Cerita bersambung
Plakk!
Tamparan keras mendarat di pipi kiri Marini. Tak hanya sekali, tamparan itu berkali-kali menghantam kedua pipinya. Marini mengaduh, pipinya terasa sakit dan bengkak. Benar saja, kerasnya tamparan itu membuat kulitnya yang lembut memerah dan penuh dengan bekas telapak tangan.
“Sudah, Mbak Mar, sudah! Istighfar, itu anakmu!” Paklek berseru jerih melihat keponakannya diperlakukan demikian.
“Bukan, ini anak setan! Anakku ndak akan mungkin berbuat nista dan memalukan koyo ngene iki!” Marzukoh berteriak lantang sambil terus menggampar kedua pipi Marini.
Paklek tergopoh-gopoh berusaha melerai tangan Marzukoh dan menenangkan Mbakyunya itu. Akhirnya, Marzukoh pun menghentikan keganasannya, tersengal-sengal karena amarah.
Marini menunduk sambil memegangi pipinya yang sakit sekali.
Dia tidak menangis, air matanya telah habis. Dia tidak juga meminta maaf atas perbuatannya kepada sang ibu, itu adalah hal yang sia-sia. Ibunya pasti tidak mau mendengarkan, dan bagi Marini hal tersebut bukanlah suatu kesalahan. Dia dan Dio melakukannya atas dasar cinta, suka sama suka.
“Pri, anak ini sedang mengandung bayi haram jadah!” teriaknya lagi. Paklek hanya bisa diam. Tidak ada yang berani menentang Marzukoh dalam keluarga mereka, dia anak tertua dari empat bersaudara.
“Bapaknya yang tertabrak kereta itu cuma mati sia-sia, Pri...” Kini Marzukoh berkata lirih, suaranya kalah oleh tangisnya yang pecah.
“Sudah, Mbak Mar, sudah. Semuanya sudah terlanjur, tidak usah dimarahi lagi Marini ini. Mari kita cari jalan keluarnya bersama,” sahut Paklek dengan nada memelas.
Kehamilan Marini mulai menunjukkan reaksinya. Adanya sesuatu yang baru di tubuhnya itu memicu hormon-hormonnya naik. Dia pun mulai mual, muntah, pusing, dan segala perubahan yang terjadi pada tubuh ibu hamil yang sedang beradaptasi.
Tak pelak, tanda-tanda itu segera mengundang kecurigaan ibunya. Marzukoh memanggil Priyo, Paklek Marini, lantas mendudukkan gadis semata wayangnya itu dan memberondongnya dengan berbagai pertanyaan. Tersudut dan tak bisa lagi mengelak, Marini pun mengakui keadaannya.
“I-iya, Bu. A-aku ...” Marini menghela napas berat. Sudah terbayang apa yang akan sang ibu lakukan padanya setelah pengakuan ini. “Aku hamil,” katanya mantap.
Lalu, terjadilah pemandangan itu, seorang ibu yang menampar berkali-kali putri satu-satunya.
“Kalian harus segera menikah, Mar,” Paklek membuka suara.
“Ndak, Pri! Opo kowe ora krungu! Weton mereka Pahing-Wage, ndak boleh nikah!” Marzukoh berteriak.
“Astaghfirullah, Mbak! Mbok sudah jangan percaya begituan lagi, itu cuma mitos, Mbak!” sergah Paklek, “lihat aku dan Sainah, ndak kenapa-kenapa kan? Padahal aku anak kaping telu dan Sainah anak pertama. Katanya kalau kami nikah bakal kena sial, tapi ndak tho, Mbak? Semua itu sudah diatur Gusti Allah, Mbak Mar! Biarkan Marini dan Dio menikah kalau Mbak Mar ndak mau nanggung malu!” Paklek menjelaskan panjang lebar.
Marzukoh meludahkan kinangnya sambil mendengus kesal, belum memberikan keputusan. Marini masih menunduk pilu, merutuki nasib diri dan si jabang bayi.
==========
Marini termenung. Nasib dirinya satu minggu terakhir seolah telah mengakhiri hidupnya. Kini seluruh napasnya hanya dipenuhi sesak yang melesak di dada. Langit yang indah membiru seakan hitam kelam baginya.
Dia teringat sebuah quote yang ada di salah satu film yang dibintangi aktor favoritnya. Manusia bisa hidup satu minggu tanpa makanan, tiga hari tanpa air. Tapi, tanpa harapan? Bahkan satu jam saja manusia tak akan bertahan. Dia mengangguk perlahan, membenarkan.
Itulah yang saat ini sedang dialami Marini. Dia tak lagi punya harapan setelah Dio menyatakan vonisnya. Menggugurkan bayi ini atau memeliharanya jika dia laki-laki. Sungguh gila mereka!
Terlebih terhadap ibunya, Marini jelas tidak bisa mengharapkan apa-apa. Tinggal menunggu waktu sang ibu akan menitahkan perintah yang sama, menggugurkan janin yang begitu dicintainya ini.
Sampai kapan pun ibunya tidak akan pernah bisa menerima bayi yang katanya haram jadah ini, juga menerima Dio sebagai menantunya. Semua karena weton.
Marini tak tahu lagi harus kepada siapa mengadu. Tuhan? Dia bahkan sudah lebih dulu merutuk-Nya karena nasib cinta yang berhias rana duka. Padahal, dia dan Dio berniat menyempurnakan separuh agama mereka, tapi kenapa Tuhan justru membuatnya seperti ini? Marini benci sekali. Benci pada Tuhan, benci pada takdir.
Ke mana lagi dia harus membawa diri?
Kepala Marini berdenyar-denyar. Sakit di hatinya sudah menjalar sedemikian dahsyat ke seluruh bagian tubuhnya. Keputusasaannya telah menguasai tiap-tiap sel yang membentuk struktur kehidupan pada dirinya. Maka bergerilyalah mereka, menggerakkan bagian organ paling vital yang ada dalam diri manusia; otak.
Jika bayimu harus mati maka matilah bersamanya, Marini...
Dan itulah yang terjadi. Marini telah gelap mata. Baginya tiada lagi kehidupan. Semua sudah berakhir. Bila tidak ada yang bisa menerima bayi yang ada dalam perutnya ini, maka biarlah dia membawanya pergi. Bersamanya, selamanya.
Diambilnya sebuah silet yang tergeletak di atas meja riasnya. Malam ini semuanya akan berakhir. Pertemuannya dengan Dio sore tadi juga adalah yang terakhir. Ya, Marini telah memutuskan. Mantap dipegangnya silet itu dengan jari jemari tangan kanannya yang kurus.
Tangan kirinya sudah ia tengadahkan, siap untuk menerima jilatan silet yang terlihat berkilau diterpa sorot cahaya lampu kamarnya. Didekatkannya silet itu perlahan namun pasti, pada urat nadi yang berlekuk biru dibalik kulitnya yang langsat.
Cles!
Darah segar mengalir membasahi celana yang dikenakannya. Marini merasakan nyeri luar biasa di tangan yang segera merambat ke sekujur tubuhnya. Masih setengah sadar, dia mulai merasa lemas dan kesemutan yang tiba-tiba menjalar, disusul dingin yang menyergapnya. Kepalanya sakit sekali karena transfer darah ke otak berkurang drastis.
Namun, di antara semua rasa sakit yang menikam itu, Marini tersenyum lega. Ada satu perasaan yang menyelusup di dadanya, mengusir segala sesak. Ya, Marini kembali bisa merasakan rasa yang akhir-akhir ini telah terenggut darinya. Kebahagiaan.
Bersambung #6
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Senin, 02 November 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel