Cerita bersambung
Dio segera dilarikan ke rumah sakit, sementara Marzukoh yang syok masih setengah terjaga. Mulutnya menceracau menyebut nama Marini.
“Ma-rini ... nduu-k ...”
Petugas segera melakukan penanganan terhadapnya, pertolongan pertama pada pasien yang mengalami syok seperti itu.
Begitu pula di rumah sakit, Dio segera mendapat pertolongan. Dia mengalami luka bakar derajat dua mencapai tiga puluh persen, yang mencakup kedua lengannya dan anggota tubuh bagian depan. Korban dengan luka bakar seperti ini harus segera ditangani dengan pemenuhan cairan agar tidak terjadi syok atau renjatan.
Di depan rumah sakit, sebuah mobil Mercedes Benz berhenti mulus di pelataran parkir yang luas. Penumpangnya turun dari jok belakang, seorang wanita paruh baya yang cantik, lengkap dengan pakaian rapinya.
Dia kemudian berlari kecil menuju UGD, tempat Dio sedang dilakukan penanganan. Wanita itu tak lain adalah Mami yang rela meninggalkan meeting pentingnya saat mendengar kabar dari petugas rumah sakit.
“Sus, pasien atas nama Dio Reksa Hadiningrat, masih di sini kan? Bagaimana keadaannya?” tanya Mami memburu kepada salah seorang perawat di ruang UGD.
“Oh, Raden Dio Reksa Hadiningrat, korban kebakaran ya, Bu? Maaf, Ibu siapanya?”
“Saya ibunya, Sus! Bagaimana keadaan dia sekarang?” Mami menjawab kesal.
“Putra Ibu masih di sini, Bu. Dokter sedang menanganinya, setelah itu baru bisa dipindah ke kamar rawat inap. Silakan Ibu menunggu sebentar,” jawab perawat itu sopan.
“Sus, bilang pada dokternya, lakukan yang terbaik buat anak saya! Saya enggak mau dia sampai kenapa-napa, saya bayar berapa pun!”
“Iya, Ibu tenang saja, pelayanan kami selalu maksimal.”
Mami mendesah. Kabar ini mendadak sekali. Anaknya masuk rumah sakit, apa yang terjadi? Mami menyangka Dio mengalami kecelakaan mobil, alih-alih menjadi korban kebakaran di Puskesmas.
Mendengar kata Puskesmas disebut-sebut, dia langsung teringat percakapannya tadi pagi dengan putranya itu. Tentang Marini yang mencoba bunuh diri sehingga harus dirawat di sana.
“Ah, semuanya karena gadis itu. Pembawa sial!” selorohnya.
Sementara, di tempat kejadian perkara, kedua korban yang hangus telah dimasukkan ke kantong mayat. Keduanya akan dibawa juga ke rumah sakit untuk dilakukan autopsi, siapa tahu masih dapat diketahui siapa kedua korban ini.
Marzukoh yang masih lemas dan melihat putri semata wayangnya dibungkus kantong mayat sedemikian rupa, mendadak terisak.
“Jangan, Pak. Jangan dibawa ke rumah sakit anak saya itu. Ndak perlu, biar saya bawa pulang dan segera dikuburkan,” katanya lirih.
Petugas itu saling pandang. “Ibu yakin? Kami akan memeriksanya dulu, Bu.”
Marzukoh menggeleng lemah, “Ndak usah, Pak. Kasihan dia, biar dia segera tenang di sana, ndak usah ditunda-tunda begitu.”
Akhirnya, Marzukoh pun pulang diantar ambulance Puskesmas yang masih tersisa. Tadi malam dia berangkat bersama Marini yang nyaris mati dengan mobil Dio, kini dia pulang masih bersama Marini juga, namun tinggal jasadnya. Jasad yang gosong.
==========
Rumah Marzukoh seketika ramai oleh warga. Tak hanya melayat, mereka kebanyakan ingin tahu keadaan jasad Marini yang segera menyebar luas beritanya, gosong terbakar dan nyaris tak dikenali.
Hanya Marzukoh yang yakin bahwa jasad itu adalah Marini. Rambut panjangnya masih tersisa, sedangkan pasien satunya adalah seorang remaja tanggung laki-laki korban kecelakaan. Meski keadaannya gosong, Marzukoh masih mampu membedakan mereka.
Jasad Marini kini sedang diurus oleh warga yang biasa mengurus jenazah, mulai dari memandikan, mengafani, menyalatkan, sampai pemakaman. Sementara, Marzukoh masih tersedu-sedan di dalam kamar. Tak ditemuinya pelayat yang berjubel di ruang tamu. Dia masih tidak percaya pada nasib buruk yang menimpa anaknya.
“Sudah, Mbak, yang sabar ya ... yang tabah dan ikhlas biar Marini tenang,” Sainah, adik iparnya mencoba menghibur. Marzukoh tetap bergeming.
Tak lama kemudian, Paklek menyusul masuk untuk memberitahu Marzukoh bahwa jenazah Marini akan segera dishalatkan dan dimakamkan. Marzukoh kembali terisak sampai bahunya berguncang. Dia menyesal sekali, bahkan menganggap kematian Marini adalah kesalahannya. Jika saja dia tidak menentang rencana pernikahan putrinya, tentu saja Marini tidak akan mati mengenaskan begini.
“Sudah, Mbak Mar ...” Paklek membuka suara. Dia tahu betapa mbak yu-nya sedang dirundung pilu.
“Ayo kita antarkan Marini ke tempat istirahatnya yang terakhir, biar dia segera tenang. Jangan ditangisi terus Mbak Mar,” katanya lagi.
Marzukoh bangkit dari ranjangnya, keluar dipapah Sainah. Bersama-sama, mereka menuju musholla yang jaraknya hanya selisih tujuh rumah dari kediamannya. Shalat jenazah itu berlangsung khusyuk, warga pun banyak yang turut menyalatkan.
Tak heran, Marini memang dikenal sosok gadis yang baik dan ramah pada siapa saja. Kebanyakan warga terkejut mendengar insiden nahas yang terjadi padanya, mereka semua tulus bersimpati.
“Kullu nafsin dzaa iqotul maut ...” Pak Ustad mengawali ceramahnya sebelum jenazah diberangkatkan ke pemakaman.
Semua sudah siap, keranda dan ambyang-ambyang bertuliskan kalimat syahadat yang menutupinya, berbau semerbak bunga melati. Di dalamnyalah, terbaring Marini.
“Setiap yang bernyawa pasti akan mati.” Air mata Marzukoh kembali menetes. Ajal adalah suatu kepastian, takdir mubram yang tidak bisa kita ubah ketetapannya. Tidak ada satu makhluk pun yang tahu kapan, di mana, dan bagaimana seseorang akan meninggal.
Semuanya adalah rahasia Alloh yang Maha Agung, sedangkan kita hanya manusia yang terbatas sekali ilmunya. Karena itu, kita tidak boleh sampai mendahului kehendak Alloh, dengan meramalkan kematian misalnya, atau percaya pada hal-hal lain selain kuasa Alloh.”
Mendengar kalimat ini, Marzukoh tertohok. Ada duri yang menusuk ulu hatinya, kekolotannya yang masih dia anggap sebagai penyebab kematian Marini. Air matanya kian menderas.
“Semoga dengan ini, kita semua bisa belajar bahwa kematian kelak akan menjemput kita, semua tinggal menunggu gilirannya saja. Semoga Marini binti Pramono khusnul khotimah, diampuni segala dosa-dosanya, diterima amal ibadahnya, dan keluarga yang ditinggalkan ikhlas menerima.”
Ceramah selesai dilanjutkan doa oleh Pak Ustad. Setelah itu, keranda hijau tersebut diangkat oleh empat orang yang kesemuanya adalah saudara Marzukoh, diberangkatkan ke pemakaman yang tidak begitu jauh.
Liang kubur yang menganga telah siap menjadi tempat Marini bersemayam. Maka itulah yang terjadi. Pada hakikatnya, manusia yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah.
Seluruh warga yang hadir berkaca-kaca, hatinya tergedor melihat pemandangan tersebut. Kepongahan luluh lantak tak bersisa. Memang, kematian adalah pengingat terbaik bagi manusia.
Bersamaan dengan sempurnanya gundukan tanah yang memendam jasad Marini, di tempat lain tepatnya di sebuah ranjang rumah sakit, Dio membuka mata.
Kepalanya begitu pening, badannya terasa sakit sekali. Di antara remang penglihatannya, dia menangkap sosok bayangan seorang gadis yang tengah menungguinya.
“Ma-ri-ni ...”
Bersambung #12
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Minggu, 08 November 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel