Cerita Bersambung
Gerung mobil Dio berhenti di halaman Puskesmas. Segera turun dan membopong Marini, dia berlari masuk ke ruang UGD. Tiga orang petugas yang tengah terkantuk-kantuk langsung kembali siaga dibuatnya.
“Urgent, Mbak! Cepat lakukan pertolongan, akan saya bayar berapa pun!” seru Dio dengan kepanikan yang memenuhi rongga dadanya.
Satu dari tiga orang petugas itu langsung menyediakan bed kosong untuk Marini, sementara dua lainnya segera menyiapkan peralatan medis yang diperlukan untuk menangani kasus tersebut.
“Iya, Pak! Silahkan Bapak dan Ibu menunggu di luar agar kami tidak terganggu,” jawab salah seorang dari mereka seraya menutup tirai pembatas antara kamar dan ruang tunggu.
Dio gelisah bukan main, begitu pula Marzukoh. Mereka duduk saling berjauhan tanpa berkata-kata, seolah sedang sibuk dengan kecemasan dan pikirannya masing-masing. Keringat dingin mulai membasahi kening Dio, tak hentinya dia mondar-mandir ke sana ke mari pertanda betapa gundah hatinya.
Sementara, di dalam kamar berbatas tirai itu, petugas tadi mulai beraksi. Dibersihkannya darah yang terus merembes dengan cairan Nacl. Luka sayatan di pergelangan tangan Marini dibebat tekan menggunakan kasa steril untuk menghentikan perdarahan.
Yang lainnya sibuk memasang infus supaya tubuh tak berdaya itu tidak sampai kehabisan cairan. Pakaian yang menempel di tubuh Marini pun dilonggarkan agar dia bisa leluasa bernafas. Kemudian, tangan yang tersayat itu diposisikan lebih tinggi dari jantung.
“Astaga, dia sedang hamil,” ujar salah seorang petugas setelah melakukan palpasi pada perut Marini untuk memastikan tidak ada luka lain.
Mendengar itu, petugas lainnya bergegas mengambil fetal doppler untuk memeriksa detak jantung janin yang ada dalam rahim Marini.
Segera diolesinya perut Marini menggunakan gel, lalu corong doppler yang menyerupai mic tersebut ditempelkan ke perutnya untuk mencari detak jantung janin.
Kresskk, krsskk...
Detak janin Marini belum juga terdengar. Petugas itu dengan telaten kembali mencari, digeser-gesernya mic doppler tersebut merata ke seluruh bagian perut Marini.
Krssekk, krrssk...
Lagi-lagi hanya bunyi kemeresek yang terdengar.
“Coba sini saya yang periksa! Dari pemeriksaan saya tadi, usia kehamilannya sudah ada sepuluh mingguan, seharusnya sudah bisa terdengar DJJ-nya,” kata salah satu petugas yang melakukan palpasi perut seraya mengambil alih mic doppler dari petugas satunya.
Kressek, kressek ...
Suara itu perlahan mulai lirih terdengar, berganti dengan bunyi yang menunjukkan adanya kuasa Tuhan.
Dug, dug, dug ...
Meski lemah sekali kedengarannya, tapi makhluk kecil di rahim Marini berhasil selamat dari maut. Ketiga orang petugas itu saling pandang, lantas tersenyum penuh syukur. Marini selamat, hanya harus dilakukan perawatan intensif untuk memulihkan kondisi tubuh dan psikologisnya.
Salah seorang petugas itu lalu keluar dari kamar, menuju ruang tunggu tempat di mana Dio merasakan kegelisahan yang teramat sangat.
“Pak, Bu ...” sapanya, “Istri Bapak sudah kami tangani. Untung saja dia segera dibawa ke sini. Terlambat sedikit saja kemungkinan kecil mereka selamat,” terangnya kemudian.
“Mereka?” Dio refleks bertanya.
“Iya. Istri dan bayi Bapak, dua-duanya selamat. Atas kuasa Tuhan,” jawab petugas tersebut sembari tersenyum.
Dio tersungkur, lebih tepatnya menjatuhkan dirinya mencium lantai UGD Puskesmas. Penuh haru, dalam sujudnya dia panjatkan beribu syukur pada Sang Penggenggam Nyawa.
==========
Dio langsung masuk ke dalam kamar bertirai itu, diikuti Marzukoh. Dia tak sabar ingin melihat keadaan Marini, ingin memeluknya agar tubuh dingin itu mendapatkan kehangatan.
“Istri Bapak cuma butuh perawatan intensif agar kondisi tubuhnya membaik. Lebih penting lagi, jagalah kondisi psikologisnya, Pak. Istri yang sedang hamil harus terus dalam keadaan bahagia agar tidak stres. Karena bila si ibu stres, maka yang di perut pun akan mengalami stres janin,” terang salah seorang petugas.
Dio menganggukkan kepala, meski dalam hati perih sekali karena daritadi si petugas mengatakan bahwa Marini adalah istrinya. Andai itu benar, batinnya sembari menghela napas panjang.
“Baiklah, biarkan pasien berisitirahat dulu, Pak, Bu. Silakan Bapak bisa mengurus administrasinya,” lanjutnya kemudian.
Dio melangkah gontai mengikuti petugas tadi untuk mengurus administrasi. Pikirannya lega bercampur bingung, langkah apalagi yang selanjutnya akan dia lakukan.
Di dalam kamar, Marzukoh menatap nanar putri semata wayangnya itu. Dibelainya rambut Marini, dipandangi lekat-lekat wajah anak gadisnya yang menanggung rana karena cinta. Ya, Marzukoh bisa merasakannya.
Tiba-tiba rasa bersalah menyergapnya, mengingat kemarin dia menghajar Marini habis-habisan. Pasti anaknya itu kehilangan harapan karenanya sehingga memutuskan untuk mengakhiri hidup. Marzukoh tercenung untuk beberapa saat.
Tak dinyana, kejadian nekad Marini itu rupa-rupanya membuka sedikit demi sedikit pintu hati Marzukoh. Biar bagaimanapun, dia tetap seorang ibu yang menginginkan kebahagiaan untuk anaknya. Seharusnya dia bisa melunakkan sikap kolotnya melihat kegigihan Marini dan Dio memperjuangkan cinta mereka.
Dan, hati itu kini benar-benar telah lunak. Biarlah dua anak itu merasakan indahnya cinta tanpa terbebani mitos atau pun weton. Biarlah, dia mendesah. Setelah ini dia akan berbicara dengan Dio, memberikan restunya pada mereka berdua.
“Cepatlah menikah sebelum kandungan Marini semakin besar. Kasihan dia akan jadi bahan ejekan orang-orang. Sudah cukup aku membuatnya terluka,” ucap Marzukoh saat Dio sudah kembali.
Dio tertegun, sedetik dua terdiam untuk memastikan bahwa telinganya tidak salah dengar.
“Ya, aku sudah merestui kalian berdua. Menikahlah, bahagiakan Marini.” Marzukoh seperti bisa membaca apa yang dipikirkan Dio.
Dio terperangah. Rasanya campur aduk menjadi satu, antara bahagia, bingung serta tidak percaya keajaiban ini bisa terjadi.
“Y-a, ya! Saya pasti akan bahagiakan Marini. Terima kasih, Bu!” ucapnya terbata, sembari menciumi tangan Marzukoh. Kebahagiaan itu membuncah luar biasa.
Dia segera bangkit dan menyambar kunci mobilnya. “Saya pulang dulu sebentar untuk mengurus segala sesuatunya, Bu. Saya akan menikahi Marini segera setelah dia sadar. Tolong jaga Marini,” ucapnya, lantas menyempatkan diri mengecup kening Marini yang masih terpejam.
Kini, tugasnya tinggal meyakinkan hati sang mami.
Bersambung #8
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Rabu, 04 November 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel