Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 20 September 2020

Kirana #2

Cerita bersambung

“Dia ketakutan, Dokter,” Suster Meida berbisik.
“Ya, tapi mengapa ia ada di jok belakang mobilku?“ aku balas berbisik. Suster Meida mengangkat bahunya.
“Sebaiknya kita bawa ia kembali ke loji.“
“Jangan! Jangan...! Tolong aku... tolong aku...!“ Ia memohon dengan ketakutan, lalu kami mendengar tangisannya yang menyayat hati seperti yang sudah-sudah. Namun, kali ini lebih nyata karena terdengar begitu dekat.
Kami berpandangan lagi. Suster Meida menutup pintu belakang.
“Kita harus memberi tahu suaminya,“ aku merasa tidak nyaman.
“Jangan! Bukankah ia sangat ketakutan?“ Suster Meida mencegahku.
“Kita bisa dituduh menculik orang, Sus. Kita kembalikan saja!“
“Dok, dia sakit.“
“Aku tahu, tapi membawanya tanpa izin keluarga, juga nggak betul.“ Aku tetap tak setuju.
Suster Meida menatapku.
“Dia menyelinap, menyusup masuk ke dalam mobil dan kita tidak tahu.“
Aku terperangah. “Astaga…! Kau pasti sudah terobsesi!”

Tangisan Kirana terdengar begitu memelas dari sini. Sesekali ia merintih, seperti sedang menahan sakit yang sangat. Suster Meida terus memaksaku melalui kedua matanya. Aku akhirnya menyerah.

“Kau yang akan bertanggung jawab atas semua ini, Sus.“ Aku memutar kontak dan mulai menjalankan kembali jipku. Suster Meida yang duduk di belakang tidak menyahut. Ia sibuk menenangkan wanita itu dengan kata-kata halus dan lembut. Aku tidak mengerti, apakah Suster Meida melakukan itu semua karena panggilan jiwanya sebagai tenaga medis, atau karena ia memang terobsesi pada wanita yang disebut gila oleh semua orang.

“Jangan ke puskesmas, Dok. Kita ke rumahmu saja,“ Suster Meida mencegahku saat akan berbelok ke arah puskesmas.
“What?“
“Dia akan menjadi bahan tontonan orang, Dok. Kasihan, ’kan?“
“Apakah kau pernah menanyakan persetujuanku atas idemu ini?“
“Kau tinggal lurus ke kanan, lalu belok kiri.“

Ya, ampun. Gadis itu memang sudah merencanakan membawa wanita itu ke rumahku yang tak jauh dari jalan raya. Memang tidak kelihatan dari jalan, karena letak rumahku di balik tebing. Dulunya, rumah itu milik seorang sinder kehutanan, tetapi kini dijadikan perumahan dinas dokter puskesmas.

Ini adalah bagian paling menyebalkan. Aku harus celingukan menoleh ke kanan-kiri untuk memastikan situasi aman dari perhatian orang, sebelum membuka pintu belakang. Setelah itu, kami segera membawa wanita itu masuk ke dalam rumah. Kembali tanpa persetujuanku, Suster Meida sudah membaringkannya di kamarku. Tetapi, memang itu satu-satunya kamar yang ada kasurnya di rumah ini.

Sekarang aku bisa melihat wajah wanita yang menjadi bahan pembicaraan seluruh desa ini dengan jelas. Wajahnya tirus, tulang rahang dan pipinya menonjol dari balik kulitnya yang kusam, jerawatan. Rambutnya kusut masai dipotong pendek sebahu. Matanya tidak bersinar, pandangannya kosong menerawang ke satu titik entah di mana. Bibirnya kering mengelupas. Badannya kurus. Jari-jarinya kelihatan panjang seperti cakar, kukunya juga hitam-hitam tidak dirawat. Ia sama sekali berbeda dari lukisan di ruang tengah loji itu.

Aku menoleh pada Suster Meida yang tengah berdiri mematung memperhatikan wanita itu dengan seksama.
“Kau yakin dia Kirana?” aku merasa sangsi. Rasanya tidak seimbang antara risiko yang kami harus tanggung dengan membawanya ke rumahku, jika nantinya ternyata dia bukanlah Kirana yang dimaksud selama ini.
Suster Meida menggeleng ragu.
“Rasanya dia dulu tidak seperti ini.“
“Hah? Jadi kau sendiri meragukannya? Lalu, kenapa kita membuang waktu? Ayo, kita kembalikan saja ke rumah itu!“

Kirana, wanita itu, tersentak dari penerawangannya yang berkelana entah ke mana itu.
“Jangan kau bawa aku kembali ke sana,“ ia berteriak ketakutan.
“Sshhh...,“ kami secara otomatis menyuruhnya diam karena kaget.
“Aku tak mau kembali ke sana.... Tolong aku, nanti aku diikat....“ Ia menutup wajahnya dengan bantal, menangis tersedu-sedu.

Aku duduk di sisi kiri ranjang. Secara refleks Kirana beringsut menghindariku, sambil menyusut air matanya yang menggaris kedua pipi kurusnya.
“Aku Anindita.... Dokter Anindita. Aku akan membantumu.“

Ia memandangku dengan sorot mata aneh. Seperti berharap, seperti benci, ketakutan, dan kesedihan bercampur aduk di dalamnya.

Aku menoleh pada Suster Meida yang masih saja mengamati wanita itu. Ia mengerti maksudku, lalu keluar membawakan stetoskop yang kuminta. Sebuah tensi meter juga ikut dibawakan.

“Apakah kau teman?“ Kirana bertanya seperti linglung.
Aku tersenyum. “Tentu saja. Kami adalah temanmu.“

Ia mengawasi Suster Meida dengan bingung. Ia tidak melawan saat kuperiksa nadi, jantung, serta napasnya. Pelupuk matanya pucat, kantong matanya gelap dan bengkak, layaknya telah memerah habis seluruh air matanya. Ya, ampun, wanita ini sama sekali tidak cantik!

“Apakah aku mengenalmu, Suster?“ ia bertanya pelan.
Suster Meida yang sedang memasang tensimeter, menatapnya.
“Orang kecil seperti saya, tentu Nyonya tidak ingat,“ begitu lembut Suster Meida merendahkan dirinya. Nyonya?
“Tidak.... Mengapa aku tidak mengenal semua orang? Mengapa aku begini pusing?“ ia bergumam sedih. Suster Meida memberikan isyarat melalui matanya. Aku mengikuti arah matanya yang berakhir pada lengan kirinya. Aku bisa melihat bintik-bintik merah bekas jarum suntik bertebaran di sana.

Perasaanku menjadi tidak enak.
“Ada yang dikeluhkan olehmu? Napas sesak atau perut mual?”

Ia menganggukkan kepalanya dengan lemah, lalu memperhatikan bagaimana Suster Meida mengukur tekanan darahnya.
“Apakah aku mengenalmu?” ia bertanya lagi.
Suster Meida tersenyum.
“Nyonya harus banyak istirahat. Delapan puluh enam puluh, Dok.”

Itulah mengapa ia selalu merasa pusing dan kelihatan demikian lemah. “Apakah engkau sungguh seorang dokter?”
“Tentu saja. Aku dokter baru di Puskesmas Sumberpodang. Jadi, mungkin kita belum pernah bertemu secara langsung.”
Kirana menegakkan tubuhnya pelan-pelan.
“Aku tidak ingat desa ini. Sumber apa?”
“Sumberpodang, Nyonya.”

Ia mengerutkan dahinya, sepertinya ia merasakan pusing yang luar biasa. Kemudian ia menutupi telinganya dengan kedua tangannya. Ia lalu jatuh berguling-guling di atas kasur sambil merintih-rintih. Ia pasti sedang kesakitan.
“Aku... aku... akan muntah...,” ia memberi tahu kami di antara rintihannya. Suster Meida berlari ke belakang membawa ember. Kirana kubantu duduk di tepi tempat tidur. Sejurus kemudian ia sudah muntah ke dalam ember yang diletakkan di bawah kakinya.
Suster Meida mengurut pundaknya dengan lembut, diiringi kata-kata halus yang menguatkan hati. Saat itulah aku melihat bekas luka operasi pada tengkuk sebelah kiri atas. Kusibak rambut pendeknya, lalu aku mendapatkan luka itu sampai ke belakang telinga sebelah kiri. Mungkin luka ini disebabkan oleh kecelakaan mobil, seperti yang diceritakan orang-orang itu.

Muntahannya kekuningan. Itu berarti cairan lambungnya terangkat. Artinya, tidak ada makanan yang diproses di lambungnya. Melihat badannya yang kurus, aku sangsi apakah wanita ini dirawat dengan baik di rumah itu.
Suster Meida memberinya minum teh manis.
“Kau ingin makan sesuatu, Nyonya?” tanyanya, lembut.

Kirana memandangnya lama. Kami melihat air matanya menggenang di kedua pelupuk matanya.
“Ada apa, Nyonya?”

==========

“Aku tak tahu dosa apa yang kuperbuat, sehingga aku seperti ini,” bibirnya gemetar, saat mengucapkan kata-kata yang membuat kami trenyuh. Air mata itu akhirnya menetes juga, mengalir di kedua pipinya yang kurus. Ia mengatur napasnya agar tidak kedengaran terisak.

“Maafkan aku telah merepotkan kalian berdua. Aku hanya ingin keluar dari rumah itu. Aku... aku tak tahan....”
Kami merebahkannya ke atas tempat tidur lagi. Bantalnya sedikit ditinggikan, agar ia dapat bernapas dengan baik. Wanita ini kekurangan gizi, mungkin karena asupan makannya buruk. Aku harus memberinya infus agar ia menjadi lebih baik lagi.

“Dok, kakinya,” Suster Meida berbisik padaku.
Aku beringsut ke ujung tempat tidur. Seperti tangannya yang kurus, kedua kakinya juga tak kalah kurusnya, menyerupai dua batang kayu yang kering kecokelatan. Ada beberapa bekas gigitan nyamuk dan parut luka gores. Namun, yang mengejutkan hatiku adalah lebam biru kemerahan melingkari kedua pergelangan kakinya.

“Dia mengikatku agar aku tidak melarikan diri,” seperti menjawab keheranan kami, Kirana berkata sambil memejamkan matanya.
“Aku akan ke puskesmas mengambil beberapa infus....” Aku harus melakukan sesuatu untuk menolong wanita malang ini.
Kirana membuka matanya. Ada ketakutan yang menyorot kuat dari sana, membuatku makin merasa iba.
“Kau tidak akan memberi tahu orang lain, ‘kan?” Ia bangkit dengan susah payah dari tempat tidur. Suster Meida membantunya untuk segera rebah kembali.
“Tentu saja tidak, Nyonya. Jika ia berpikiran begitu, maka sudah sejak dari jalan tadi ia mengembalikanmu ke loji. Begitu kan, Dok?”

Aku sudah kalah set sejak awal. Jadi, aku hanya mengangguk untuk menenangkan hati wanita itu, sekaligus menyenangkan hati Suster Meida. Aku harus kembali ke puskesmas untuk mengambil infus dan beberapa obat-obatan yang mungkin dibutuhkan oleh Kirana.

Hari sudah menjelang senja, ketika aku keluar dari rumah. Aku harus bergegas. Jadi, kukebut lagi jip mungilku menyusuri jalan lembah yang berkelok dengan panorama senja yang memukau. Melangutkan hati. Seharusnya aku tidak berada di sini atau di belahan mana pun di Indonesia. Seharusnya aku berada di Surabaya sebagai Nyonya Andre Hermawan.

Tetapi, itu tiga tahun lalu. Aku sebenarnya malas mengenang kisah cintaku yang mellow bagaikan sinetron-sinetron televisi yang sedang menjamur. Aku dan Andre sudah berteman sejak kami anak-anak. Tidak ada yang salah selama 20 tahun kami berteman, sehingga menikah adalah hal yang sudah semestinya terjadi. Kami sudah menyusun rencananya dengan matang step by step. Karier, rumah, keluarga, dan pernikahan. Semuanya sudah tersusun rapi.

Satu-satunya yang salah adalah Andre tidak pernah datang pada saat ijab kabul. Kami menunggu dan menunggu dalam keresahan, kemarahan, dan kebingungan. Orang tua kami lemas di ruangan sebelah, sementara saudara-saudaraku dan saudara-saudaranya bersitegang dengan ramai di ruangan lain.

Sedangkan aku dibiarkan seorang diri di dalam kamar pengantin. Belum ada satu orang pun yang menanyakan perasaanku. Mereka sibuk berdebat. Mereka berharap masih ada keajaiban yang akan membawa Andre kembali dari antah berantah. Aku diam, merenungkan apa yang terjadi hari itu. Rasa marahku sudah hilang, tak ada juga rasa kecewa atau sedih. Aku hanya merasa diriku demikian bodoh.

Kemudian aku melepas semua atribut pernikahan pada diriku, lalu aku mandi. Aku yakin pernikahan ini tidak akan terjadi. Lalu, buat apa aku menunggu lagi? Kukemasi pakaian serta buku-buku ke dalam sebuah travel bag. Semua peralatan kecil-kecil kumasukkan ke dalam ransel. Sesudah itu, aku lakukan apa yang harus kulakukan sejak pagi tadi, menelepon Andre. Kupikir ia tidak akan mengangkat teleponku, tetapi ternyata ia menjawabku.

“Kita jadi menikah atau tidak?” Itu saja yang kutanyakan padanya. “Kalau kita tidak jadi menikah, seharusnya kau datang dan menjelaskan pada semua orang. Be a gentleman, Dre!”
“Maafkan aku, Nin. Aku tidak dapat menjelaskannya padamu, karena....”

Dan tamatlah kisah Barbie-ku itu tanpa happy ending. Aku kemudian berkelana ke sana-sini yang disebut semua orang sebagai pelarian dari rasa sakit hati. Mereka juga bilang hal itulah yang menyebabkan aku menghindari pertemuan dengan keluarga. Mungkin mereka memang benar.

“Hai, Dok!“ sebuah suara mengejutkanku, saat menutup pintu ruang obat. Kunci di tanganku sampai terjatuh karena kaget. Aku segera berbalik.
“Maaf sudah mengejutkanmu. Sedang apa magrib-magrib begini masih di sini?” Kapten Prayoga turun dari jipnya. Ia adalah kapolsek di daerah ini.
Aku memungut kunci yang jatuh, kemudian segera mengunci ruang obat.
“Ada yang ketinggalan,” jawabku, sambil menutup tas berisi infus.
“Aku melihatmu tadi di loji”
Aku menatapnya. Aku merasa sepertinya ia sedang mengawasiku.
“Tapi, saya tidak melihat Bapak di sana “
“Ayolah, kau selalu memanggilku bapak, seperti aku ini sudah tua saja.”

Aku harus pasang jarak dengan polisi ini, karena predikatnya cukup jelek: playboy. Aku khawatir ada kesan tidak baik di mata masyarakat, jika melihat kami akrab dengan ber-aku dan kau. Apalagi, kami berdua masih sama-sama lajang.

“Itu kebetulan saja, kok. Bagaimana kabar Ibu Inang Dayu tadi?” aku mengalihkan perhatiannya dari tas yang sedang kujinjing.
“Baik, tapi ada berita yang lebih heboh lagi.”

Aku menoleh memperhatikannya. Terus terang, pak polisi ini memang kelihatan keren. Tinggi, tegap, tampak pintar serta berwibawa.
“Ibu Kirana hilang.”
Jantungku jadi deg-degan.
“Hilang?” Aduh, kenapa suaraku jadi serak begini?
“Ya. Mungkin ia menyelinap keluar karena panik di saat kebakaran itu terjadi. Sekarang kami sedang mengerahkan semua aparat untuk mencari informasi tentang keberadaannya.”
“Semoga berhasil, Pak,” ujarku dengan perasaan tak nyaman.

Ia membukakan pintu jipku.
“Kau tahu sesuatu, Dok?” tiba-tiba ia bertanya yang membuatku makin tidak enak. Aku menatapnya. Kapten Prayoga tersenyum.
“Bisa nggak kita hang out? Sekadar ngobrol. Rasanya sejak kau datang ke sini, kita tidak pernah berbicara santai begitu.”
Hang out? Ya, ampun... dia rupanya sedang berusaha merayuku.
“Bukankah awal bulan kemarin  kita sudah ngobrol di Batu?”
“Itu kan rapat Muspika. Lainlah.... Kau bisa, ‘kan?”
Aku tersenyum saja padanya.
“Good luck, Pak!”

Ia hanya melambaikan tangannya. Aku harus bergegas kembali ke rumah. Aku harus sesegera mungkin mengobati Kirana dan mengembalikan kepada keluarganya sebelum semuanya menjadi terlambat. Aku sadar sekarang berhadapan dengan siapa. Jika seorang kapolsek sampai turun tangan sendiri berpatroli mencari warganya yang hilang, pastilah warga itu sangat istimewa.

Kirana masih terjaga, saat aku tiba. Kami segera memasang infus untuk memberikan cairan pada tubuhnya. Agak sulit juga cairan itu masuk, karena urat darahnya kecil. Tetapi, akhirnya bisa masuk juga. Kirana memandangi kantong infus yang kugantung pada tiang tempat tidur. Matanya menerawang jauh, tetapi kelihatan lebih tenang.

“Aku tak pernah dirawat dokter selama ini,” gumamnya.
Aku memandangnya lama.
“Apa yang kaurasakan?”
Ia menghela napas dalam-dalam. “Aku tidak tahu. Yang kurasakan adalah sakit kepala yang luar biasa, mual, dan takut. Aku hampir tidak bisa tidur setiap malam. Mimpi itu selalu menghantuiku.”

Suster Meida dan aku saling memandang.
“Mimpi apa?”
Kirana menggelengkan kepalanya.
“Mereka menyebutku gila atas sesuatu yang aku sendiri bingung adanya. Apa sebenarnya yang telah terjadi padaku?”
Kusentuh lengan kirinya.
“Lalu, mengapa banyak luka suntikan di lenganmu?”

Kirana tersenyum sedih.

Bersambung #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER