Aku Mencintaimu Humaira
'Jika aku ingin bahagia dalam pernikahanku, aku harus bersabar.’ Humairah.
***
Berita kepindahan Humaira berendus di Pondok. Kiai Dahlan dan istrinya menyambangi Aira kembali di rumah sakit pagi itu.
"Jadi benar berita bahwa Aira akan di operasi di Tangerang?" tanya Bu Nyai.
"Benar, Bu?" jawab ibunda Aira tak mengurangi rasa hormatnya pada wanita, yang begitu perhatian akan anaknya selama seminggu ini.
"Kenapa tidak di sini saja, Bu?"
"Kasihan Hanif Bu harus menjaga Aira seorang diri. Sebab saya tidak bisa berlama-lama meninggalkan rumah, ada seorang cucu yang menjadi tanggungan di sana."
"Oh kalau masalah itu, seharusnya Ibu teh jangan khawatir, di sini kan kami bisa gantian menjaga Humaira. Saya sudah menganggapnya seperti anak sendiri, Bu. " pungkas wanita bercadar itu penuh kelembutan.
"Jangan Bu, biarlah saya yang merawatnya sendiri, saya tidak ingin merepotkan keluarga di sini...?"
"Hem, ya sudah kalau itu sudah menjadi keputusan. Lantas kapan rencana dibawa pulang, Bu?"
"Insya Alloh hari ini Bu?"
Mendengar perkataan ibunda Aira, Bu Nyai sedikit mengurut dada. Tidak bisa berbuat apa-apa selain mendoakan, agar Aira mendapat perawatan terbaik di Tangerang.
***
Semua sudah beres, sebuah ambulance juga sudah menunggu Aira di halaman. Tiba-tiba, ketika hendak melangkah keluar, Hanif mendapati Muna berdiri di balik pintu. Ia terhenyak.
Muna dan Hanif saling bersitatap beberapa detik, tersadar berada pada keadaan yang tak wajar. Keduanya segera membuang pandangan.
Sesuatu segera terlintas di benak Hanif, teringat akan beberapa pertanyaan yang ingin ia ajukan pada gadis itu. Namun Hanif mengurungkan niatnya, ia merasa saat ini bukankah waktu yang tepat.
"Saya dengar Mbak Aira mau di bawa ke Tangerang," tanya Muna masih di depan pintu kamar.
"Iya, ini Mas mau memastikan apakah ambulancenya sudah siap."
"Boleh saya bertemu dengan Mbak Aira sebentar saja, Mas?"
Hanif melirik ke dalam, Aira tengah duduk sembari merapikan hijabnya. "Boleh, masuklah."
Munapun melangkah ke dalam, berbarengan dengan langkah Hanif ke luar ruangan. Sesuatu seperti berdesir hebat di dada gadis itu. Perasaan ini, Muna sungguh tak sanggup menahannya seorang diri. Menjadi yang tersisihkan demi sesuatu yang pernah ia sia-siakan dahulu, rasanya benar-benar menyakitkan.
Muna terus melangkah mendekati Aira yang tampak sedikit kaget. Gadis itu segera mempersilahkan Muna duduk di sebuah sofa.
Menyadari kedatangan tamu dari pesantren, ibunda Aira bangkit, meninggalkan keduanya untuk sejenak.
"Ada apa Ustadzah Muna kemari pagi-pagi?"
"Saya dengar Mbak Aira mau dibawa ke Tangerang, benar?"
"Iya, benar Ustazdah. Ada yang mau Ustadzah sampaikan"
Sesaat keadaan terasa hening. Kedua bibir gadis itu kelu beberapa detik.
"Mbak Aira, saya tidak ingin ada kesalah pahaman diantara kita."
Aira menajamkan tatapannya. "Perihal apa Ustadzah?"
"Kecelakaan itu ...."
Aira menarik napas, melebarkan dadanya untuk sesuatu yang barangkali akan membuatnya merasa sesak sesaat lagi.
"Katakanlah Ustadzah?"
"Ini semua salah saya Mbak?" Muna menjelaskan dengan wajah sendu.
Aira mendongak, telinganya telah siap mendengar semua yang akan disampaikan Muna.
Aira menarik napas panjang, cerita Muna barusan membuat dadanya sempit dan butuh banyak pasokan udara. Ia menggenggam tangan Muna, "Bolehkah saya bertanya sesuatu Ustadzah?" Gadis itu tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, sesuatu yang begitu membuncah di dada harus ia luruskan, agar tak terus menyiksa batinnya.
"Apakah Ustazdah masih menyukai suami saya?"
Muna tercekat mendengar pertanyaan yang diajukan Aira. Ia menelan saliva, "Bagaimana bisa Mbak menanyakan hal ini?”
"Saya sudah tahu semua dari Mas Hanif. Juga sebuah surat yang saya temukan di dalam buku yang saya pinjam kemarin, surat Mas Hanif untuk Ustadzah dahulu. Saya hanya perlu tahu, bagaimana kedudukan surat itu kini dihati Ustadzah?"
Muna tertunduk bersalah, bibirnya yang ranum tiba-tiba berubah pucat. "Saya sudah tidak ada perasaan Mbak sama Mas Hanif, bahkan sedari dulu," jawabnya dengan suara bergetar.
Aira menarik napas, ia tahu gadis di hadapannya itu berbohong. Wanita memang pandai menutupi perasaan, juga dilengkapi insting kuat akan segala sesuatu. Namun, sesama wanita, kebohongan Muna terbaca jelas oleh benak Aira.
'Ustadzah tak sendiri, kita bernasib sama. Sama-sama melepaskan yang kita cintai. Hanya alasannya yang berbeda. Tapi kita harus tahu, bahwa sesuatu yang sudah pergi, takkan pernah kembali kecuali satu, doa yang tulus.'
Aira mengerjap berkali-kali, ia melihat Muna seperti berkacakan dirinya sendiri. Namun ia tetap berusaha meyakinkan diri, bahwa takdir yang terjadi padanya hari ini, suatu saat pasti akan diingat sebagai karunia. Hanya perlu berprasangka baik, bukankah Alloh tergantung pada prasangka hambanya.
Kenapa harus ragu, jika Alloh telah berjanji akan membahagiakan hambanya dalam sebuah pernikahan? Ini adalah satu janji Alloh yang mulai terlaksana, keterbukaan antara ia dan wanita masa lalu suaminya.
Aira berusaha bangkit, ia membisikkan sesuatu di telinga Muna. "Terima kasih Ustazdah. Ustadzah wanita yang begitu baik, saya yakin, Ustadzah akan mendapatkan jodoh lelaki yang amat sangat baik. Insya Alloh."
***
Hari semakin beranjak, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Sinar mentari mulai terasa hangat menyentuh kulit. Hanif kembali mengangkat sang istri ke kursi roda. Meski hanya hitungan detik, pandangan mereka kembali terpaut sangat dekat.
Perlahan, lengan kekar Hanif mendorong kursi roda sang istri hingga sampai ke pintu keluar rumah sakit. Ibundanya dan beberapa perawat ikut mendampingi. Sepanjang perjalanan menuju pintu utama, Aira mengedarkan pandang ke setiap jejak yang ia lewati.
Rumah sakit ini punya arti khusus di hatinya. Semua rahasia tersingkap di tempat ini, untuk semua ia tak henti berucap syukur, kecuali akan satu hal, kesempatan untuk berterima kasih pada Reza.
"Alloh...jika semua kesempatan di dunia ini telah Engkau tutup, ijinkan lisan ini untuk mendoakannya, agar ia senantiasa sehat dan bahagia?"
Mereka telah sampai di lantai dasar, hanya beberapa langkah lagi untuk sampai ke ambulance.
Semakin kemari, Aira semakin butuh topangan. Beban di jiwanya seperti bongkahan batu yang amat berat. Ia menggenggam tangan Hanif, merasa tak ingin diasingkan dalam mobil putih bersirine itu seorang diri.
Hanif sedikit terhenyak, ia membalas genggaman tangan Aira padanya."Kamu nggak papakan sendiri?"
Aira hanya mengangguk, ingin rasanya ia jujur, meminta Hanif menemani. Tapi bibir terasa kelu, kejujuran pada suami yang harusnya tak perlu di rasa sungkan, malah sedemikian sulit ia utarakan.
Gadis itu menarik napas panjang ketika tubuhnya sempurna terlentang diatas bed ambulance. Sebelum menutup pintu, Hanif mengelus puncak kepala Aira.
“Sabar, ya. Mas nggak akan lama?”
Aira mengangguk, seperti akan pergi jauh dan takkan kembali. Ucapan Hanif benar-benar menusuk kalbu gadis itu.
Menit berikutnya, pintu bercat putih itu telah tertutup. Kini di tempat itu hanya ada Aira seorang diri. ‘Kenapa Ibu nggak duduk di sini?’ batinnya bertanya.
"Kamu nggak papakan, Nduk?" Seperti paham apa yang dirasakan sang anak, Ibunda Aira memastikan dari tempat duduk depan.
"Iya, Bu. Apa sudah mau berangkat, Bu?"
"Sebentar lagi, ya?" jawab ibunya singkat.
Aira benar-benar ingin segera pergi, berada di tempat itu lebih lama, hanya akan membuat matanya berurai-urai cairan. Setega itu Hanif padanya, ternyata pengakuan Muna tak berarti banyak.
Mungkin Muna bisa menutupi perasaannya, tapi bagaimana dengan Hanif? Bisa saja yang diucapkan lelaki itu kemarin, juga sebuah penyangkalan akan rasa yang sebenarnya masih begitu besar. Pikir Aira.
Tiba-tiba, pintu ambulance kembali terbuka. Aira tak percaya saat mendapati Hanif yang membuka pintu itu.
"Mas Hanif?" sebut Aira.
Lelaki itu tersenyum dan melangkah masuk.
"Mas-Mas Hanif katanya nggak ikut?"
"Mas nggak bisa tinggal di sini tanpa kamu?"
Aira masih menatap lelaki itu tak percaya, "tapi bukankah Mas harus mengurus pesantren?"
Hanif bergeming, Aira tengah mempersiapkan hatinya, barangkali sedetik lagi Hanif berubah Pikiran dan benar-benar mengurungkan niatnya kembali.
"Mas pikir, pesantren masih ramai yang bisa ngurus, tapi kamu ...." Hanif menghentikan ucapannya, "Mas tak ingin melewatkan kesempatan merawatku."
Aira mengembuskan napas lega. Akhirnya sesuatu yang ia harapkan terwujud. "Terima kasih Alloh ...."batinnya berdoa.
Senyum semringah Aira disambut genggaman erat sang suami. Seakan tak ingin berpisah, mereka saling meluapkan rindu melalui tatapan. Kini kendaraan beroda empat itu perlahan bergerak, meninggalkan kota dengan sejuta kenangan meski untuk sementara waktu.
"Kamu mau Mas bacakan kultum?"
"Apa?" Aira mengernyitkan dahinya.
"Iya, kuliah tujuh menit?"
Aira tersenyum hangat, "Boleh?"
"Bismillah. Dalam sebuah hadist qudsi Alloh berfirman, "Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku, maka ia bebas berprasangka kepada-Ku sesuai yang ia mau. Firman itu mengisyaratkan bahwa jika seorang hamba berpikir Alloh ada dan selalu memberi pertolongan dengan cara-Nya, maka apa yang ia yakini itu akan terjadi. Begitu pula sebaliknya. Karena Alloh Maha Berkehendak."
Aira menyimak.
"Jika Alloh memudahkan suatu perkara, maka perkara itu akan mudah, semudah membalikkan telapak tangan. Mas selalu yakin, bahwa sekuat apapun itu kecuali kuasa Alloh tetap akan meleleh, begitu juga dengan kesulitan, sedikit apapun permasalahan pasti akan lebur dengan doa. Kamu percayakan, Humairah?"
Aira mengangguk.
"Kita sebagai manusia harus sering melihat ke sekeliling, betapa banyak orang yang menginginkan sesuatu, tetapi tak mendapatkannya. Betapa banyak orang yang sudah putus asa, namun kebahagiaan datang bagai semilir angin yang menyejukkan. Semua karena Alloh, Ia bersama dengan orang-orang yang hatinya tertanam cahaya keimanan dan keyakinan." Hanif meletakkan tangannya yang menggenggam tangan Aira di dada.
Gadis itu tertegun. Mencoba mengisi dadanya dengan udara kebahagiaan yang perlahan berembus.
"Mas yakin apa yang terjadi pada kita, sakit, bahagia, susah, gembira, semua untuk membuat kita semakin mencintai dan belajar menghargai satu sama lain. Rumah tangga itu Ibarat bahtera, yang akan mengarung samudera kehidupan sepanjang sejarahnya. Untuk mencapai pelabuhan terindah, tentu akan ada badai yang menghantam dengan keras. Namun dengan niat dan tekad yang kuat, pasti kita akan berhasil melewatinya."
Aira semakin larut dalam penghayatan. Pikirannya berputar kesana kemari. Pernikahan ini memang ujian berat buatnya. Ia harus belajar mengikhlaskan cintanya untuk Reza, juga belajar kesabaran tatkala tahu ada seorang wanita yang begitu berarti dan sulit pula dilupakan suaminya. Air mata mulai kembali mengambang di pelupuk mata.
Ia gerakkan tangannya yang masih terikat selang infus untuk mengusap sebulir yang tiba-tiba lolos di pipi. Tapi, Hanif buru-buru menyapu buliran itu, sebelum jemari Aira sampai di pipi.
"Mulai sekarang, air mata ini, biarkan Mas yang menghapusnya? Mas akan gunakan semua yang Mas punya untuk kebahagianmu?"
Aira benar-benar terenyuh, serasa lebur semua beban pikiran yang bergelayutan di jiwa. Ia tahu Hanif sedang berusaha, sama halnya dengan yang diusahakannya untuk pernikahan ini. Memang bukan mudah membunuh rasa cinta, tapi jika memasrahkan semua pada Alloh, tentu semua akan berbeda.
Hanif tersenyum hangat. "Cepatlah sembuh Humairaku, Mas benar-benar ... rindu."
Wajah yang tegas itu tiba-tiba merah merona. Gurat canggung terlukis jelas pada selarik senyumnya yang menggoda.
Diantara derai air mata yang ingin mengalir, Aira pun tampak tersipu malu. Ucapan rindu ini, ia baru mendengar untuk pertama kalinya dari sang suami.
Bagaimanapun pasang surut perasaannya, tetap ini sesuatu yang membuat dadanya bergemuruh, segemuruh jantungnya yang ikut bertalu-talu. Andai tak terbuka kaca pembatas antara bagian depan dan belakang ambulance, mungkin mereka akan sangat larut dalam keadaan.
"Sudah siap, kita berangkat sekarang!" ucap supir ambulance yang juga kelihatan salah tingkah melihat dua pasang suami istri itu saling menggenggam tangan.
Hanif terkesiap mengangguk, Aira hanya tersenyum.
"Hanif, Ibu serahkan Aira sama kamu, ya? Jangan sampai kenapa-kenapa?"
"Inggih, Bu. Bismillah. Lanjut saja Mang," jawab Hanif dengan sopan.
Tak ingin melewatkan sedetikpun waktu, lelaki itu hanya ingin menghabiskan hari ini dengan bermesraan bersama sang istri.
Ia kembali menatap gadis itu. "Telah banyak waktu yang terbuang sia-sia, harusnya begini dari kemarin-kemarin, ya?" Hanif kembali mengeratkan genggamannya setelah kaca pembatas itu tertutup. Aira bisa merasakan sesuatu mengalir dari genggaman Hanif padanya.
Gadis itu kembali menatap sorot teduh yang ia rasa begitu berkharisma hari ini.
Hanif merasakan sesuatu tengah berdesir hebat di dada, melihat netra bening yang berbinar di hadapannya. Cepat ia mengalihkan sesuatu yang perlahan mengaliri jiwanya.
‘Kenapa terasa begitu menyakitkan. Apakah ini yang dinamakan rindu? Rindu padanya kekasih halal, namun tak dapat membagi rasa itu?'
"Boleh Mas pinjam jarimu untuk berzikir? Mas belum berzikir pagi ini?" Hanif mencoba meredam perasaannya.
Aira mengangguk, sejujurnya ia seperti pernah merasakan seseorang berzikir menggunakan jemarinya. Sedetik kemudian, iris kelam Hanif menyorot pada tiap ruas jemari Aira. Perlahan ibu jari lelaki berjambang tipis itu menekan lembut tiga titik disatu jari.
Aira mengertikan tiap sentuhan dengan sensasi yang berbeda. Kadang hangat menjalari tubuh, sesekali menggelitiki jiwa kala jemari panjang itu tak hanya menyentuh, tapi menggesek hingga ke tiap-tiap ruas yang lain.
Hari ini, Aira meyakini satu hal. Bahwa cinta hadir bukan untuk sekedar dirasakan, melainkan untuk dipelajari. Lihatlah bagaimana cara pasanganmu memberikan cintanya padamu, hingga kau bisa membalas dengan cara yang lebih pantas. Lihatlah bagaimana pasanganmu menyayangimu setiap saat, hingga kau tahu bagaimana membalasnya kasih sayangnya dengan baik.
Aira sadar, bahwa cinta yang sejati adalah cinta seseorang yang sudah terikat janji di hadapan Alloh, bukankah cinta sesaat yang begitu menggebu dan menyakitkan.
==========
Kuikhlaskan Kisahku
Matahari terus berjalan mendekati peraduannya. Sinarnya yang kuning keemasan perlahan mulai bersulam kemerahan. Reza masih di dalam mobil, saat azan maghrib telah berkumandang. Ia dan karyawan lainnya sering lembur di akhir bulan, guna menyusun segala laporan yang nanti akan di setor keatasan.
Harusnya Reza sudah sampai di rumah sekitar lima belas menit lalu, jika saja ia tidak terjebak macet disepanjang jalan utama. Lelaki itu menggigit bibir resah serta meringis perlahan, bayangan wajah Abhi terus berkelebat di dalam benak.
Janjinya tadi pagi sebelum berangkat kerja, ia akan pulang cepat untuk menemani sang anak menyelesaikan tugas melukis. Namun, hingga malam hampir membentangkan jubahnya, lelaki itu masih harus menempuh jarak satu kilometer lagi.
***
"Akhirnya sampai juga," gumam Reza pelan. Ia melirik jam yang melingkar di tangan, hampir jam delapan. Untung saja ia tadi menyempatkan diri singgah di sebuah mesjid, menunaikan shalat magrib meski waktu sudah berada di penghujung.
Reza membuka pintu, lampu tengah ruangan mati. Lelaki itu menangkap sebuah cahaya yang berasal dari dapur. Ia urungkan niat ke kamar, dan berjalan ke ruangan yang menurutnya masih ada Mbok Ratih di tempat itu.
"Mbok ...." Reza memanggil wanita paruh baya yang tengah berkutat dengan piring kotor.
"Tuan sudah pulang? Den Abhi baru saja tidur, tadi nungguin Tuan pulang, terakhir katanya mengantuk dan tak mengijinkan saya menemani," ucap wanita itu sambil menghentikan kegiatannya.
Sudah seminggu belakangan Mbok Ratih bekerja di rumah itu, Elsa yang mencarinya melalui jasa pembantu rumah tangga. Wanita itu berasal dari kampung dan pergi ke kota guna mengais rezeki yang kata orang seperti mencari mutiara di tengah lautan.
Baginya, bisa bekerja di rumah itu seperti mendapat rahmat terbesar dalam hidup. Semua sebab Reza adalah seorang majikan yang lembut dan sopan. Terlebih Abhi, ia sangat menyayanginya laksana cucu sendiri.
Reza mengambil segelas air, "saya menyusul ke kamar ya, Mbok?"
Sejurus kemudian langkah lebarnya telah berlalu menuju kamar Abhi. Ia buka pintu kamar perlahan, tak ingin anak itu terusik dengan kedatangannya Reza menatap Abhi yang sudah berbaring di atas ranjang.
Bermaksud ingin mendekati sekadar untuk mengecup pundak kepala, langkahnya justru terhenti pada tumpukan buku di atas sebuah karpet motif Winne The Pooh.
Ia merapikan buku tulis yang berserakan, serta memasukkan bolpoint ke dalam kotak pensil. Sesaat matanya diajak melirik pada sebuah buku gambar.
"Apakah ia sudah menyelesaikan gambarnya?" Reza bergumam dalam hati.
Ia membuka bagian buku yang terganjal pencil warna di bagian dalamnya.
"Subhanallah ...."
Reza tak percaya apa yang ia lihat di buku gambar Abhi. Sebuah lukisan keluarga. Seorang anak kecil tengah di gendong sang ayah, sementara di sisi lain ia menggambar seorang perempuan tengah digandeng tangannya oleh seorang lelaki, yang tak dibuat bentuk wajahnya. Dibagian tengah atas diberi judul 'My Family.'
Reza terhunyung ke belakang. Dadanya terasa nyeri. Ia dekati Abhi yang sudah terlelap.
"Ya Alloh, inikah yang ia harap dariku? Menyelesaikan gambar yang butuh kebesaran hati untuk ia gambar? Masya Alloh ...."
Reza menitik air mata membayangkan bagaimana perasaan Abhi ketika menggambar potret keluarga dengan kehadiran lelaki lain di dalamnya selain seorang ayah. Ia sangat menyesali kenapa Abhi harus tahu perihal ibunya.
"Andai bisa berbohong, aku ingin mengatakan ibumu sudah tiada, Nak?" Reza mengelus pipi buah hatinya.
"Mama ...."
Terdengar suara Abhi meracau dalam tidur. Sangat lirih, hingga hampir tak terdengar.
"Ma ...."
Suara itu semakin jelas, sementara mata Abhi benar-benar masih tertutup. Reza menekan pelipis dengan jemari tangan. Apa yang ia dengar kini benar-benar merampas seluruh bahagianya.
"Sebegitu rindukah kamu pada seorang Mama, Sayang?" Reza mendekatkan wajahnya mencium pucuk kepala sang anak.
"Andai kau paham, Papa sama menderitanya denganmu. Tapi Papa tidak boleh lemah, karena ada kamu yang Papa jadikan tempat hangat untuk berpulang. Sabar Sayang, Papa pasti akan memberi apa yang kamu inginkan ...."
Reza merebahkan tubuhnya di sisi Abhi. Perlahan matanya yang lelah itu tertutup.
Ingatan yang mengoyak batin akan akhir pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Belum jua kering luka itu, Reza harus menerima kenyataan bahwa gadis yang sekian purnama ia cari, lebih memilih menikah dengan lelaki lain. Seolah, dunia memang tak ingin memberi celah untuknya bahagia.
Reza mengusap kristal-kristal yang merembes di sudut mata.
"Aku lemah karena wanita ...," lirihnya pelan. Perlahan, segala derita itu sirna, berganti kebahagiaan yang hadir dalam mimpinya, bertamu pada sosok yang sangat ia rindukan sebagai tempat untuk bercerita, Umi.
***
Reza terhenyak. Keringat mengucur deras di kening, bajunya basah. Yang ia ingat, awalnya bermimpi indah, tapi diakhir-akhir mimpi, ia bertemu dengan sesosok wanita, cantik, berpakain syar'i.
Wanita itu tersenyum padanya sembari membentangkan tangan. Ia mendekat, namun wanita itu malah berlari-lari sambil sesekali melihat ke arahnya.
Akhirnya Reza memutuskan untuk tegak berdiri di tempatnya, bergeming sambil menikmati gerakan lincah wanita itu.
Namun, kehadiran Abhi, membuat Reza terguncang. Wanita yang tadi berlari-lari seketika berhenti dan memeluk anaknya. Reza tak lagi bergeming. Ia takut wanita itu hendak membawa lari Abhi.
Tanpa banyak berpikir, Reza berlari mengejar wanita tadi yang kini malah berlarian bersama Abhi. Hingga ia terjaga, Reza yakin bahwa dirinya telah berhasil menggenggam tangan wanita itu.
"Allahu Akbar. Kenapa mimpiku aneh sekali? Apakah ia jodohku ya Alloh, tapi siapa? Kenapa aku tak mengenalnya?" Reza mendesah panjang.
Ia melirik Abhi yang masih memejamkan mata, mengecup pelan pipi chubby yang begitu menggemaskan.
Tubuhnya kini bergerak, sesuatu menuntutnya untuk menunaikan apa yang sepekan ini seolah menjadi kewajiban.
Tahajud!
Reza berniat, setelah menunaikan shalat isya dan tahajudnya, lukisan itu akan berubah.
***
Sarapan telah tersedia dengan rapi di atas meja. Mbok Asih sudah diajarkan Kak Elsa bagaimana cara membuat nasi goreng kesukaan Abhi. Nasi goring Jawa.
Abhi tampak lahap sekali menyantap sarapannya. Wajah anak itu berbinar bahagia. Tadi pagi tak biasa, sang Papa membangunkan dan mengajaknya shalat subuh berjamaah di mesjid terdekat.
"Abhi sudah siap sarapannya ya, Nak?" Reza yang baru keluar kamar menyapa sang anak sambil mengecup puncak kepala.
"Belum, Pa. Pa, nanti ke sekolah 'kan? Lukisan yang semalam Abhi buat mau diikutkan lomba Pa, antar kelas.”
Reza terbelalak mendengar penuturan Abhi. Jus jeruk yang hendak dia teguk, seketika ia letakkan kembali di tempatnya.
"Kamu yakin dengan lukisanmu itu, Sayang?" tanya Reza tak menyangka bahwa lukisan itu bukan prakarya kelas biasa, melainkan sebuah karya yang bakalan diikutkan lomba
"Yakin, Pa. Abhi mau buat Papa bangga,” jawabnya antusias. Namun, detik kemudian wajah berbinar itu tampak sendu.
“Lho, kok jadi cemberut gitu?”
Abi melirik papanya. “Sebenarnya kalau dilihat dari judulnya, Abhi nggak layak menang, Pa."
"Emang judul lombanya apa? Anak Papa Jangan pesimis gitu donk, katanya mau buat Papa bangga?" Reza mendelik, berusaha menyemangati sang anak.
Abhi bergeming sejenak, mengumpulkan kekuatan untuk menjawab pertanyaan papanya. "Hari Ibu ... Pa. Aku mana mungkin memang 'kan Pa, Ibu aja aku nggak punya!"
Reza tersentak. "Astaghfirullah, Abhi. Siapa bilang kamu nggak punya ibu? Lantas yang melahirkan Abhi kedunia ini, siapa?"
Abhi menunduk. "Kenapa Mama nggak pernah jengukin Abhi, Pa? Emang benar ya Pa yang dikatakan Bunda Elsa , Mama udah nikah sama lelaki lain dan punya anak baru?"
"Abhi ...?" Suara Reza mulai meninggi, "sudah ya Nak, kita tutup masalah ini. Sekali lagi Papa tegaskan bahwa Abhi itu juga punya Mama, wanita yang udah ngelahirin Abhi ke dunia ini. Tapi sekarang dia sudah punya kehidupannya sendiri, dan tak ingin bersama kita. Lagian, Abhikan punya Papa, yang selalu membersamai. Coba Abhi ingat, dari dulu sampe sekarang apa yang nggak Papa kasih ke Abhi?”
Kedua alis Abhi tampak terpaut.
"Semua Abhi dapatkan, dari Papa. Apapun yang Abhi minta?"
Bocah itu kembali menunduk, tak menjawab. Kenyataan memang sang papa tak pernah tidak memenuhi keinginannya. Mainan, jalan-jalan, beli makanan apapun ia mau, semua dipenuhi lelaki itu. Kecuali satu, keinginan yang paling hakiki, memiliki Mama seperti teman-temannya.
Abhi menarik napasnya. Reza tahu anak itu sedang menangis.
'Alloh, aku harus bagaimana?'
***
Reza menatap jagoan kecilnya yang masih tertunduk dan terus terisak. Sebenarnya hatinya begitu terluka, melihat satu-satunya harta paling berharga dalam hidup menangis tersedu-sedu. Namun, kenyataan dirinya sama rapuh.
"Sudah, berhenti menangis, ya? Katanya mau lomba, tapi kok malah loyo begini?"
Abhi masih tertunduk. Akhirnya, Reza bangkit dan mendekati jagoannya.
"Papa 'kan sudah pernah janji sama Abhi, kalau Abhi dapat juara dan berkelakuan baik di sekolah, Papa bakalan kasih Abhi Mama baru yang sayang banget sama Abhi. Masih Ingat nggak?"
Perlahan Abhi mengangkat wajahnya. Matanya yang berkaca-kaca, meluluh lantahkan hati Reza.
"Ingat, Pa?" lirih Abhi. Reza mengerakkan tangannya mengusap Aira mata di pipi sang anak.
"Semangat, ya? Jika anak Papa menang, kita pergi jalan-jalan ke Dufan, kamu bebas mau main apapun?"
Abhi tersenyum lega. Hati Reza perlahan kembali bersinar, 'jika kau tersenyum, maka dunia Papa akan dipenuhi berbagai warna. Kamulah alasan Papa bertahan sampai detik ini, jagoan kecil.'
Reza mengambangkan kedua tangan, mempersilahkan sang anak agar mendarat dalam dadanya yang bidang. Ia mengulum senyuman, sejujurnya apa yang terjadi pagi ini sudah ia prediksi jauh hari. Ketika rumah sepi, Abhi pasti akan mengingat sosok itu. Sosok yang setiap anak miliki, tapi tak dimiliki oleh Abhi kecilnya.
Tapi bagaimanapun, Reza tak ingin buru-buru dalam memilih, meski imbasnya Abhi harus memanjangkan penantiannya. Lelaki itu hanya ingin mengakhiri status dudanya bersama wanita yang ia cintai dan mencintainya. Jika lima tahun tak cukup, ia bahkan bertekad akan menyediakan lagi tahun-tahun berikutnya.'
Reza berusaha meyakinkan batinnya, agar sesuatu yang pernah membuatnya hancur dahulu tak terulang kembali. Ia pernah mengikuti kata uminya, 'Menikahlah meski kau tak cinta, karena setelah menikah kau akan belajar mencintai. 'Kenyataan, pernikahannya yang tak dilandasi rasa cinta, benar-benar kandas, padahal baru seumur jagung.
"Aku hanya tak ingin kehancuran yang sama terulang kembali. Akan kuluaskan kesabaran hingga bertemu yang terbaik. Tapi ... apakah kamu bisa sabar seperti Papa, Nak?" pikir Reza sambil mengecup puncak kepala Abhi yang masih bersandar di dadanya.
Sepersekian detik, Reza mengurai pelukan. “Nah, ini baru jagoan Papa. Nggak cengeng kayak anak perempuan.” Abhi tersenyum menanggapinya.
"Pa, Abhi tunggu dimobil, ya?" pamit Abhi sambil menarik tas yang digantung Mbok Ratih di belakang kursi.
Reza mengiyakan. Pandangannya tak lepas dari menatap jagoannya yang berjalan keluar tapi masih dengan raut wajah penuh kesedihan. Ia hanya berpura-pura bahagia di depan papanya.
Selepas kepergian Abhi, Reza kembali menghempaskan tubuhnya diatas kursi. Sebenarnya ia tak lagi berselera untuk melanjutkan sarapan, tapi akhir-akhir ini lambungnya sedikit bermasalah.
Mau tau mau ia harus mengisi perut. Di gerakkannya sendok ke dalam mulut. Namun, saat hendak memasukkan suapan itu, ia berhenti. Meletakkan kembali sendok berisi nasi ke piring.
Sunyi, hanya desah napasnya yang tedengar...
"Alloh, andai ia di sini ...." Reza menepuk dadanya pelan, sesuatu seakan kembali menyayat batinnya.
Reza menggerakkan tangan, meraih sebuah amplop yang ia letakkan di atas meja.
Pelan ia membuka kertas berwarna coklat itu. Membaca tiap-tiap huruf yang tercetak dilembaran pertama. 'Surat Persetujuan Pemindahan Tugas.'
'Ini adalah cara terakhirku, Humaira. Aku akan pergi jauh. Aku tahu, tak sulit buatmu berbahagia, ada Hanif yang siap membahagiakanmu. Tak perlu khawatirkan aku. Akan kusimpan rapat kisah ini di sini, di hatiku.'
***
Bait cinta untuk yang haram dicintai.
Humairah...
Sampai kini aku belum mampu menata kembali hatiku.
Separuh rasaku masih milikmu.
Saat yang aku tau hanya cara untuk mencintaimu.
Tanpa pernah tau cara untuk melupakanmu.
Muhammad Reza Rahardiansyah.
Bersambung #12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel