Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 21 September 2020

Kirana #3

Cerita bersambung

“Inang Dayu selalu menyuntikku, bila aku berteriak-teriak minta tolong. Terlebih, jika setelah mimpi itu, aku makin takut mati....”
Wanita itu mulai menangis lagi. Suster Meida membujuknya dengan kata-kata lembut, agar ia segera menghentikan tangisannya. Bisa gawat kalau kedengaran orang yang lewat.

“Mimpi itu, mengapa aku selalu mimpi aku dan bayiku tenggelam di danau itu. Aku takut... takut sekali.”

Astaga... betapa mengerikan. Siapa pun yang mengalami mimpi semacam itu, pasti akan menderita. Sia-sia Suster Meida berusaha menghentikan tangisan Kirana. Tampaknya emosi wanita ini memang tidak stabil, atau setidaknya ia telah mengalami banyak hal buruk dalam kehidupannya. Jadi, agar situasi menjadi jauh lebih tenang dan aman bagi kami, terpaksa aku menyuntikkan obat penenang pada Kirana melalui selang infusnya. Dalam hitungan detik ia kemudian berangsur tenang. Suster Meida menghela napas lega. Aku memperhatikan wajah Kirana yang berkerut menahan sakit. Begitu rapuh dan mengkhawatirkan.

Aku mengajak Suster Meida ke ruang tamu. Lalu kuceritakan pertemuanku dengan Kapten (AKP -red) Prayoga tadi di puskesmas. Suster Meida cukup terkejut mendengar bahwa sekarang di seluruh sudut Sumberpodang sedang ditelusuri demi seorang Kirana.

“Kita berurusan dengan masalah besar, Sus,” aku memandangnya.
”Maafkan saya, Dok. Saya hanya merasa kasihan padanya.”
“Lepas dari rasa kasihan atau penasaranmu, sebaiknya kita segera menghubungi polisi agar kita tidak dituduh menculik.”

Sejujurnya, aku juga tidak tega melepaskan Kirana pada orang lain tanpa penanganan medis yang benar. Tanpa perlu mengetahui latar belakang atau pengalaman apa yang terjadi sebelumnya, tidaklah adil membiarkan seseorang yang nyata-nyata sakit dan membutuhkan perawatan. Atau, memang sengaja diabaikan, agar ia merasakan sakit sebagai balasan atas perbuatannya dulu.

Begitu kejamkah cinta menyakiti hati? Aku harus lebih banyak bersyukur pada Tuhan, karena dijauhkan dari rasa benci, jika dibandingkan dengan penderitaan Kirana saat ini. Sakit yang membutakan hati, membunuh perasaan serta meniadakan akal sehat.

Perutku berbunyi. Astaga... sudah lebih dari setengah hari kami belum makan. Aku pamit untuk mencari makan kepada Suster Meida yang sedang mengusapkan salep pereda nyeri pada pergelangan kaki Kirana yang tertidur lelap. Aku menyuruhnya mengunci pintu segera setelah aku keluar.

Aku berdiri cukup lama di luar. Sebenarnya aku mengkhawatirkan Suster Meida dan Kirana, jika kutinggalkan setelah mengetahui perkembangan berita yang begitu cepat. Jika polisi yang datang, aku tidak terlalu cemas. Tetapi, yang kutakutkan adalah jika Herlambang sendiri yang datang.
“Mau pergi, Dok?” sebuah suara mengejutkanku.

Aku melonjak kaget sampai kunci mobilku jatuh. Aku merapat ke mobil, mencari asal suara yang membuat adrenalinku naik dengan cepat itu. Dari rerimbunan bugenvil, muncul sesosok tubuh tinggi tegap, yang kemudian setelah dekat kukenal sebagai Kapten (AKP -red) Prayoga. Kurang ajar sekali.
“Kau membuntutiku rupanya? Sudah berapa lama kau berdiri di sana?” tanyaku gusar, sambil mengatur nafas lagi.

Aku membungkuk untuk mencari-cari kunci mobilku yang jatuh. Kapten (AKP -red) Prayoga ikut membungkuk, aku beringsut menjauh darinya karena kesal. Ia merogoh jaketnya, mengeluarkan senter kecil, lalu menyorotkannya ke kolong mobil. Kunci itu tergeletak di bawah ban kiri depan.
“Rasanya kita harus bicara, Dok.” Ia menatapku, saat meletakkan kunci itu di tanganku. Aku menghela napas. Ia sudah mengetahuinya. Jadi, aku mengajaknya masuk ke dalam rumah.

Suster Meida tampak terkejut melihatku berdiri di pintu bersama Kapten (AKP -red) Prayoga. Wajahnya memucat dari balik jendela. Aku menyuruhnya membuka pintu. Ia sangat gugup, ketika kami masuk.
Kapten (AKP -red) Prayoga mengawasi keadaan luar, sebelum masuk ke dalam rumah.
“Di mana kalian menyembunyikannya?” tanpa basa-basi ia bertanya.
Suster Meida gemetaran.
“Dia... tiba-tiba ada di dalam mobil... kami tidak membawanya....”

Jika dibandingkan dengan kegigihannya menolong Kirana siang tadi, sikap yang ditunjukkan Suster Meida sangat bertolak belakang. Aku menyuruhnya duduk menenangkan diri. Lalu, kuajak polisi itu ke dalam kamar. Kapten (AKP -red) Prayoga mengikutiku dari belakang.

Pria itu mengamati seluruh kamarku. Kemudian ia mendekati si sakit yang tergeletak lemah di atas tempat tidur. Ia memperhatikan dengan seksama, mulai dari ujung kepala sampai ujung kakinya.
“Dehidrasi, kurang gizi. Injeksi penenang, karena dia histeris,” aku menjelaskan tanpa diminta, saat ia menyentuh kantong infus.

Pria itu memeriksa luka di lengan kiri Kirana. Kutunjukkan juga padanya luka pada kedua pergelangan kakinya. Ia mengerutkan alisnya seperti sedang berpikir. Tanpa berkata-kata, ia keluar kamar. Aku mengikutinya dari belakang. Polisi itu duduk di sofaku yang membuatnya seperti duduk di sebuah bangku anak TK.

“Kau akan membawanya?” aku memburunya dengan pertanyaan yang dikhawatirkan Suster Meida.
“Tidak untuk saat ini. Kupikir ia lebih baik berada di sini.”
“Mengapa begitu?” aku jadi penasaran.
Ia mengerutkan alisnya. “Entahlah. Aku cukup mengenal Ibu Kirana, tapi instingku mengatakan bahwa wanita itu bukan dia.“

Aku dan Suster Meida saling berpandangan dengan kaget. Kapten (AKP -red) Prayoga menghela napasnya.
“Aku akan menempatkan satu orang petugas untuk menjaga kalian dari jauh. Aku minta pada kalian untuk menjaga wanita itu baik-baik. Ia bisa menjadi saksi penting.”
“Saksi? Atas perkara apa?” aku jadi makin penasaran.
“Aku tidak bisa katakan sekarang. Adakah yang ia ceritakan sesuatu pada kalian?”

Aku dan Suster Meida menceritakan apa saja yang kami ketahui dan kami alami. Kapten (AKP -red) Prayoga mencatatnya pada sebuah notes. Ia membiarkan kami bercerita sesuka kami. Sesekali saja ia memberi pertanyaan atau mempertegas pernyataan kami, sehingga kami tidak merasa sedang diinterogasi. Tahu-tahu, waktu telah menunjukkan pukul delapan. Perutku terasa melilit oleh rasa lapar yang sangat.

“Kalau sudah cukup, bolehkah kami pergi mencari makan?”
Kapten (AKP -red) Prayoga tampak terkejut.
“Kau belum makan? Sejak siang tadi? Ya, ampun. Kalian mau dibelikan apa?” Ia mengangkat ponselnya.
“Tidak perlu, aku beli di luar saja sebelum warung-warung tutup.”

Ia tidak menghiraukanku. Kapten (AKP -red) Prayoga berbicara cepat pada seseorang. Dalam hitungan menit kami sudah mendengar bunyi klakson tiga kali dari depan rumah. Kapten (AKP -red) Prayoga berjalan ke jendela. Mungkin ia memberikan kode. Kemudian kami melihat percikan api di rumpun bugenvil sebagai konfirmasi keberadaan si penjaga. Memang rumahku sudah dikepung polisi rupanya.

Suster Meida tinggal di rumah menjaga Kirana, sedang aku dan Kapten (AKP -red) Prayoga pergi mencari makan sebelum warung-warung tutup. Yang agak menyebalkan adalah aku harus pergi bersama polisi ini. Naik jipnya pula. Aku merasa seperti tersangka kejahatan saja.
“Akhirnya kita bisa hang out, Dok.”
So sweet....

Ia membawaku ke warung satai yang masih buka. Kami memesan satu porsi lontong dan satai ayam untuk Suster Meida, dan dua porsi dimakan di tempat.

Kemudian, ia mempersilakan aku makan lebih dulu, saat satu porsi pertama matang. Dan, aku juga bukan orang yang suka jaga image. Perutku lapar. Kapten (AKP -red) Prayoga mulai menceritakan kecurigaannya pada Herlambang. Menurutnya, tidak ada seorang suami di dunia ini yang akan membiarkan istrinya berselingkuh dengan pria lain. Kecuali, kalau pria itu memiliki rencana gila.

==========

“Kecurigaan kami bertambah, setelah ada informasi bahwa Kirana tidak pernah mengalami kecelakaan di jurang di daerah Ngantang, seperti yang diceritakan Inang Dayu dan dibenarkan oleh Herlambang. Memang benar ada dua kecelakaan pada malam itu, tetapi keduanya adalah tabrakan, bukan kecelakaan tunggal seperti yang dialami Kirana.”

Kuhentikan makanku karena terkejut mendengar cerita itu. Kapten Prayoga menunjuk kelap-kelip lampu yang bersinar dalam kegelapan malam.

“Sendang Sumberpodang. Disebut begitu karena dulu konon banyak burung kepodang yang bersarang di sana. Entah apa yang menyebabkan sendang itu begitu menarik perhatian. Bagiku itu hanya danau biasa yang terdiri dari air, kiambang, eceng gondok, ikan nila, karper, dan biawak. Mengapa Herlambang berkeras ingin membangun resor di sana?”
“Katanya ia ingin memiliki resor bergaya awal abad ke-20,“ aku ingat kata-kata Suster Meida.
“Semoga saja dia benar. Tetapi, instingku mengatakan lain,” ia menoleh ke arahku, lalu tersenyum. ”Enak satainya?”

Aku jadi merasa kikuk dipandangi begitu rupa, dan segera menghabiskan porsi sataiku. Kapten (AKP -red) Prayoga makan dengan cepat seperti sedang terburu-buru. Mungkin ia ada urusan lain. Ketika ia sudah selesai, aku mengajaknya pergi. Aku memberi alasan bahwa Suster Meida juga sedang menunggu makan malamnya. Perjalanan pulang kami lalui begitu cepat. Aku merasa sesuatu akan terjadi malam ini. Entah apa.

“Berhati-hatilah, Dok. Ada petugas berjaga di depan rumahmu. Namun, jika kau merasa tidak aman, hubungi aku segera.”

Aku memandangnya. Memang akan terjadi sesuatu malam ini.
Semalaman nyaris aku tidak bisa memejamkan mata. Aku mondar-mandir dengan gelisah menunggu hari berganti. Sesekali aku memeriksa Kirana, mengganti infus, menambahkan vitamin. Setiap aku melakukan pemeriksaan atau penggantian itulah ia terjaga beberapa kali dengan ketakutan. Namun, ketika tahu kami ada di sana, ia menjadi sangat lega, kemudian tidur lagi dengan tenang.

Esoknya, aku meninggalkan Suster Meida bersama Kirana. Aku juga mengatakan melalui ponsel kepada Kapten (AKP -red) Prayoga, bahwa puskesmas harus tetap dibuka pada hari Sabtu, walaupun setengah hari. Akan menimbulkan pertanyaan, jika dokter dan susternya tiba-tiba kompak tidak hadir.

Suasana puskesmas di hari Sabtu memang tidak terlalu ramai oleh pasien yang datang berobat. Tetapi, yang ramai adalah cerita orang-orang tentang kebakaran, hilangnya Kirana, dan yang paling baru adalah kedatangan Adrian yang tiba pagi ini. Perutku menjadi demikian mulasnya. Apa sebenarnya yang terjadi dengan desa ini?

Ketika pasien sudah habis pada pukul sebelas, aku segera menutup puskesmas satu jam lebih awal dari hari Sabtu biasanya. Aku harus bergegas pulang, karena perasaanku makin lama makin tidak enak. Khawatir terhadap Kirana dan Suster Meida yang kutinggal di dalam rumah.

Kukebut jipku di jalanan yang sempit dan berkelok-kelok. Aku harus segera sampai. Harus. Entah mengapa, aku merasa sesuatu yang buruk akan menimpa keduanya. Dan, aku khawatir mereka tidak bisa membela diri. Sebab, jelas Kirana sedang sakit, dan Suster Meida tidak mungkin melakukan tindakan bodoh yang dapat membahayakan pasiennya.

Kecemasanku terjawab. Ketika aku tiba, pintu rumah tidak dikunci dan kulihat banyak jejak sepatu di atas lantai. Sofa kecilku juga menjadi miring seperti habis tergeser sesuatu. Aku berlari ke dalam kamar. Jantungku serasa berhenti berdetak. Mereka tidak berada di sana. Ya, Tuhan! Ke mana mereka? Apa yang terjadi dengan mereka? Kepanikan seketika menyergapku.

Aku duduk tegak, menarik napas dalam-dalam agar aku lebih tenang dan bisa berpikir dengan baik lagi. Aku terlahir sebagai orang yang logis. Aku pernah hampir mati, ketika menolong seorang wanita yang melahirkan anak hasil perbuatan zina di Aceh. Di mana warga kampung yang fanatik melempari kami dengan batu. Tetapi, aku tetap tenang. Aku juga pernah dipermalukan di hari pernikahanku demikian rupa. Tetapi, aku bisa tetap tegar dan melangkah pergi.

Sekarang pun demikian. Sekalipun perasaanku belakangan menjadi sentimental terbawa arus Kirana mania, aku tidak boleh panik. Fokus dan tentukan sikap. Aku menelepon Kapten (AKP -red) Prayoga, barangkali ia memiliki informasi yang aku tidak atau belum ketahui.

“Ada perkembangan yang mengejutkan, Dok, sehingga terpaksa kami mengevakuasi keduanya dari rumahmu tanpa memberi tahumu. Maafkan kami. Tapi, kupikir kau memiliki tugas penting di puskesmas, rasanya tak bijaksana jika kami harus menjemputmu.”
Begitu rupanya.
“Apakah mereka baik-baik saja? Kirana?” tanyaku langsung ke subjek pembawa masalah nasional ini.
“Ya, kami ada tim medis dari Polda. Mereka aman.”
Polda? Mengapa jadi begitu meluas?
“Apa sebenarnya yang terjadi?”
“Aku akan kirim orang untuk menjemputmu. Kau memang akan dipanggil sebagai saksi. Bersedia, ‘kan?”

Untuk sesuatu yang ’besar‘ ini? Aku tidak perlu menunggu lama, karena jip kepolisian segera datang dan membawaku ke Mapolsek yang sudah dipenuhi oleh masyarakat yang penasaran ingin mengetahui apa yang terjadi di dalam sana. Ada beberapa orang petugas bersenjata yang berjaga di gerbang.

Perasaanku makin tegang, saat mereka membawaku masuk ke dalam kantor Mapolsek Sumberpodang. Kudapati Suster Meida sedang duduk minum teh botol. Ia tersenyum padaku dan tampaknya ia baik-baik saja. Tak kelihatan tertekan, apalagi tegang.

Pada sebuah pintu bertuliskan ‘Kombes (AK -red) Pol. Prayoga’, kami berhenti. Polisi yang mengantarku mengetuk pintu, lalu membukanya.
“Dokter Anindita!”
“Silakan masuk!”

Polisi itu menyilakan aku masuk. Aku mengucapkan terima kasih, sambil melangkah masuk. Kapten (AKP -red) Prayoga berdiri menyambutku, lalu memperkenalkan kepada mereka yang sudah berada di ruangan. Salah satunya kepada seorang pria tampan yang memandangku dengan dingin. Herlambang.

Aku kemudian dimintai keterangan seputar keberadaanku saat kebakaran, kemudian bagaimana sampai Kirana berada dalam pengawasanku. Semuanya kujawab apa adanya. Tak ada komentar atau selaan selama interogasi itu. Rupanya para penyidik itu sudah mempunyai check list. Beberapa keteranganku dibandingkan dengan data yang mereka bawa.
“Menurut Anda, Ibu Kirana telah mengalami trauma berat?”

Aku membenarkan, lalu menceritakan mengenai bekas luka di kepala, bekas luka jarum suntik, ketidakmampuan mencerna makanan, dan ketakutannya secara psikis.
“Apakah ia pernah menyebut nama seseorang?” penyidik pertama kembali bertanya.
“Seingat saya tidak, tetapi entah pada Suster Meida. Sepengetahuan saya, ia tidak mengenal siapa pun. Entah karena amnesia atau apa, saya harus melihat rekam medisnya untuk memastikan.”

Beberapa saat kemudian, interogasi dihentikan untuk istirahat. Kami keluar, kecuali Herlambang beserta dua orang penyidik tinggal di dalam. Kapten (AKP -red) Prayoga mengatakan hasil yang sudah diperoleh selama lima jam interogasi ini akan dikonfrontasi satu sama lain. Keterangan Inang Dayu, Herlambang, serta keterangan beberapa saksi, termasuk aku.

Menurut Kapten (AKP -red) Prayoga, kasus ini menjadi serius, saat polisi wilayah Jember merazia kendaraan bermotor pada bulan Juni lalu. Mereka menangkap pengemudi mobil sport merah dengan nomor plat N yang mabuk dan hampir menabrak pohon. Dari STNK yang disita, mereka mendapatkan nama Kirana Chandradewi.

Sangat jarang ada mobil mewah berjenis sport berkeliaran di daerah itu. Kepolisian Jember kemudian mengembangkan penyelidikan dan bekerja sama dengan kepolisian Malang. Tentu saja hal ini menjadi menarik sekali, karena mobil itu dikabarkan mengalami kecelakaan masuk jurang di Ngantang beberapa bulan sebelumnya.

Bersambung #4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER