Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 05 Oktober 2020

Ketika Duda Mencari Jodoh #12

Cerita bersambung

Cinta Itu Hanya Milikmu
Deru napas reza memburu cepat. Kayuhan kakinya kini semakin kencang, mengalahkan beberapa sejawat yang juga sekuat tenaga mengayuh sepeda balap mereka.

Tiga
Dua
Satu

Reza berhasil mencapai garis finish sedikit mendahului salah satu temannya.

Lelaki itu tersenyum puas. Bibirnya yang merah semakin merona diterpa sinar mentari pagi. Pantulan cahaya kekuningan yang menyentuh kulit putih bersihnya membuat aura ketampanan Reza semakin bercahaya. Ia kelihatan begitu bahagia, tak ada gurat kesedihan yang tergambar di wajahnya.

"Ah, menang lagi kamu, Za!" pukas salah satu teman yang tak kalah keren dibalik setelan balap berwarna putih biru.

"Aku memang ditakdirkan untuk menang!" celutuk Reza membuat teman-temannya mencibir dan terkekeh. Kedua sudut bibir Reza kembali tertarik melebar. Deretan giginya yang putih berbaris rapi, membuat senyuman lelaki itu semakin menawan.

"Minggu depan, kita tanding lagi! Aku yang akan menang!" Aldi menimpali sambil nyengir.
Reza mengangkat alis, menantang! Detik kemudian, tawa mereka pecah berbarengan.

Reza menghela napas, lelah. Lelaki itu membiarkan tetesan keringat mengalir di kening hingga melewati alis hitamnya yang tebal. Napasnya masih terengah-engah. Ia menoleh ke samping, saat tiba-tiba seorang anak kecil menarik lengan bajunya.

"Mas, ini ada titipan." Anak itu memberi sepucuk surat kepada Reza. Ia melirik teman-temannya, semua tengah sibuk dengan olah raga pendinginan.
"Dari siapa?" tanya Reza penasaran.
"Nggak tahu, dari Mbak-Mbak di sana." Tunjuk sang anak tak jelas kemana arahnya.
Sedikit diam-diam, Reza membuka surat itu.

"Bolehkah saya melamar menjadi pacar, Mas?"
Reza melotot membaca tulisan yang ada di kertas tersebut. Segera ia melipatnya kembali. Kemudian memasukkan surat itu dalam saku tas ganti. "Untung nggak ada yang tahu. Memalukan," pekik batinnya.
"Aku balik duluan ya, Bro!" Rian lelaki paling jangkung berpamitan, disusul Aldi, juga Rizal.
“Oke, sip!”

Kini hanya ada Reza dan Roy, sahabat yang telah menemani Reza melalui masa-masa sulitnya beberapa waktu lalu.
Lelaki itu pula yang mengajak Reza berhijrah, hingga perlahan ia menemukan arti cinta yang sesungguhnya. Cinta kepada Rabb, zat yang telah menciptakan segala cinta kepada sesama manusia di dunia ini.

"Jangan lupa nanti ada kajian seperti biasa."
Reza mengangguk. Sudah empat kali ia ikut kajian pada salah satu mesjid di Kembangan. Setiap hari minggu. Sebuah kebetulan yang begitu bermanfaat, ia bisa menambah ilmu di kota itu, dan Abhi juga bisa memuaskan keinginannya bertemu Elsa.

"Jadi pindah kerja?" Roy kembali melempari Reza pertanyaan.
"Jadi, kebetulan usulanku ikut pertukaran karyawan diterima. Tapi setelah ini, kita akan berjauhan Roy. Aku ditugaskan ke Aceh!" Reza menjawab dengan raut wajah yang tak terbaca, antara bingung dan bahagia.

"Aceh? Kamu yakin?"
"Hem, sebenarnya tak yakin. Aku kira masih di seputaran Pulau Jawa, eh taunya ke ujung Sumatera. Hufth ...."

Roy menghela napas. "Yeah, sepertinya itu yang terbaik untukmu kawan, dan aku selalu ngedukung. Barangkali disana kamu bisa ketemu jodoh. Kata orang, gadis Aceh itu cantik-cantik, baik budi pekerti dan kuat agamanya. Semoga kamu kebagian satu."
Reza tertawa. Sejauh ini, setiap kali membahas perempuan, pasti hatinya bergetar. Teringat satu nama yang wajahnya tak terlihat namun cintanya terlalu membekas. Reza bukan tipe lelaki yang mudah jatuh cinta. Cinta yang ia punya sudah tertambat untuk satu nama, yang sampai detik itu belum sempurna terhapus.

"Kita lihat saja nanti!" ungkapnya lirih.
"Kamu harus udah move on sob! Lelaki tampan macam kamu itu, sekalinya nunjuk langsung tunduk. Tuh lihat, cewek-cewek disana, aku perhatikan dari tadi nyuri pandang lihatin kamu terus. Coba deh kamu sapa, pasti klepek-klepek mereka."
"Ogah! Mereka bukan tipeku?"
"Yeah, tipe lawas mesti diusung, ganti ama tipe baru. Hape aja ganti model, apalagi perempuan!"
“Perempuan itu bukan barang!” tegas Reza dengan lantang. Ia berbalik menghadap ke arah temannya, “kamu dari tadi nanyakan gua mulu, sekarang gilirin aku yang nanya. Kamu kapan?”

Roy membelalak, omongan recehnya malah jadi momok menakutkan untuk diri sendiri.

“Em ... Alloh belum menurunkan jodohku, masih di langit!” jawabnya ngasal.
"Ye, ketinggian. Makanya jangan nunggu Miss Indonesia buat ngelamar, kiamatpun, belum tentu dapat. Hihihi... Ini!" Reza meletakkan selembar kertas yang sudah ia tuliskan sesuatu di dalamnya.
"Ini apa?" tanya Roy penasaran.
"Namanya Muna. Siapa tahu kalian berjodoh. Aku duluan." Pamit Reza pada Roy. Ia memaksakan diri untuk tersenyum, meski perlahan senyuman itu menghilang. Berganti ingatan yang membuat dada kembali bergetar.

Sambil mengayuh sepeda, Reza menepuk dada perlahan, sesuatu itu kembali terlintas di benaknya. Ia mencoba mengalihkan dengan kembali mengingat Alloh seperti yang dipesankan oleh ustadz pada kajian minggu lalu : 'Ingatlah, hanya dengan mengingat Alloh-lah hati menjadi tenang.'

'Humaira, ajari aku cara membunuh rindu?'
***

Sebulan berlalu begitu cepat. Meski berat, namun Aira sudah melalui masa-masa sulitnya bersama suami tercinta.
Perlahan, rasa yang ia takutkan tak pernah ada, mulai menjalar bahkan hampir memenuhi ruang hatinya. Tempat yang tadinya dipenuhi nama Reza, perlahan memudar. Sebuah nama seakan diukir dengan indah menghapus nama yang pertama. Aira sadar, ia mulai luluh dengan segala sikap dan perhatian Hanif untuknya.

Hanif membantu Aira turun dari mobil. Mereka baru saja selesai medical check up. Suatu karunia, baru beranjak satu bulan, tulang yang sebelumnya patah sudah kembali menyatu tanpa ada celah. Namun, tetap saja jika berjalan harus hati-hati dan membutuhkan topangan.

Aira menggenggam jemari suaminya dengan kuat. Hanif menoleh, merasa berbeda dengan genggaman sang istri kali ini. Sedetik kemudian lelaki itu tersenyum. Mereka melangkah masuk ke rumah, berjalan melewati ruang tamu hingga ruang tengah.
Duduk di ruangan yang lebar itu, ibunya dan Hanna yang tampak sibuk merapikan bunga hias yang baru mereka beli.

"Kalian sudah pulang? Gimana perkembangannya?" tanya ibunda Aira saat mendapati anak dan mantunya tengah melangkah masuk.

"Alhamdulillah, semakin baik, Bu." Hanif menimpali, sementara Aira memilih bergeming lalu duduk di sofa yang berhadapan dengan sang ibu. Hanifpun ikut menyandarkan punggung di sebelah sang istri.

Gadis itu mengamati perubahan raut wajah ibunya, yang tadi nampak ceria, kini terlihat begitu pilu. "Ibu kenapa, kok tiba-tiba cemberut?"
Wanita itu menengadah. "Ibu tengah membayangkan, pasti sesaat lagi kalian bakalan pulang ke Kediri? Rumah ini jadi sepi lagi."

Aira dan Hanif saling berpandangan. Sebulan di rumah itu, tentu hal berat buat ibundanya merelakan jika anak mantunya kembali pergi.

"Bu, di rumah 'kan ada Kakak sama Abi, tanpa Aira sama Mas Hanifpun pasti rumah tetap ramai. Lagipun, jika terus di sini, kasihan Mas Hanif. Beliau 'kan juga harus bekerja," sanggah Aira sambil menatap wajah suaminya.

Sejujurnya gadis itu tak yakin dengan ucapannya, sebab iapun masih betah tinggal di rumah ibunya. Tapi bagaimanapun juga, dirinya harus memikirkan perasaan Hanif. Lelaki yang sudah meninggalkan segala deminya.

Ibunda Aira mendesah pasrah. "Iyo, yo. Tapi sebelum pulang, Ibu itu kepengen dapat kabar baik dari kalian?"
"Kabar baik?" Aira dan Hanif menjawab berbarengan.
"Ibu pengen diberi signal tentang kehadiran calon cucu!" tukasnya sembari tersenyum menggoda.

Aira terhenyak mendengar tutur sang ibu. Sangat berbeda dengan reaksi Hanif yang terlihat biasa saja, walau sejatinya ada yang bergemuruh hebat di dada. Hanna yang sedari tadi hanya berdiam diri, ikut antusias menyambut pernyataan ibunda mereka.

"Ehm!" Aira berusaha mendamaikan kegugupannya. "Aku permisi ke kamar dulu, Bu. Mau istirahat."
"Ya sudah, tapi pesan Ibu jangan dilupa?"

Aira hanya tersenyum, dengan susah payah ia gerakkan tongkat lalu melangkah menuju kamar.

Hanif tersenyum melihat reaksi sang istri. "Dia selalu manis jika tersipu malu," gumam lelaki itu pelan.
***

Malam mulai membentangkan jubah hitamnya. Lampu-lampu jalan berpendaran. Tangerang malam itu begitu cerah, menggerakkan hati Aira untuk sejenak menikmatinya melalui celah jendela.
Sudah hampir setengah jam ia duduk seorang diri menikmati panorama langit bulan purnama. Hingga akhirnya, embusan angin yang menerpa kulit mendorongnya untuk menutup tirai jendela.

"Kemana Mas Hanif, sudah jam sepuluh masih belum pulang?" Aira bertanya dalam hati.
Selama di Tangerang, Hanif banyak mengubah kebiasaan hidup. Terutama untuk menyesuaikan diri dengan keadaan sang istri yang amat membutuhkan. Ia kembali dari shalat isya berjamaah di mesjid pukul sembilan malam.

Ketidakhadirannya malam itu seperti biasa, membuat Aira resah. Gadis itu keluar dari kamar, berusaha mencari tahu barangkali Hanif ada di ruang tamu.
***

"Mas Hanif di sini rupanya, Aira kira belum pulang dari mesjid," ucap Aira setelah mendapati suaminya sedang berkutat dengan laptop di ruang tengah. Ia berdiri tiga langkah dari sofa. Di depan Aira, ada sebuah meja bulat, tempat Hanif meletakkan benda yang menjadi alatnya mengetik malam itu.

Hanif menghentikan sejenak kerjaannya dan menoleh ke arah sang istri. "Mas, sudah pulang setengah jam lalu, Humaira," jawabnya datar.
"Oh, itu lagi ngerjain apa, Mas?"

Aira bersiap melangkah, dan berniat duduk di sebelah Hanif. Dengan menopang pada tongkat, satu langkah berhasil terlewati. Namun dilangkah kedua, tongkatnya terjerembab ke depan hingga terlepas dari genggaman tangan.

Tubuh Airapun seketika tersungkur dan hampir membuat kakinya yang patah terlipat. Untung Hanif sigap, secepat kilat ia bangkit dan berhasil menahan bahu sang istri sebelum gadis itu tersungkur ke lantai.

Sejenak pandangan mereka saling bertemu dalam jarak yang begitu dekat. Seakan ada kilatan listrik dari kedua netra yang saling berpandangan. Tak lama, jantung keduanyapun semakin kuat berdetak.

Aira segera mengalihkan pandangannya. Sementara Hanif segera melepas kedua tangannya yang mencengkeram bahu sang istri dengan kuat.

"Kamu nggak papa?"
"Nggak, Mas. Maaf.”
"Lain kali jalannya harus hati-hati. Bahayakan kalau jatuh?”
"Iya, Mas. Aira minta maaf ....” Aira menunduk sejenak, “saya kedalam dulu, ya Mas?"
Hanif menghela napas, rasa rindu yang muncul dari tatapannya barusan benar-benar tak mampu ia bendung.

"Kamu sudah mengantuk?" tanya Hanif berusaha tetap bersikap tenang.
"Iya Mas. Mas belum mau tidur?"

Hanif menggeleng, sekuat tenaga berusaha meredakan gemuruh yang membara di dalam dada.

"Mas tadi menelpon Gus Fatih, memberitahu jika kita akan kembali ke Kediri dua hari lagi. Eh ternyata beliau langsung menghadiahkan Mas pekerjaan, " kilah Hanif beralasan.

Sejujurnya ia ingin mengingatkan Aira perihal permintaan ibundanya tadi siang. Tapi ia merasa sungkan, melihat kondisi Aira yang tidak memungkinkan.

"Oh, kalau begitu Aira istirahat duluan ya, Mas?"
Dengan sedikit kepayahan, Aira melangkah meninggalkan Hanif yang menyiratkan kecewaan. Ingin lelaki itu membantu sang istri ke kamar, tapi jika itu ia lakukan, tentu rindu di dada semakin besar.

Lelaki itu mendesah, "Astaghfirullah, ternyata menahan keinginan ketika sesuatu sudah halal lebih berat dari pada saat sesuatu itu masih haram."
***

Sudah setengah jam Aira mencoba memejamkan mata, namun iris kecoklatan itu tak juga tertutup sempurna. Bayangan kejadian di ruang tengah terus saja menari-nari dalam benak. Tatapan Hanif, sentuhan kedua tangan kekar sang suami di bahunya.

Aira menggeleng-gelengkan kepala, mencoba mengusir rasa rindu yang mulai merasuki hati.
Suara derit pintu yang terbuka, seketika membuat Aira membalikkan tubuhnya menghadap jendela. Ia pejamkan mata, seolah-olah sudah tertidur sedari tadi.

Hanif menoleh sekilas ke ranjang. Lalu ia masuk ke kamar mandi, berniat hendak berwudhu. Tak lama lelaki itu kembali ke kamar. Aira membuka sedikit kelopak matanya, menatap sang suami dengan muka berbinar oleh tetesan air wudu yang membasahi wajah.

"Ya Alloh, suamiku ternyata begitu tampan?" Aira meracau dalam hati. Ia kembali mengeratkan pejaman. Takut Hanif menyadari kepura-puraannya.
Melalui indera pendengar, Aira mampu merasa jika Hanif mengambil bantal dan gulingnya dan kembali membuka pintu.

"Kenapa Mas Hanif membawa bantal ke luar kamar, apa ia mau tidur di luar?" batin Aira.

Pintu kembali tertutup, kedua netra gadis itu yang tadi tertutup perlahan terbuka. Dengan resah ia memilih bangkit dan duduk di bibir ranjang.
Namun, suara derit pintu kamar yang kembali terbuka, berhasil membuat jantung sang gadis itu seakan berhenti berdetak.

Aira begitu kaget dan tidak dapat merubah posisinya yang terlanjur tertangkap basah oleh sang suami. Sementara Hanif tersenyum, dengan sepasang bantal di dalam dekapan, ia melangkah semakin mendekat.

"Mas pikir kamu sudah tidur?" sapanya setelah meletakkan kembali bantal di atas ranjang.

 Hanif memilih duduk di sebelah Aira, membuat jantung gadis itu malah berdetak dua kali lebih rancak.
Aira menarik napas panjang, berusaha menenangkan degup di dadanya yang tak karuan.

"Tadi Aira terbangun saat Mas menutup pintu." Keles Aira dengan suara bergetar.

Hanif mendekatkan posisi duduknya hingga tak lagi berjarak dengan sang istri, kemudian dia mengangkat tangan kanan dan meletakkannya di atas ubun-ubun Aira seraya mengucap, "Allahumma inni as-aluka khayraha wa hayra ma jabaltahaa 'alaihi wa a'uudzu bika min syarrihaa wa min syarri maa jabaltahaa 'alaihi. Ya Alloh sesungguhnya aku memohon kebaikanMu dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan pada dirinya. Dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukan apa yang Engkau ciptakan pada dirinya."
“Dulu Mas sudah pernah mengucapkannya, namun dalam hati.” Lelaki itu tersenyum, “sekarang Mas ulangi dengan suara lantang.”

Aira tersenyum menanggapinya. Tatapan mata mereka sejenak saling bertemu. Aira merasa begitu gugup hingga perlahan tatapan itu beralih kebawah. Menatap jemari tangan yang tak sadar saling meremas satu sama lain.

"Bolehkah Mas melakukannya malam ini? Insya Alloh, Mas akan bersikap lembut dan tidak membuatmu banyak bergerak?" Hanif menyentuh dagu sang istri, membuat wajah yang tertunduk itu sedikit menengadah hingga bisa menatap matanya meski canggung.

"Alloh, inikah saatnya aku menunaikan kewajibanku sebagai istri? Kesembuhan yang terjadi begitu cepat, rasa yang tadinya hanya sebatas pengharapan? Inikah yang Engkau janjikan dalam sebuah pernikahan ya Rabb, kebahagiaan yang hakiki? Subhanallah ... Hamba yakin dengan takdir-Mu? Semoga pengabdian hamba padanya adalah jalan menuju ridha-Mu?"

Tanpa lagi ragu, Aira memberi anggukan. Ia tak bisa berkata-kata. Grogi, bahagia, takut, semua berbaur menjadi satu, hingga membuat suaranya nyaris tertahan di tenggorokan.

"Tapi, kita shalat sunah dulu, yah? Biar berkah, dan bisa melahirkan anak-anak yang sholeh-sholehah. Aamiinn ....?" Hanif merahup wajahnya dengan kedua tangan. Aira juga mengaminkan.

"Mas bantu kamu wudhu, ya?"
Aira kembali mengangguk. Ia ingin menangis, tapi tak ada air mata yang tersedia. Ingin tersenyum, namun bibir terlalu sulit untuk digerakkan. Hanya degup di dada yang mampu mewakili perasaannya.

Malam itu, mereka berdua merasa begitu bahagia. Tiada yang menandingi nikmatnya kebersamaan di malam pertama bersama kekasih halal. Terlebih wanita itu laksana permata di tengah lautan, tak pernah tersentuh, bersinar indah dan tertutup rapat. Siapapun yang merasakannya, pasti tak kan berhenti mengucap syukur kepada-Nya, yang telah menciptakan manusia dari diri yang satu, yaitu Adam. Dan yang menciptakan pasangannya (Hawa) dari dirinya. Dan dari keduanya Alloh memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Agar manusia dapat saling mengenal.

Malam itu, Aira di mata Hanif begitu berbeda, sangat mempesona dengan rambut panjangnya yang tergerai. Hanya mereka yang tahu bagaimana indahnya satu sama lain, ketika rasa mengagumi, mencintai dan menghormati berbaur menjadi satu.
***

Tetesan hujan masih bergelayut di dedaunan. Reza menyesapi sedikit kopi panas, cukup membuat aliran darahnya kembali normal setelah membeku kedinginan semalaman.
Lelaki itu menatap sebuah lukisan yang tergeletak di atas meja. Ia yang membuatnya, saat senggang tak ada costumer di bank.

Reza tersenyum, "Alloh ... melupakan satu ingatan tentangnya, ibarat mengingat seribu ingatan yang telah terlupakan. Harus sejauh mana aku pergi, agar mata ini tak lagi bisa menatapnya. Dan hati ini lupa cara mengingatnya."

Reza menyeka sebulir air yang tak sengaja jatuh di sudut mata.

"Aku memang akan pergi. Tapi kota ini, kisah ini, kamu, semua lebih dari sekadar kenangan. Seperti tumpahan tinta di selembar kertas, sekuat apapun aku menghapusnya, tetap meninggalkan jejak.”

Reza melipat lukisan itu, lalu memasukkannya ke laci meja kerja.

"Selamat tinggal Humaira. Andai aku mampu memutar balikkan waktu. Aku hanya berharap bisa menjadi rindu yang mengisi hatimu. Menjadi mimpi yang menghiasi tidurmu. Menjadi cahaya yang pertama kali menyapa saat kau membuka mata. Menjadi hal terindah yang pernah singgah di hidupmu. Andai kita berjodoh, tak mungkin kurasakan rindu tak bertepi layaknya kini.”

*TAMAT*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER