Cerita bersambung
Dio terperangah tak percaya mendengar informasi itu. Tubuhnya mendadak terasa kaku dan mati rasa, tak tahu harus berbuat apa. Bunga-bunga di hatinya sirna tak bersisa. Kabar baik itu, restu Marzukoh dan Mami, rencana pernikahan akhirnya benar-benar hanya menjadi impian.
Dio ingin sekali berteriak. Luapan emosi yang beradu satu itu ingin dia tumpahkan pada Tuhan. Kepedihan hati dan marahnya membuat dia hampir gila. Takdir macam apa ini? Apakah dirinya begitu hina sampai Tuhan tega mempermainkan dia untuk sekedar menggapai kebahagiaan?
Tidak! Dio membatin. Dia tidak akan membiarkan Marini mati merana di dalam sana, sementara dirinya hanya mampu terpaku menatap si jago merah di luar sini. Tidak ada yang tahu apakah kekasih hatinya itu masih hidup atau benar sudah meninggal jika tidak ada yang memeriksanya.
Jika saat ini Marini masih bertahan, maka Dio akan menyesal seumur hidup karena membiarkan kekasihnya itu mati terpanggang api. Kalaupun benar sudah meninggal, setidaknya dia akan membawa jasadnya keluar agar tidak hangus menjadi abu.
“Dio! Le, ya Alloh, Le ...” Sebuah suara parau yang disertai isak tangis menyadarkan Dio dari keterpakuannya.
“Ibu! Alhamdulillah Ibu selamat!” Dio segera berlari mendekati si pemilik suara, yang lagi-lagi hampir dilupakan keberadaannya. Marzukoh.
Wanita paruh baya itu tampak sangat kepayahan. Baru semalam dia mendapati putrinya nyaris tidak selamat, hari ini justru kenyataan tersebut benar-benar menghampirinya.
“Aku sedang beli sarapan di luar,” kata Marzukoh dengan tatapan kosong, “Marini di kamar sendirian. Pasien UGD cuma ada dua orang, Le.” Marzukoh menunduk, menyeka air matanya.
“Kejadian itu tiba-tiba sekali. Aku lari sekencang mungkin untuk menyelamatkan Marini, tapi ditahan sama orang banyak ini. Katanya bahaya sekali, di dalam api sudah besar.”
Dio menelan ludah. Bisa dia bayangkan bagaimana reaksi Marini yang sedang tertidur pulas saat panas menyergapnya. Dan ketika dia membuka mata, api merah itu sudah mengerubunginya dengan nyala yang buas.
Lalu ... cukup! Dio tak bisa lagi membayangkannya. Dia ikut menunduk, menyesali kenapa harus berlama-lama di rumah. Andai dia datang lebih cepat, mungkin Marini akan selamat.
“Yang kutakutkan terjadi, Le ...” Marzukoh berujar lirih.
“A-apa, Bu?” Dio menjawab sama lirihnya.
“Da-dari awal aku sudah bilang tho, Le?”
Kini Marzukoh mengangkat wajahnya, lurus menatap tepat ke manik mata Dio.
“Kalian ndak bisa bersatu. Akhirnya benar, tho? Bahkan sebelum pernikahan, salah satu dari kalian sudah mati dulu. Weton kalian ndak bisa ditentang.”
==========
Dio terdiam. Apa yang dikatakan Marzukoh barusan seperti dengung lebah di telinga yang membuat dirinya limbung. Belum bisa dia menerima kenyataan bahwa Marini tengah terpanggang di ruang UGD, sang ibu sudah menambahkan bumbu-bumbu baru.
“Bu, tolonglah ...” Dio bersuara parau. “Jangan dikait-kaitkan ini dengan weton lagi. Semuanya tidak ben-“
“Ndak benar kamu bilang?” Belum selesai Dio berucap, Marzukoh sudah memotongnya lebih dulu. Kali ini tidak dengan suara lirih tapi membentak.
“Dulu bapaknya Marini tewas ketabrak kereta! Kamu tahu karena apa? Karena weton! Sekarang, anakku satu-satunya juga tewas dimakan api karena kalian berdua ngeyel! Kurang bukti apalagi?” raungnya.
Dio mendesah. Pikiran jernihnya sekarang justru dipenuhi keragu-raguan. Apa benar semua ini terjadi karena weton?
“Tidak, Bu! Saya akan pastikan Marini selamat!”
Segera setelah kesadarannya kembali, keberanian itu tiba-tiba seperti tertancap di dadanya. Dia harus menyelamatkan Marini seperti tadi malam. Setidaknya, dia harus memeriksa kekasih hatinya itu.
Dalam sekelebatan mata, Dio menghambur menerobos warga yang berlomba menuangkan ember-ember air untuk memadamkan nyala api. Tanpa ragu sedikit pun, Dio merangsek masuk ke ruang UGD yang bahkan dari luar sudah tampak merah keseluruhan. Tinggal bagian terasnya saja yang tersisa.
Demi melihat pemandangan tersebut, orang-orang serentak memekik dan berteriak-teriak.
“Ya Alloh! Apa yang dilakukan anak itu!”
Di tengah hingar bingar dan kebingungan, tim pemadam kebakaran tiba. Sirine mobilnya sudah terdengar dekat. Warga sedikit bisa bernafas lega.
Sesampainya di halaman Puskesmas, dua belas orang dengan seragam oranye turun satu persatu. Sebagian dari mereka memasang kanal untuk mencegah terjadinya rambatan api, sebagiannya lagi mulai menyemprotkan gas karbondioksida untuk memadamkan api yang sudah demikian besar.
Karbondioksida efektif digunakan untuk memadamkan kebakaran pada kelas B dan C. Kelas B adalah kebakaran yang melalap kain, kayu, dan kertas. Sedangkan kelas C merupakan kebakaran yang disebabkan karena percikan api, seperti gas, bahan kimia, dan listrik.
“Apa masih ada orang di dalam?” Salah satu dari petugas bertanya pada siapa saja.
“Ada, Pak! Di sana! Barusan ada anak muda yang masuk ke ruangan itu!” jawab salah seorang warga sembari menunjuk ruang UGD.
Petugas yang sepertinya pemimpin keduabelas orang tersebut segera memerintahkan pada tiga orang rekannya untuk menyemprotkan air seintensif mungkin ke ruang UGD.
Bersamaan dengan itulah mereka melihat sosok tubuh berjalan terhuyung-huyung keluar dari sana. Dio, seorang diri dengan kesadaran yang masih tersisa dan tubuh penuh luka bakar perlahan mendekati salah seorang petugas pemadam.
“Tolong ...” Dia terbatuk. “Selamatkan calon istri saya, Pak ...” Dan ambruk. Petugas Puskesmas segera berlari untuk memberi pertolongan pertama.
Akhirnya, setelah lebih kurang satu jam, nyala api di UGD mulai menjinak. Di bagian Puskesmas yang lain malah sudah padam. Petugas pemadam bergegas masuk ke dalam UGD untuk mencari korban yang tertinggal.
Tidak menunggu lama, para petugas itu membawa dua sosok tubuh keluar dengan menggunakan tandu. Entah siapa mereka, keadaan kedua korban itu sudah gosong menghitam hingga nyaris tak bisa dikenali.
Marzukoh jatuh pingsan.
Bersambung #11
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Sabtu, 07 November 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel