Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 03 Oktober 2020

Ketika Duda Mencari Jodoh #10

Cerita bersambung

Terbongkarnya Rahasia Reza
‘Sekuat apapun kamu berusaha menutup kebaikanmu, jika Alloh berkehendak, aku pasti akan tahu.’
***

Setelah selesai menyeka tubuh sang istri, Hanif pamit untuk menebus obat ke apotik.

Sementara ibundanya belum juga kembali dari menjenguk salah satu kerabat yang juga dirawat di rumah sakit itu. Aira memutuskan untuk membaringkan tubuhnya kembali ke ranjang.
Lelah fisik juga psikolgis, rasanya setelah pernikahan berlangsung, kehidupan bukan semakin membaik, justru bertambah banyak cobaan yang datang mendera.

Tiba-tiba, ketukan pintu menggagalkan kelopak mata Aira untuk tertutup.

"Assalamualaikum," Terdengar suara seorang perempuan dari balik pintu.
"Waalaikum salam. Silakan masuk," jawab Aira singkat.
Aira benar-benar terhenyak, saat tahu siapa yang datang menjenguk. "Kak Elsa?"

Gadis itu tercegang mendapatkan Elsa berdiri dengan raut wajah lega. Sedetik kemudian wanita itu tersenyum hangat.

"Mbak Elsa disini?" tanya Aira kembali.
"Iya, senang bisa ketemu kamu.”
“Ayo masuk, Mbak. Ini menyengaja atau bagaimana?”
“Em ... sebenarnya Mbak sedang mengunjungi saudara yang sakit, tetapi semalam sempat ketemu sama Muna. Dia bilang kamu dirawat juga di rumah sakit ini. Maaf baru bisa menjenguk, kamu sudah baikan?" tanya Elsa yang sudah mengambil posisi di sebelah Aira.
"Alhamdulillah sudah Mbak, tapi tulang betis Aira patah,  jadi kemungkinan bisa jalannya masih lama. Mari duduk, Mbak?" Aira mengarahkan tangannya ke sebuah sofa.
“Syafakillah. Semoga lekas sembuh ya, dek, semua musibah.”
"Iya Mbak, makasih. Oh ya, Mbak Elsa kenal sama Ustadzah Muna?" delik Aira detik selanjutnya.
"Sangat kenal."

Kedua alis gadis itu saling terpaut, berbagai pertanyaan kembali tercatat di benaknya. Namun dari sekian banyak tanya, ada satu yang begitu mendominasi, mengalahkan pertanyaan-pertanyaan lain yang juga begitu ingin ditanyakan.

"Mbak kemari sendirian?"
"Oh, nggak. Mbak sama Bang Ipan, suami. Reza tau kamu dirawat?" Iseng, Elsa mencoba menyebut nama Reza di hadapan gadis itu.
Mata indah Aira segera menyorot tajam. Inilah yang ingin ia tahu, apakah Reza juga ikut ke rumah sakit itu. Sebab, semenjak sadar, hati Aira merasa kalau lelaki itu pernah menjenguknya.

"Sepertinya Mas Reza nggak tahu, Mbak." Ragu, gadis itu mencoba mengutarakan apa yang terlihat bukan apa yang dirasa.
"Apa boleh Mbak memberitahukannya?"
"Sebaiknya jangan, Mbak. Aira juga udah baikan," jawabnya lirih. Aira tidak bisa membayangkan bagaimana jika lelaki itu tahu ia seperti ini, apakah uluran tangan atau malah merentangkan kedua tangan, dan membiarkan hati yang rapuh ini bersandar di dadanya?
Sementara kenyataan sekarang, dirinya adalah istri orang lain. Tak peduli orang itu mencintai sepenuh jiwa atau tidak. Yang Aira tahu, ia harus mengabdi, mengunci hati sekuat daya agar tak terjerat sesuatu apapun. Aira hanya tidak ingin merusak janji suci yang sudah diikrarkan di hadapan Alloh.

Elsa melihat Aira menyeka matanya diam-diam. Ia hanya bisa mengurut-urut dada. Wanita itu mulai yakin, bahwa bukan saja adiknya yang terluka karena pernikahan Aira, lebih dari itu, gadis ini pula sama terlukanya.
Tapi inilah takdir yang harus diterima dengan lapang dada, jika tidak maka seumur hidup hanya ada kekecewaan yang dirasa.

Beberapa waktu, keduanya diselimut keheningan. Sebelum akhirnya Aira membuka kembali pertanyaan, mencoba menyisir kekakuan yang tiba-tiba tercipta.

"Mbak sama Ustadzah Muna, bagaimana bisa kenal dekat? Aira boleh tahu?"
Elsa mencoba tersenyum, meski hati kadung perih dengan segala kenyataan yang mulai tersingkap.
"Sebenarnya selain mengunjungi saudara yang sakit, bertemu Muna adalah alasan lain Mbak dan Reza kemari. Tapi semua rencana berubah karena tiba-tiba Muna membatalkan pertemuan kami."
"Pertemuan?"

Elsa menarik napas panjang, dalam hati ia berharap kali ini bicaranya tidak asal dan keterlaluan. Ia hanya berharap Aira dan Reza, keduanya bisa saling ikhlas dan belajar untuk move on.

"Muna itu ... wanita yang hendak dikhitbah Reza?"
"Khitbah?" Manik mata Aira membulat sempurna.
"Iya, khitbah. Muna itu masih termasuk kerabat ... Mbak yang menyusun rencana ini.  Alhamdulillah, Reza tak menolak. Sepertinya adik Mbak mulai menyukai gadis itu. Mbak sangat berharap mereka berjodoh, dan Reza bisa segera mengakhiri status dudanya." Elsa menekan saliva, mencermati dengan baik raut wajah perempuan di hadapannya yang kembali terlihat redup.

Sejujurnya ia merasa bersalah karena telah berbohong, tapi demi kebaikan, ia yakin Alloh akan mengampuni dosanya.

Aira terlihat menunduk, menutupi embun-embun kecil yang tak disadari kembali memenuhi pelupuk mata.

"Kamu kenal sama Muna? Bagaimana menurutmu, mereka cocok tidak?"

Aira mencoba menengadah. 'Mungkin Alloh sedang mengujiku, suamiku menyimpan rasa pada wanita itu, bahkan sekarang lelaki yang jejaknya di hati sedang kucari cara menghapus itupun, ingin melamarnya juga? Alloh ... kuatkanlah diri ini?'

"Maaf Mbak, Aira tidak begitu mengenalnya," jawab Aira singkat. Ia merasa kepalanya berdenyut hebat. Terutama di bekas benturan pada kecelakaan kemarin. Aira menekan-nekan pelipis, lalu mencoba untuk berbaring, Elsa juga ikut membantu.
"Kamu pusing?"
Aira menggerakkan kepalanya, mengangguk.
"Kalau gitu kamu istirahat saja ya, maaf Mbak sudah mengganggumu. "
“Nggak Mbak, Aira hanya kelelahan,” jawabnya dengan raut wajah sungkan.

Sebelum meninggalkan ruangan, Elsa mengelus kepala Aira yang terbungkus hijab. Sejujurnya hatinya terasa perih. Apa yang dirasakan Aira seakan juga ikut dirasakannya, terlebih setelah melihat kegigihan Reza terhadap gadis itu.

“Ketahuilah, Sayang, Alloh Maha membolak-balikan hati. Mbak percaya kalian akan menemukan cinta sejati, suatu waktu nanti,” batin Elsa. Wanita itu kemudian melangkah keluar. Sementara di dalam, Aira menangis tersedu-sedu. Air mata bagai hujan yang melimpah ruah membasahi bumi.

“Alloh, aku berdosa. Aku sudah menikah, tapi di hatiku masih ada namanya. Jika dengan menghapus ingatanku, maka bayang-bayangnyapun sirna, maka hapuslah semuanya ya Alloh. Agar hanya Engkau semata yang kuingat ....”

Gadis itu tak sanggup menahan berbagai rasa yang datang disatu waktu. Sekilas, ia teringat akan pesan gurunya pada pengajian terakhir yang ia ikuti, sebelum melepas status keperawanannya.

“Menikah adalah sunnah Rasulullah dan sunnah para rasul kekasih Alloh. Sunnah yang paling membawa kenikmatan sekaligus bertabur pahala dan kemuliaan. Betapa indah dan bahagia sebuah pernikahan yang dibangun di atas pondasi keimanan dan kasih sayang, diliputi semangat saling memahami dan melayani, juga dihiasi keluasan ilmu dan budi pekerti. Pernikahan demikian, adalah idaman dan dambaan setiap dua pasang insan. Bahtera rumah tangga yang dibinanya siap berlayar mengarungi samudera kehidupan yang demikian panjang. Terkadang berjalan mulus dan lancar, kadang juga penuh badai dan gelombang. Namun, dengan niat dan tekad yang kuat, penghuninya akan berhasil melewati semua itu, hingga pada akhirnya sukses merengguk keindahan intan dan permatanya.”

Aira tergugu, “jika ini adalah badai dan gelombang dalam pernikahanku ya Alloh, maka kuatkan diri ini, teguhkan hati ini, dan lapangkan dada ini. Buatlah agar hamba bisa memaafkan kesalahan suami hamba, juga hanya mencintai dia seorang ... Aamiinn .....”

Benar adanya, bahwa cinta itu menyakitkan. Rindu itu membinasakan. Andai cinta kepada-Nya lebih besar, tentu semua takkan sedemikian menyiksa.
***

Hanif kembali dengan sekantong obat yang baru saja ia tebus. Aira menatap lamat-lamat lelaki itu yang duduk bersandar di sofa,  sembari meneguk segelas air hangat dalam gelas. Tergambar jelas gurat kelelahan di wajahnya.
Sedikit menurunkan ego, tidak akan menjatuhkan harga diri. Karena kesal boleh saja menahan suara, tapi, diakan suami?
Bagaimana mungkin selamanya menyimpan dendam? Pikir Aira saat itu.

"Mas, sudah sarapan?"
Hanif kaget dan segera menatap Aira. Ini adalah pertanyaan pertama yang diajukan istrinya selepas sadar dari koma kemarin.
"Sudah tadi di kantin"

Aira tahu Hanif berbohong.
"Mas, bohong kan?"
Hanif tersenyum dan bergerak mendekati gadis itu. Ia gerakkan tangan untuk memperbaiki posisi jilbab yang dikenakan Aira asal tanpa melihat cermin.
Aira terpaksa menatap mata teduh yang sejati telah membuat perasaannya campur aduk. Sepersekian detik kedua manik mata itu saling bertemu. Aira kembali menemukan kedamaian dalam sorot hangat yang menatapnya begitu dalam.

"Mas  suapin buburnya, ya?"
Aira bergeming, mencoba membaca hati yang terasa mulai goyah.

"Bismillahirrahmanirrahim ... ayo buka mulutnya.” Hanif memberhentikan sendok di depan mulut Aira, hingga mulut yang tadinya sudah dibuka terpaksa dikatub kembali oleh gadis itu.
Hanif tersenyum, ia merasa sang istri telah kembali dari sikap dinginnya. ‘Terima kasih ya, Alloh. Engkau ijabah doaku.”

Sejurus kemudian, lelaki itu melanjutkan menyuapi Aira dengan aura bahagia yang tak terlukiskan.
"Maaf, ya?" Hanif meraih jemari Aira.
"Untuk apa?"
"Kecelakaan kemarin?"
"Lupakan saja, Mas."

Hanif bergeming dan memandangi Aira dengan tatapan sendu.
“Andai ada yang bisa Mas lakukan untuk menebusnya?”

Sesaat Hening, mereka terbang dalam pikiran masing-masing.
Aira melirik Hanif sekilas, jika mengingat kecelakaan itu, rasanya ia sangat membenci suaminya. 'Mas, andai saat itu kamu punya kesempatan untuk menyelamatkan dua orang, apakah kamu tetap lebih memilih menyelamatkan Muna, dan membiarkanku di hantam hingga menghilang dari kehidupanmu ?' Aira bertanya dalam hatinya.
Pikiran gadis itu kembali teracuni bisikan syetan.

"Aira mau ke taman, Mas?" Ia berusaha mencari cara untuk mencairkan pikirannya.
"Hah, ke taman?" Hanif meyakinkah apa yang baru saja ia dengar.
"Aira mau ke taman?"
"Tapi, kakimu?"

Aira menunjuk sebuah kursi roda yang bertengger di sudut ruangan. Hanif mengangkat bahu.

Sebenarnya ia tak yakin dengan apa yang dimintakan istrinya itu. Baru semalam Aira sadarkan diri. Dengan kaki yang seharusnya tak boleh bergerak sama sekali, tentu bukan ide bagus ke luar ruangan.

"Mas ijin dokter dulu, ya?"
"Nggak usah,  Mas?"

Hanif mengembuskan napas khawatir, namun ia tak cukup kuat menolak permintaan sang istri yang ditekankan melalui sentuhan lembut tangannya.
Hanif luruh, lelaki itu terpaksa mengiyakan keinginan istrinya. Sedikit ragu ia menjulurkan sebelah tangan di bawah kedua lutut Aira yang terkulai di atas ranjang. Sebelah yang lain ia gunakan untuk menahan tubuh sang istri dengan mengaitkan di bawah lengan.

Meski canggung, Aira menyandarkan tangan kanannya pada pundak Hanif.  Menyadari sesuatu melingkari tengkuknya, lelaki itu menoleh seketika. Sesaat mereka berhasil dikuasai kegugupan.

Kedua sudut bibir Hanif tertarik menjauh. “Ini tubuh istri Mas berat sama pahala atau berat sama dosa, ya?” candanya yang dibalas tawa ringan Aira. Hanif semakin semringah dibuatnya.
***

Sudah lima belas menit mereka duduk di taman, meski hanya saling tatapan dan tersenyum ,  namun cukup membuat hati Hanif berdecak bahagia.
Terutama saat melihat raut wajah Aira yang terus memancarkan binar bahagia.

"Mas ...." Suara Aira terdengar memecah kebisuan.
"Iya?"
"Aira mau nanya sesuatu,  boleh?"
"Hem,  tanyalah apapun,  asal jangan tanya kapan Mas akan bertemu malaikat maut. Mas takut syirik!" Hanif tersenyum menyambut pertanyaan Aira. Di depan mereka sebuah taman kecil dengan kolom ikan tampak begitu memanjakan mata.

"Emm ... benar Mas punya perasaan sama Ustadzah Muna?"
Hanif menoleh seketika. "Kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu? Apa ada hubungannya dengan kecelakaan kemarin?" Hanif balik bertanya.
Aira menajamkan pandangan, seolah begitu berharap agar sang suami mau menjawab pertanyaannya dengan jujur tanpa mengalihkan topik pembicaraan.

"Em ... oke, ini jawaban yang sejujur-jujurnya. Dulu, Mas memang pernah menyukai Muna, tapi itu dulu.  Sebelum Mas mengenalmu,” Hanif menarik napas panjang, “perasaan itu berubah ketika dia menolak lamaran yang Mas ajukan padanya. Mas akui saat itu, Mas begitu terpuruk. Namun, setelah kita bertemu, semua perlahan berubah.  Dan puncaknya, saat Mas melamar kamu. Nama Muna benar-benar lenyap dari ingatan Mas." Hanif menatap manik kecoklatan di hadapannya yang tampak berkaca-kaca.

"Tapi, kenapa Muna bisa ada di pesantren itu juga?” Suara Aira terdengar mulai bergetar.
“Mas tidak tahu kenapa dia bisa mengajukan surat lamaran di pesantren itu. Mas meloloskannya karena dia memang layak menjadi seorang pendidik. Tidak lebih.”
Aira menatap suaminya penuh tanya, “Aira menangkap, ada yang berbeda dari cara Mas menatap Muna?"
"Astaghfirullah ... nggak ada yang berbeda Humairaku? Kecuali jika Mas menatap seperti ini?" Hanif menyentuh kedua pipi Aira dan menegakkan wajah gadis itu hingga tatapan mereka saling bertemu. Spontan Aira menunduk.

"Kenapa menunduk, kamu takut menatap mata Masmu ini?"
"Nggak,  Mas."
"Kalau begitu, ayo, tatap mata Mas?"

Perlahan Aira menengadahkan kepala. Memberanikan diri menatap bola kelam milik suaminya.

"Bukan seperti ini kan Mas menatap Muna?"
Aira bergeming.

Hanif menggerakkan jari tangannya, mengusap kelopak mata Aira yang kembali tertunduk namun sudah meluncurkan sebulir kristal. "Ya Alloh,  hilangkanlah api cemburu di kedua mata istri hamba ini?"

Aira semakin tergugu, apa yang dilakukan Hanif sungguh diluar dugaan. Namun, rasa cemburu malah semakin besar menyergap.
 ‘Apa karena aku mulai mencintainya, Alloh?’

"Begini Humaira, Mas tidak akan membiarkan hati Mas berlarut-larut dalam kesedihan, karena Mas tahu ada Alloh tempat berbagi. Apalagi sesuatu yang berlabel masa lalu. Bagi Mas, masa lalu itu hanya sebatas kenangan. Cukup dikenang disaat senang, dan dilupakan saat sedih. Mas memang pernah begitu mengharapkan Muna menjadi istri, tapi saat lamaran Mas ditolak, Mas langsung mencoba move on. Mas bukan tipe lelaki yang suka mengemis cinta. Untungnya kamu nggak menolak Mas waktu itu, kalau nggak, mungkin kita juga tak berjodoh,” guyonnya sambil menyentuh hidung segitiga Aira.
Aira tersenyum, cemburu di dada mulai runtuh. Hanif menggenggam jemari tangan Aira.

"Demi Alloh, Mas sudah melupakannya, hanya kamu yang Mas cintai saat ini dan seterusnya.”
Hanif terus mengunci pandangannya. Aira tertegun, rasanya bulir-bulir bening sudah mengantri ingin keluar. Namun sekuat tenaga ia tahan, terlihat seperti perempuan paling cengeng di dunia ini.

"Kita masuk, Mas.  Aira lelah ...," ucap gadis itu lirih.
Hanif menghela napas, dalam hati keyakinannya semakin teguh, bahwa sang istri perlahan kembali membuka hatinya.
Detik kemudian, lelaki berkopiah hitam itu membuka pengunci kursi roda.  Pelan ia mendorong kursi itu menelusuri koridor.

Dalam perjalanan, hati Aira terus diliputi kegundahan. "Mas, maafkan Aira?" Tak lagi bertatapan, namun Aira menyentuh jemari Hanif yang tengah mendorong kursi rodanya.

Hanif terlonjak kaget, ia segera menghentikan dorongannya dan melangkah ke depan.
Lelaki itu melipat kedua kakinya, tak peduli keberadaan mereka saat itu. Diraihnya jemari sang istri dan menciuminya dengan lembut.
"Makasih, Sayang?"

Aira mengangguk, keduanya hanyut dalam suasana yang membuat mata berderai, antara kesedihan dan kebahagiaan. Namun suasana itu rusak saat seorang wanita yang tengah memapah gulungan karpet tak sengaja menabrak mereka.

"Astaghfirullah!” Wanita yang pandangannya tertutup barang bawaan itu terlonjak.
Aira dan Hanif tersenyum.

“Ngapunten, Mas, Mbak. Tidak kelihatan tadi ...."
"Ah, iya Mbak, nggak papa. Monggo, silahkan." Hanif mempersilahkan wanita itu melanjutkan perjalanannya.
Namun, yang disilahkan malah berhenti sambil mengernyitkan dahi. "Njenengan yang kemarin nyari-nyari darah AB(-) ‘kan?” wanita itu langsung mengarahkan pandangannya ke wajah Humaira, “ini pasti Mbak Humaira?”
Aira dan Hanif saling berpandangan.

"Alhamdulillah, sudah segar sekali ya, Mbak?" lanjutnya tanpa jeda.
"Oh ..., Ibu ini yang kemarin ketemu saya di ruangan dokter, ya? Apa sudah dapat Bu donor darahnya?" Hanif mencoba mengenali wanita itu.
"Belum Pak. Kemarin saya coba-coba minta sekantong dari lelaki yang donorin darahnya buat istri Njenengan. Tapi dokter melarang, boro-boro dua kantong, sekantong aja sebenarnya kagak boleh. Tentu, pendonornya juga sedang tidak fit."
"Hah?" Aira tak mengerti dengan apa yang diucapkan wanita itu, pendonor, tidak fit?
"Ibu kenal siapa orangnya?" tanya Aira penasaran. Hanif hanya bergeming, terlihat juga begitu ingin tahu.
"Saat itu saya tak sengaja mendengar percakapan mereka. Tapi belakangan saya dengar, tentu orang diopname juga disini, karena tiba-tiba jatuh pingsan. Namanya ... Reza, eh kok ngomong iki? Kan rahasia?"
Aira dan Hanif,  keduanya benar-benar tercengang.

"Benarkah yang dimaksud ibu itu,  Mas Reza?.Ya Alloh,  cobaan apa lagi ini?" lirih Aira.

Sejenak ia kembali teringat akan Elsa, ‘apakah wanita itu kemari juga bukan untuk menjenguk saudara, melainkan Mas Reza?

"Astaghfirullah ...."

==========

Pilihan Yang Sulit
"Mungkin, Alloh menakdirkanku hidup sendiri. Tapi, bukankah Alloh bisa merubah takdir dengan doa?" Reza.
***

Astaghfirullah, kenapa kamu lakukan ini Mas, mengapa kamu tega mengorbankan diri demi keselamatanku?” Aira membatin gelisah.
Hatinya benar-benar kalut. Namun keinginan untuk bertemu Reza begitu besar, ingin tahu bagaimana keadaannya sekarang, juga untuk mengucapkan permintaan maaf atau terima kasih. Entahlah, mungkin pula dua-duanya.
Gadis itu menunduk lesu. Tak tahu harus bagaimana menyikapi keadaan ini.

"Kamu ingin Mas cari tahu, Reza dirawat dimana?" Akhirnya pertanyaan Hanif membuyarkan lamunan Aira.

Sedikit menengadah,  gadis itu mencoba menatap manik yang terlihat tak seceria tadi. Tentu ini bukan yang ingin dikatakannya, tapi mengapa Mas Hanif terlihat begitu ikhlas?

"Emm ...," Aira berpikir sejenak, "haruskah aku menemuinya, tidakkah jika kami bertemu maka keadaannya akan semakin rumit. Terlebih melihat sikap Elsa yang seolah menginginkan agar ia menjauhi adiknya. Lagi-lagi batin Aira meracau penuh tanya.

Tiba-tiba ...

"Lho, Ibu Humaira kenapa keluar kamar?" Seorang lelaki muda berjas putih menegur Aira dengan gurat khawatir. Lelaki itu tak lain adalah dokter yang menangani Aira selama perawatan. Ia didampingi beberapa perawat sepertinya memang hendak melakukan observasi keadaan Humaira.

"Pak, Ibu Humaira belum boleh bergerak, tulang kakinya kan patah? Tolong Ibu segera didorong kembali ke kamar, ya? Saya mau melakukan beberapa pemeriksaan."

Hanif memandang Aira yang masih linglung.

"Inggih dokter, maaf."
"Kita masuk ya?"

Aira memelas, ingin ia minta agar Hanif membawanya bertemu Reza, tapi bagaimana caranya? Ia takut itu akan membuat perasaan Hanif terluka.

Akhirnya, naluri Aira terkalahkan, kursi roda yang diduduki gadis itu kembali bergerak.

Meninggalkan jejak tanya yang entah kapan akan mengantarnya pada pemilik darah, yang kini telah berbaur dengan darahnya.

'Sepertinya Alloh memang tidak akan menyetujui kita bertemu, Mas.'
***

Elsa masih mengukur jumlah kata yang keluar dari mulutnya. Kehadiran Ipan dan Abhi lumayan mengusir kekakuan di antara dua kakak beradik tersebut.

"Papa, hari ini kita pulang 'kan?" tanya Abhi pagi itu.
Reza melirik Elsa,  seakan tak berani bersuara walau cuma berkata iya.

Sejujurnya, Reza memang sudah diperbolehkan untuk pulang. Dokter sudah mengatakan bahwa keadaannya telah stabil. Lelaki itu hanya butuh istirahat dan makan makanan yang cukup kadar zat besi guna meningkatkan tekanan darah juga hemoglobin.
Reza mengangguk,  sekadar memberi isyarat pada sang anak.

Tiba-tiba,  suara ketukan pintu mengalihkan semua tatapan yang tampak membeku.
Seraut wajah ketimuran muncul di balik pintu, Elsa tersenyum menyambut kedatangan gadis itu.

"Muna?" sapa Elsa riang. Gadis yang disapa itupun tersenyum sembari mengucapkan salam.
"Mas Reza sudah baikan?" tanya gadis itu kemudian. Namun langkahnya terhenti, takut yang hendak dijenguk merasa keberatan dengan kehadirannya.

"Alhamdulillah, sudah. Masuklah." Reza menjawab datar.
"Duduklah kemari." Elsa menimpali.
"Terima kasih, Mbak. Tadi saya sama beberapa Ustadzah yang lain berniat mengunjungi Mbak Aira."

Mendengar nama Aira disebut, wajah Reza yang lemas seketika berbinar penuh keingintahuan. Namun,  sebisanya ia bersikap wajar dan tak ingin bertanya.

"Saya dengar,  Mbak Aira sudah sadarkan diri," lanjut Muna.
Reza mengurut dada, merasa begitu bersyukur dan bahagia atas kabar yang ia dengar itu.
"Ohya, baguslah.  Jadi nggak sia-sia donk pengorbanan Reza. Ya ‘kan, Mas?" Elsa sengaja mencibir Reza. Sang adik hanya bergeming.

"Oh ya, makasih ya bantuannya kemarin," timpal Reza mengalihkan pembicaraan.
Muna berbalik menatap Reza.
"Sudah sepatutnya sebagai manusia saling tolong menolong, Mas. Apalagi yang saya tolong itu adalah seorang yang saya kenal."
"Ini ada nasi pecel buat yang sakit, barangkali Mas Reza berselera makan makanan khas sini." Muna bangkit dan menyodorkan sebuah plastik hitam berisi makanan. Reza meraih pemberian Muna tersebut.

"Terima kasih, harusnya tak perlu berlebihan begini," ucapnya sungkan.
"Nggak berlebihan kok Mas, itu tadi nyambi beli buat Ustadz Hanif, suaminya Mbak Aira."
Reza segera menoleh.
"Bu Nyai yang suruh, Ustadz Hanif itu suka sekali nasi pecal. Oh ya, saya langsung pamit ya, Mas. Takut kecarian karena terlalu lama menghilang." Gadis itu mengulum senyuman, meski begitu, tetap terlihat begitu anggun.

Sejujurnya Reza mengakui kalau untuk urusan wajah,  Muna cantik.  Shalehah pula. Tapi di sisi lain, hatinya tak siap. Cintanya masih membekas untuk Aira.  Sebab itulah ia tak ingin terlalu ramah, takut Muna malah simpati dan berharap lebih padanya.

“Alloh, bolehkan aku menunggunya? Jika hidupku hanya bersisa satu hari lagi di dunia ini, akankah Kau menyatukanku dengannya?”
***

Aira baru saja hampir memejamkan mata, namun kehadiran rombongan pesantren membuat manik itu kembali terbuka.
Kedatangan mereka, disambut hangat oleh Hanif, Ibunda Aira dan gadis itu sendiri.
Semua lega melihat kondisi Aira yang semakin membaik. Bu Nyai adalah sala satu yang paling bahagia. Aira mencoba mencari jawaban, kenapa dalam rombongan itu semua hadir kecuali Ustadzah Muna?
Belum sempat bertanya,  netranya justru terbidik ke arah pintu yang tiba-tiba di ketuk.
Ustadzah Muna muncul dengan wajah semringah.

"Maaf tadi singgah di ruangan sebelah,  kebetulan ada saudara juga yang dirawat di rumah sakit ini," ucap gadis itu saat mendapati semua mata kini tengah menatapnya. Seperti ada yang menusuk palung jantung, sekujur tubuh Aira menghangat saat melihat Muna ada di hadapannya. Sosok yang bersamanya saat kejadian naas itu terjadi.

“Ia bahkan tak terluka sama sekali? Oh Alloh, aku hanyalah wanita biasa yang dipenuhi kecemburuan?” batin Aira.

Meski perih di sekujur tubuh telah menghilang, namun rasa sakit dan iri mengingat dialah wanita yang lebih dipilih sang suami untuk di selamatkan, membuat bulir bening di matanya kembali menggenang.
Tak ingin buliran itu berderai, Aira segera mengucek-ngucek kelopak matanya.

"Nuwun sewu, Mbak Aira. Karena saya, njenengan jadi begini?" ucap Muna sembari menyentuh jemari Aira.
Aira berusaha tersenyum lalu menoleh ke arah Hanif.

Lelaki itu memandang dua wanita di hadapannya secara bergantian. Harapannya,  apapun yang dilihat dan didengar Aira,  tidak akan membuat hatinya bertambah sakit dan cemburu.

"Qadarullah Ustadzah, semua ini musibah," ucap Aira setelah asal mengartikan tatapan sang suami. Bukankah hatinya juga sama goyah, jadi buat apa memaksa Hanif segera melupakan wanita yang sangat ia cintai, kembali batin Aira dikacaui bisikan halus.

Detik kemudian, Aira mengalihkan perhatiannya. Berbagai pertanyaan yang diajukan oleh saudara se-Nabi Adamnya menuntut ia melupakan perihal cemburu.

“Aku harus kuat. Demi sebuah janji yang sudah terlanjur di hadapan-Mu ya, Rabb.”
***

Matahari semakin condong ke barat, Hanif tampak sibuk dengan beberapa berkas yang harus ditanda tangani. Tadi Ustadz Fatih datang membawakannya beberapa lembaran yang harus segera dirampungkan dan dikirim besok ke Departemen kementerian Agama.

Di sisi lain, Aira masih terbaring. Sesekali melirik sang suami yang tampak begitu khusuk dengan kerjaannya, detik kemudian ia menunduk. Aira baru sadar, lelaki yang hampir tak pernah melepaskan kopiah hitam itu ternyata begitu menawan.

Tiba-tiba Ibunda Aira masuk ke ruangan, setelah setengah jam yang lalu menghilang entah kemana.

"Nak Hanif, Ibu minta waktunya sebentar,” ucap wanita itu sambil duduk di sebelah menantunya. Aira ikut menoleh.
“Ibu akan membawa Aira pulang ke Tangerang?"
Semua yang ada di ruangan itu tersentak. Hanif tampak menghentikan kegiatannya.

"Nuwun sewu Bu, kenapa harus pulang ke Tangerang?" tanya Hanif dengan perasaan khawatir.
"Iya Bu, Aira disini saja udah?" timpal gadis itu. Ia sekilas menatap sang suami yang mulai terlihat cemas.
"Ibu hanya kasihan sama Hanif, jika kamu disini, dia harus menjaga kamu dan melalaikan pekerjaannya?"
"Oh itu, nggak papa Bu, saya tak keberatan jika harus menjaga Aira. Lagian cuma mengurus pondok, nanti saya bisa minta tukar jam mengajar dengan ustadz dan ustazdah yang lain?" Hanif menjawab dengan raut yang tak tergambarkan. Berharap yang disampaikan ibu mertuanya itu sekedar guyonan.
"Keputusan ibu sudah bulat. Biar Aira sama ibu dulu, sampai dia bisa bangkit sekurang-kurangnya mengambilkan kamu minum."
"Nyuwun sewu , Bu. Kalau itu, saya bisa sendiri. Jika ibu masih khawatir, saya akan carikan seseorang yang bisa membantu Aira mengurus segala keperluan di rumah?"
"Lho, ngapain cari orang.  Wong ibu masih kuat. Ibu masih sanggup menjaga yang sakit-sakit begini. Masalahnya cuma Abi itu lo, sekolahnya kasihan jika harus ikut Ibu kemari. Pokoke niat ibu nggak bisa diganggu, Aira ikut Ibu pulang ke Tangerang."

Hanif terdiam, ia menatap Aira berusaha mencari pembelaan. Namun, Aira tak berkata apapun. Ia paham betul sifat ibunya, jika sudah berkeinginan, apapun akan dilakukan demi mewujudkannya.
***

Mobil Fortuner Hitam milik Ipan tiba di Tangerang setelah azan isya berkumandang. Di belakangnya menyusul Reza yang mengendarai mobilnya seorang diri. Elsa turun,  mengikuti langkah Abhi yang tampak sedikit mengantuk.

"Za,  Mbak nggak nginap sini lagi, ya?"
Reza yang hendak masuk menyusul Abhi seketika menoleh.
"Mbak marah sama aku?"
Elsa tersenyum, "buat apa marah sama kamu? Mbak itu harus temeni Bang Ipan, dinas di luar kota."
Reza mendesah. "Pasti rumah sepi nggak ada yang ngomel-ngomel lagi?" candanya yang ditanggapi Elsa dengan senyuman. Kelopak mata Reza mendadak terasa berat, teman hidupnya satu persatu pergi, dulu istrinya, lalu uminya, sekarang Elsa.

“Alloh, jangan ambil lagi orang yang kusayang?” Ingatannya melambung pada buah hati satu-satunya yang ia punya.
"Hei!” Elsa mengayunkan tangan di hadapan wajah Reza. Lelaki itu tersentak, lalu memaksakan diri untuk tersenyum.

“Makanya buruan cari Mama buat Abhi?"
Reza mengangguk, "Mbak pamitan dulu sama Abhi. Kasihan, pasti dia bakalan nangis."

Wanita itu terhenyak, ada yang membuatnya ragu untuk pergi, ‘Abhi’. Ia melangkah masuk,  meski hati bergetar hebat, yakin apa yang diucapkan Reza akan terealisasi sesaat lagi.

Sudah cukup lama ia berada di rumah itu, terhitung semenjak umi mereka meninggal dunia. Rasa sayangnya pada Abhi melebihi apapun.  Apalagi sampai saat ini, ia belum jua dikarunia momongan. Andai bisa memilih ia tak ingin pergi saat itu. Tapi bagaimanapun, Ipan telah berkorban banyak. Tak ayal jika sebagai istri, ia menolak permintaan suami agar menemaninya bekerja.

Reza menatap sang kakak yang berjalan memasuki rumah, menyusul Abhi. Reza tak masuk, ia tak sanggup menyaksikan apa yang sesaat lagi terjadi didalam sana.

Lima tahun lalu, perpisahan pernah membuat Abhi menangis hebat. Saat itu Abhi memang masih kecil, tapi ia mengerti akan kehilangan ibunya. Bahkan bocah itu berhari-hari demam hingga harus dirawat.

Reza merasakan dadanya semakin sesak, ingatan itu membuat jantungnya seperti ingin berhenti berdetak. Tak lama, tangisan yang dulu pernah ia dengar kembali berendus di telinga. Reza mengambil earphone dan memasang ke telinga.

"Jangan menangis Sayang, kamu masih punya Papa. Selamanya Papa akan menemanimu?"
***

Hanif membalikkan langkah, setelah mengetahui ponselnya tak ada di kamar, lelaki itu buru-buru mencari di mobil. Khawatir ada panggilan penting dari rumah sakit.

Benar saja, melihat panggilan tak terjawab lebih dari dua puluh kali di layar ponsel, Hanif begitu terhenyak. Jantungnya semakin berdebar saat tahu semua panggilan itu berasal dari sang istri, yang ia tinggalkan di rumah sakit bersama ibu mertua.
Lelaki itu buru-buru memencet ulang tombol panggilan. Dua kali, tak ada jawaban. Akhirnya dengan tergesa ia duduk kembali di balik setir.
Hanya perlu waktu sepuluh menit saja, Hanif sudah bertengger kembali dirumah sakit.

"Kenapa telpon Aira nggak diangkat-angkat, Mas?" Aira langsung mencecar Hanif dengan pertanyaan.
"Hus, suami baru sampai, mbok ya disuruh duduk dulu?" timpal ibunda Aira.

Tanpa menunggu perintah sang istri, lelaki itu langsung menarik sebuah kursi untuk diduduki. Kopiah yang bertahta di kepala, ia taruh di atas paha. Sembari menarik napas panjang, lelaki itu merelaksasikan saraf-sarafnya yang sempat menegang, karena pikiran buruk yang tiba-tiba muncul akan sang istri.

"Maaf tadi, ponselnya ketinggalan di mobil? Kamu nggak papa?" Hanif menyentuh kening Aira dengan punggung tangan. Seketika amarah yang tadi sempat tersulut di hati Humaira perlahan mereda seiring sentuhan lembut di keningnya.

"Aira nggak apa-apa, Mas. Cuma tadi itu dokter manggilin Mas buat membicarakan masalah operasi kaki Aira. Tapi ini udah dihandle sama Ibu?" Aira menunjuk sang ibu dengan isyarat mata. Hanif segera berpaling.

"Astaghfirullah ... Jadi bagaimana Bu, keputusan apa yang sudah disepakati?" selidik Hanif penuh khawatir.
"Dokter tadi nanya ke Ibu, kapan Humaira siap dioperasi."
"Lalu, bagaimana Bu?"
"Ibu bilang, Humaira akan Ibu bawa pulang ke Tangerang."
"Ya Alloh, Bu ...," Hanif mengusap wajahnya, "Kenapa nggak tunggu saya dulu, Bu?"
"Kalau nunggu Nak Hanif kelamaan. Orang telponnya juga nggak diangkat," ketus sang ibu. Hanif mendesah.
"Mas nggak keberatan ‘kan?" sambung Humaira.

Hanif segera menoleh. ‘Ya Alloh, sekarang istrikupun ikut-ikutan ibunya?’
"Humaira, Mas hanya tak ingin berjauhan darimu?”

Ibunda Aira tersenyum, inilah yang ia harapkan.
"Sudah ya, Nak Hanif. Percayakan sama Ibu. Jika kamu sedang banyak waktu, pulanglah ke Tangerang?"

Hanif berdiri mematung, merasa ada yang aneh dengan keputusan ibu mertuanya. Tapi ia bisa apa, sebagai menantu yang baik, ia harus mendengarkan wanita itu. Sedikit bersabar, Hanif yakin semua akan indah pada waktunya.

"Saya janji, jika masalah di Pesantren rampung, saya akan segera menyusul."

Ibunda Aira tersenyum lebar, sementara Aira tertunduk lemas. Sudah ia duga bakalan seperti ini, memang dirinya tak berarti apapun di hati Hanif.

Bersambung #11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER