Cerita bersambung
Karya : [un-known]
Suara jeritan yang diselingi tangisan itu terdengar sayup-sayup dari arah loji di seberang lembah. Suara yang menggema. Kadang-kadang muncul, kadang-kadang hilang, menjadi seperti momen khusus yang membuat orang terdiam sejenak.
“Seratus delapan puluh, seratus, Dok,“ suara Suster Meida mengingatkanku untuk mencatat di kartu pasien yang sedang kutangani.
“Dasar wanita tak tahu malu,“ si ibu mencibir, sambil turun dari tempat tidur, dibantu Suster Maida. Maklum, Bu Malikah itu bertubuh besar.
“Siapa, Bu?“ Suster Meida bertanya.
“Ya, itu… wong edan itu. Bu Kirana.” Bu Malikah membenahi baju kebayanya yang terbuka saat kuperiksa tadi. Dia mengidap hipertensi dan ini sudah kontrol ketiganya, sejak aku bertugas di Puskesmas Sumberpodang, sejak tiga bulan lalu.
“Kan Bu Kirana memang sakit, setelah kecelakaan.” Suster Meida tertawa kecil.
“Bukan, Sus, dia sakit bukan karena kecelakaan, tetapi karena kualat pada suaminya,” balas Bu Malikah, sok tahu.
“Ah, Bu Malikah. Itu kan hanya gosip.”
“Itu bener! Wong saya pernah lihat wanita itu keluar dari pondok di sendang.“ Orang kampung ini menyebut danau dengan kata sendang.
Aku berdehem. Bu Malikah tampak tersipu.
“Tensinya naik lagi nanti, Bu,“ kataku, sambil menulis resep. “Seminggu ini jangan makan brongkosan kambing dulu, ya, Bu.“
“Jeng Dokter ini... saya jadi malu. Habis bagaimana, ya... saya senang sekali makanan itu.“ Bu Malikah tertawa malu.
“Kalau kebablasan, kena stroke nanti,“ Suster Meida menambahkan.
Basa-basi kami berakhir pukul 11.45. Pasien sudah habis dan kuluruskan punggungku. Ada 25 pasien hari ini, lebih sedikit dibanding kemarin. Mungkin karena ini hari Kamis. Biasanya, pasien memang akan menumpuk pada hari Senin, Selasa, dan Jumat.
“Selalu Kirana,“ Suster Meida berkata pada dirinya sendiri.
Sudah ratusan kali aku mendengar nama itu disebut, sejak kedatanganku kemari. Ada kekuatan magnetik yang luar biasa memengaruhi masyarakat Sumberpodang atas diri Kirana. Aku sendiri sampai saat ini belum pernah melihat dengan mataku sendiri sosok Kirana itu. Aku hanya mendengar kisah-kisahnya dari cerita para pasien dan orang-orang yang kutemui secara tidak sengaja. Kupikir, semua orang di tempat ini terobsesi pada Kirana.
“Dokter pasti penasaran pada Kirana, bukan?” Suster Meida bertanya, sambil membenahi ruang periksa. Aku menengadah. Aku?
“Apa aku pernah bicara begitu, Sus?”
Suster Meida tertawa. “Maaf, jika Dokter tersinggung. Tetapi, percayalah, kisah Kirana tak ubahnya seperti telenovela.“
“Kau berlebihan, Sus.“
“Saya akan ceritakan.“
“Oh... please, deh....“
Tanpa menghiraukan keberatanku, ia mulai menceritakan kisah yang sudah berkali-kali kudengar. Setiap orang menuturkannya dengan kata-kata yang berbeda, dengan ekspresi yang tidak sama, juga intonasi suara yang bervariasi. Sungguh menarik untuk disimak.
Tentang seorang wanita cantik bernama Kirana, istri seorang pengacara yang juga pengusaha olahraga ekstrem yang sukses: Herlambang Saksono. Mereka dikisahkan hidup bagaikan raja dan ratu di Desa Sumberpodang ini, menghuni sebuah loji megah peninggalan Belanda yang masih terawat dengan baik di lereng bukit.
Mereka tidak memiliki atau belum memiliki anak, sekalipun sudah lebih dari lima tahun menikah. Kegiatan Kirana sehari-hari adalah mengelilingi properti milik suaminya yang berada di sekitar Sumberpodang sampai Bumiaji. Seperti kebun apel, greenhouse tanaman organik, serta sebuah pabrik keripik buah-buahan yang menjadi ciri khas Malang. Ia selalu berkeliling desa mengendarai sedan sport merah dengan kap yang sengaja dibuka, sehingga semua orang bisa melihat kecantikannya. Kirana cukup sopan, tetapi tidak bisa dibilang ramah. Jika berpapasan dengan orang, ia hanya mengangguk, tak pernah menyapa, apalagi tersenyum.
Masyarakat Sumberpodang tidak ada yang mengetahui dengan pasti, siapa dia dan dari mana wanita itu berasal. Yang jelas, sekitar enam tahun lalu Herlambang membawanya ke loji beserta seorang wanita yang mengasuhnya sejak kecil, Inang Dayu. Sejak itu mereka menganggap Kirana sebagai istri pengusaha itu.
Sedangkan Herlambang lebih sering bepergian ke Malang dan Surabaya. Kadang ia ke Probolinggo, karena memiliki rafting resor yang cukup terkenal. Masyarakat desa jarang melihat keduanya jalan bersama, mungkin karena kesibukan yang luar biasa. Tetapi, mereka sering muncul di pesta-pesta atau kegiatan high society lainnya.
Semula tidak ada yang salah dengan kehidupan mereka. Masyarakat desa selalu disuguhi tampilan keindahan, kekayaan, dan kesunyian atas keduanya. Tetapi, ceritanya menjadi berbeda sejak kehadiran Adrian, seorang arsitek yang bertanggung jawab untuk membangun sebuah resor wisata di Sumberpodang, proyek baru Herlambang sendiri.
Adrian mewakili kesempurnaan pria idaman, setidaknya bagi Kirana. Berumur 33 tahun, cerdas, pendiam, dan santun. Ia memilih membangun sebuah pondok sederhana di tepi danau Sumberpodang daripada tinggal di Malang atau di loji milik Herlambang. Katanya, ia ingin menangkap aura resor yang akan dibangun di sekitar danau itu.
Pria itu bersikap ramah kepada setiap orang yang datang padanya. Dalam waktu singkat, ia sudah lumayan dikenal oleh masyarakat desa. Adrian cukup terbuka untuk ukuran orang yang pendiam. Mereka segera tahu bahwa pria itu sebenarnya telah memiliki seorang istri dan sepasang anak kembar di Bandung.
Semua bermula pada suatu Minggu pagi yang sejuk. Masyarakat Desa Sumberpodang mengawali pagi mereka dengan pemandangan baru: Kirana melintasi jalan-jalan desa dengan sedan sport merahnya itu. Hanya, menjadi tidak biasa, karena ia tidak sendirian. Adrian duduk di sampingnya. Sejak itu, masyarakat Sumberpodang mendapatkan pemandangan yang berbeda. Mereka sering melihat keduanya berkeliling desa dengan mobil atau kuda. Beberapa kali Kirana sering didapati berlama-lama di pondok Adrian, yang menurut pengakuan pria itu, Kirana sedang belajar melukis. Tak jarang mereka kelihatan berperahu mengelilingi danau, sambil bercakap-cakap mesra, layaknya sepasang kekasih.
Mereka melihat perubahan besar dalam diri Kirana. Ia kelihatan menjadi lebih cantik dan ramah. Kirana menjadi mudah tersenyum kepada siapa saja yang kebetulan berpapasan dengannya. Suatu hal yang teramat jarang disaksikan oleh warga Sumberpodang. Mungkin karena wanita itu sedang jatuh cinta.
Perselingkuhan itu menjadi sarapan pagi, makan siang, dan dongeng sebelum tidur. Ketenangan Desa Sumberpodang terusik, kedamaian mereka koyak oleh asmara yang membara di antara keduanya. Menurut kabar, Herlambang sudah mengetahui masalah itu, namun ia tidak melakukan apa-apa. Orang-orang mengira, pria itu lebih takut kehilangan proyeknya daripada kehilangan istrinya.
Namun, akhirnya, warga desa menyaksikan perubahan itu. Pada suatu Minggu subuh yang sunyi, mereka dikejutkan oleh suara tangisan yang tiba-tiba pecah dari arah danau. Kemudian beberapa warga melihat Adrian pergi dengan tergopoh-gopoh, dengan pakaian yang acak-acakan, membawa sebuah ransel. Yang lebih mencengangkan adalah ketika Herlambang menyeret istrinya keluar dari pondok, lalu mendorongnya ke dalam mobil. Kemudian, Herlambang melemparkan sekaleng bensin ke dalam pondok itu. Hanya dalam hitungan detik, pondok kayu itu sudah habis dilalap api.
Hawa panas pagi itu berlanjut hingga malam hari. Di tengah guyuran hujan deras yang melanda Sumberpodang, warga melihat mobil sport merah yang biasa dikendarai Kirana, melesat cepat di jalanan yang licin dan berkelok-kelok. Saat itu mereka tidak dapat melihat dengan jelas, siapa yang menyetir mobil itu, Herlambang atau Kirana? Selain sudah malam, kap mobil itu ditutup. Derasnya hujan juga menghalangi pandangan.
==========
Esoknya, di pagi yang dingin dan basah, Inang Dayu, pengasuh Kirana, memberikan kabar yang mengejutkan. Kirana mengalami kecelakaan parah di Ngantang, daerah dataran tinggi di luar Kota Malang. Mobilnya selip dan terjun ke dalam jurang. Herlambang tidak ikut di dalam mobil, karena setelah kejadian pagi itu ia pergi meninggalkan Kirana.
“Beberapa bulan lalu Pak Herlambang membawa pulang istrinya. Namun, Kirana yang sekarang berbeda dengan Kirana yang dulu. Akibat kecelakaan itu, ia jadi kehilangan ingatan akan masa lalunya, dan sering dilanda halusinasi. Cerita tentang Kirana ternyata tidak selesai dengan tragedi itu. Kami sekarang harus mendengarkan raungan kesakitannya tiap hari. Kami menerka-nerka, sakit apa yang dideritanya sehingga ia demikian menderita,“ Suster Meida menutup jendela, mengakhiri cerita panjang, yang selalu menarik untuk didengar itu.
Ia menoleh, lalu tertawa melihatku. “Kau harus membayar makan siangku sebagai upah atas dongeng yang indah ini, Dok.“
Aku tertawa, ternyata aku juga tersirap oleh cerita itu. Maka, setelah membereskan semua administrasi dan merapikan puskesmas, aku membawa jipku ke sebuah warung makan bersama Suster Meida. Kami ingin menikmati makanan favorit Bu Malikah, yang sering membuat darah tingginya kumat. Brongkosan kambing.
Sinar matahari yang sudah condong ke barat, membuat pemandangan menjadi sedikit menyilaukan dan udara menjadi panas. Segelas es jeruk nipis amat menyegarkan tenggorokan. Aroma brongkosan kambing tercium dari dapur warung.
Tiba-tiba terdengar sebuah bunyi ledakan keras yang membuat kami semua melonjak kaget. Orang segera berlarian keluar untuk mengetahui asal bunyi ledakan tadi. Aku melongok ke luar dan kulihat asap mengepul dari lereng bukit, dari arah loji.
“Kebakaran! Kebakaran! Lojinya kebakaran!“ teriakan itu terdengar begitu ribut.
Suster Meida ikut berlari keluar, aku pun menyusulnya. Kami melihat orang-orang bergerak menuju ke arah loji. Ada yang berlari, mengendarai sepeda atau sepeda motor. Aku berlari menuju jip dan kubuka pintunya, lalu menawarkan siapa yang mau ikut. Empat orang pria yang tadi baru datang untuk makan, segera saja masuk dan duduk berimpitan di jok belakang.
Jadi, kupacu saja jipku agar bisa sampai ke sana lebih cepat. Saat kami mencapai loji, sudah ada beberapa orang yang datang membantu memadamkan api yang membakar ujung bangunan di sisi kiri.
“Dapurnya terbakar!“ seru mereka, sambil menyiramkan air ke tengah kobaran api dengan alat seadanya. Ember, panci, dan selang air yang dihubungkan ke keran taman. Dengan datangnya bantuan, makin banyak orang yang ikut memadamkan kebakaran. Aku dan Suster Meida hanya berdiri menonton, sambil berharap semoga tidak ada korban jiwa di dalam sana.
Menurut orang-orang yang ikut menyaksikan proses pemadaman api, sepertinya api berasal dari tabung elpiji yang meledak.
“Itu Inang Dayu,“ Suster Meida menyentuh pundakku, sambil menunjuk ke arah kerumunan orang yang datang memapah seorang wanita separuh baya bertubuh besar.
Naluri medisku membawaku segera menyongsong wanita yang disandarkan pada tembok pagar. Ia tampak lelah dan shocked. Kuperiksa kondisi primernya dengan cepat. “Apa yang Ibu rasakan sekarang? Sesak napas? Pusing? Mual?“
Ia menggelengkan kepalanya lemah. Kulonggarkan pakaiannya dengan melepas dua kancing kebayanya. Napasnya menjadi lebih baik. Suster Meida mengipasinya dengan kipas bergambar Doraemon-nya. Kami melihat ada dua orang pemuda berlari ke arah kami.
“Pak Herlambang meminta kami memindahkan Inang Dayu ke dalam rumah,“ kata salah satu dari mereka.
“Apakah sudah cukup aman?“ tanyaku.
“Yang terbakar hanya dapur saja, Dok, yang lainnya tidak.“
Kemudian keduanya berusaha mengangkat Inang Dayu. Namun, tenaga kedua pria itu tidak sanggup untuk menjunjung wanita bertubuh besar itu. Akhirnya, aku dan Suster Meida ikut membantu mengangkat Inang Dayu masuk ke dalam.
Kami terseok-seok memasuki loji megah ini. Aku belum pernah masuk ke tempat ini. Memikirkannya juga tidak. Sebuah kebetulan, jika saat ini aku bisa memasuki bagian dari kemegahan hidup mereka, seperti yang diceritakan selama ini. Rumah ini sangat besar dan memiliki lorong yang panjang. Seperti kebanyakan arsitektur khas Belanda lainnya, pintu dan jendelanya berukuran besar serta banyak jumlahnya.
Kami melewati ruangan besar yang mungkin ruang utama rumah ini. Aku tertegun memperhatikan sebuah lukisan potret seorang wanita berukuran besar yang terpampang di sana dengan tajuk: Sang Dewi. Wajahnya cantik. Mengenakan kebaya beludru berwarna ungu yang membuatnya kelihatan anggun. Yang mencolok dari penampilannya adalah seuntai kalung yang melingkari leher jenjangnya. Kalung emas bermatakan batu emerald yang cemerlang menunjukkan kemewahan serta kelas tersendiri. Ia sedang tersenyum, tetapi bagiku lebih mirip sedang mengejek. Apakah dia Kirana?
“Sebelah sini, Dok,“ suara pria pertama mengingatkanku agar segera bergerak.
Kami berjalan kurang lebih sepuluh meter lagi, kemudian berhenti pada sebuah kamar yang sudah dibuka pintunya. Kami membawa Inang Dayu masuk, lalu merebahkannya di atas ranjang besi bercat hijau yang berukuran besar. Kelambunya diikatkan pada tiang-tiang ranjang kuno ini.
Aku memeriksa denyut nadi serta napas wanita ini. Setelah kuyakin bahwa ia akan baik-baik saja, maka aku keluar dari kamar itu. Pertama, karena memang sudah tidak diperlukan lagi. Kedua, karena kedua pria itu kelihatan keberatan, yang ditunjukkan dengan sikap sedikit gelisah.
Ketika sampai di luar, orang-orang yang ingin menyaksikan pemadaman api makin banyak, sekalipun kebakaran sudah berhasil diatasi. Mungkin bukan kebakarannya yang ingin mereka ketahui. Tetapi, rasa penasaran akan kemegahan loji milik Herlambang dan kisah mereka yang menarik perhatian orang. Tetapi, aku tidak peduli. Kami segera kembali ke dalam mobil.
Sudah pukul setengah empat sekarang, makan siang sudah lewat. Mau balik makan, sudah tanggung. Jadi, kami memutuskan untuk pulang saja. Lalu, kami membicarakan kemegahan loji yang konon memiliki 20 kamar. Herlambang kabarnya akan mengubah loji itu menjadi tempat penginapan dengan konsep berbau feodal. Bahkan, koki yang direkrutnya juga harus mampu mengolah masakan khas Belanda dengan resep dan cara kuno. Teknik pemasaran yang menampilkan keunikan masa lampau memang sedang tren.
Tanpa sengaja aku melirik lewat spion tengah. Jantungku terasa copot, saat kulihat sepasang tangan merambat pelan pada sandaranku. Secara otomatis kuinjak rem mendadak. Suster Meida sampai terjerembab nyaris membentur dashboard. Aku menoleh ke belakang dengan perasaan tegang. Belum lagi mulutku mengeluarkan suara, Suster Meida sudah menjerit.
“Kirana...?!” Suster Meida tergagap dengan wajah tegang.
Kirana? Aku menoleh kembali ke belakang. Ke tempat seorang wanita berpenampilan kusut masai yang menggantungkan tangannya di jok yang kududuki. Suster Meida segera pulih dari kagetnya. Ia melepas seat belt, kemudian membuka pintu dan berlari keluar. Aku mengikuti jejaknya.
Wanita itu, Kirana, mengerutkan tubuhnya ke sudut mobil, sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya yang kurus. Ia makin beringsut ke sudut, ketika aku mendekatinya.
“Jangan... jangan... tutup... tutup...,“ suaranya demikian lirih.
Kami berpandangan.
Bersambung #2
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Sabtu, 19 September 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel