hatinya terus saja meminta kesembuhan atas musibah yang menimpa Aira.

Tiba-tiba, sesuatu terasa bergetar dari dalam tas yang ia sandang. Secepat kilat ia mencari sumber getaran itu.

"Ummah?" Lirihnya. Gadis itu segera menggeser layar berwarna biru itu ke arah kanan.
"Assalamualakum Ummah ..."
"Waalaikum salam. Una, kenapa belum sampai rumah? Jadi tak pulang hari ini, jangan sampai janji-janji terus lo, Un? Ummah nggak enak sama Mbak Elsa ...."
Muna menggigit bibir. "Ummah, ngapunten. Una tak bisa pulang hari ini. Sekarang Una sedang di rumah sakit, ada teman satu pondok yang kecelakaan?" kilahnya meski dengan ragu-ragu. Ia tahu pasti Ummahnya akan sangat kecewa.

"Kadhos pundi iki? Sinten yang kecelakaan to?"
"Istrinya Ustadz Hanif Ummah?"
"Niku, Mbak Aira? Innalillah ... Ya sudah, nanti Ummah sampaikan sama Nak Reza, mudah-mudahan ia tidak tersinggung kamu selalu saja berhalangan untuk bertemu?"
"Inggih Ummah ....nyuwun pandungo Ummah untuk kesembuhan Mbak Aira?"
"Nggih, Assalamualaikum.
"Waalaikum salam."

Hanya selembar foto yang pernah diberikan Ummah padanya. Menurut Muna, lelaki yang bernama Reza itu memang cukup berkharisma, namun sekilas lalu tak begitu membuat hati Muna tertarik.
Tapi ia yakinkan diri bahwa hal itu sebab mereka belum bertemu. Barangkali setelah proses taaruf nanti, ia bisa meyakinkan hati terutama untuk berhenti memikirkan lelaki yang mulai kembali membawa lari kewarasannya.
***

Reza tercengang. Berita barusan yang disampaikan Elsa membuat darahnya seakan berhenti mengalir. Tanpa pikir panjang, ia membanting setir, membelah jalanan menuju ke kota Kediri.

"Titip Abhi, Mbak?"
Elsa mendengkus. "Za, harusnya kamu jangan ikut campur lagi ...."

Lelaki itu tak ingin mengubris, ia terus melajukan mobil dengan cepat. Pikirannya benar-benar dipenuhi rasa takut. Ia bahkan lupa jika hari itu hari Jumat, dan terpaksa berhenti di salah satu Mesjid di pinggiran jalan saat di tengah perjalanan.
Meski sedikit tak khusuk, ia sabar menanti hingga pelaksanaan shalat selesai, baru kemudian melanjutkan kembali perjalanannya.

Reza mendesah panjang. "Gadis itu benar-benar payah! Menyeberang jalan saja bahkan ia tak bisa!"

Matanya menerawang jauh, tak jelas apa yang ia lihat. Di benak terus saja berkelebat wajah Humaira.
Tak sabar ingin segera sampai, Reza melajukan mobil bagai terbang di atas angin. Kurang dari empat jam, kendaraan beroda empat itu telah sampai di halaman rumah sakit.

Reza berjalan ke bagian resepsionis terlebih dahulu.
Setelah mengetahui ruangan dimana Aira dirawat, segera lelaki itu melangkahkan kaki dengan pasti. Satu hal yang tak dapat ditutupi meski wajahnya tampak bercahaya karena wudhu yang belum sempurna kering, rasa cemas hingga kerutan diantara alis tak sirna menyambangi wajah.

"Ya Alloh, aku memang jarang meminta pada-Mu. Namun, kali ini aku datang, menengadahkan tangan, memohon pada-Mu. Sembuhkanlah ia, wanita yang tak kau takdirkan bersamaku. Berilah ia kehidupan, meski tak hidup bersamaku. Beri ia kebahagiaan, meski itu bersama orang lain. Aku tak mengapa. Sebab, aku mencintainya karena-Mu. Terimalah taubatku, ya Rabb ....?"

Isi doanya tadi sehabis shalat Ashar seakan masih berdengung di telinga. Mulutnya tampak komat-kamit mengulang doa itu.
Bukankah semakin sering berdoa, maka kesempatan untuk dikabulkan juga lebih besar? Reza ingin terus berdoa, hanya itu yang ia bisa. Setidaknya berhenti jika ia telah melihat sendiri senyuman di wajah Aira.

Lelaki itu mempercepat langkah menuju ruang ICU. Sesuai petunjuk yang disampaikan seorang perawat di bagian resepsionist tadi.
Ia hendak masuk, namun langkah dibetot kuat saat mendapati Hanif duduk sembari menggenggam jemari tangan Humaira. Sebuah yasin kecil ada di jemarinya yang lain. Lelaki itu sesekali mengelus puncak kepala Aira yang berbalut hijab seadanya.

Kelopak mata Reza terasa berat, dadanya perih melihat pemandangan itu. Ia berbalik keluar ruangan. Namun terhenyak saat membuka pintu, ternyata seorang gadis hampir saja bertabrakan dengannya.
Gadis yang hendak dijodohkan dengan dirinya oleh sang kakak.
Muna mengernyitkan dahi, seperti sedang berpikir dimana kiranya pernah bertemu dengan lelaki yang kini ada di hadapan.

"Kang Reza?" ucapnya kemudian.
Reza menghela napas berat, tak menyangka gadis itu bisa menebak namanya.

"Iya, saya," jawab Reza santai.
"Ummah nggak bilang jika saya tak bisa bertemu hari ini?"
"Owh, saya kemari ingin melihat seseorang yang lain."
"Siapa? Kamu kenal dengan Mbak Humaira?" Muna mendelik, sedikit terkejut mendengar jawaban Reza.
"Kenapa bisa begini? Apa yang menyebabkannya seperti ini?" Reza justru menanyakan kabar Humaira, tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan Muna.

Muna memilih duduk di kursi panjang di sisi koridor. "Jadi benar, kamu kemari karena ingin tahu keadaan Mbak Humaira? Apa kalian saudara? Atau jangan-jangan?"

Muna menghentikan ucapannya sambil menatap Reza.

"Jangan berpikir macam-macam. Kami hanya berteman. Sekarang tolong katakan kenapa dia bisa seperti ini?" jawab Reza sebisanya menenangkan diri.
'Teman? Jika teman,  kenapa sampai bela-belain kemari jauh-jauh dari Kediri?' Muna bertanya pada diri sendiri. Gadis itu yakin, bahwa raut wajah yang begitu cemas seakan menjadi juru bicara yang mewakili, bahwa hubungan mereka lebih dari sekadar teman.
Tapi Muna berusaha tetap bersikap tenang.

"Ummah bilang kamu mau mencoba taaruf dengan saya?" Muna tak menjawab pertanyaan Reza, justru memberi pertanyaan yang hendak mengulik tanya di benaknya.

"Bukankah kamu tidak bisa bertemu denganku hari ini?" jawab Reza. "Anggap saja ini bukan aku. Sekarang tolong jelaskan, kenapa Aira bisa kecelakaan?"

Muna mengernyitkan dahi. Kesal dan kecewa, bukan memberi jawaban yang menyenangkan, justru terus menanyakan Humaira.

“Baiklahh, jika kang Reza benar-benar ingin tahu ....”

Muna mulai menceritakan perihal kecelakaan itu. Air mata gadis itu menyembul saat ia menutup percakapannya. Sementara di sisi lain, Reza Hanya bisa menghela napas, ia benar-benar tak bisa berkata apapun mendengar pengakuan Muna.

"Terima kasih, aku akan pergi."
"Tunggu! Apa setelah ini, kamu masih ingin melanjutkan taarufnya?”

Sejujurnya Muna tak ingin menanyakan hal itu, tentu buatnya ini perkara yang sangat memalukan. Hanya saja, meski sebesar kerikil, harapan bisa bersanding bersama lelaki berlesung pipi itu mulai tumbuh tanpa diminta.

"Jika Alloh berkehendak!" jawab Reza datar.

Muna terduduk lemas. Entah mengapa setelah Hanif, ia merasa akan mengalami kejadian yang sama. Kehilangan kesempatan bersama Reza.

Bersambung #9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER