Certia Bersambung
Sang surya mulai menyemburatkan warna jingganya ketika Dio memasuki halaman rumah berpagar tinggi itu. Pak Harno sudah siap siaga, geliat kesibukan sudah mulai terlihat di sana. Mang Asep, si tukang kebun juga sudah sibuk memotong rumput. Dari luar, Mbok Darmi terlihat asik mengelap kaca jendela rumah yang mewah.
Bergegas Dio masuk ke dalam rumahnya, menemui sosok yang dia cari. Mami. Seperti biasa, sepagi ini Mami selalu menghabiskan waktu di gazebo lantai dua favoritnya, menanti matahari terbit sembari membaca majalah ditemani secangkir wedang jahe.
“Dari mana saja kamu?” tanya Mami tanpa mengangkat wajahnya dari majalah yang sedang dia baca.
“Puskesmas. Mi, Dio akan menikahi Marini,” tutur Dio tanpa basa-basi.
Mami yang masih mengenakan kimono tidurnya seketika mendongak. Wajahnya yang sangat mulus meski di usia yang tak lagi muda, tampak begitu serius.
“Bayinya laki-laki?” timpal Mami.
Dio terdiam, menelan ludah. Dia belum tahu, namun terlintas niatnya untuk berbohong.
“Iya, bayinya laki-laki,” jawabnya dengan menatap mantap wajah sang mami.
Mami mengernyit. Alisnya yang sempurna hasil kreatifitas dokter kecantikan itu terangkat, pertanda dia tidak percaya.
“Baiklah, kami memang belum sempat USG,” Dio menyerah. Seperti biasa, dia tidak akan bisa membohongi maminya.
“Mi, Marini mencoba bunuh diri, untung saja dia dan bayiku masih selamat. Dan ... ibunya sudah merestui kami. Dio harap Mami ngerti, Mi. Terlepas dari apa pun jenis kelamin bayi itu nanti, dia tetap darah daging Dio. Ijinkan kami menikah,” terang Dio dengan wajah memelas.
Dari kecil Dio memang tidak pernah berhasil membohongi orangtuanya. Papi mendidik dia dengan sangat baik, begitu pula Mami. Gelar raden dan roro yang tersemat di depan nama orangtuanya membuat Dio juga harus berperilaku layaknya seorang priyayi, keturunan ningrat Jawa.
Semua unggah-ungguh diajarkan oleh mereka, tata krama, tata bicara, hingga table manner. Karena itulah Mami kecewa sekali dengan Arman yang kebablas bebas di Amerika sana. Dia merasa telah gagal mendidik anak pertamanya itu.
“Hmm ...” Mami terlihat berpikir keras. “Pernikahan, ya? Dio, itu masih sangat jauh. Mami ingin kamu benar-benar matang dulu sampai bisa membawa bisnis keluarga kita lebih maju. Menikah itu urusan nanti, Nak. Lagi pula Mami mengijinkan kamu menikah setelah Marini lahiran, setidaknya setelah pasti jenis kelamin bayimu apa.”
“Astaga!” Dio berseloroh lemas sebelum akhirnya nekat memutuskan ide sinting di kepalanya, “Ya sudah, terserah Mami saja! Dio tidak butuh restu Mami, toh Dio laki-laki, tidak membutuhkan wali untuk menikah. Mi, Dio tetap akan menikah dengan Marini. Dio tidak mau Marini menanggung malu seorang diri. Setelah itu terserah Mami, Mami mau apakan Dio, silakan!”
Tanpa aba-aba, Dio segera berlalu dari hadapan maminya. Setengah berlari, dia menuruni tangga-tangga yang disusun dari bebatuan koral import itu. Mami terperangah, tidak percaya pada apa yang diucapkan anak kesayangannya baru saja.
“Sial!” umpatnya. “Kenapa si Marini itu bisa membuat anakku jadi gila begitu?” dengusnya kesal.
==========
Dio segera berkemas, membawa apa yang dia perlukan seadanya. Keputusannya sudah bulat, dia akan menikahi Marini setelah kekasihnya itu siuman. Tak apa meski harus nikah siri dulu, urusan nikah resmi nanti belakangan.
Yang penting, dia dan Marini sudah sah menjadi sepasang suami istri. Setelahnya, Dio akan membawa Marini pergi jauh dari kehidupan keluarga mereka masing-masing, meski dia belum menentukan tujuan.
“Dio, jangan bertindak nekat kamu!” Mami masuk ke kamar putranya tanpa permisi.
“Nekat apalagi sih, Mi?” jawab Dio tanpa menoleh.
“Tidak ada pernikahan Mami bilang! Keluarga kita butuh kamu, Dio! Kamu ujung tombak semua bisnis Papi dan Mami, kamu tidak boleh pergi!”
“Mi, Dio sudah besar, Dio berhak mengambil keputusan. Dio mencintai Marini, dia sedang mengandung anak Dio, Mi! Tolong dong, Mi ...”
Keduanya lalu sama-sama diam, sibuk menyelami pikiran satu sama lain. Mami akhirnya mendekat, duduk di samping putranya yang tampak kelelahan itu.
“Mami juga menyukai Marini, kan? Lalu, apa salahnya, Mi? Tolonglah ...” Dio berkata lirih, “sekalipun bayi itu perempuan, Dio janji akan mendidik dia sebaik mungkin, membuat dia pantas mewarisi semuanya seperti yang Mami harapkan,” lanjutnya.
Mami termenung sejenak, sebelum dia mengambil napas panjang dan menceritakan sebuah kisah yang membuat Dio tercengang.
“Dio, apa kamu pernah sadar kalau saudara-saudara dari papimu semuanya laki-laki?” Mami memulai pembicaraan. “Dan kamu ... juga hanya punya seorang kakak laki-laki, kan?” katanya kemudian.
“Ya, Dio tahu itu. Lalu, apa salahnya dengan itu semua?” tanya Dio penasaran.
“Dio, dalam keluarga Sasmito Hadiningrat, perempuan tidak ada artinya,” jawab Mami tegas, “Kakek buyutmu yang menerapkan hal itu turun-temurun sampai sekarang. Mami dan Papimu ini dijodohkan, kakek buyutmu itu selektif sekali dalam memilih perempuan yang pantas masuk ke keluarga besar. Harus sama-sama keturunan ningrat, ayu, dan cerdas.” Mami menyeruput wedang jahenya sedikit.
“Bagi kakek buyutmu, perempuan dari kalangan biasa hanyalah pemuas nafsu semata. Jangan heran kalau selirnya banyak. Dan, dia sama sekali tidak menghendaki adanya keturunan perempuan dalam keluarga ini apalagi sampai mewarisi seluruh kekayaannya.
Terserah kamu mau percaya atau tidak, tapi keturunan perempuan dalam keluarga ini tidak akan berumur lama. Semuanya meninggal saat mereka masih anak-anak. Sebut saja kakakmu. Kamu bahkan tidak tahu tho, kalau kamu punya kakak perempuan? Papi menyuruh Mami merahasiakannya darimu.
Saat Arman berumur tiga tahun, Mami hamil lagi. Papimu senang sekali, dia berharap bayi itu laki-laki lagi. Namun, Mami tidak. Mami ingin sekali punya anak perempuan yang cantik dan lucu. Papimu marah besar, bilang kalau anak perempuan itu tidak akan diterima di keluarga ini.
Ternyata Tuhan berpihak pada Mami, bayi itu perempuan. Papimu kecewa berat, Mbah Kakungmu juga. Akhir yang tragis, baru satu tahun dia bersama kami, penyakit aneh membuat dia meninggal.” Mami menghela napas, kesedihan tampak bergelayut di wajahnya.
Dio mendengarkan dengan saksama, dia baru tahu bahwa ternyata keluarga kakek buyut dari papinya masih sangat berpikiran kuno.
“Dio ... mereka, me-reka semua bilang keturunan perempuan dari keluarga ini meninggal karena digunakan sebagai ...”
“Sebagai apa, Mi?” Dio menyela tak sabar.
“Tumbal pesugihan kakek buyutmu,” Mami menjawab tenang.
Bersambung #9
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Kamis, 05 November 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel