Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 09 November 2020

Kekang #12

Cerita bersambung

(Cerita sebelumnya : Marini telah dimakamkan. Dio siuman dan melihat seorang  gadis yang sedang menungguinya).

Kemarin malam, perempuan itu belum tidur. Dia melihat Dio mengendap-endap ke dalam garasi, lalu pergi meninggalkan rumah. Segera disambarnya handphone yang tergeletak sembarangan di ranjang berkelas dunia itu.

“Ikuti mobil Dio, yang Pajero Sport putih. Kabarkan semuanya sama saya, saya bayar mahal!” desisnya penuh ancaman.
“Siap, Ndoro!” Seseorang di seberang menjawab tegas. Perempuan berwajah mulus itu tersenyum puas.
***

“Tante, Dio siuman!” Gadis itu segera mengabari Mami yang sedang duduk di luar kamar.
“Iya, tolong panggilkan dokter, Sayang. Tante sedang menelpon kolega,” jawabnya.

Gadis itu memencet tombol yang digunakan untuk memanggil petugas. Tanpa menunggu lama, seorang perawat segera datang ke kamarnya.

“Ada apa, Mbak?” sapanya ramah. “Sus, Dio barusan siuman, tapi cuma sebentar,” ucap si gadis.
“Bagaimana keadaannya, Sus?” Mami menyusul masuk ke dalam kamar.
“Keadaannya sudah agak membaik, Bu. Sebentar lagi dokter akan visit untuk memeriksanya. Ditunggu sebentar ya, Bu. Kalau ada apa-apa silakan panggil kami saja.” Perawat itu meninggalkan ruangan, kembali berjibaku dengan tugasnya.
“Sayang, bisa Tante ngerepotin kamu sebentar? Tante ada urusan penting, kamu di sini sebentar jagain Dio enggak apa-apa, kan? Setidaknya ada orang kalau nanti dia siuman lagi.”

Gadis itu diam sejenak. Ah, ini sungguh akan memperkeruh suasana hatinya. Berdua saja dengan Dio, dari dulu dia tak pernah terbiasa.

“Eemm ... iya Tante, silakan. Aku bakal di sini sampai Tante balik lagi,” ujarnya kikuk.
***

Mercedes Benz itu terparkir di depan sebuah gedung yang tampak seperti gudang. Di dalamnya, sudah menunggu tiga orang lelaki berbadan kekar, tidak ketinggalan pula tatonya. Mereka preman, meski lebih menyerupai body guard karena seragam yang dikenakan.

“Bagaimana ceritanya sampai Puskesmas itu bisa kebakaran? Saya cuma nyuruh kalian menculik gadis yang dibawa Dio! Gara-gara ulah kalian yang enggak becus itu Dio jadi korban kebakaran juga!”

Hening tersisa. Ketiga lelaki berbadan kekar ini hanya diam menunduk, tidak ada yang berani bersuara meski kebakaran itu bukan ulah mereka. Saat sedang melancarkan aksinya pagi itu setelah memastikan Dio tidak ada di sana, tiba-tiba ruang UGD kebakaran. Mereka sungguh tidak terlibat di dalamnya.

“Ah, sudahlah! Yang penting gadis dan anak yang diperutnya itu sekarang sudah mati! Aku tidak pusing lagi.” Perempuan itu tersenyum picik.
“Ndo-ndoro ... se-sebenarnya ...” Salah seorang dari mereka membuka mulut sebelum punggungnya ditepuk oleh salah satu temannya dari belakang.
“Sebenarnya apa?” Perempuan yang dipanggil Ndoro itu memburu.
“Ah, ti-tidak apa-apa. Kami hanya ingin meminta upah, u-pah kami, Ndoro,” selanya buru-buru.
“Dasar tidak tahu malu kalian! Gagal melaksanakan misi dan minta upah terang-terangan! Ini! Pastikan semuanya rapi!” ujar sang Ndoro sembari meletakkan segepok tebal amplop coklat di atas meja, satu-satunya barang yang ada di gudang itu selain ganja.

Kemudian dengan ringan dia berlalu. Kaki jenjangnya melangkah keluar dari gudang itu, meninggalkan ketiga pria yang kini bersorak-sorai gembira. Bayaran mereka mahal sekali untuk misi kali ini, misi menyingkirkan Marini dan si jabang bayi.
Sang Ndoro masuk kembali ke dalam mobil mewahnya dengan anggun.
Dia harus kembali ke rumah sakit untuk menunggui putranya.

==========

(Cerita sebelumnya : Mami membayar orang suruhannya untuk menghabisi Marini di sebuah gudang ganja).

“Sekalipun weton dan ibunya yang kolot itu tidak bisa menghalangi kalian, tapi Mami bisa Dio!” Mami bergumam sendiri sembari lincah memegang kemudi. “Kasihan sekali nasib kalian, Nak. Tapi cinta memang deritanya tiada akhir, bukan?” desisnya picik.

Mobilnya melaju kencang membelah jalanan kota yang tidak begitu padat. Alunan langgam Lingsir Wengi menemani perjalanannya menuju rumah sakit. orang-orang beranggapan bahwa lagu ini penuh dengan kemistisan, tapi tidak bagi Mami. Sebuah film horor yang menggunakan Lingsir Wengi sebagai sarana untuk memanggil kuntilanak-lah penyebabnya.
Padahal, jelas-jelas yang ada dalam film itu adalah tembang macapat Durma yang berjudul Lingsir Wengi. Sedang yang didengarkan Mami sekarang adalah lagu campursari dengan judul yang sama tapi Waljinah yang menyanyikannya.
Keduanya sangat berbeda, dari segi aliran mau pun lirik serta maknanya. Namun, begitulah masyarakat Indonesia, lebih sering memandang sama semuanya berdasarkan satu label saja.

Sementara di rumah sakit dokter sedang memeriksa Dio.

“Bagus, keadaannya sudah membaik. Kondisi Dio sudah stabil, tinggal menunggu luka bakarnya sembuh saja. Saya akan berikan obat yang paling baik untuk mempercepat penyembuhannya,” ujar dokter menerangkan.
“Iya, Dok. Terima kasih.” Si gadis menjawab tenang.

Dalam hati dia bersyukur mendengar keterangan dokter barusan. Itu artinya ... dia akan segera mendapat jawaban.
Dio menggerakkan jari jemarinya lagi. Tak hanya itu, kini matanya berkedut-kedut dan perlahan terbuka.

“A-ir ...” Mulutnya bergerak, menimbulkan suara yang lirih sekali meskipun masih bisa didengar. Si gadis segera mengambilkan apa yang diminta Dio lantas beringsut mendekat dan membantu Dio untuk minum.
“Ma-ri-ni,” ujar Dio yang lebih menyerupai erang kesakitan.
“Di-Dio ... syukurlah kamu sudah sadar. Jangan banyak gerak dulu, kondisimu belum pulih,” jawab si gadis di tengah kebingungannya menanggapi ceracau Dio.
“Di-mana Ma-rini?” erang Dio lagi.

Marini? Siapa Marini? Batin si gadis.

“Emh, kamu masih ingat aku Dio? Kita dulu sering ketemu waktu keluarga besar kita ngadain arisan. Yah, kita sih dulu masih kecil banget. Kelas lima SD, kamu kelas enam. Arisan itu terus jalan, ya? Tapi sayang, SMP aku pindah ke Melbourne, ikut Romo.”

Si gadis bercerita dengan nada yang diceria-ceriakan, berusaha mengalihkan pikiran Dio dari Marini Marini tadi. Padahal sejujurnya dia gugup setengah mati dan tahu bahwa Dio mungkin belum bisa mencerna perkataannya.
***

“Bisnis ini harus terus berjalan, keluarga kita harus bersatu!” Kata-kata yang keluar dari mulut Hanggara seminggu yang lalu itu terngiang-ngiang di telinga Mami.
“Tiga hari lagi Laksmi pulang, dia baru saja menyelesaikan S1-nya di Harvard. Bagaimana dengan putramu, Raden Dio Reksa Hadiningrat yang gagah seperti Arjuna itu?” imbuhnya.
Mami tersenyum. Ini agak berlebihan, pikirnya. “Perjodohan?” ujarnya kemudian.
“Ya! Apalagi? Atau ... kau sudah punya calon menantu?” selidik Hanggara.
“Ah, tidak-tidak,” sergah Mami buru-buru. “Ya, tentu saja kita harus menjodohkan mereka demi kerjasama kita.”
“Hahaha!” Hanggara tertawa. “Asal jangan sampai Laksmi tahu soal bisnis ini. Dia gadis yang berbudi pekerti baik, seperti ibunya. Tentu tidak akan mau menjalankan bisnis ilegal semacam ini, apalagi kalau tahu romonya seorang bandar narkoba terbesar  se-Asia. Bisa kabur dia, hahaha!” Hanggara mengerling.
“Anak-anak kita sama kalau begitu,” jawab Mami dengan senyum mengambang.

Bersambung #13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER