Marah, malu, sakit hati, bercampur di dalam diri Inang Dayu. Ia selalu menasihati Kirana agar segera merencanakan keturunan dari Herlambang untuk memperkuat posisinya sebagai seorang istri. Sekalipun Inang Dayu mengetahui beberapa aset telah diatasnamakan Kirana, baginya itu belum cukup. Kirana harus lebih pintar dalam mengelola dirinya, kalau ingin masa depannya terjamin. Dan, seorang anak adalah jaminan hidup bagi keduanya.
Masa lalu yang menyakitkan sebagai pelayan di sebuah rumah bordil, membuat Inang Dayu bercita-cita tak mau hidup sengsara. Apalagi ia harus menghidupi bayi kecil bernama Kirana, anak dari keponakannya yang menjadi pelacur di rumah bordil yang sama. Sayangnya, sang keponakan mati ditikam seorang pelaut mabuk, yang tak mau membayar setelah menikmati jasa pelayanan tubuhnya.
Jadilah ia mengasuh Kirana dengan segala susah payah. Kirana disekolahkan cukup tinggi sampai diploma sekretaris. Ia juga mengawalnya untuk menjadi freelance model di Surabaya. Dengan penampilan yang nyaris sempurna, Kirana dinilai mahal oleh beberapa agen dalam memperkenalkan produk-produk tertentu. Karena itu, Inang Dayu sangat selektif dalam memilih event bagi Kirana. Ia mengamati dan mempelajari siapa klien yang akan memakai jasa Kirana. Herlambang adalah salah satu target Inang Dayu.
Ia mendorong Kirana untuk tidak melepaskan pria itu agar mereka dapat hidup dengan enak kelak. Mengabaikan kata hatinya, Kirana mengikuti saran itu, dan menjadikan dirinya Sang Dewi bagi Herlambang, yang menghambakan diri padanya. Ia menjaga diri serta penampilannya agar selalu memuaskan hati suami yang ia perah materinya. Namun, ia tidak pernah memberikan hatinya
Ia pun tidak menginginkan anak dari pria itu, karena tidak mau kehidupan sang anak kelak tidak keruan seperti yang dialaminya. Karena itu, Kirana selalu meminum pil kontrasepsi agar ia tidak hamil. Inang Dayu mengetahuinya dan ia sangat kecewa. Lebih kecewa lagi, karena Kirana memutuskan hamil dengan arsitek itu.
Sore itu mereka bertengkar hebat. Kirana mengeluarkan kata-kata kasar, mencaci-maki dan menyebut dirinya sebagai budak atas nafsu serakah wanita yang telah membesarkannya. Inang Dayu gelap mata. Tanpa sadar ia mencekik leher wanita cantik itu dengan sekuat tenaga. Saat kesadarannya balik, Kirana sudah kehabisan napas. Ia mati. Inang Dayu menjadi panik. Ia sama sekali tidak menyangka emosinya telah menyebabkan tambang emasnya mati.
Untuk menghilangkan jejak, ia membawa mayat Kirana dengan menggunakan mobil sport ke telaga Sumberpodang pada malam hari saat hujan deras. Ia mengikatnya pada dasar perahu, dan membawanya ke tengah danau. Dengan tenaga yang besar, ia membuat lubang di dasar perahu. Setelah air memenuhi badan perahu, Inang Dayu berenang ke tepi. Ia mengawasi perahu itu sampai tenggelam, sebelum meninggalkan danau menuju Jember. Di jalan, ia memberi tahu Herlambang bahwa Kirana pergi. Ia mengatur waktu, agar sebelum hari berganti ia sudah berada di Sumberpodang lagi.
Awalnya ia tidak mengerti mengapa Herlambang memintanya mengatakan kepada semua orang bahwa Kirana mengalami kecelakaan. Inang Dayu baru menyadari permainan yang dijalankan Herlambang sebulan kemudian, saat ia datang bersama seorang wanita yang sangat mirip dengan Kirana ke Sumberpodang. Hanya, ia lebih kurus dan kelihatan ‘kosong’.
Inang Dayu hanya bisa mengikuti permainan Herlambang. Pelan-pelan ia mengetahui arah permainan itu, yaitu mengambil kembali semua harta yang telah diberikan kepada Kirana dengan memanfaatkan hilangnya Kirana. Inang Dayu tak bisa berbuat apa-apa, karena ia sudah tidak memiliki kartu untuk dimainkan. Maka, ia ikut mengambil peranan, membuat Kirana yang baru ini lebih menderita, dengan memberinya obat-obatan yang diperintahkan Herlambang padanya. Baik dalam bentuk pil atau suntikan yang dapat membuatnya berhalusinasi. Ia berharap rahasia itu tidak akan pernah terbongkar, jika saja tidak terjadi ledakan tabung gas yang bocor di dapurnya.
Kuhela napas dalam-dalam. Memperhatikan bagaimana tim SAR bergantian menyelam ke dalam Telaga Sumberpodang yang konon memiliki kedalaman lebih dari 10 meter itu. Hebat juga Inang Dayu bisa berenang dari tengah danau dalam keadaan hujan lebat.
“Bagaimana kau bisa mengambil kesimpulan bahwa Kirana berada di dalam danau itu, Dok? Jangan bilang bahwa itu hanya tebakan beruntung saja,” Kapten (AKP -red) Prayoga bertanya padaku.
“Secara medis aku mengetahui penderitaan Kirana atau siapa pun dia. Namun, secara non-medis yang harus diperhatikan adalah bagaimana ia mimpi tentang hal yang sama, tentang dirinya yang tenggelam bersama bayinya di dalam danau itu. Sebenarnya, bukan dirinya yang dilihat, tetapi Kirana yang asli. Hanya, karena wajah dalam mimpi itu sama dengan wajahnya, maka ia demikian kebingungan. Terlebih karena pengaruh obat-obat psikotropika yang sering membuatnya gelisah, ketakutan, dan berhalusinasi.”
Kapten (AKP -red) Prayoga menoleh padaku.
“Tidak ada kejahatan yang sempurna.”
“Ya, sebenarnya Tuhan telah menunjukkan jalannya melalui wanita malang itu.”
Kapten (AKP -red) Prayoga tersenyum.
“Aku akan mentraktirmu, jika kasus ini selesai, Dok. Aku janji!”
Aku tak menanggapinya, karena mendengar seruan warga yang hampir bersamaan. Kami melihat ke tengah danau. Tim SAR berhasil mengangkat sebuah gulungan hitam yang kelihatan berat sekali ke atas perahu karet. Kami menjadi berdebar-debar menantikan apa sebenarnya yang akan terjadi setelah ini.
Kerumunan orang makin mendesak ke tepi danau, ketika perahu karet berhasil merapat di dekat kami. Para petugas bersusah payah menghalau mereka, agar menjauhi garis polisi, sehingga para penyidik itu bisa melakukan tugasnya dengan baik. Empat orang polisi membantu tim SAR menyeret perahu ke tanah yang lebih lapang. Lebih dari enam orang mengangkat gulungan hitam yang kemudian dikenali sebagai karpet yang diikat dengan beberapa utas kawat yang berkarat.
Kapten (AKP -red) Prayoga menganggukkan kepala, ketika seorang petugas meminta izin untuk memotong kawat-kawat yang meliliti karpet itu dengan sebuah tang. Kami semua merasakan sensasi yang menyesakkan dada, menunggu saat karpet itu terbuka.
Lima petugas medis dari Puslabfor sudah berdiri, siap dengan peralatan mereka, termasuk brankas. Sirene ambulans sudah mulai dinyalakan, membuat jantung makin berdebar kencang. Kawat-kawat itu berhasil dipotong, kemudian digulung kembali, dan dimasukkan ke dalam kantong plastik sebagai barang bukti.
Karpet itu tergulung rapat, berlumut, dan sangat berat, sehingga butuh tiga orang untuk membaliknya dan mencari sisi untuk membukanya. Kami menahan napas. Sejurus kemudian terdengar seruan warga yang kaget disusul oleh suara tangis di sana-sini. Entah karena apa mereka harus menangis, saat karpet itu terbuka lebar.
Di sana, di atas karpet berwarna biru yang berlumut itu, tergeletak sesosok tengkorak manusia. Aroma khas sisa pembusukan organ bercampur dengan bau amis lumpur serta lumut, begitu lekat di hidung. Tidak ada yang tahu tengkorak itu berjenis kelamin pria atau wanita. Yang jelas pada lehernya tergantung seuntai kalung emas bermatakan zamrud. Kalung yang sama kulihat menghiasi leher Kirana pada lukisan Sang Dewi di ruang utama loji itu.
*** Tamat ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel