Cerita bersambung
Mami memang punya penilaian tersendiri terhadap perempuan. Dia yang orang jawa tulen, sangat mengagumi gadis-gadis yang pandai dan punya unggah-ungguh di jaman modern ini. Karena itulah Mami menyukai Marini. Sikap Marini yang sederhana namun terlihat istimewa berhasil merebut hati Mami saat beberapa kali mereka bertemu.
Namun, rasa suka itu tercerabut banyak karena perlakuan ibu Marini. Mami orang yang berpendidikan, dia antipati terhadap mitos-mitos semacam weton meskipun dia orang Jawa. Terkadang manusia memang punya sifat yang sulit dipahami.
Wajah Dio seketika berubah sumringah.
"Benarkah? Maksud Mami, Dio dan Marini boleh menikah?" tanyanya antusias.
"Tentu saja..." jawab maminya, "kalian boleh menikah setelah Marini melahirkan. Tapi, dengan satu syarat. Bayinya harus laki-laki.
Tunggu saja sampai umur kehamilannya bisa di USG. Tanyakan jenis kelamin bayimu pada dokter. Kalau dia laki-laki, Mami akan jamin Marini hidup bahagia di sini. Mami akan urus ibunya yang kolot itu. Tapi jika bayinya perempuan ..." Mami melirik ke arah Pakde, "Segera lupakan perempuan itu! Suruh dia menggugurkan kandungannya!"
"Apa? Apa-apaan Mami ini!" Dio yang sudah sumringah mendadak dipenuhi amarah. Dia merasa dipermainkan oleh maminya. Siapa juga yang bisa menjamin kalau janin dalam perut Marini itu laki-laki.
"Dengar, Dio! Mami sudah kecewa sekali dengan kakakmu! Arman bukannya menyelesaikan masternya di Amerika sana malah menikah dengan pelacur bule sialan itu! Apa yang bisa Mami harapkan dari keturunan mereka? Perempuan Amerika tidak akan pernah sama dengan perempuan kita dalam mendidik anak. Yang mereka tahu hanya kebebasan. Tambahkan lagi si Christine itu, dia perempuan dungu yang cuma mau harta kakakmu saja!"
"Bandingkan dengan Marini. Gadis itu cerdas, ayu, dan berwibawa. Dia sopan seperti perempuan jawa kebanyakan. Mami yakin dia akan mendidik anakmu dengan benar. Tapi ingat, harus laki-laki! Pewaris semua kekayaan papimu haruslah laki-laki dari darah anak lelaki di keluarga ini. Dan hanya kamulah harapan Mami. Kamu mengerti kan, Dio?" Mami mengernyit. Dia menghela napas panjang, meregangkan jari jemarinya sebentar, lalu menyeruput wedang jahenya yang sudah dingin.
"Sudah malam, Mas Joyo. Silahkan kalau Mas mau pulang. Biarkan Dio ini saya yang urus. Terima kasih sudah mau direpotkan sampai sejauh ini, salam untuk Mbak Lastri. Saya permisi istirahat dulu." Mami kemudian berdiri dan melangkah meninggalkan ruang keluarga. Tak lama setelah itu, Pakde pun beranjak pulang tanpa berkata apa-apa.
Kini tinggal Dio bersama keheningan malam dan lampu-lampu kristal mewah yang tergantung merana di ruang keluarga mereka. Sama halnya dengan Dio yang tengah merana, meratapi kisah cintanya yang rumit layaknya drama korea.
==========
Sore itu, di sebuah bangku taman. Marini dan Dio duduk tertunduk. Keduanya sama-sama bingung untuk memulai pembicaraan. Pesan dari Dio semalamlah yang membuat Marini ada di sini sekarang. Taman alun-alun kota, tempat mereka biasa menghabiskan waktu berdua yang penuh canda tawa.
Taman yang sama, bangku yang sama, senja nan indah. Seharusnya, itu menjadi waktu yang istimewa bagi mereka. Menyaksikan langit yang mulai menyemburatkan lembayungnya dengan kekasih hati, adakah yang lebih membahagiakan dari ini?
Marini menunduk semakin layu. Mungkin itu dulu, beberapa waktu lalu. Kini semuanya terasa berbeda. Entah apa yang terjadi, tapi dia tidak pernah merasa seasing ini saat bersama Dio.
“Jadi, apa kau mau mengucapkan selamat tinggal?” Akhirnya Marini memutuskan untuk membuka mulutnya meski tanpa mengangkat muka. Desau angin sore yang berhembus seakan membawa suara lirih itu berlalu sia-sia.
“Tidak, Sa ... emh, Marini. Aku ingin mengatakan sesuatu.” Dio menjawab dengan resah.
“Kau ingin mengatakan supaya aku menggugurkan bayi ini karena orangtua kita sama kolotnya? Atau karena kau orang kaya lalu bisa berbuat seenaknya?”
Perkataan Marini telak menampar sudut hati Dio. Dia tidak pernah melihat kekasihnya semurka ini, apalagi sampai berkata macam-macam. Apakah gadis ayu nan santunnya itu kini telah hilang karena nasib cintanya yang teramat pahit?
Dio menghela napas sebelum menyampaikan apa tujuannya menemui Marini. Dikatakannya semuanya. Apa yang Mami minta, semua yang maminya ucapkan. Sama persis. Tentang kehamilan Marini, pernikahan, ahli waris, bayi laki-laki, dan ... menggugurkan kandungan.
Mendengar kalimat terakhir Dio, Marini menoleh. Sekali itu Dio bisa menatap dengan jelas wajah kekasihnya yang sembab dan penuh lebam. Kondisinya benar-benar jauh dari baik-baik saja.
“Astaga! Sayang, Marini, apa yang terjadi? Ke-kenapa dengan wajahmu?” Dio terbelalak. Seluruh perasaan berkecamuk di dadanya. Apa yang Marini lakukan sampai wajahnya penuh lebam? Apakah ada yang berbuat kasar padanya?
Marini tiba-tiba tertawa lantang.
“Diam kamu, Dio!” katanya tak kalah lantang. “Tidak usah sok peduli lagi padaku! Dasar kalian semua orang-orang kaya yang sombong! Kalian pikir semuanya bisa dibeli dengan uang kalian, hah! Bangsat!” Marini tersengal. Dio mencoba menenangkan, berusaha merangkul bahunya yang segera ditampik dengan kasar oleh Marini.
“Mamimu menyuruhku membunuh bayi ini jika dia perempuan dan mendidiknya dengan benar kalau dia laki-laki? Hahaha!” Tangis Marini pecah sudah. Sakit hatinya tidak dapat dia tahan lagi.
“A-apa sebenarnya yang kalian pikirkan, Dio? Kalian bahkan hanya ingin bayi ini untuk keuntungan semata! Apa bagimu bayi ini, yang katanya buah cinta kita, hanya berarti sebatas untung rugi? Jawab Dio! Jawab!” Marini meraung, seluruh amarah yang sesak di dadanya tumpah ruah.
“Apa ... apa kau tidak memikirkan bagaimana perasaanku, Dio?” Marini memandang Dio dengan tatapan kosong dan air mata yang terus mengalir.
Tuhan, apa yang sedang terjadi? Batin Dio. Kenapa niat baiknya menikahi Marini justru menjadi cerita yang rumit begini?
Pelan, Dio menggenggam tangan Marini. Diusapnya air mata gadis itu, diusapnya lembut wajahnya yang lebam. Marini menampik lemah, namun Dio justru meraih bahunya, membawanya ke dalam pelukan.
Marini tergugu di dalam pelukan ayah dari bayi yang kini meringkuk di dalam rahimnya itu. Pelukan yang masih sama hangatnya, diiringi suara detak jantung yang selalu bisa membuatnya tenang.
Matahari telah surup, melepas penat di peraduan malam. Senja itu menjadi saksi dua insan yang tengah dirundung pilu karena cinta. Saksi air mata Marini yang berderai disaksikan orang-orang yang berlalu lalang. Juga air mata Dio yang tak bisa lagi ditahan saat tubuh ringkih kekasihnya itu berada dalam pelukannya.
Dua tubuh yang paling dicintainya. Marininya, dan calon anaknya.
Bersambung #5
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Minggu, 01 November 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel