Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 02 Oktober 2020

Ketika Duda Mencari Jodoh #9

Cerita bersambung

Rahasia Cinta
"Tolong rahasiakan identitas saya, dok!" pinta Reza pada dokter muda yang menerima donor darahnya.
"Baik pak. Terima kasih!"

Berselang beberapa menit, dokter itu langsung menghubungi seseorang. Sementara Reza, dengan sedikit gontai ia berjalan kembali ke ruang ICU. Sebenarnya menurut dokter ia tak bisa mendonorkan darahnya, sebab kondisi tubuh Reza sedang tidak fit.

Namun lelaki itu bersikeras, ingin sekali membantu Humaira meski harus menandatangani surat lepas tanggung jawab jika terjadi sesuatu ke depan.
Kini ia merasa tugasnya telah selesai, dan dirinya akan pergi. Namun sebelum menghilang, ingin sekali ia mengucapkan sesuatu pada Humaira.

Di koridor yang penuh lalu lalang pengunjung, Reza berpas-pasan dengan Hanif. Namun lelaki berkulit putih itu tak menyadari kehadiran Reza, pandangannya hanya tertunduk, menunjukkan kegelisahan yang tak terbaca melalui tatapan.
Reza meneruskan langkah hingga ke ruang ICU. Hanya punya sedikit kesempatan sebelum dokter dan Hanif kembali ke ruangan ini.

Ia berhenti ketika langkahnya telah sampai di depan pintu, hatinya bergetar hebat. "Entah kenapa, aku merasa tak 'kan mampu melewati ini. Demi Alloh, teruslah bernapas meski bukan untukku?" Reza mengusap matanya yang mulai berembun.

Ia membuka pintu. Berjalan ke meja perawat untuk kemudian meminta ijin menemui salah satu pasien di ruangan itu. Setelah memakai seragam berwarna hijau cerah, iapun melewati beberapa bilik yang ditutupi kain berwarna hijau serupa warna bajunya.

Sampailah Reza pada bilik yang ditempati Aira. Rasanya, tak sanggup Reza menemui gadis itu. Demi satu harap, meski tak yakin bisa terkabul seratus persen, tak salah jika ia mencoba.
Di hadapannya kini, wanita yang amat ia cintai terbaring tak sadarkan diri. Perlahan ... ia melangkah dengan langkah yang begitu rapuh.
Kenyataan bahwa diruangan itu hanya ada dirinya dan Humaira membuat dadanya bergemuruh tak menentu. Perasaan berdosa juga keinginan kuat untuk bertemu, kedua itu berbaur mencampur-adukkan perasaan.

"Assalamualaikum, Humaira. Itu namamu 'kan?" Reza menghela napas panjang, kemudian memejamkan matanya sejenak.
"Hei, bangun. Aku dengar tadi, kamu lupa cara menyeberang jalan. Sekarang kamu ingin melupakan bagaimana cara membuka mata?"

Reza menyeka sebulir air yang menetes di sudut mata. Air mata ini, sungguh tak pernah cairan ini keluar sekalipun dari matanya.

'Mengapa aku serapuh ini?' batin Reza bergumam.
"Bangunlah Humaira, atau kamu ingin aku yang membuat agar matamu terbuka kembali?" ancamnya sambil tersenyum perih.

Detik kemudian lelaki itu mendekat. Memberanikan diri mengangkat jemari tangan. Perlahan, hingga hampir menyentuh pipi Aira yang terlihat pucat.

"Astaghfirullah ...."
Reza menarik kembali tangannya sebelum berhasil mengenai pipi sang gadis.
"Bukalah matamu. Teruslah bernapas. Karena itu menjadi alasanku untuk tetap bernapas ...."

'Ya Alloh, andai Kau berkenan menghentikan waktu, inginku memandang wajahnya lebih lama ...." Reza merahup wajah dengan kedua tangan.

Lelaki itu yakin, Aira memang belum membukakan mata, tapi gadis itu tahu akan kehadirannya di ruangan ini.

"Sudah saatnya aku pergi. Selamat tinggal Humaira, aku tidak akan menemuimu lagi, tapi kuharap kabar kau tersenyum bisa sampai ke telingaku."

Reza bergerak meninggalkan Aira yang masih terbujur kaku. Sebelum menggeser tirai penutup, ia kembali menoleh. Wajah Humaira yang tadi datar perlahan berubah. Seulas senyum nampak terbentuk diseraut wajah yang masih memejamkan mata itu.
Entahlah, mungkin hanya Reza yang bisa merasakan kesadaran Aira.
***

Dokter dan beberapa perawat tampak memasuki ruangan ICU. Sekantong darah AB(-)  telah tersedia. Kini waktunya darah itu dialirkan ke tubuh Aira.
Sementara Hanif terlihat begitu bahagia, setelah tahu kabar tentang pendonor rahasia bagi istrinya. Ia mengekori langkah para petugas kesehatan menuju ruang ICU.
Keyakinannya begitu besar bahwa setelah proses pendonoran darah, Humaira akan membukakan mata.
Namun, belum sampai tujuan, langkahnya terhenti. Mata Hanif kini bersitatap dengan mata elang lain yang tengah membidiknya tajam. Seakan siap menerkam dengan kejam.

"Jika kau tak sanggup menjaganya, lepaskan!"
***

Hanya berjarak dua meter, kedua lelaki bertubuh jangkung berdiri saling berhadapan.
Hanif sedikit terhenyak, ia mengangkat kopiah yang bertengger di kepala, kemudian memasangkan kembali dengan sempurna.
Bermaksud memberi udara agar kulit kepalanya terasa dingin. Hingga dirinya tidak tergesa-gesa menghadapi luapan amarah yang datang menghujamnya sesaat lagi.

Sementara di sisi lain, Reza berdiri dengan gagah, wajah penuh kesungguhan, dan mata seperti elang tengah membidik burung lain yang mencoba mengusik sarangnya.

"Jika kau mendengar sesuatu tentangku dari orang lain. Maka aku cuma bisa berkata, ini tak seperti yang kau duga." Berusaha mendamaikan situasi, Hanif membalas ucapan Reza dengan tegas.
"Aku hanya perlu bukti! Jangan pernah menyia-nyiakan Humaira!" Reza mengancam tegas, seakan terluput jika mereka tengah berada di tempat umum.
"Akan aku buktikan. Tapi kumohon, pergilah ... biarkan ia bersamaku, aku akan menjaganya seumur hidup!"

Bagai busur panah yang menusuk tepat di palung hati, Reza hampir tak mampu berdiri. Kedua kakinya kehilangan kekuatan untuk menopang tubuh. Ucapan Hanif memang pendek, tapi mengandung makna yang mendalam.
Ia seakan meminta Reza untuk berhenti bermimpi bisa memiliki Aira.

Rahang Reza mengeras, tangannya semakin kuat mengepal. Lalu ia menghela napas panjang.

"Jangan sakiti ia lagi, atau aku akan kembali!"

Pasrah, Reza tau ia tak berarti apapun di hidup Humaira. Hanif adalah suami sahnya.
'Mungkin, aku yang salah, aku terlalu mengkhawatirkannya.'

Perlahan, ia membalikkan langkah. Hanya duri yang menusuk-nusuk tubuh, sekuat apapun jiwanya ingin bertahan, ia tetap lemah karena wanita.

Hanif memperhatikan kepergian Reza, sedikit lega karena tak terjadi apapun diantara mereka.

‘Maafkan aku, Za! Tapi, Humaira istriku, aku tidak akan melepaskannya!’ Batin Hanif menjerit kuat.
***

"Mengapa sesakit ini? Mengapa sulit sekali untuk mengikhlaskannya?" Reza menepuk dada berkali-kali. Ia hempaskan tubuh yang limbung di atas sebuah kursi tunggu.

Perlahan pandangan yang terang menjadi buram. Kepalanya benar-benar terasa seberat bongkahan batu, sakit di seluruh bagian.

Reza mengurut-urut keningnya. Wajah Aira, senyuman gadis itu yang menggila, tangisannya yang menyayat kalbu, kenapa tak satupun menghilang. Bahkan terasa begitu ingin menggenggam jantungnya dengan kuat.
Angan Reza semakin jauh, memori kembali dipaksa untuk mengingat pertemuan demi pertemuan mereka. Ia bahkan masih hapal bagaimana wajah gadis itu ketika mereka bertemu kembali diantara derasnya hujan, aroma pethicor yang menguar menjadi saksi, wajah bak mawar merekah itu telah mengunci penglihatannya.

Lelaki itu menyandarkan kepala diatas sandaran kursi, berusaha menahan tubuhnya yang hilang keseimbangan. Ingatan itu, membuat ia hampir tak bisa bernapas.
Mendadak ... Reza kehilangan penglihatannya, semua menjadi samar.

"Terima kasih ya Alloh, telah Engkau ambil kesadaranku!" Reza bergumam setengah sadar. Bayangan-bayangan tak jelas melintas di depan mata, sebelum akhirnya tubuh lelaki itu terhempas ke dasar lantai.

"Tolong ....! Tolong ...!

Teriakan itu, masih terdengar, bagai dengungan lebah disarangnya. Hingga ... Semua benar-benar gelap.
***

Selepas kepergian Reza. Hanif segera menyusul dokter juga beberapa perawat yang katanya mau menyiapkan transfusi darah bagi Humaira. Jauh di relung hatinya, rasa bahagia menyusup perlahan.
Setidaknya kini ia yakin, bisa meraih bahagia bersama Humaira tanpa adanya sosok lain. Hal yang samapun akan ia wujudkan, mematri dengan kuat nama Aira di hati tanpa ada nama gadis lain.

Hanif duduk di samping bed tempat Aira berbaring masih tak sadarkan diri. Ritme jantung Aira yang terekam dimonitor EKG, kini ia rasa seperti hentakan tabuh yang mendendangkan syair kebahagiaan.

Hanif tersenyum, mengelus lembut jemari sang istri yang terpasang selang dengan aliran cairan berwarna merah, 'darah'.
Perlahan tapi pasti, ia melihat jemari tangan Aira bergerak. Hanif terlonjak. Segera ia berlari ke ruangan perawat, mengabarkan perkembangan sang istri pada dokter yang tadi membantu proses transfusi.

Tak lama, lelaki muda berjenggot tipis menghampiri Aira dan mengecek tanda-tanda kesadaran gadis itu. Dokter tersebut tersenyum, ada semburat kelegaan yang terpancar di wajahnya.
Ia berjalan mendekati Hanif di sisi kaki Humaira. Lelaki itu tampak meremas-remas jemarinya, bahagia juga khawatir, sebab Aira tak jua membuka mata. Padahal ia yakin tadi jemari istrinya benar-benar bergerak.

"Ibu Aira sudah sadar, Pak. Mungkin ia masih belum sanggup membuka mata.  Santai saja Pak, jangan dipaksakan. Ceritakan yang indah-indah, hingga perasaannya membaik. Jika ada perkembangan, segera beritahu kami," ucap dokter berpakaian hijau itu sembari berpamitan.

Hanif kembali menatap wajah Aira yang terlihat pias. Ia mengeluarkan ponselnya, mencoba menghubungi beberapa orang termasuk ibunda Aira untuk mengabarkan kesembuhan sang putri. Juga kedua orang tuanya yang menurut kabar sedang berada di luar negeri.

Setelah mengembalikan benda pipih itu ke saku celana, Hanif mendekati Aira. "Apa yang membuatmu enggan membuka mata? Sebegitu bencikah kamu padaku?" Hanif bergumam dalam keheningan.

Perlahan ia sedikit membungkuk, menopang sebelah tangan pada bed di samping kepala Aira. Hanif tak bisa memungkiri tarikan magnet saat memandang wajah sang istri yang mulai berseri.

Detik kemudian ia tersenyum. "Rasanya memalukan menginginkan sebuah ciuman sementara mata saja kamu tak ingin membuka."

Hanif memilih untuk kembali duduk, namun hatinya tak tenang. Ia bangkit dan secepat kilat mengecup kening gadis itu.
Aira tetap tak bereaksi.
Lelaki itu kembali duduk dan menghela napas, “maafkan semua kesalahan, Mas. Tolong ... bukalah matamu?” ucapnya sambil mendekap jemari tangan sang istri, sebulir air mata menetas membasahi jemari yang masih terkulai lemah.

Tiba-tiba, jemari tangan Aira bergerak ringan. Sedikit demi sedikit, mata yang tadi tertutup itupun mulai membuka perlahan. Menyadari hal itu, Hanif tampak begitu kaget sekaligus bahagia.

"Humaira, kamu sudah sadar?" ucap Hanif sambil terus memandangi wajah gadis itu.
Aira mendesah. Untuk bersuara terasa begitu sulit.

“Mas, beritahu dokter dulu, ya?”

Aira menggerakkan tangannya menahan kepergian lelaki itu. Kemudian ia menggerakkan sungkup penutup mulutnya dan berusaha untuk berbicara. “Nggak usah, Mas,” lirihnya pelan. Air mata kembali menganak sungai di pelupuk mata gadis itu.
“Humaira, tolong jangan menangis ... maafkan Mas atas kejadian kemarin?” Hanif kembali mengecup jemari sang istri. Aira hanya mampu memejamkan matanya. Membiarkan setetes demi setetes air matanya berguguran di kedua sudut.
Meski sulit, ia kembali berusaha meluapkan kesedihannya. “Kenapa nggak Mas biarkan saja Aira mati?”
“Astaghfirullah ... istri Mas ini bicara apa? Mana mungkin Mas membiarkanmu mati?” Hanif membela diri.
“Lalu ... kenapa hanya Muna yang Mas selamatkan? Sebegitu pentingkah dia di hati Mas Hanif?”

Hanif mengembuskan napas panjang, melihat sang istri bersimbah air mata, hatinya bagai dicabik-cabik dengan kuat. "Kamu pasti tahu, siapa yang hendak Mas tolong waktu itukan?"

Aira ingin menjawab pertanyaan Hanif, namun ia merasa begitu lelah. Bibirnya kembali terasa kelu, penglihatan kembali mengabur. Perlahan, semua benar-benar kembali gelap.

"Humaira ... Humairaaa ....”

Teriakan demi teriakan Hanif mengantarkan Humaira kembali ke alam bawah sadarnya.

==========

Berhenti Berdusta
"Ia pergi lagi?” lirihnya sangat pelan. Selepas kepergian Hanif, air mata Humaira kembali berderai. ‘Kalau rindu kenapa pergi?"
Humairah.
***

"Kondisi Ibu Humaira masih belum stabil. Saya harap tidak ada satu perihalpun yang mengingatkannya pada kecelakaan kemarin. Sepertinya, beliau mengalami trauma psikologis.”

Perkataan dokter tadi terus terngiang di benak Hanif. Lelaki itu merasa amat bersalah, dan yakin semua ini karena Humaira tak terima atas kejadian kemarin.
Jika bisa, Hanif ingin mengutuk kecerobohann itu. ‘Bagaimana jika Humaira benar-benar tak mau memaafkanku? Astaghfirullah ....’

“Dok, tolong urus semua persiapan kepindahan rumah sakit. Saya akan membawa anak saya ke Tangerang. Biar Humaira mendapatkan pengobatan terbaik di sana,” ucap seorang wanita yang tak lain adalah ibunda Aira.

Begitu mendengar kabar kecelakaan yang menimpa sang anak, wanita itu langsung berangkat menuju Kediri. Ia sangat menyayangkan kecelakaan yang menimpa putrinya, meski dalam hati ia tetap meyakini bahwa semua itu adalah musibah.

Hanif terlonjak.
“Kenapa dipindahkan, Bu? Kondisi Aira ‘kan belum stabil?” tanyanya bingung. Dokter setengah baya yang menangani Humairapun ikut berpendapat.

“Benar, Bu. Bu Aira sudah melewati masa kritis, hanya saja masih belum stabil. Saya rasa beliau hanya butuh ketenangan. Sabar, Bu,” ucapnya menenangkan.
“Oke! Tapi setelah ia stabil, saya tetap akan memindahkannya ke Tangerang.” Ibunda Aira tetap pada prinsipnya.

Hanif hanya mampu menghela napas. Ia tak ingin berdebat dan memperkeruh situasi yang sulit itu. Yakinnya pada diri sendiri, kemanapun Aira pergi, ia akan ikut.
***

Mata elang itu masih terpejam, di sisi kiri Elsa duduk sembari merangkul Abhi. Di sampingnya, Muna duduk dengan raut wajah cemas. Menurut dokter Reza sudah sadar, tak lama setelah pingsan itu terjadi tiba-tiba. Tapi tubuhnya masih lemah, sehingga matanya masih saja terpejam.

"Maaf ya merepotkanmu? Harusnya pertemuan ini bukan begini?" Suara Elsa terdengar memecah keheningan.
"Kakak jangan sungkan, semua ini juga salah Muna. Jika Muna tak menceritakan kondisi Mbak Humaira yang membutuhkan donor darah, tentu Kang Reza tak sampai begini?"
"Tidak, bukan salah Njenengan. Memang Rezanya saja yang bandel. Ora dengar apa yang dibilang. Biar aja dia rasain gimana sakitnya kehilangan darah!" jawab Elsa kesal.

Ia sengaja menaikkan intonasi saat berucap karena dirinya yakin bahwa sang adik sudah sadar dan bisa mendengar ucapannya.
Elsa melirik kembali sang adik dengan tatapan penuh iba. Kemudian mengalihkan pandangan menatap Muna.

Elsa merasa sangat berterima kasih karena Muna telah membantu proses rawatan Reza yang pingsan tiba-tiba di koridor rumah sakit. Juga Muna pula yang telah memberitahu padanya tentang kejadian naas yang menimpa sang adik.

"Mbak antar kamu pulang, ya? Sudah hampir pukul sembilan malam, nanti kamu malah terlambat tiba di asrama?"
"Em ... baik, Mbak?" Muna mengikuti langkah wanita cantik di hadapannya. Sementara Reza, masih terpejam dengan ditemankan oleh Bang Ipan, suami Elsa.

Selepas kepergian dua wanita itu, Reza membuka mata.

"Pura-pura tidur rupanya, kakakmu sangat mengkhawatirkanmu?" Lelaki jangkung yang tengah membuka koran itu menghentikan kegiatannya. Reza masih bergeming.

"Apa kau masih mengharapkan perempuan itu?"
Sedikit terkejut, Reza berusaha mendelik, "aku menolongnya tanpa pamrih."
"Jika itu tujuanmu, Mas senang mendengarnya. Reza, kamu tahu, jika Alloh menghendaki suatu kebaikan kepada hambanya di dunia, maka ia akan memberi hamba tersebut ujian atau cobaan?”
Reza mengalihkan pandangannya, menyimak.

“Makanya kadang kala untuk mencapai sesuatu yang istimewa, kita kerap kali berdarah-darah terlebih dahulu. Semua karena Alloh ingin menguji tingkat kesabaran dan keridhaan kita akan ketetapannya. Barangsiapa yang jika diberi ujian ia tetap ridha , maka Allohpun akan cepat meridhainya ketika ia meminta keridhaan-Nya.”
"Sebut saja, Siti Khadijah, Ummul Mukminin, sebelum Alloh pertemukan beliau dengan manusia paling sempurna Baginda Nabi SAW. Beliau Alloh coba dengan mengambil dua kali suami yang amat dicintai. Maksudnya tidak lain, kecuali karena Alloh ingin menguji kesabarannya, dan seberapa layak ia untuk mendapatkan yang terbaik. Begitu juga dengan takdir jodohmu, engkau disakiti, ditikung orang lain, tapi jika kamu ridha dan menganggap ini semua adalah kehendak Alloh yang tak dapat dielak, maka Allohpun ridha denganmu. Yakinlah, bahwa lambat laun kau akan diberi kebaikan atas ujian ini."

Reza menghela napas panjang, apa yang disampaikan lelaki di hadapannya itu semua ada benarnya.

"Mengenai kakakmu yang begitu giat menjodohkanmu, Mas tahu, dia melakukannya karena tak ingin kau terus terluka. Juga ia sangat memikirkan nasib Abhi. Menurutnya, Muna adalah gadis baik, agamanya kuat, lulusan pesantren, dia tidak akan melakukan kesalahan seperti yang pernah dilakukan Salsa padamu, juga bisa menjadi ibu yang baik untuk Abhi. Namun, jika kamu tak menyukai gadis itu, tak mengapa jika kau tolak rencana kakakmu."

Reza kembali melirik abang iparnya itu. Lelaki itu begitu bijaksana, sedikit banyak apa yang diucapkan bisa membuat hati Reza tenang.

"Carilah yang sesuai dengan keinginanmu, tanpa mengabaikan Abhi. Tapi kau harus tahu, Elsa tak mungkin selamanya bersama kalian, dia istriku. Aku juga membutuhkannya. Sekarang istirahatlah, Mas mau ke Mushalla sebentar."

Mendengar nasihat panjang lebar yang disampaikan Ipan, Reza sedikit merasa perasaannya jauh lebih baik. Ia memang tak pernah melawan, apapun takdir yang menerpanya. Hanya saja, kadang sesuatu berbisik di benaknya, kenapa saat belajar ikhlas justru Alloh buka jalan agar kembali terjerat.

Pertemuan di Kediri, kebutuhan darah Aira yang kebetulan hanya dirinya yang bisa membantu, bukankah tak ada satupun yang terjadi di dunia, melainkan atas kehendak-Mu ya Alloh? Lalu apa arti semua ini? Apa kau ingin meyakinkanku bahwa, hanya ia jodoh yang kelak akan bersamaku?
Pertanyaan itu muncul tanpa bisa dihentikan Reza. "Apa ini hanya tentang waktu dan kesabaran ya, Alloh? Aku akan menanti. Bukankah takdir itu milik-Mu, dan Engkau pula yang bisa merubah takdir hanya dengan doa? Maka kabulkanlah doaku ya Alloh, berilah jodoh terbaik untukku ..."
***

Tepat pukul satu malam, Aira kembali membukakan mata. Kali ini ia terlihat lebih tenang, terutama setelah mendapati sang ibu ada bersamanya. Pikiran tersingkirkan yang mulai tertanam dibenak karena kecelakaan kemarin, mulai menemukan pegangan.
Aira menyisir seluruh ruangan, di tempat itu hanya ada ia dan ibunya. ‘Kemana Mas Hanif?’

Dengan sedikit kepayahan, Aira berusaha membangunkan ibundanya yang terbaring di pinggir ranjang.
“Bu ....”
Wanita yang dipanggil itupun terlonjak kaget.
 “Alhamdulillah ... kamu sudah siuman Aira? Ibu beritahu dokter dulu ya, Nak?”
Aira mengangguk, belum mampu berbicara banyak. Tak lama, ibundanya kembali bersama seorang dokter juga beberapa perawat. Setelah memastikan kondisi pasiennya benar-benar stabil, dokter itupun pamit keluar.

Sekian detik hening, Aira yang sudah mulai kembali kekuatannya memberanikan diri bertanya pada sang ibu, perihal sang suami yang tak kelihatan batang hidungnya.

“Mas Hanif kemana, Bu?”
“Oh, tadi ia permisi ke Mushalla. Kamu mau ibu telpon memberitahu keadaanmu?”

Aira menggeleng. Melihat reaksi itu, muncul tanya di benak ibunda Aira, “mungkinkah mereka bersiteru?”
Namun ibunda Aira membungkam mulutnya, tak ingin bertanya apapun mengenai kecelakaan kemarin. Seperti titah dokter, jangan ada satupun yang mengingatkan Aira pada kecelakaan itu.

Aira kembali memperhatikan sekujur tubuhnya, goresan di sana sini, dengan selang infus berisi darah terpasang di punggung tangan.

Tiba-tiba, jantungnya berdegup sedikit lebih cepat saat melihat tetesan darah di kantong itu jatuh ke selang yang tersambung ke tangannya. Ah, mungkin hanya halusinasinya.
Ia seperti merasa telah kedatangan tamu tak diundang, “Mas Reza, mungkinkah?"
"Astaghfirullah ....!”

Aira menepis pikiran yang dapat melambungkannya ke lembah penuh dosa.

Detik kemudian, ia merasa kakinya begitu letih. Ingin  ia gerakkan sekadar mengusir kekakuan, namun kenapa terasa begitu sulit.

“Kenapa kaki Aira, Bu?” Akhirnya keluar pertanyaan dari bibir gadis itu.
Wanita yang ditanya itupun terlonjak dan memilih diam sejenak, memikirkan cara menjawab yang paling baik hingga tak melukai perasaan putrinya.

“Tulang betismu ada yang patah, tapi tidak terlalu berbahaya kok?” jawabnya jujur tak ingin berbohong.

Aira menghela napas, sebagai tenaga kesehatan ia tahu betul kemana arah pengobatan akan tulang kakinya itu. Pasti operasi. Aira tak lagi memperpanjang pertanyaan.

“Istirahatlah dulu, jangan banyak berpikir. Kondisimu masih belum pulih sempurna.”
Ibunda Aira mencoba menasehati gadis itu.
Aira mengangguk paham, mencoba memejamkan mata meski bola kecoklatan itu meminta untuk tetap terbuka. Sesaat bayangan Hanif, Reza dan Muna kembali terbesit di memori kepala.

‘Apakah kita saling tertukar jodoh?’ batin Aira meracau. Karena terlalu asyik berpikir, gadis itu tak menyadari jika jam di dinding sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Ia melirik ibunya yang nampak terlelap di atas sofa. Sementara dirinya, jangankan untuk tidur, memejamkan mata saja ia tak bisa.

Tiba-tiba, derit pintu kamar terbuka membuat pandangan Aira teralih. ‘Mungkinkah itu Mas Hanif?’
***

Lelaki berkopiah hitam masuk ke ruangan tempat Aira di rawat. Hanif melirik seluruh ruangan, ibu mertua sudah tertidur pulas, sementara sang istri juga masih memejamkan mata. dengan sungkan, ia berjalan mendekat.
Wajahnya yang lusuh, matanya yang kuyu, menyiratkan betapa resahnya ia seharian ini. Tapi demi sang istri, Hanif tak ingin terpejam. Hanya sujud panjang dan doa tak henti yang mampu ia lakukan, agar Alloh segera membukakan mata istrinya.

“Sayang, Humaira? Bangunlah? Mas rindu ....”
Ia membelai lembut hijab sang istri sambil mengecup kening gadis itu. Lama ia menatap Humaira dengan tatapan yang begitu menyiratkan penyesalan.

Aira tak bergeming dengan mata yang masih tertutup, ia tak ingin menangis di hadapan lelaki itu. Tak berapa lama, Hanif kembali bangkit, langkahnya yang gontai bergerak mendekati pintu. Aira membuka sedikit kelopak mata, namun yang ia dapati, Hanif kembali keluar dari ruangan itu.

“Ia pergi lagi?” lirihnya sangat pelan. Selepas kepergian Hanif, air mata Humaira kembali berderai. ‘Kalau rindu kenapa pergi?’

Sementara di luar, Hanif menyandarkan diri pada dinding kamar. Sebulir kristal lolos dari pelupuk mata. ia berusaha sekuat tenaga menahan agar buliran itu tidak menetas kala bersama sang istri.

“Inni Qaribun. Engkau dekat dengan hamba-Mu ya Rabb. Hanya kepada-Mu hamba bersandar, maka bukakanlah pintu maaf di hatinya untuk hamba?”
***

Pagi ini tampak begitu cerah. Rona kekuningan memancar tegas menerpa gedung-gedung, kendaraan yang lalu lalang, hingga celah-celah dedaunan yang bergerak pias. Kondisi Humaira semakin membaik. Entah pukul berapa ia tertidur semalam, ketika sadar, matahari sudah menembus tirai penutup jendela.
Matanya yang telah terbuka liar membidik, mencari seseorang yang semalam sempat singgah menjenguk. Namun, tak ada siapapun di ruangan itu keculi dirinya.
Matanya yang tertunduk lesu seketika terlonjak, saat pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka. Sang suami muncul dengan sebuah baskom kecil dan handuk tipis di tangan.
Seperti ada yang menghentak tubuhnya, seketika bagian yang berdegup di tubuh Aira berpacu kencang. Perpaduan antara bahagia dan kecewa. Aira tak tahu bagaimana melampiaskan dua rasa itu.

"Curang, kamu nggak memberitahu Mas sudah sadar sejak semalam,” tegurnya sambil mengambil posisi di sebelah sang istri. Gadis itu hanya menunduk.
“Sekarang sudah lebih baik ‘kan?” tanyanya lagi. Aira masih bergeming. Menyadari hal itu, Hanif tak menyerah.
“Mas, bantu kamu nyeka badan, ya. Tadi ada suster yang nyuruh Mas untuk menyeka tubuhmu?" Sedikit gugup Hanif mencoba mengucapkan kalimat ‘seka’ dengan lantang.

Aira yang masih berbaring hanya menoleh, lalu berusaha menopang tangan untuk bangkit ke posisi duduk.

“Biar Mas bantu.” Cepat Hanif membantu sang istri agar bisa duduk dengan bersandar pada kepala bed.
"Makasih Mas."

Hanif menaikkan lengan baju gadis itu, tapi Aira berusaha menarik.
“Aira?” sebutnya sambil menatap lekat manik kecoklatan yang kini juga tengah membidik netra kelamnya.

“Aira bisa sendiri, Mas?” Gadis itu meraih handuk dari tangan Hanif. Namun, Hanif menahan dengan kuat.
“Biar Aira lakukan sendiri, Mas?”
“Nggak, Mas yang seka!”

Aira menghela napas, belum pernah ia lihat Hanif sedemikian kekeuhnya. Perlahan genggaman tangannya pada handuk putih itu mengendur. Hanif segera mengambil alih tugas yang semula ingin ia lakukan sendiri.

Kelembutan Hanif saat menyeka kedua tangan dan kaki Aira, meluruhkan amarah yang sempat membuncah di dada. Pandangan gadis itu kini tertuju pada kedua lengan kokoh milik suaminya. Ada yang kembali berdesir di dada mengingat lengan itulah yang telah mendekap Muna saat kejadian kecelakaan kemarin.
Ia kembali merasa ada yang menggantung di pelupuk mata. ternyata kebaikan Hanif, tak mampu menghilangkan rasa kecewa yang kadung membekas.
Aira memilih kembali menunduk. Saat Hanif selesai menyekapun, tak ada satu kata yang keluar dari mulutnya.

‘Sedemikian kokohkah benteng ego dalam dirinya?’ Hanif hanya mampu bertanya dalam hening. Berharap Aira segera melunak, dan mau memaafkan kecerobohannya kemarin.

Bersambung #10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER