Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 06 November 2020

Kekang #9

Cerita Bersambung

Dio tertawa sampai terpingkal mendengar penuturan Mami barusan.

“Dan Mami percaya semuanya, Mi? Berarti Mami tidak ada bedanya dengan ibunya Marini yang Mami bilang kolot itu?” Dia tertawa lagi.

Mami memasang wajah mengkal mendengar tudingan Dio.

“Hei, dengarkan Mami dulu! Mami belum selesai bicara, Dio!” katanya kemudian, “justru Mami tidak percaya semua itu. Bagi Mami ya, itu urusan kakek buyutmu, Mami tidak mau tahu. Tapi, kenyataannya memang seperti itu, Dio. Kamu lihat sendiri, kan, sekarang tidak ada satu orang pun perempuan yang murni keturunan kakek buyut dalam keluarga papimu. Orang dulu memang penuh dengan skandal klenik semacam itu.”
“Ya, sudah! Selesai masalahnya kan, Mi? Toh, Mami juga tidak percaya, kan? Jadi tidak ada masalahnya dong, kalau nanti bayi Dio perempuan.
Justru dengan itu Dio akan mematahkan anggapan keluarga kita soal pesugihan kakek buyut. Dio akan buat dia jadi pewaris perempuan pertama dalam keluarga kita,” timpal Dio bersemangat.

Mami menghembuskan napas, mulai kesal tampaknya berbicara dengan putranya yang bebal ini.

“Begini, Dio. Terlepas dari kebenaran itu semua, yang Mami pegang cuma wasiat papimu. Dan yang papimu inginkan adalah anak lelaki dari darah anak lelakinya, yang akan menjadi pewaris.”
“Sudahlah Mi, Dio tidak peduli dengan itu semua. Keputusan Dio sudah bulat,” desah Dio.

Mami akhirnya menyerah. Sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah anaknya yang sedang dimabuk cinta ini, dia berkata, “Ya sudahlah! Kalau Marini sudah siuman, bawa dia ke sini. Menikahlah di rumah ini, nikah resmi. Mami akan adakan resepsi besar untuk kalian. Yah, semoga bayimu laki-laki, dan jika perempuan, semoga dia tumbuh sehat sampai dewasa.”

Dio terlonjak mendengar ucapan maminya, setengah tak percaya. Dia merasa ini semua seperti mimpi yang benar-benar indah. Doanya didengar yang Maha Kuasa.

“A-apa? Mami serius?” tanyanya dengan ekspresi wajah yang tidak bisa digambarkan.
“Hm,” Mami menjawab singkat, sebelum dia melanjutkan kata-katanya, “tapi ingat! Mami tidak mau lagi bermasalah dengan ibunya yang kolot itu. Pastikan semua yang mengatur acara dari pihak kita!”
Dio mengangguk cepat, “Pasti, Mi! Dio jamin!” jawabnya sembari mengepalkan tangan ke langit-langit dan melompat-lompat kegirangan seperti bocah.

Mami hanya tersenyum melihat tingkahnya, kemudian berlalu sambil menepuk bahu Dio, “Kamu sudah besar, Dio. Benar, kamu bebas menentukan pilihan. Seharusnya Mami berterima kasih karena selama ini kamu sudah menjadi anak yang baik dan selalu menuruti apa kata Mami. Kini saatnya Mami mencoba mendengarkanmu.”
Wajah Dio bersemu. Dipeluknya wanita yang telah mendidik dan membesarkannya seorang diri itu, “Terima kasih, Mi!” katanya penuh haru.

Hari ini seolah berjalan sempurna bagi Dio. Dewi Fortuna sedang berpihak padanya, kebahagiaan akhirnya bisa dia rasakan setelah semalam dilanda kecemasan yang begitu dahsyat.

Kini, saatnya dia kembali ke Puskesmas untuk menjemput kekasih hatinya. Mengabarkan bahwa sebentar lagi gerbang kehidupan baru akan dapat mereka buka bersama-sama, dengan restu orangtua. Marininya, calon istrinya.

==========

Dio bergegas mandi, sarapan, dan menuju garasi mobilnya. Dia sudah tidak sabar menyampaikan berita ini pada Marini. Semoga dia sudah sadar, Dio berdoa dalam hati.
Tak disangka, upaya percobaan bunuh diri Marini ada hikmahnya. Rencana dan keinginan yang selama ini terkekang oleh restu Marzukoh dan Mami, kini tinggal pelaksanaannya saja. Kekang itu pudar sudah.

Sepanjang perjalanan Dio seperti orang gila, senyum-senyum sendiri. Lagu-lagu bernuansa romance yang memenuhi seisi mobilnya menambah keriangan hati. Bibirnya terus bergerak mengikuti lirik lagu yang tiba-tiba saja menjadi favoritnya.

Baby, i’m dancing in the dark with you beetwen my arms, barefoot on the grass, listening to our favorite song ... you look perfect tonight ...

Sembari membayangkan betapa anggunnya Marini mengenakan gaun pernikahan, lalu mereka berdansa di sebuah ballroom yang mewah nan romantis. Tangan mereka akan saling menggamit, bergandengan dan melempar senyum mesra satu sama lain sehingga membuat semua yang hadir menatap iri. Ah, Dio tak sabar lagi!

Satu kilometer lagi, hatinya tak karuan, segala rasa campur aduk seperti hendak meledak. Ini lebih dahsyat dari saat dulu dia hendak mengungkapkan perasaannya pada Marini untuk pertama kali. Jantungnya berjedag-jedug seperti ada yang menabuh genderang perang di sana. Bahagia tiada terkira.

Namun, seketika kebahagiaan yang beberapa jam terakhir ini menguasai hatinya, tiba-tiba menguar perlahan saat dia sampai di halaman Puskesmas. Hari ini memang Senin, sudah sepantasnya fasilitas pelayanan kesehatan umum semacam itu akan ramai.

Tapi, ini berbeda. Puskesmas memang ramai, namun bukannya ramai oleh orang-orang yang mau periksa, melainkan ramai sekali oleh warga yang berbondong-bondong dan hiruk pikuk berteriak. Mereka semua berbondong-bondong untuk memadamkan api.
Ya, Puskesmas desa ini dilalap si jago merah! Entah sejak kapan, tapi api sudah terlihat membumbung tinggi. Dio bisa mendengar bunyi berkeletekan api yang buas melahap apa saja yang dia temui. Belum ada petugas pemadam kebakaran, mungkin masih dalam perjalanan. Sementara warga sudah mulai kewalahan mengatasi api yang justru terus bertambah ganas.

Lutut Dio seketika lemas. Butuh satu menit baginya untuk menyadari benar situasi yang sedang terjadi. Terlebih untuk menerima kenyataan bahwa kekasih hatinya masih ada di dalam tempat kejadian.

Segera ia keluar, memburu kerumunan petugas Puskesmas yang sedang sibuk mengevakuasi dan memberi pertolongan pada pasien. Dio berharap dapat menemukan sosok Marini di sana.

“Kenapa bisa kebakaran begini, Bu?” tanyanya panik.
“Iya, Pak. Terjadi korsleting listrik di ruang UGD. Kami semua terlambat menyadari hingga sampai merembet separah ini,” jawab salah seorang petugas sambil terus melakukan pertolongan.
“A-apa? Ruang UGD?” Dio merasa dirinya berteriak, padahal hanya suara lirihnya yang keluar.
“La-lu, bagaimana pasien yang ada di ruang UGD? Di mana mereka sekarang?” Dio semakin panik.
“Kami tidak berhasil mengevakuasi mereka semua, Pak. Api sudah melalap habis UGD.”

Bersambung #10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER