Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 15 November 2020

Masih Adakah Surga Untukku #4

Cerita bersambung

(side a)
Pulang dari belanja, Laila, mak Eti dan mba Susi sibuk di dapur. Mereka akan membuat rendang untuk kedatangan tamu dari Padang. Kata mak Eti yang akan datang adalah mamaknya Tama (adek/abang laki-laki dari ibu). Kalau urusan memasak, Laila sudah memiliki sedikit bekal.

Dulu Laila sering membantu bundonyo memasak di dapur. Apalagi rendang merupakan masakan andalan bagi orang Minang. Daging yang dimasak dengan santan, cabe dan bumbu giling ini, dipanaskan di atas api kompor sampai menjadi kering dan berwarna coklat kehitaman. Sehingga rendang tahan dimakan sampai beberapa hari. Bahkan pada zaman dahulu, orang tua-tua yang memasak rendang di atas tungku kayu, bisa membuat rendang yang tahan hingga berminggu-minggu.

Setelah asyar, mereka selesai memasak beberapa menu. Laila pun kembali ke kamarnya untuk mandi dan beristirahat. Laila membaringkan tubuhnya di atas ranjang seraya memainkan ponselnya. Ada beberapa pesan masuk ke whatsappnya. Dari teman-teman kuliah serta dari uni Feni, uni Lili, uni Rini yang menanyakan kabarnya. Laila membalas satu persatu pesan dari kakak-kakaknya.

Setelah membalas pesan-pesan di whatsappnya, Laila akhirnya tertidur. Entah berapa lama Laila tertidur ketika ia mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Laila bangun dan membuka pintu kamarnya. Mba Susi berdiri di depan kamarnya dengan keranjang pakaian yang telah tersususn rapi.

"Ada apa, Mba?" Laila menyanggul rambutnya secara asal.
"Ini, Uni. Bisa Uni bantu menyusun pakaian Pak Tama di lemari kamarnya?"
"Saya, Mba?" tanya Laila.
"Iya, Uni. Biasanya Mba Susi yang susun dan rapikan kamar Pak Tama. Tapi kan sekarang udah ada Uni Laila, istrinya. Lebih pantas Uni yang melakukannya," mba Susi pun menyerahkan keranjang pakaian itu pada Laila. Laila menerimanya dengan ragu.

"Tapi, ga ada siapa-siapa di rumah kan, Mba? Pak Udin udah pulang kan? Dan Pak Tama belum di rumah kan?" tanya Laila beruntun. Mba Susi tertawa mendengar pertanyaan Laila.
"Ga ada laki-laki di rumah, Uni. Ga usah pakai kerudung. Begitu aja cantik. Seksi," mba Susi mengedipkan matanya menggoda Laila. Laila tersipu malu. Ya, biasanya Tama memang pulang sehabis isya. Ini magrib juga belum.

Akhirnya Laila membawa keranjang berisi pakaian Tama yang telah di setrika ke lantai dua, ke kamar Tama. Untuk kedua kalinya Laila memasuki kamar laki-laki itu. Beberapa pakaian kotor masih berserakan di atas tempat tidur. Ternyata  mba Susi memang gak membersihkan dan merapikan lagi kamar Tama. Laila yakin mba Susi dan mak Eti berkomplot untuk memasukkan Laila ke kamar ini.

Setelah merapikan pakaian yang berserakan dan merapikan alas kasur dan melipat selimut, Laila mulai menyusun pakaian ke dalam lemari. Laila mengeluarkan sebagian isi lemari sebelum menyusunnya dengan rapi. Laila meletakkan kemeja dengan kemeja, kaos dengan kaos, celana pendek dengan celana pendek dan celana panjang dengan celana panjang. Hingga lemari pakaian itu terlihat sangat rapi.

Tiba-tiba terdengar pintu kamar dibuka dari luar. Laila menoleh ke arah daun pintu yang terbuka. Mata Laila membulat, sosok Tama telah berdiri di ambang pintu. Tama pun terkesiap. Dilihatnya Laila sedang jongkok di depan lemari pakaiannya. Baju tidur selutut yang dipakai Laila sedikit tertarik ke atas lututnya. Memperlihatkan kakinya yang putih mulus. Sementara rambut Laila yang disanggul asal ke atas puncak kepalanya, menyisakan anak-anak rambut ke batang lehernya yang jenjang. Tama menelan salivanya dengan susah payah.

"Udah pulang, Da" Laila mau berdiri atau bagaimana. Ingin sekali Laila menyambar apaun yang ada di dekatnya untuk menutup kaki dan tubuhnya yang hanya berbalut baju rumahan selutut dengan lengan yang cukup pendek. Laila merasa amat risih berada di depan laki-laki ini dengan pakaian yang minim seperti ini.

"Oh, iya. Tadi langsung pulang, ga mampir ke toko," Tama pun menjadi salah tingkah. Tama masuk dan hanya berdiri di samping tempat tidur. Ia tidak ingin melihat Laila yang juga terlihat salah tingkah. Tapi mata laki-laki itu tak bisa diajak kompromi. Ada makhluk ciptaan Alloh yang begitu cantik dan mempesona yang sedang berada di hadapannya. Di dalam kamarnya. Mereka hanya berdua, tiba-tiba Tama merasa panas dingin.

"Maaf, Da. Laila tadi memasukkan pakaian Uda yang telah selesai disterika Mba Susi. Laila ga tahu kalau Uda akan pulang cepat hari ini," Laila berdiri dan memilin kedua jemari tangannya dengan resah.
"Iya, ga pa pa. Makasih ya," ujar Tama tulus. Laila mengangguk canggung.
"Laila pamit dulu, Da. Sebentar lagi magrib," Laila pun menyeret langkahnya menuju pintu.

Tama mengikuti kepergian Laila dengan tatapan matanya. Tubuh yang indah, bisik Tama dalam hati. Tapi sedetik kemudian Tama memukul dahinya. Duh .... pikiran .... pikiran ... rutuknya pada diri sendiri.
Sementara Laila yang telah ke luar dari pintu kamar Tama memegangi dadanya yang berdetak tak normal. Ya Tuhan. Menegangkan sekali, bisik Laila seraya memejamkan mata. Lebih mendebarkan daripada melihat bayangan hantu. Kenapa juga ia tadi berani ke kamar Tama dengan pakaian seperti ini. Laila merutuk dirinya sendiri. Ini udah untuk kedua kalinya Tama melihat tubuhnya yang polos tanpa hijab. Tapi kali ini lebih parah lagi dari yang sebelumnya.

Setelah sedikit tenang, Laila pun menuruni anak tangga dengan tergesa. Laila lalu masuk ke kamarnya dan bersiap-siap untuk  menunaikan sholat magrib.
***

Laila baru saja selesai melaksanakan sholat magrib. Ia berdiri untuk melaksanakan sholat sunnah ba'diyyah magrib. Tiba-tiba Tama memasuki ruang sholat. Tama mengenakan baju koko dan kopiah haji. Laki-laki itu mengambil tempat paling depan, lalu mulai takbir dan melaksanakan sholat magribnya.

Laila merasa sedikit heran. Sudah lebih dua minggu Laila berada di rumah ini, baru kali ini Laila melihat laki-laki ini sholat di ruang sholat. Tapi akhirnya Laila mengusir rasa herannya dan mulai melaksakan  sholat sunnah rawatib. Setelah selseai dengan sholat sunnah dua rakaatnya, Laila buru-buru berdiri dan berjalan menuju kamarnya. Sementara Tama masih terlihat khusuk berdoa dan berzikir.

Tak berapa lama Laila telah kembali ke ruang sholat masih memakai mukenanya. Laila kembali duduk di belakang Tama. Sepertinya Tama pun telah selesai dengan doa dan zikirnya. Ia baru saja akan bangkit ketika didengarnya suara perempuan di belakangnya memanggil namanya.

"Da," Laila merangkak mendekati tempat duduk Tama.
"Ya." Tama berpaling dan menatap perempuan dengan mukena warna putih yang berada tak jauh darinya. Ternyata berbalut mukena pun wanita ini masih tetap cantik, batin Tama.

"Ini ATM Uda. Struk belanjanya juga di sini," Laila mengangsurkan kartu berlogo angka 45 dengan latar orange itu pada Tama. Tama terlihat mengernyitkan keningnya.
"Kenapa? Kamu udah punya penghasilan sendiri?" suara Tama terdengar dingin. Laila tertegun mendengar ucapan Tama. Kenapa sepertinya laki-laki ini marah Laila mengembalikan ATM-nya.

"Jangankan penghasilan Da, duit aja Laila ga punya Da." ups, Laila menutup mulutnya. Duh kenapa ia jadi keceplosan ngomong seperti itu. Wajah Laila seketika memerah karena merasa malu. Tama terlihat menahan senyumnya melihat kepolosan wanita di depannya ini.

"Udah tahu ga punya uang, pakai sok mengembalikan segala." suara laki-laki itu terdengar sinis. Tama pun bangkit dan meninggalkan Laila yang termangu sendiri. Hati Laila terasa sakit mendengarnya. Karena itulah dari dulu perempuan cantik ini ingin bekerja, agar tak ada orang yang meremehkannya. Tidak juga suami sendiri. Uh ....
Tapi tiba-tiba Laila bangkit dengan tergesa dan mengejar Tama yang berniat duduk di ruang keluarga.

"Jadi Da, ini bagaimana?" Laila masih bingung dengan kartu yang di tangannya. Alis Tama terangkat, ya ampun, wanita ini benar-benar membuat kesal hatinya.
"Itu milikmu. Hak kamu. Silakan gunakan untuk keperluan harian dan bulanan rumah tangga. Sekalian untuk kebutuhan pribadimu," suara Tama terdengar tegas. Mata Laila membulat. Ya Tuhan, laki-laki di depannya ini baik juga. Hati Laila menghangat.

"Boleh untuk beli laptop juga ga, Da?" mata indah Laila mengerjap menahan rasa malu dan dag dig dug di hatinya.
"Laptop?" Tama kembali dibuat heran oleh istrinya ini. Istri .... duh ternyata hatinya telah mengakui wanita dengan sikap menarik ini sebagai istrinya?

Laila menunduk. Tapi suara lirihnya masih bisa didengar oleh Tama.
"Laila suntuk, Da. Biasanya Laila menerima upah terjemahan dari orang-orang yang sudah pernah memakai jasa Laila. Tapi kemarin sebelum berangkat ke sini, laptop Laila rusak. Jadi banyak terjemahan orang yang belum Laila selesaikan."
Tama terdiam mendengar penjelasan Laila.

Sebenarnya jujur, Laila tak berani mengatakan semua ini. Hubungan mereka masih tidak jelas. Apa ia pantas merasa sebagai istri dari laki-laki di hadapannya ini? Apa ia pantas meminta sesuatu pada laki-laki ini. Apalagi sebuah laptop yang harganya tentu tak murah. Tapi, Laila benar-benar terdesak. Laila merasa suntuk hanya berdiam diri di rumah. Pekerjaanya hanya membantu mak Eti. Bersih-bersih rumah, mencuci, setrika, ngepel, sudah ada yang mengerjakannya. Laila pun bukan perempuan yang hobby menonton televisi atau bermain di dunia maya.

"Besok Uda bawakan laptopnya," ujar Tama singkat dan berbalik dari hadapan Laila.
Uda? Ya ampun, Laila meraba dadanya. Kok seperti ada gelenyar yang tak biasa di sana? Laila tak mengerti kenapa dadanya seperti ini mendengar laki-laki itu menyebut dirinya dengan uda. Lalu Laila pun berbalik dan bergegas masuk ke kamarnya dengan senyum manis yang tak mau ungkai dari bibir indahnya.

*****
(side b)

Setelah sholat subuh, Laila, mak Eti dan Anita sibuk menyiapkan sarapan di dapur. Menu sarapan hari ini lontong gulai nangka. Serasa mau lebaran aja melihat menu yang mereka siapkan. Kata mak Eti, Tama lebih suka makan sarapan yang dibikin sendiri daripada yang dibeli di luar.

Dan seperti biasa, tepat pukul 06.00, Laila pun membawakan teh hangat ke kamar Tama. Laila mengetuk pintu, lalu terdengar suara Tama dari dalam.
"Masuk." Laila membuka handel pintu dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang cangkir teh.

"Tehnya, Da." Laila langsung menuju meja kerja Tama dan meletakkan cangkir teh itu di sana.

Tama terlihat masih memakai sarung dan baju kokonya. Apa dia terlambat sholat subuh ya? tanya Laila dalam hati.

"Makasih, ya." Tama beranjak menuju meja kerjanya. Laila hanya mengangguk.
"Besok kalau bisa tolong bangunkan saya sebelum azan subuh, ya. Kadang karena terlalu lelah, saya kebablasan sampai pagi," Tama lalu menyeruput teh hangatnya.
"Baik, Da." Laila lagi-lagi mengangguk paham.
"Oh, iya. Ini laptop yang kamu pesan kemaren." Tama mengambil sebuah kotak yang berisi laptop.

Laila yang hampir berlalu meninggalkan kamar berbalik kembali ke arah meja kerja Tama. Mata Laila seketika berbinar. Diterimanya kotak yang lumayan besar itu dari tangan Tama.
"Ini laptop baru, Da?" tanya Laila dengan suara terdengar riang.
"Kamu pikir saya pernah beli barang seken?" Tama merasa heran dengan pertanyaan perempuan di depannya ini.
"Bukan gitu Da, siapa tahu Uda ngasih laptop Uda pada Laila." Laila cengengesan merasa salah bicara.
"Kalau bisa memberikan sesuatu pada orang lain itu adalah yang terbaik. Kalau bisa juga jangan yang bekas. Apalagi sama istri sendiri." ups .... Tama kaget mendengar ucapannya sendiri. Kenapa mulutnya bisa bicara seringan itu. Laila apalagi. Lagi-lagi mata indah itu membulat. Wajah cantiknya bersemu merah dibalut hijab warna salam.

"Makasih, ya Da. Nanti kalau udah dapat honor menerjemah, uang Laptopnya Laila ganti ya, Da" Laila memeluk kota laptop itu ke dadanya lalu segera berlalu ke luar kamar.
"Kamu itu ya, kamu pikir saya butuh uangmu?" tiba-tiba Tama menjadi emosi mendengar ucapan Laila.

Ya Alloh, aku salah bicara lagi. Laila mengetuk mulutnya dengan jari tangannya.
"Maaf, Da. Bukan maksud Laila seperti itu." suara Laila terdengar begitu lirih. Mendadak matanya terasa panas. Entah mengapa Laila ingin menangis. Laila tergesa ke luar dari kamar dan menutup pintu. Dituruninya anak tangga satu persatu lalu bergegas masuk ke kamarnya.

Akhirnya air matanya jatuh juga. Kenapa sikap laki-laki itu sedetik baik sedetik jahat ya? Laila merasa bingung sendiri. Tapi Laila sudah tak sabar juga ingin melihat laptop barunya. Dibukanya kotak laptop itu dengan tergesa. Wow, mulut Laila kembali menganga. Ada gambar apple yang sudah tak utuh di bingkai latopnya. Laila mengusap laptop berwarna hitam itu dengan suka cita. Mimpipun ga pernah Laila bisa mendapatkan laptop sebagus ini.

Laila membuka laptop itu dan menghidupkan tombol powernya. Tak berapa lama, laptop pun menyala. Kali ini mata dan mulut Laila membulat sempurna. Wow, wallpapernya telah diatur dan itu foto ia dan Tama yang sedang bersanding di pelaminan. Kok laki-laki itu suka sekali ya memasang foto pernikahan mereka berdua?

Apa ia terlihat begitu cantik dengan suntiang di kepalanya itu? Laila tersenyum sendiri. Laila melihat beberapa aplikasi yang ada dalam latop tersebut. Setelah puas, Laila pun ke luar dari kamar dan membawa kembali laptopnya. Laila berniat kerja di ruang keluarga aja nanti setelah Tama berangkat kerja. Dan laptopnya tentu harus dicas dulu 4 atau 5 jam seperti peraturan pada barang-barang elektronik baru.

Setelah meletakkan dan mencas laptopnya di ruang keluarga, Laila kembali ke dapur. Ternyata mak Eti dan Anita telah menata sarapan di meja makan. Bau khas lontong dan gulai nangka begitu menggugah selera. Tapi Laila biasanya sarapan setelah Tama selesai sarapan dan berangkat kerja. Barulah Laila sarapan dengan mak Eti, Anita, dan mba Susi. Terkadang juga dengan pak Udin.
***

Minggu pagi yang cerah. Hari telah menunjukkan pukul 11.00. Laila dan mak Eti telah menata meja makan dengan rapi. Sebentar lagi mamak (paman) Tama akan datang. Tama telah duduk di ruang keluarga menunggu kedatangan mamaknya. Tadi Tama menyuruh pak Udin untuk menjemput ke bandara.

Tak berapa lama terdengarlah ucapan salam dari arah pintu. Tama bergegas ke pintu depan dan membuka pintu.
"Assalammualaikum."
"Waalaikumsalam." Tama  menyalami dan mencium mamaknya dengan hormat. Laila dan mak Eti pun datang mendekat. Mereka ikut menyalami mamak Tama.
Tapi ternyata laki-laki paruh baya itu tidak datang sendiri. Ia bersama seorang gadis cantik yang sedari tadi tersenyum manis pada Tama, Laila dan mak Eti.

"Ayo Mak Etek, silakan masuk." Tama memberi jalan kepada mamaknya. Mak etek dan gadis cantik itu pun melangkah masuk ke dalam. Mereka lalu duduk di sofa ruang tamu. Laila dan mak Eti bergegas menuju dapur untuk membuatkan minuman.

"Gadis itu, siapa Mak Eti?" tanya Laila penasaran.
"Itu Rani, anaknya Mak Etek Eri itu," jawab mak Eti dengan nada kurang senang.
"Oh." hanya itu yang ke luar dari mulut Laila. Setelah selesai membuatkan minuman, Laila pun mengantarkannya ke ruang tamu.

"Rani telah selesai kuliahnya, Tama. Dia ingin mencari kerja di Jakarta. Kamu kan punya banyak toko dan punya kantor juga. Tolong kamu masukkan Rani di mana yang rasanya cocok. Tapi kalau bisa di kantor kamu saja," ucap Mak Etek Eri pada Tama. Laila meletakkan gelas berisi teh di depan Tama dan Rani serta meletakkan kopi di depan mak etek Eri.

"Oh, iya Mak. Rani jurusan akutansi, ya?" tanya Tama sambil melirik Rani.
"Iya, Da," jawab Rani dengan senyum manisnya. Laila menelan ludahnya, kenapa kerongkongannya terasa sakit ya. Senyum gadis di depannya ini begitu manis.
"Silakan diminum, Mak, Rani." Laila mempersilakan mereka sebelum beranjak ke belakang. Mak etek Eri hanya terlihat mengangguk.
"Ya, Uni. Makasih," Rani kembali tersenyum, kali ini kepada Laila.
"Laila pamit ke belakang dulu, Mak." Laila pun langsung berlalu sebelum mendapatkan jawaban dari mamak kandung Tama itu.

Tak berapa lama terdengar suara azan. Laila yang masih berwudhu dari dhuha tadi langsung menuju ruang sholat. Terlihat mak etek Eri, Rani dan Tama pun beranjak dari ruang tamu.
"Mba Susi, tolong masukkan travel bag Rani ke kamar tamu, ya dan travel bag Mak Etek ke kamar di samping kamar Mak Eti," Tama mendekati mba Susi sebelum mengambil wudhu di kamar mandi di samping dapur.
"Baik, Pak." jawab mba Susi dan segera pergi ke ruang tamu.

Laila hanya mendengarkan saja ucapan Tama. Berarti ia akan sekamar dengan Rani. Tak apalah, berarti nanti ia punya teman untuk ngobrol. Tak berapa lama, mereka pun sholat zuhur berjamaah. Mak etek Eri menjadi imamnya. Laila dan Rani berdiri di belakang Tama.

Setelah selesai sholat zuhur, Laila dan mak Eti mempersilakan tamu mereka untuk makan siang. Laila menuangkan air ke dalam semua gelas yang telah disediakan. Mereka pun mulai makan dengan lahap.  Laila mengambil laptopnya dan beranjak ke taman belakang. Ia ingin mengerjakan terjemahannya di kursi taman. Terlihat mba Susi sedang menjemur pakaian. Mba Susi tersenyum ke arah Laila.

Setelah para tamu selesai makan, Laila, mak Eti dan mba Susi pun makan bersama. Tama terlihat duduk di ruang keluarga dengan mamak dan Rani. Terdengar mamak menanyakan perkembangan usaha  dan toko-toko Tama. Tama dengan senang hati menceritakan kemajuan usaha dan toko-tokonya.

Laila, mak Eti dan mba Susi telah selesai dengan makan siang mereka, Laila bermaksud masuk ke kamarnya. Tapi, sebelum Laila sampai di pintu kamarnya, Laila mendengar namanya disebut. Laila mundur beberapa langkah dan berdiri di tembok pembatas ruang sholat dan ruang keluarga.

"Mamak tak menyuruh kamu menceraikan istrimu itu. Cukup kamu nikahi saja Rani. Jadi istri kedua pun tak masalah." suara mamak terdengar begitu tegas. Deg. Jantung Laila serasa berhenti berdetak. Ia memang belum mencintai Tama. Mereka juga belum terlalu dekat. Tapi mendengar kata-kata mak Eri itu mengapa ada yang terasa perih di hati Laila.
"Mak, Tama menghormati ikatan suci pernikahan Tama. Tama ga akan mengotorinya, Mak." suara Tama pun terdengar amat tegas.
"Mamak tak menyuruh kamu mengotorinya. Mamak suruh kamu menghalalkannya. Toh, Mamak lihat hubungan kamu dan istrimu juga tidak terlalu baik."
"Kami baik-baik saja, Mak. Dan Tama menghormati dia sebagai istri Tama."
"Setelah apa yang dilakukannya padamu?"
"Mak, tak ada orang yang tak pernah berbuat salah. Dan tak ada hak kita untuk tidak memaafkan orang yang telah ingin memperbaiki dirinya."
"Apa sulitnya bagimu untuk menikahi Rani? Sudah biasa di kampung kita laki-laki Minang pulang ka Bako. Dan tak ada larangan juga bagi seorang laki-laki untuk beristri dua, tiga atau empat."
"Tapi tidak untuk Tama, Mak."
"Kamu perjuangkan wanita yang telah meninggalkanmu di malam pertamamu itu Tama. Kamu tahu, itu aib buat keluarga kita." suara mamak terdengar penuh emosi.
"Laila memang pernah berbuat salah, Mak. Tapi sekarang ia telah menebusnya. Ia seorang wanita sholeha yang Tama butuhkan untuk mendidik anak-anak Tama kelak."  Tama lalu bangkit dan meninggalkan mamaknya dengan wajah merah. Entah mengapa hati Tama menjadi sakit ketika mamaknya mengungkit-ungkit kesalahan Laila.

Tama tertegun mendapati Laila yang tengah bersandar sambil memegangi dadanya di samping ruang keluarga. Tama tidak menyangka Laila berada di sana. Berarti wanita ini telah mendengar semua ucapan mamaknya tadi. Tama mendekati Laila. Dilihatnya wajah perempuan di hadapannya ini telah basah oleh air mata.

"Laila." panggil Tama lembut. Laila membuka matanya. Tergesa Laila menghapus kedua pipinya yang telah basah oleh air mata. Laila mencoba tersenyum.
"Uda, Mamak benar. Uda berhak mendapatkan perempuan yang lebih baik dari Laila. Laila tak pantas untuk Uda," suara Laila bergetar. Tama menggelengkan kepalanya. Ingin sekali rasanya ia merengkuh tubuh wanita di depannya ini. Memeluknya dengan erat dan mengusap lembut kepalanya.
"Tidak Laila. Saya laki-laki. Saya tak akan pernah mengkhianati janji saya di hadapan Alloh dan ayahmu. Ketika ijab kabul, saya telah berjanji untuk menjaga ikatan suci kita. Percayalah, saya akan menghargaimu sebagai istri saya." Tama menyentuh bahu Laila lembut. Hanya itu yang mampu dilakukannya. Tama tak berani untuk memeluk Laila. Tama takut Laila belum siap dengan perlakukannya.

"Naiklah ke atas. Istirahatlah di kamar Uda," Laila menatap Tama tak percaya. Tiba-tiba air mata Laila berhenti mengalir. Tama tersenyum dan mengangguk.
"Ayo." ujar Tama seraya menarik tangan Laila. Meski merasa malu, tapi Laila mengikuti langkah kaki Tama. Mamak dan Rani hanya menatap Tama dan Laila yang lewat di samping ruang keluarga dengan tatapan tak senang. Sementara mak Eti dan mba Susi tersenyum bahagia melihat kedua anak manusia itu.

"Istirahatlah dulu di kamar, Mak, Rani." Tama berhenti sejenak. Emosi di dadanya telah luruh begitu melihat Laila tadi menangisinya. Apa itu artinya, wanita ini merasa takut kehilangannya? Tama tersenyum sendiri ketika menaiki anak tangga. Tangannya masih menggenggam erat tangan Laila. Ada debar di dada mereka yang sulit untuk dijelaskan. Ini kali pertama bagi mereka bersentuhan. Sampai di atas, Tama mendudukkan Laila di atas tempat tidur.

"Mau istirahat di sini atau di ruang sebelah?" Tama melirik Laila yang sudah berhenti menangis.
"Ayo, kamu di ruangan teather aja ya," tiba-tiba Tama kembali menarik tangan Laila. Lagi-lagi Laila hanya menurut.
Tama membawa Laila ke ruangan di sebelah kamar tidurnya. Ruangan itu dihubungkan oleh sebuah pintu. Di dalam ruangan tersebut ada sebuah sofa warna orange, sebuah meja warna abu-abu, televisi ukuran amat besar, Ac, kulkas, dan karper bulu tebal warna abu-abu tua juga di lantainya. Nuansanya sama dengan kamar Tama. Didominasi warna abu-abu dan orange.

"Duduk di sini," ajak Tama pada Laila.
"Mau nonton apa?" Tama telah melepaskan pegangan tangannya dan mengambil remot di atas meja di depannya. Tiga buat toples berisi cemilan terletak di atas meja. Ruangan yang nyaman, bisik hati Laila.
"Eh, ditanya diam aja. Kamu mau nonton apa?" tanya Tama lagi.
"Maaf...."  Laila menatap layar besar di depannya yang telah menyala.
"Upin Ipin ada?" Laila menatap Tama dengan mata berbinar.
"Upin Ipin?" Tama menatap Laila dengan bingung. Apa masih ada orang dewasa yang tontonannya Upin Ipin? Kalau ibu dan kakak-kakak perempuannya biasanya kan tontonannya infotaiment, sinteron, relaty show.
"Iya, Upin Ipin. Laila ga suka tontonan yang berat-berat Uda. Sukanya yang ringan-ringan. Yang menimbulkan rasa senang dan gembira. Soalnya hidup kita kan udah berat, Da" ujar Laila dengan mimik lucu. Tama benar-benar gemas melihat perempuan di sampingnya ini.

"Hidup kamu berat?" tanya Tama asal.
"Ih, bukan gitu juga maksudnya, Da. Laila ga suka nonton yang bikin kita sedih, nangis, trus jadi kesal, marah. Buat apa Da, kita nonton kan buat dapat hiburan. Bukan buat nambah masalah di hati,"
"Hati kamu banyak masalah?" tanya Tama lagi. Laila gregetan. Rasanya ia ingin nyubit laki-laki di sampingnya ini keras-keras.
"Tau ah, Da. Ayo mana Upin Ipinnya." mulut Laila mengerucut kesal. Tama ingin tertawa. Tidak, ingin nyium bibir indah di sampingnya ini sebenarnya. Uh, Tama memukul keningnya sendiri.

"Kenapa, da?" Laila menoleh ke arah Tama dengan heran.
"Ada nyamuk." jawab Tama kembali asal.
"Oh, nanti malam Laila semprot pakai baygon ya, Da,"
Ya ampun, perempuan satu ini ya, lugunya kebangetan. Dicium juga nanti nih, bisik hati Tama.
"Ya, udah kamu nonton dulu ya. Uda mau lihat Mamak ke bawah?"
"Mau lihat Mamak atau mau lihat Rani?" goda Laila berani. Entah mengapa Laila merasa hubungan ia dan Tama telah mulai mencair.
"Kalau lihat Rani gimana?"  tantang Tama.
"Ga pa pa, baguslah." jawab Laila terdengar ketus. Tapi akhirnya Laila tersadar sendiri. Kenapa juga dia jadi ketus begitu.

"Nanti nangis lagi lho." ujar Tama seraya berlalu meninggalkan Laila. Tinggallah Laila yang merasa kesal sendiri mendengar ucapan Tama. Ish ... ingin rasanya nimpuk laki-laki itu pake bantal.

Bersambung #5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER