Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 31 Oktober 2020

Kekang #3

Cerita bersambung

“Bu, bangun, Bu!” Marini  mengguncang-ngguncangkan tubuh ibunya. Selarut ini dia belum tidur dan mendengar ceracau ibunya dari dalam kamar. Sang ibu berteriak-teriak seperti orang kesetanan.
“Bu, sadar, Bu!”
Ibu pun tergeragap, bangun dengan peluh membanjiri tubuhnya.
“Astaghfirullah,” katanya, kemudian menangis pilu.
“Ibu kenapa? Mimpi buruk?” tanya Marini sembari mengelap pelipis ibunya yang berkeringat dengan kain jarik.
“Bapakmu, Nduk ...” Ibu semakin tergugu. Marini diam saja, belum mengerti arah pembicaraan ibunya. Ibu juga diam sejenak, menyisakan lengang dan suara jangkrik yang terdengar berderik di kejauhan.
“Kami sama sepertimu, Nduk. Kami saling mencintai dan berniat menikah. Tapi, weton kami ndak cocok. Ibu Selasa Pahing, dan bapakmu ...” Ibu menghela napas sebelum melanjutkan kata-katanya. “Rabu Wage.”

Marini menelan ludah. Wetonnya sama dengan weton Bapak? Dia baru tahu kisah orang tuanya seperti itu. Ibu tidak pernah menceritakan perihal kisah mereka sebelum ini.

“Orang tua bapakmu menentang kami habis-habisan. Mereka sangat percaya kami hanya akan kena sial. Tapi, bapakmu ndak menghiraukan mereka sama sekali, Nduk. Bapakmu yang lulusan pesantren menganggap hal-hal seperti itu adalah syirik.

Ibu pun dulu ndak percaya, Ibu lebih yakin pada cinta kami berdua. Akhirnya, kami nekad menikah tanpa wali dari bapakmu. Pernikahan sederhana itu berlangsung lancar, sebelum sore harinya kedua simbahmu dari Bapak datang ke rumah Ibu.
Mereka menyumpahi macam-macam, mendoakan kami berdua ndak akan bahagia. Waktu itu Ibu cuma bisa nangis, Nduk.”

Marini menyodorkan segelas air putih yang ada di samping ranjang ibunya, berharap Ibu akan melanjutkan kisahnya. Jarang sekali Ibu bersikap lunak seperti ini pada Marini.

“Lima tahun kami menikah, kami belum juga dikaruniai keturunan. Bapakmu semakin dijadikan bulan-bulanan keluarganya. Berkata bahwa inilah kesialan yang pertama.
Keluarganya menyuruh bapakmu meninggalkan Ibu, tapi dia ndak mau. Dia sangat menyayangi ibumu ini, Nduk.
Akhirnya, di tahun keenam pernikahan doa kami didengar Gusti Alloh. Ibu hamil. Bapakmu senang sekali, dia berkali-kali mengundang warga untuk syukuran. Semua yang Ibu inginkan dituruti demi si jabang bayi.
Tapi, malam itu semuanya berubah, Nduk. Gara-gara Ibu ingin makan soto, bapakmu membayar itu dengan nyawanya. Bapakmu ketabrak kereta demi menyelamatkan seekor anak kucing.” Ibu terisak.

Marini terbelalak mendengar kisah pilu itu. Baru kali ini Ibu mau bercerita tentang Bapak sedetail-detailnya. Marini tidak tahu kalau bapaknya tiada karena tertabrak kereta.

“Maaf Ibu baru cerita ini semua sama kamu. Ibu ndak kuat setiap kali ingin menceritakannya. Sakitnya masih terasa sampai sekarang, Nduk.” Marini tertunduk, bulir air matanya mulai meluncur membasahi pipi. Dia seolah bisa merasakan betapa pedihnya hati sang ibu. Pelan, dirabanya perut yang juga berisi buah cintanya dengan Dio.

Tiba-tiba Ibu mencengkeram lengan Marini kuat-kuat. Dengan tatapan mata yang seakan menembus jantungnya, Ibu berkata, “Kamu tidak boleh menikah dengan Dio, Nduk. Atau nasibmu akan sama seperti Ibu!”

==========

Malam yang sama di kediaman keluarga besar Sasmito Hadiningrat. Dio masih berseteru tegang dengan Mami dan pakdenya. Kejadian memalukan kemarin lusa masih jadi topik yang panas di keluarga konglomerat itu.

"Mami benar-benar malu, Dio! Berani benar keluarga kampung yang melarat itu menolak kita! Harusnya mereka senang seperti kejatuhan bulan!" sergah Maminya.
"Kalau bukan karena si Marini itu punya potensi yang Mami butuhkan, Mami tidak akan mau menginjakkan kaki di rumahnya. Apalagi kalau tahu ternyata ibunya kolot seperti itu! Apa dia tidak tahu siapa kita ini, hah!" tambahnya lagi.

Dio diam. Dia sedang memikirkan bagaimana cara menyampaikan pada maminya bahwa Marini tengah mengandung bakal anaknya.
"Mi, dengerin Dio," katanya kemudian setelah maminya agak tenang.
"Dio harus menikahi Marini, bagaimana pun caranya. Dio enggak peduli Mami atau ibunya merestui kami atau tidak." Napas Dio memburu. Ini pembicaraan yang cukup emosional.
"Apa? Apa apa? Coba sini Mami mau dengar lagi." Mami tersenyum mengejek kemudian menoleh ke arah Pakde yang sedari tadi hanya menyimak.
"Lihat, Mas Joyo! Anak adikmu ini memang tidak tahu diuntung! Susah payah saya ngandung dia, menyusui, merawat, membesarkan seorang diri. Giliran sudah ngerti cinta sekarang dia mau kawin walaupun tanpa restu ibunya!"
"Dio, mamimu benar. Jangan kamu gegabah, nanti kamu menyesal." Akhirnya Pakde menimpali.
"Tapi, Marini sedang hamil Pakde! Hamil anakku!"

Keraguan di hati Dio sirna. Bagaimana pun juga dia harus mengatakannya. Dia tidak mungkin meninggalkan Marini begitu saja, kepayahan lahir batin karena perbuatannya. Cepat atau lambat perut Marini akan membesar, orang-orang pasti akan menjadikannya bahan cemoohan.

Mami memandang Dio dengan pandangan tajam dan jijik. Terlebih pakdenya, dia yang semula duduk bersila sontak berdiri saat mendengar ucapan Dio. Tangan tuanya sudah bersiap menggampar pipi keponakannya itu. Memang sejak Papi meninggal, Pakde-lah yang berwenang atas Dio, berperan sebagai ayah kedua.

"Sudah, Mas! Tidak ada gunanya menghajar anak ini!" ucap Mami, berhasil menghentikan amarah Pakde.
"Benarkah Marini hamil anakmu, Dio?" tanyanya kemudian.
"Apa maksud Mami?" Dio menimpali, tidak terima dengan ucapan maminya.

Masih teringat jelas di benaknya saat Marini menahan sakit karena selaput daranya yang robek. Jelas janin itu adalah anaknya, Dio kenal benar siapa Marini.
"Begini saja, Nak..." Mami bergumam. Sikapnya biasa saja, seolah apa yang baru dia dengar adalah sesuatu yang tidak patut menjadi masalah.

Perlahan dia mendekati Dio dan duduk di sampingnya. Leher jenjang yang terlilit kalung dengan liontin berlian itu menoleh pada anak lelaki kesayangannya. Dengan lembut digenggamnya tangan putranya itu.

"Biarkan Marini mengandung anakmu. Mami menyukainya, dia perempuan yang cerdas dan bertanggung jawab. Pastilah anaknya juga akan menuruni kecerdasannya itu. Terlebih ditambah kerupawananmu, anak kalian pasti akan menjadi pewaris sempurna dalam keluarga kita," kata sang mami.

Bersambung #4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER