Jadi, mereka bekerja keras mencari hubungan yang bisa menjelaskan bagaimana mobil itu bisa berada di Jember dalam keadaan prima, tidak ada bekas kerusakan atau reparasi atas mobil itu. Juga tentang kehadiran Kirana yang misterius dalam keadaan seperti sekarang.
Yang lebih istimewa lagi adalah berita kebakaran loji kemarin telah membawa balik Adrian ke desa ini. Sebenarnya, Adrian tidak pernah tinggal jauh dari Malang setelah kejadian pada Minggu pagi itu. Ia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain di Kota Malang.
Demikian besar cintanya terhadap Kirana, membuatnya tidak ingin meninggalkan wanita itu begitu saja. Bahkan, ia rela meninggalkan anak istrinya di Bandung.
Aku terperangah mendengarnya. Serius, ini sangat menarik.
“Kami tak mau terburu-buru. Kami sudah bekerja sama dengan banyak pihak selama beberapa bulan ini. Mudah-mudahan hari ini kita bisa menyudahi semuanya. Kita akan mengetahui segera siapa yang sebenarnya berbohong.”
Aku merasa demikian bergairah menunggu saat itu tiba. Dalam masa menunggu itu, aku dapat bercakap-cakap dengan Suster Meida. Rupanya ia juga mendapat cukup banyak pertanyaan. Namun, ia mampu menjawabnya dengan baik. Ia juga tidak sabar menantikan, saat pengakuan para saksi dikonfrontasi untuk menetapkan tersangkanya.
“Jadi seperti di film, ya, Dok.”
Aku tersenyum mengiyakan.
Pada pukul 14.00 tepat kami dikumpulkan di ruang kerja Kapten Prayoga. Aku dan Suster Meida duduk di dekat pintu, di sisi seorang petugas penyidik berbaju preman. Herlambang, Inang Dayu, dan Adrian duduk saling berhadapan membentuk segitiga dengan didampingi masing-masing oleh seorang penyidik. Baru sekali ini aku melihat Adrian. Pria ini memang berwajah tampan dan kelihatan baik hati.
Konfrontasi dimulai.
Minggu, 10 Februari 2008.
Herlambang mengakui kekhilafannya dengan melakukan tindak kekerasan kepada Adrian dan Kirana, karena tersulut oleh api cemburu. Selepas kekacauan itu ia meninggalkan rumah menuju Surabaya. Alibinya dibenarkan oleh beberapa saksi. Sedangkan Adrian mengatakan pagi itu ia langsung menuju Blitar dengan menggunakan bus.
Inang Dayu mengatakan, seharian ia di rumah menjaga Kirana yang menangis di dalam kamarnya. Menurutnya, Kirana sama sekali tidak mau makan dan minum. Ia hanya mengurung diri di kamar. Ketika hujan turun pada petang harinya, tiba-tiba saja Kirana berlari keluar dari kamarnya, lalu kabur dengan mobil sportnya. Inang Dayu tidak dapat menahannya. Ia mengabari Herlambang mengenai kepergian Kirana.
Senin, 11 Februari 2008.
Herlambang mendapat kabar dari seorang warga Ngantang yang menemukan Kirana tergeletak di pinggir jalan dalam keadaan luka parah pada kepalanya dan segera dilarikan ke rumah sakit. Menurut keterangan, mungkin ia sempat melompat keluar mobil, sebelum kendaraannya itu meluncur deras ke dalam jurang sedalam lebih dari 40 meter. Herlambang kemudian memindahkan istrinya ke rumah sakit di Surabaya agar memudahkan pengawasan baginya.
Inang Dayu menerima kabar mengenai kecelakaan yang dialami Kirana dan meneruskannya kepada kepala desa. Ia tidak boleh meninggalkan loji, karena dilarang oleh Herlambang.
Senin, 17 Maret 2008.
Herlambang membawa Kirana kembali ke loji dalam kondisi memprihatinkan. Ia menderita amnesia dan anoreksia. Inang Dayu membenarkan, karena sejak itu ia yang merawat Kirana.
Sabtu, 28 Juni 2008.
Polisi lalu lintas Jember menahan Imran bin Asnam karena menyetir dalam keadaan mabuk. Ia mengendarai mobil sport merah dengan STNK atas nama Kirana Chandradewi. Menurut keterangan Imran, setelah ia sadar, mobil itu dititipkan di bengkelnya oleh seorang wanita pada bulan Februari lalu, yang katanya akan diambil satu minggu kemudian setelah diperbaiki.
Jumat, 22 Agustus 2008.
Ledakan tabung gas menyebabkan terbakarnya dapur loji milik Herlambang. Kirana melarikan diri dengan cara menyelinap, lalu bersembunyi di di jok belakang jip milik Dokter Anindita.
Setelah penyidik pertama membacakan ringkasan kesaksian yang telah diberikan oleh para saksi, ia memandang berkeliling, menunggu respons dari hadirin yang terdiam masih berusaha mencerna rentetan kejadian itu. Ia kemudian menanyakan pada Herlambang, mengapa tidak melakukan penyelidikan atas sebab jatuhnya mobil mewah berharga ratusan juta rupiah itu? Herlambang berdalih bahwa ia lebih mengutamakan istrinya yang cedera parah. Meskipun kedengarannya janggal, masih bisa diterima.
Mengenai mobil yang ternyata ditemukan di Jember dalam keadaan baik, ia mengatakan mungkin saja mobil istrinya tidak jatuh. Tetapi, Kirana mengalami perampokan disertai kekerasan. Sekalipun ia ingin melakukan cross check, Kirana telanjur menderita amnesia. Argumen itu mulai membuat alibi pertamanya menjadi lemah.
Udara di ruangan ini menjadi hangat oleh emosi yang mulai meluap-luap.
Penyidik kemudian melanjutkan bahwa tidak pernah ada laporan polisi atas kecelakaan tunggal di Ngantang pada tanggal 10 Februari. Tidak ditemukan juga data pasien dengan kasus mirip Kirana di beberapa rumah sakit di sekitar Malang. Herlambang tidak bisa memberikan argumentasi lagi.
Setelah mobil ditemukan di Jember, polisi menunjukkan foto Kirana kepada Imran. Pria itu menyebutkan bahwa wanita yang menitipkan mobil itu tidak sama dengan yang ada di dalam foto. Wanita itu jauh lebih tua dan bertubuh besar.
Semua perhatian tertuju pada Inang Dayu yang duduk tegak. Wajahnya datar saja, tidak menunjukkan emosi apa pun. Tetapi, Herlambang juga kelihatan tidak setenang semula.
Penyidik menoleh pada Kapten Prayoga dan memberikan kode lewat anggukan kepala. Kapten Prayoga menyuruh anak buahnya membawa Kirana masuk. Atmosfer ruangan ini makin panas. Kami melihat Kirana didorong masuk dengan mengenakan kursi roda. Ia ditemani seorang tenaga medis dan seorang polisi. Ia tersenyum padaku dan Suster Meida.
Kirana duduk menghadap Inang Dayu, Herlambang, dan Adrian. Ia kelihatan sangat rapuh dengan tubuh kurusnya. Kesan bingung dan ketakutan tampak jelas di wajahnya yang kurus. Penyidik bertanya pada Kirana apakah ia mengenal mereka bertiga. Ia lalu menjawab hanya mengenali Herlambang dan Inang Dayu, tetapi tidak dengan Adrian. Penyidik memintanya untuk mengingat-ingat lagi tentang Adrian. Namun, makin didesak, Kirana justru menunjukkan kegelisahan yang membuatku dan Suster Meida berdiri otomatis.
“Tidak usah ditanyakan lagi, Pak. Dia sama sekali bukan Kirana,” tiba-tiba Adrian membuka suara yang mengejutkan kami semua.
Wajah Herlambang memucat.
“Maksud Anda, Saudara Adrian?” penyidik menegaskan.
“Dia memang mirip sekali dengannya. Tetapi, saya tidak merasakan emosi yang sama jika saya melihatnya.” Jawaban itu memerahkan telinga Herlambang yang berusaha menahan dirinya yang gemetar oleh kemarahan. Tangannya mengepal kuat pada jok sofa.
“Cobalah periksa punggung sebelah kiri bawah, ada tahi lalatnya.”
Itu sangat mengejutkan. Lebih mengejutkan lagi, ketika Herlambang terbang melewati meja, lalu menyambar Adrian di seberangnya. Dalam sekejap ia sudah memukuli pria itu, yang segera dilerai oleh penyidik dan Kapten Prayoga. Kirana yang ketakutan segera dibawa keluar oleh perawat agar tidak histeris di dalam. Aku dan Suster Meida berpegangan tangan di sudut ruangan dengan gemetar. Adrian tidak melawan. Hidungnya bocor oleh pukulan Herlambang. Kapten Prayoga memberinya tisu untuk menyumbatnya.
“Kau kurang ajar! Kau bawa ke mana dia, hah?!”
Pertanyaan itu memperjelas bahwa wanita yang dibawa masuk tadi memang bukan Kirana. Kemarahan Herlambang memuncak karena Adrian mengetahui pasti letak tahi lalat Kirana. Itu berarti hubungan keduanya sudah jauh dari sekadar guru dan murid yang belajar melukis. Pertanyaan itu juga sekaligus membuka sandiwara Herlambang.
Adrian mengusap hidungnya yang berdarah.
==========
“Mengapa tak tanyakan pada orang terakhir yang bersamanya?”
Kami semua memperhatikan Inang Dayu. Kali ini wanita itu tidak setenang pada awal penyidikan. Wajahnya makin pucat, tubuhnya menjadi gemetar.
“Inang, di mana Sang Dewi berada?” Herlambang bertanya, kepada wanita yang diam membisu seperti batu itu.
Sang Dewi, begitu tinggi sebutan sayang bagi wanita itu. Inang Dayu tetap pada pendiriannya untuk membungkam keberadaan Kirana, bahkan ketika para penyidik mencecarnya dengan tekanan yang sangat intimidatif. Ia masih tetap pada sikapnya. Duduk tegak, mulut terkatup rapat dengan garis kuat memucat. Keringat berpendaran di dahinya, pundaknya naik-turun dengan getaran yang kelihatan ia tahan.
Ia bisa shock sewaktu-waktu. Mengingat usianya yang kutaksir melewati 50 tahun, pastilah tidak mudah baginya untuk berada dalam tekanan seperti sekarang. Terlebih, kesaksian pria dari Jember yang menyebutkan ciri-ciri wanita yang menitipkan mobil sport itu mirip sekali dengan Inang Dayu.
Suster Meida bangkit dari kursi. Kami semua memperhatikan bagaimana ia membawa teh dalam kemasan yang belum diminumnya, untuk diberikan kepada Inang Dayu. Dengan kelembutannya, ia selalu berhasil membujuk sekeras apa pun hati pasien yang pernah kutahu. Tak terkecuali Inang Dayu. Dengan gemetar ia menerima minuman itu. Suster Meida berlutut di sisinya, memegangi tangannya agar ia bisa minum dengan tenang.
“Sedikit-sedikit dulu, Inang. Pelan-pelan saja agar tidak menyakiti tenggorokanmu.”
Entah karena kata-kata lembut Suster Meida yang telah membujuknya, atau aliran air teh yang dingin itu memberikan efek sejuk dan tenang, kami perlahan melihat perubahan pada diri Inang Dayu. Ia masih diam lama memegangi minuman di tangannya dengan pandangan kosong. Kami menunggu, dan menunggu. Kami yakin, pada akhirnya wanita ini akan membuka mulut.
Suara azan salat Asar terdengar lembut mengumandang dari kejauhan. Mengingatkan kami bahwa sudah lebih dari setengah hari kami bersitegang di dalam ruangan ini. Suara azan itu begitu melangutkan hati. Memanggil nurani untuk kembali kepada kebenaran hakiki.
Selang beberapa lama setelah azan berlalu, terdengarlah pengakuan itu.
“Dia berada di tempat yang selalu diinginkannya. Kalian tak perlu mencarinya lagi,” suara itu kedengaran parau.
Kami saling memandang. Tempat yang selalu diinginkan Kirana?
“Di mana itu, Inang? Apakah di Bima?” Herlambang menyebutkan kota di Pulau Sumbawa itu. Menurut kabar, Inang Dayu berasal dari sana. Dan mungkin, Kirana juga berasal dari sana.
Inang Dayu diam saja. Ia menunduk makin dalam.
“Inang, tolonglah. Beri tahu aku di mana Sang Dewi berada.”
Adrian menghela napasnya dalam-dalam.
“Inang, kita semua sudah lelah di sini. Cobalah untuk mengerti bahwa....”
“Kau tak pantas bicara seperti itu di depanku. Kau telah membuatnya menjadi seorang anak pembohong, kurang ajar, bahkan istri yang tercela!” Inang Dayu memotong perkataannya, tanpa mengangkat wajahnya.
Wajah Adrian memerah. Ia kemudian menunduk mengetahui kami semua memperhatikannya.
“Inang, katakan saja, di mana Ibu Kirana berada?” Kapten Prayoga bertanya, namun tetap tidak mendapat jawaban.
“Apa yang membuatmu bersikukuh seperti ini? Kau tahu, alibimu lemah. Dan, jika saksi Imran dihadirkan di sini sekarang, pasti dengan mudah ia menunjukmu sebagai orang yang menitipkan mobil padanya. Kau bisa dituduh menggelapkan barang milik orang lain yang dinyatakan hilang. Kau bisa dikenai hukuman kurungan. Apakah kau tidak takut itu, Inang?" penyidik pertama mulai mengintimidasi lagi.
Inang Dayu tetap menunduk.
“Teori klasik. Menghilangkan nyawa untuk mendapatkan harta.”
Sekalipun baru sekadar teori dan sebuah kemungkinan, pernyataan penyidik itu demikian tegas, menyentak hati kami.
“Bukankah demikian, Inang?” penyidik itu terus mencecarnya.
“Tidak begitu...!”
“Oh, tentu saja! Kau membunuhnya, membuang mayatnya di suatu tempat. Kau curi mobilnya, lalu kau buat cerita itu adalah sebuah kecelakaan, sehingga kami semua berpikir bahwa....”
“Itu memang kecelakaan!”
Rasanya kami semua ambles ke dalam sebuah kubangan lumpur yang dingin. Adrian terduduk lemas di kursinya, sementara Herlambang tampak pucat gemetaran. Penyidik itu menarik napasnya dalam-dalam, tak mengeluarkan kata-kata.
Kemudian terdengar isak tangis Inang Dayu memenuhi ruangan, memecah keresahan yang menyekap kami lebih dari setengah hari ini. Suster Meida, sekalipun tampak terkejut, kembali menenangkannya dengan kata-kata yang lembut. Aku masih terdiam tak percaya dengan kisah ini. Sungguh luar biasa. Jadi, wanita itu, Kirana, benar-benar sudah mati?
“Aku tidak sengaja... dia ingin pergi terus mengikuti pria itu.... Kau seharusnya tidak meninggalkannya, Tuan.”
Herlambang kelihatan terpukul. Ia terenyak di kursinya dengan wajah bingung seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Jadi, Inang, di manakah kau menyimpannya?” penyidik itu melanjutkan tugasnya. Kali ini, suaranya jauh lebih rendah, sekalipun tetap dalam tekanan yang sama.
Tangisan Inang Dayu makin menjadi dan mulai tidak terkendali karena luapan emosi. Keadaan Inang Dayu tidak memungkinkan untuk dicecar pertanyaan lebih lanjut. Mendadak aku ingat sesuatu yang sering diutarakan oleh Kirana yang lain.
“Kalau saya tidak salah, Kirana berada tidak jauh dari kita semua,” kuberanikan diri mengutarakan pendapatku.
Semua orang mengalihkan perhatiannya padaku.
“Di mana menurut perkiraanmu?” Kapten Prayoga menatapku.
Aku menelan ludah.
“Di sana, di Telaga Sumberpodang. Ia tenggelam bersama bayinya. Bukankah begitu, Inang?”
Inang Dayu mengangkat wajahnya. Ia kemudian menoleh padaku dengan ekspresi yang sungguh memelas. Tiba-tiba ia pingsan.
Minggu, 24 Agustus 2008, pukul 07.00
Kabut yang turun menyelimuti Desa Sumberpodang masih mengapung tipis di udara yang dingin. Namun, suasana di sekitar Telaga Sumberpodang sudah diramaikan oleh masyarakat yang ingin menyaksikan secara langsung proses pengangkatan mayat wanita nomor satu di desa ini, Kirana Chandradewi. Mereka bahkan sudah mulai berdatangan sejak sehabis subuh tadi, seakan tidak ingin melewatkan sejarah bagi desa mereka ini.
Begitu penuhnya perhatian masyarakat, sehingga polisi terpaksa membuat garis polisi untuk membatasi mereka, agar tidak menyeruak makin ke tepi. Hal ini dilakukan agar tim SAR dan kepolisian dapat melakukan tugasnya tanpa gangguan.
Herlambang tidak tampak di kerumunan massa. Ia sedang dimintai keterangan seputar keberadaan wanita sakit yang diakuinya sebagai Kirana. Polisi menduga ia sengaja telah memalsukan identitas seseorang, memberikan keterangan palsu, dan membahayakan nyawa seseorang dengan sengaja memberikan obat-obatan tanpa didampingi petugas medis.
Teori sementara yang kuperoleh dari Kapten (AKP -red) Prayoga yang memimpin pencarian ini, sungguh mengejutkan. Bahwa antara Herlambang dan Inang Dayu tidak ditemukan adanya konspirasi. Hanya beberapa kebetulan saja membuat masing-masing mengembangkan cerita demi kepentingan mereka sendiri.
Malam sebelumnya, Inang Dayu menceritakan semuanya kepada Suster Meida yang didampingi oleh seorang penyidik yang bertugas menulis kesaksian. Bahwa pada malam nahas itu, keduanya bertengkar hebat. Kirana bersikeras akan menyusul Adrian yang menunggunya di stasiun kereta api Malang. Inang Dayu berusaha mengingatkan dan meyakinkan Kirana bahwa apa yang dilakukannya adalah salah.
Kirana mengatakan tidak bisa tinggal bersama Herlambang, karena ia telah jatuh hati kepada Adrian. Ia sudah menyerahkan diri padanya. Dan, yang membuat kemarahan Inang Dayu memuncak adalah ketika mendengar pengakuan bahwa Kirana tengah mengandung janin hasil perselingkuhannya dengan Adrian. Itulah mengapa ia ingin menyusul Adrian pergi, apa pun risiko yang akan dihadapinya.
Bersambung #5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel