Cerita Bersambung
Dio belum juga memejamkan mata. Entah kenapa hatinya tak tenang, keresahan mengusik sanubarinya. Wajah Marini yang penuh lebam masih menghantui pikiran pemuda ini. Apa gerangan yang terjadi pada Marini?
Tuhan, jaga dia dan bayiku, batinnya memanjatkan doa. Mau bagaimana pun, Dio tidak bisa untuk tidak memedulikan Marini. Sampai saat ini dia masih jadi kekasih hatinya, terlebih dengan apa yang tengah dikandung gadis itu. Bayinya, calon pewaris keluarga Sasmito Hadiningrat kata Mami, dan anak haram jadah kata Marzukoh.
Entah angin apa yang terus mengganggu Dio, tapi dia sangat ingin bertemu Marini malam ini juga. Dio ingin membawanya pergi sejauh mungkin dari belenggu yang mengekang mereka, hidup berdua meski harus berpisah dari keluarga masing-masing.
Rasa tak enak yang semakin kuat itu membuat Dio mantap dengan ide ngawurnya barusan. Ya, dia akan segera membawa Marini pergi!
Mengendap-ngendap, Dio segera menuju garasi untuk mengeluarkan mobilnya. Pak Harno satpam rumahnya tengah tertidur pulas, suatu kebetulan yang menguntungkan. Dia pun segera tancap gas untuk menjemput Marini. Apa yang akan terjadi di depan nanti, itu urusan nanti. Yang penting sekarang dia bisa bebas pergi.
Berhentilah Pajero Sport putih itu di pelataran rumah Marini yang sederhana. Semalam ini, lampu rumah sudah dipadamkan. Kampung tempat Marini tinggal pun sudah sepi, hanya dua tiga orang yang terlihat sedang berkumpul di pos ronda sambil asik menyeduh kopi.
Melihat mobil mewah dan gelagat mencurigakan Dio di teras rumah, ketiga orang itu menghampirinya tanpa pikir panjang lagi.
“Heh! Siapa kamu? Bukan orang sini, ya? Mau apa malam-malam begini datang ke rumah ini?” tanya salah satu dari mereka.
Dio menjawab tenang, “Saya teman Marini, Pak. Saya mau ketemu dia, ada yang penting. Saya sama sekali enggak ada maksud jahat, bapak-bapak sekalian. Jadi silahkan, bapak-bapak bisa melanjutkan tugas.”
“Tapi ini sudah malam, Mas! Mertamu kan, bisa besok. Lagi pula yang mau Mas tamuin itu perempuan, anak gadis. Enggak baik Mas, nanti timbul fitnah.” Dio terdiam. Otaknya yang semrawut tidak membuatnya memikirkan hambatan yang dapat terjadi semacam ini.
“Tapi, Pak. Saya sudah jauh-jauh ke sini. Saya mau ketemu Marini sebentar saja. Cuma sebentar, ini penting ...”
Kata-kata Dio terpotong oleh sebuah jerit histeris yang berasal dari dalam rumah Marini.
“Astaghfirullah! Marini, Nduk! Gusti Allaaaahh, apa ini? Tolooong, tolooong!”
Lolongan itu disusul oleh gerakan pintu yang dibuka dari dalam, lebih tepatnya ditarik paksa. Tergopoh-gopoh dengan rambut yang awut-awutan, Marzukoh keluar dari sana. Dio dan ketiga bapak peronda itu pun refleks mendekatinya.
“Ada apa, Mbak Mar?” tanya salah seorang bapak peronda dengan wajah cemas.
“Marini, Di! Marini!” Marzukoh tersengal di antara isak tangis dan kepanikannya yang luar biasa.
Namun, tangisnya seketika berhenti saat kedua matanya menangkap sosok Dio. Tiba-tiba Marzukoh berteriak lantang, meluapkan seluruh amarahnya pada pemuda di hadapannya itu. Dia bagaikan bom waktu yang sedang meledak.
“Gara-gara kowe, Le! Anak setan, pembawa sial! Delok kae, Marini bunuh diri!”
Dio bagai tersengat aliran listrik ribuan volt. Jantungnya seakan berhenti berdegub, bukan karena makian Marzukoh melainkan karena apa yang baru saja Marzukoh sampaikan.
Segera Dio menghambur ke dalam rumah itu, mencari di mana kekasih hatinya berada. Sampai di depan sebuah pintu kamar yang terbuka lebar, Dio diam tertegun. Darahnya seperti berhenti mengalir menyaksikan pemandangan pilu di depan matanya.
“Ma-rini ...”
==========
Dio tak bisa berlama-lama terpaku di tempatnya, dia harus menolong Marini secepat mungkin. Dihampirinya tubuh yang tak sadarkan diri itu, disentuhnya leher sisi kanan sang kekasih dengan jari telunjuk dan tengahnya. Seketika dia bersyukur dalam hati, jantung Marini masih berdenyut!
Bergegas dia bopong tubuh yang terkulai pucat itu, darah masih merembes dari urat nadi yang dipotongnya. Marini sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi atau ia akan kehabisan darah.
“Sekitar berapa menit rumah sakit yang terdekat dari sini, Pak?” Dio bertanya terburu pada bapak peronda yang terlihat panik.
“Sekitar satu jam kalau dari sini, Mas,” jawabnya.
Dio menggelengkan kepala. Tidak, tidak! Itu waktu yang terlalu lama. Marini tidak akan bertahan selama itu. Dio tahu korban percobaan bunuh diri dengan metode memotong urat nadi tak akan bertahan lebih dari 45 menit.
Itu waktu terlama yang dipunyai korban, sementara dia tak tahu sudah berapa menit Marini memotong urat nadinya. Jerih, Dio berdoa pada Tuhannya, memohon dengan sesungguh-sungguhnya supaya Marini dan kandungannya selamat.
“Oh, bawa ke Puskesmas saja, Mas! Sudah ada UGD-nya di sana, dekat sekitar lima belas menit dari sini. Mas lurus saja ke Utara, tidak usah belak-belok. Nanti ada balai desa, nah Puskesmas pas di sampingnya,” timpal seorang warga.
Tak perlu menunggu lama teras rumah Marini sudah dipenuhi oleh warga yang terbangun karena teriakan minta tolong Marzukoh.
Desa Marini memang salah satu desa Siaga, jadi fasilitas kesehatannya sudah memadai dan memenuhi standar. Puskesmas di desa ini sudah dilengkapi dengan ruang Poned yang melayani persalinan 24 jam, juga Unit Gawat Darurat.
“Ya, ide bagus! Terima kasih, Bu!”
Setengah berlari Dio membawa Marini ke dalam mobilnya, menidurkan dia di jok tengah. Setelah memegang setir dan menghidupkan mesin, sebuah teriakan menghentikan Dio.
“Tunggu! Aku ikut!”
Dari kerumunan, Marzukoh menyeruak setelah sadar dari ketidakpercayaannya atas apa yang sedang terjadi. Dio mengangguk, tidak ada waktu lagi untuk berbasa-basi. Dia bahkan sudah lupa kalau di situ ada seorang wanita yang telah melahirkan kekasihnya. Pikirannya hanya terpusat pada Marini dan si jabang bayi.
Dio segera menginjak pedal gas, mobilnya melaju kencang melewati jalanan berbatu dan asap kabut yang melayang-layang.
Sepanjang jalan Dio terus berdoa, sambil sesekali melirik sosok Marini yang pucat pasi dari kaca spion dalam mobilnya. Hatinya tak karuan, jantungnya berdetak semakin kencang.
“Bertahanlah, Sayang ...” bisiknya lirih.
Bersambung #7
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Selasa, 03 November 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel