Cerita Bersambung
Di masyarakat Jawa memang tersebar berbagai macam tradisi dan kepercayaan. Bahkan, di jaman yang serba modern seperti sekarang pun kepercayaan tersebut tidak serta merta hilang. Sebagian masyarakatnya masih kental dengan hal-hal semacam itu.
Weton salah satunya. Weton adalah penanggalan dalam kalender Jawa yang dianggap ramalan. Menurut orang-orang milenial mungkin ini hanyalah mitos belaka. Tapi, lain halnya dengan masyarakat Jawa yang masih lekat sekali budaya kejawennya. Hitungan weton dianggap sebagai salah satu aturan yang wajib dipatuhi.
Biasanya, weton ini akan ditanyakan ketika seseorang hendak menikah. Orang itu harus tahu weton kelahirannya sendiri dan pasangannya juga. Setelah itu, weton mereka akan dihitung kecocokannya oleh sesepuh yang memang pandai dalam bab tersebut.
Hasil akan didapatkan dan hari baik untuk melangsungkan pernikahan akan ditentukan.
Seperti yang tengah Marini hadapi sekarang, ibunya percaya betul bahwa weton Pahing bertemu Wage itu adalah nasib buruk. Kesialan akan menimpa mereka yang nekad melanggar. Dua insan yang memiliki kedua weton itu tidak boleh bersatu. Pamali.
Konon, rumah tangga mereka akan jauh dari keharmonisan. Belenggu weton itu akan menyulut api pertengkaran di antara keduanya. Lebih parah lagi, Ibu bahkan percaya bahwa salah satu dari mereka akan mati jika menentang aturan main weton tersebut.
Marini masih tertunduk lesu di kamar. Inilah akibatnya karena dia tak mengindahkan perintah Ibu untuk membatalkan lamaran itu. Mana mungkin dia akan bilang pada Dio bahwa ibunya tidak memberi restu karena weton dan menyuruhnya menggagalkan acara.
Selain karena cinta Marini yang teramat besar, keluarga Dio pasti akan marah sekali. Namun, ketidakberdayaan Marini itu justru membuat keluarga Dio lebih marah lagi karena dipermalukan. Begitu juga dengan hatinya, sakit bukan main karena cercaan maminya Dio.
“Apa Marini ndak bilang? Ndak usah ke sini buat ngelamar, saya ndak akan terima! Bu, Pak, weton Marini dan anaknya njenengan itu ndak boleh nikah. Nanti kena sial!” Demikianlah kata-kata yang dilontarkan ibunya bahkan sebelum suguhan terhidang di atas meja.
***
Bunyi notifikasi dari ponsel membuyarkan lamunan Marini. Satu pesan whatsapp dari Dio yang baru saja berlalu dari halaman rumahnya.
‘Kamu baik-baik saja?’
Air mata Marini kian menderas. Kenyataan ini begitu pahit baginya. Mana mungkin dia bisa melanjutkan hidup tanpa Dio yang sangat ia cintai? Kenangan-kenangan indah bersamanya satu persatu bermunculan di kepala, membuat Marini semakin sesak.
Kebahagiaan yang membayanginya satu minggu terakhir ini sirna tak bersisa. Semuanya terserak bagaikan debu jalanan yang diguyur hujan.
‘Dio ...’
Jemarinya mulai menari di atas keyboard ponsel. Marini terpejam, menggigit bibir untuk mengumpulkan kekuatan. Sanggupkah aku menghadapi ini seorang diri? Batinnya.
Genderang jantungnya terdengar bertalu-talu di telinganya sendiri. Gamang, kalut, dan semua prasangka beradu membentuk sebuah emosi yang dia tak tahu apa namanya.
Dengan satu helaan napas yang begitu berat, Marini meneruskan apa yang seharusnya dia tuliskan.
‘Kita harus menikah. Atau bayi dalam perut ini akan lahir tanpa ayah.’
==========
“Enak kan, Dik, sotonya?” Pramono membelai lembut kepala istrinya yang tengah asik menyantap soto Pak Dul.
“Enak tenan, Mas. Alhamdulillah ya, Dik bayi, penginan kamu keturutan,” jawab sang istri sembari mengelus perutnya yang buncit.
Keduanya lalu saling pandang, menggenggam tangan satu sama lain, lantas tersenyum penuh arti. Mesra sekali mereka, seakan warung soto Pak Dul ini milik berdua saja. Beberapa pelanggan yang juga sedang menyantap soto dibuat kikuk karenanya.
Malam Minggu itu cerah sekali, bintang gemintang bertebaran di seluruh penjuru langit. Waktu yang tepat untuk sekedar cari angin atau medang ronde di alun-alun kota. Tak ayal, jalanan menjadi padat oleh lalu lalang kendaraan yang kebanyakan adalah pasangan muda-mudi.
Tadi sore Marzukoh menggelendot manja di lengan kekar suaminya. Kehamilan trimester dua itu benar-benar sedang dinikmatinya. Mual muntah sudah lewat, fase nyaman sudah mulai dia rasakan.
“Mas, si adik bayi pengin soto Pak Dul,” katanya sembari meletakkan tangan suaminya di atas perutnya yang buncit, “lihat, kan, dia nendang-nendang terus,” lanjutnya kemudian.
Sang suami yang baru saja menyandarkan tubuhnya sepulang kerja, perlahan menekankan telinganya ke perut sang istri.
“Eh, iya. Adik bayi pengin soto, ya, Dik? Ini barusan bisikin Bapak. Nanti malam kita makan di warung sotonya Pak Dul, ya? Sabar sebentar,” gumamnya, lantas mengecup mesra kening sang istri.
Seusai maghrib, mereka pamit kepada orang tua Marzukoh untuk makan malam di warung Pak Dul. Dengan berbonceng sepeda ontel sampailah mereka di sana, menikmati soto itu semangkuk berdua. Lagi-lagi permintaan si jabang bayi katanya. Pramono menurut saja. Dia senang sekali istrinya ngidam.
Setelah soto semangkuk itu tandas, Marzukoh dan Pramono memutuskan untuk jalan-jalan sebentar sebelum pulang. Mereka sengaja melewati jalan memutar yang berlawanan arah dari jalan yang dilaluinya saat berangkat tadi.
Kayuhan sepeda ontel Pramono tidak secepat biasanya. Jalan yang berjarak sejengkal sebelum rel kereta itu memang agak menanjak.
“Kamu semakin berat, Dik,” gurau Pramono.
Marzukoh membalas dengan mencubit punggung suami tersayangnya itu. “Ya sudah, aku turun,” katanya kemudian.
Pramono menghentikan sepedanya dan membiarkan istrinya turun dari boncengan. Entah kenapa hanya sedikit orang yang melewati rel tak berpalang itu.
“Mas, apa itu yang di tengah rel sana?” Marzukoh menunjuk pada sesuatu yang teronggok di tengah rel kereta sekitar tiga meter dari tempat mereka berdiri.
“Apa ya, Dik? Sepertinya anak kucing. Tapi, kok, tidur di situ. Sebentar ya, Dik. Mas cek dulu. Kasihan nanti kalau ada kereta lewat. Bisa ketabrak.” Pramono menyandarkan sepedanya dan berlari kecil menghampiri si anak kucing. Hati lelaki itu memang begitu penyayang.
Marzukoh menunggu di pinggir rel dengan tenang. Dia lelah sekali, ingin segera merebahkan badannya di peraduan. Namun, nahas tak dapat dicegah, takdir tak bisa dilawan. Marzukoh tidak melihat tanda-tandanya. Petuah-petuah yang disampaikan suaminya semalam, kelakuannya yang begitu manja akhir-akhir ini pada Pramono. Dia tak menduga bahwa semua itu adalah tanda-tanda perpisahan.
Kereta Kamandaka yang entah dari mana datangnya melaju begitu kencang. Tanpa Marzukoh sadari, ular besi itu telah berada dekat sekali dengan tubuh suaminya yang sedang menggendong si anak kucing.
Trrooooooonnn!
Sang masinis membunyikan klakson yang memekakkan telinga. Marzukoh terkesiap. Darahnya berdesir.
“Mas Praaaammmmm awaaaaaaassss!” Dia berteriak sekencang yang dia bisa sampai perutnya terasa tegang.
Trooooooonnnn!
Pramono menoleh hanya untuk menjemput ajal.
Braakkk!!! Tubuh itu terseret jauh bersama laju Kamandaka yang tidak berkurang kecepatannya. Darah terciprat ke mana-mana bersama seluruh isi perut dan potongan tubuh Pramono yang terburai berceceran sepanjang jalan. Marzukoh jatuh pingsan. Bayi pertama mereka akan lahir tanpa ayah.
Bersambung #3
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Jumat, 30 Oktober 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel