Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 29 November 2020

Setangkai Mawar Buat Ibu #8

Cerita bersambung

Rini melepaskan tangan Angga yang sedang menggenggam tangannya. Ia bergegas keluar dari halaman dan menghilang dibalik pagar, setelah melihat sesosok bayangan orang yang dikenalnya, Arum, keluar dari rumah.
Angga heran melihat sikap Rini.
"Angga, ngapain kamu disitu, ayuh sini.. ibu sudah membuat susu untuk Angga."
Angga berlari mendekati Ratin.
"Ibuuu... ada Rini disana.." katanya sambil menun juk kejalan.
"Mana dia sekarang, ibu tadi melihatnya sekilas."
"Sudah pergi lagi."
Ratih teringat nama itu. Rini, yang ketemu disebuah toko mainan, dan Aryo tampak sangat membencinya. Siapa sebenarnya Rini? Terbersit keinginan untuk mengetahuinya. Dan mengapa Aryo sangat membencinya, sementara Angga tampak sangat akrab dengannya.

"Ya sudah, biarkan saja, ayo diminum dulu susunya."
"Mengapa Rini pergi?"
"Mungkin ada keperluan."
"Keperluan itu apa?"
"Keperluan itu adalah sesuatu yang harus dilakukan. Aduh.. kamu nih, semua-semua ditanyakan, anak pintar, anak ganteng, ayo diminum dulu susunya," kata Ratih yang kemudian menggandeng tangan Angga kedalam rumah.
***

Rini melangkah semakin menjauhi rumah keluarga Aryo, dengan benak penuh pertanyaan. Bukankah Arum terbaring dirumah sakit setelah menjalani operasi? Mengapa tadi ada dirumah? Salahkah ia melihat brankar yang membawa Arum kearah kamar operasi?  Rini terus berjalan, lupa memanggil taksi atau kendaraan lain agar bisa membawanya kembali kerumah Wuri.
"Apa mataku rabun? Dirumah itu ada bu Arum, dirumah sakit ada bu Arum.. apa aku gila karena tergila-gila pada pak Aryo yang guanteng?" gumamnya sepanjang jalan.
Karena bingung Rini melangkah kerumah sakit. Ditemuinya Wuri yang heran melihat kedatangannya.
"Katanya mau ada perlu?"
"Nggak jadi."
"Kok..?"
"Nggak ketemu sama orangnya."
"Hm.. lalu mengapa kamu celingukan kesana kemari?" tanya Wuri karena Rini tampak seperti orang bingung.
"Eh.. dengar.. aku tuh melihat bu  Arum opname disini sehabis operasi. Tapi kok tiba-tiba dia ada dirumah ya?"
"Tuh kan,.  kamu ijin karena punya maksud yang nggak baik kan? Aku sudah menduga."
"Aduuh, jangan ngomel dulu dong, aku lagi bingung nih."
"Nggak usah bingung, itu bukan urusan kamu. Sekarang sini, catat yang sudah aku tulis itu dibuku, seperti biasa."
"Aku mau ke bangsal pasien rawat inap dulu, boleh kan?"
"Nggak boleh, kalau nekat juga aku akan pecat kamu!" kata Wuri tegas, lalu mengerjakan pekerjaannya yang lain.
"Waduh, kejam amat!"
Wuri tak menjawab. Dia kesal pada ulah sahabatnya.
Namun Rini tak kehabisan akal. Dia berjanji pada dirinya, akan melihat ke bangsal dimana Arum dirawat. Dia harus yakin akan penglihatannya.
***

"Bu Arum.. bagaimana sekarang? Merasa lebih baik?" kata dojter Bram ketika memeriksa Arum sore itu.
Arum tersenyum. Ia merasa setiap kata yang diungkapkan sang dokter selalu bisa menyentuh perasaannya.
"Bagaimana ?"
"Baik dok,"  jawab Arum pelan.
"Masih ada yang terasa sakit?"
"Disini dok," kata Arum sambil menunjukkan bekas jahitan ditempat yang dioperasi dua hari  lalu.
"Oh, iya.. masih terasa nyeri ya, iyalah pastinya, kan masih baru lukanya. Tapi nanti akan sembuh kok. Merasa pusing?"
"Tidak,"
"Bagus, tekanan darah sudah normal, cuma kurang sedikit, besok pasti lebih baik."
Arum tersenyum lagi. Dan dokter Bram suka menikmati senyum itu. Ada mata yang teduh tapi membuat trenyuh. Ada duka yang entah apa, dipendamnya jauh didasar hatinya. Ingin dokter Bram menanyakannya, tapi sungkan. Mungkin nanti.
"Siapa yang menemani disini ?"
"Ibu, tapi sedang pulang sebentar.."
"Suami bu Arum?"
Arum terdiam, matanya mendadak berkilat oleh air mata yang merebak. Dokter merasa menyesal menanyakannya. Itukah sebabnya maka mata itu seakan menimbulkan trenyuh?
"Ma'af bu Arum, saya tidak bermaksud membuat iby sedih," kata dokter Bram penuh rasa sesal.
"Tidak apa-apa dokter," jawab Arum lirih
"Baiklah bu Arum, besok dicoba latihan duduk ya? Pasti masih sakit, tapi pelan-pelan harus dicoba."
"Baik."
"Suster, infusnya bisa diganti setelah ini," perintahnya kepada suster yang mengantarkannya.
"Baik dokter."
"Bu Arum sudah bisa makan banyak kan?"
"Sedikit,"
"Kok sedikit, makan yang banyak supaya segera sehat. Ya?"
Arum lagi-lagi mengangguk sambil tersenyum.  Genangan air mata itu masih tampak disana. Dokter Bram ingin mengusapnya. Tidak, itu tidak sopan, pikirnya. Ia mengambil selembar tissue kemudian diberikannya pada Arum. Dia mengangguk sebentar lalu meninggalkan Arum sendirian.
Arum memandangi tissue yang diulurkan dokter muda itu. Diusapnya setitik air matanya. Pastilah banyak yang bertanya-tanya, mengapa dalam keadaan sakit, habis dioperasi lagi, maka tak tampak suaminya menunggui.  Arum teringat, ketika sebelum operasi, harus suami menandatangani surat pernyataan, bu Suryo mengatakan bahwa suaminya sedang pergi dan dia ibunya yang akan menandatanganinya.
Mungkin sang dokter mengira bahwa perginya tidak akan lama. Ah, entahlah, Arum tidak akan memikirknnya.
Tak lama kemudian suster perawat menggantikan infusnya.
"Ada keluhan bu? Ada yang terasa sakit?" perawat itu bertanya.
"Tidak, suster."jawab Arum pelan. Kalau pertanyaannya, apakah hati ibu sakit? Pasti akan dijawabnya..'ya'. Tapi tidak, Arum akan berusaha melupakan semuanya. Suaminya sudah melupakannya, dan menaruh perempuan penghianat itu didalam rumah tangganya, menjadi ibu bagi  anaknya. Tak akan lagi ada sesal seandainya dia tak pulang sekalipun.
***

Ketika Angga sudah tidur  malam itu, Ratih bersiap untuk pulang. Bu Nastiti mengantarkan sampai kedepan sambil mencari-cari Aryo ada dimana.
"Sudah bu, nggak apa-apa, saya pulang sendiri saja," kata Ratih.
"Jangan nak, ini sudah malam. Mana ya Aryo, " kata bu Nastiti sambil melongok ke halaman.
Dibawah pohon mangga dilihatnya Aryo sedang duduk termenung. Tapi ia bangkit ketika melihat ibunya dan Ratih berjalan kearahnya.
"Biar saya pulang sendiri saja pak," kata Ratih.
"Eh, jangan bu, biar saya antar," kata Aryo sambil masuk kedalam rumah untuk mengambil kunci mobil.
"Setiap hari saya merepotkan ya bu," kata Ratih kepada bu Nastiti.
"Bukannya terbalik nak? Kami yang se;a;u merepotkan nak Ratih bukan?"
"Tidak bu, saya tidak merasa repot. Sungguh.."
"Mari bu Ratih," kata Aryo yang sudah mengganti baju dari kaos singlet yang tadi dikenakannya. Ratih melirik sesa'at, lalu mengalihkan pandangan kearah lain.
Aryo membukakan pintu mobil agar Ratih duduk disebelahnya.
Ratih melambaikan tangan kearah bu Nastiti ketika mobil itu berjalan dan keluar dari halaman.
"Angga meletihkan bukan?"
"Tidak pak, dia anak baik. Saya suka."
"Terimakasih untuk semua yang bu Ratih lakukan. Kalau tidak ada bu Ratih, entah bagaimana saya menghadapi anak saya yang kehilangan ibunya."
"Jangan difikirkan pak, asalkan Angga senang, saya juga senang."
"Sekali lagi saya mengucapkan terimakasih."
"Bolehkah saya menanyakan sesuatu ?" tanya Ratih.
"Silahkan, ada apa?"
"Siapa sebenarnya Rini?"
Aryo menghela nafas berat. Ingatan akan Rini membuat wajahnya muram. Dari dialah awal dari semua kejadian ini.
"Ma'af, kalau keberatan, tidak usah bapak menjawabnya. Kemarin dia datang kerumah, tapi begitu Angga memanggil saya, dan saya keluar, dia tiba-tiba kabur."
"Oh ya?"
"Tampaknya dia mengira bahwa saya adalah bu Arum."
"Pastinya begitu. Mm.. saya akan mengatakan semuanya. Bu Ratih sudah sangat baik kepada keluarga saya, saya tak akan menutupi semua rahasia ini."
Ratih diam, menunggu apa yang akan dikatakan Aryo.
"Ceritanya panjang. Maukah bu Ratih menemani saya sekedar minum disebuah restoran? Saya akan mengatakan semuanya."
Karena terdorong oleh rasa keingin tahuan, Ratih mengangguk.
"Baiklah, tapi jangan lama-lama."
"Tidak, hanya sekedar minum atau makan sesuatu, agar saya bisa mengatakan semuanya."
Aryo menghentikan mobilnya disebuah rumah makan. Ia memilih tempat duduk yang agak jauh dari beberapa orang lain yang sedang makan disana.
"Bu Ratih mau minum apa?" tanya Aryo ketika mereka sudah duduk.
"Saya lemon tea saja. Yang hangat."
"Sama kalau begitu. Mau makan apa?"
"Nggak usah pak, nanti saya nggak bisa menemani bapak saya makan kalau kekenyangan disini."
"Yang ringan-ringan saja. Oh ya, ada kroket enak disini. Mau ya?"
Aryo memesan minumannya dan kroket dua porsi. Mereka duduk berhadapan. Sesekali mata mereka bertatapan. Ada getar aneh yang mengganggu Aryo ketika menyadari bahwa dia sudah beristeri. Tidak, aku tidak boleh punya perasaan aneh seperti ini.
Aryo menghela nafas.
"Pak Aryo jadi mengatakan sesuatu?" tanya Ratih mengingatkan.
"Oh ya.. oh ya, aduuh, saya kok merasa gelisah seperti ini," kata Aryo sambil meletakkan kedua tangan diatas meja.
"Gelisah?"
"Saya teringat isteri saya. Dulu kami sering makan dan minum disini."
Ratih terdiam, barangkali Aryo akan memulai ceritanya dari situ. Ternyata kemudian dia terdiam sambil memainkan kunci mobil yang terletak didepannya. Bahkan sampai pesanan mereka datang, Aryo belum juga mengatakan sesuatu tentang Rini.
"Kalau bapak keberatan, tidak usah dipaksakan. Ma'af kalau rasa keingin tahuan saya mengganggu pak Aryo."
"Tidak, saya akan menceritakan semuanya. Silahkan diminum," kata Aryo sambil mengaduk minumannya.
Ratih mengikutinya. Dalam udara yang mulai dingin, memang lebih baik minum minuman hangat.
"Sesungguhnya semua ini salah saya. Iman saya kurang teguh, dan mudah tergoda. Situasi sa'at itu memang sangat mendukung. Hujan, dingin, isteri saya sedang pergi membezuk temannya yang lagi sakit. Angga sudah tidur, dan Rini menggoda saya. Entah salah siapa, walau tidak sampai melakukan hal terlarang yang lebih jauh, tapi sesungguhnya itu tidak pantas saya lakukan. Ketika itulah Arum datang dan melihat semuanya."
Ratih tercekat mendengar semuanya. Tidak terlalu panjang, tapi Ratih sudah bisa menangkapnya. Ada sa'at luang, ada situasi mendukung, dan ada setan mengipasi, yang terakhir adalah ada iman yang mudah runtuh.
"Saya sangat menyesal. Isteri saya pergi begitu saja, dan tak pernah kembali. Tapi bahwa dia sempat menemui Angga beberapa bulan yang lalu, saya sedikit lega, artinya dia masih ada dan tak kurang suatu apa. Tadinya saya berfikiran buruk, jangan-jangan dia bunuh diri, jangan-jangan.. ah.. bayangan-bayangan buruk selalu menghantui saya."
Ratih merasa iba menatap wajah Aryo yang berubah sendu. Ia telah melakukan kesalahan, dan ia menyesalinya. Mengapa Arum tak bisa mema'afkannya?
"Saya beruntung bisa bertemu bu Ratih, yang bisa menjadi 'ibu' bagi Angga. Terimakasih banyak," kata Aryo yang kali ini agak tersendat, seperti menahan tangis.
Ratih ingin menghiburnya, tapi bagaimana? Ia tak mungkin menyentuhnya. Ia hanya menetapnya iba.
"Ma'af bu Ratih, saya terbawa perasaan."
"Pak Aryo harus sabar, pada suatu hari nanti bu Arum pasti akan kembali kepada pak Aryo. Tak mungkin selamanya dia melupakan keluarganya."
"Sudah hampir setahun.." keluh Aryo.
Ratih meneguk minumannya.
"Ah, sudahlah, silahkan dimakan kroketnya." kata Aryo ketika merasa lebih tenang. Ia merasa lega telah mengungkapkan semua yang terjadi kepada Ratih. Ia berhak tau karena dia selalu ada untuk Angga.. dan kalau terjadi Rini datang lagi, Ratih sudah tau bahwa dia membencinya karena sesuatu hal, dan Ratih juga tau bagaimana harus bersikap.
***

"Tadi pagi dokter Bram tidak datang, apa tadi juga tidak kemari?" tanya bu Suryo ketika sudah datang malam itu, bersama yu Siti.
"Datang bu."
"Syukurlah. Apa katanya?"
"Hanya memeriksa seperti biasa. Katanya besok Arum harus latihan duduk."
"Apa tidak terasa sakit lagi?"
"Tidak begitu sakit, sudah berkurang."
"Syukurlah."
"Bu Siti  nanti tidur disini ?"
"Iya, nanti biar yu Siti tidur disini."
"Ibu dirumah sama siapa?"
"Tidak apa-apa sendiri. Pono ibu suruh tidur di garasi, supaya kalau diperlukan se-waktu-waktu kita tidak usah kelamaan menunggu."
"Saya juga ingin segera pulang."
"Ya jangan tergesa-gesa ingin pulang. Biar dokter yang menentukannya."
"Sedih merepotkan ibu terus."
"Kamu lupa, ibu pernah berkata apa. Kamu itu kan anakku, mana ada orang tua keberatan direpotkan anak?"
"Terimakasih ibu," kata Arum lirih, penuh haru.
"Tapi menurut ibu,kamu juga harus ingat orang tua kamu."
"Saya masih ingat ketika ibu menerima Rini waktu saya mau kesana."
"Kalau begitu telepone saja Rum, mengatakan pada ibu kamu, bahwa kamu baik-baik saja, agar ibumu lega. Sudah hampir setahun ka mu menghilang."
Arum menghela nafas. Sebaiknya begitu, ia akan menelpone ibunya saja. Entah kapan akan datang kesana.
"Ini ponsel kamu." kata bu Suryo sambil menngulurkan ponsel Arum yang semula dibawanya. Bu Suryo juga yang membelikan ponsel itu untuk Arum, agar Arum bisa menghubungi siapa yang ingin dihubunginya. Tapi ternyata Arum hanya mempergunakan untuk berhubungan dengan dirinya, atau Pono kalau akan disuruh melakukan sesuatu.
"Terimakasih bu, ini sudah malam, besok saja Arum menelpone ibu."
"Yu Siti, mengapa kamu diam saja? Tadi kan kamu membawa stup makaroni untuk Arum?"
"Iya bu, habisnya ibu masih bicara sama nak Arum."
"Nggak yu, aku mau pulang sekarang. Biarkan Arum makan masakan kamu itu, biasanya dia suka."
"Iya bu Siti, saya suka, mau dong sedikit." kata Arum sambil tersenyum.
"Sudah ya, ibu pulang dulu. Yu, kamu temani Arum, kalau ada apa-apa telephone saja kerumah."
"Ya bu, kata yu Siti yang sibuk mengeluarkan masakan yang dibuatnya untuk Arum, menyendokkan beberapa sendok setup makaroni kepiring yang sudah disiapkannya.
***

Bu Suryo keluar dari kamar Arum, sambil menelpon Pono yang menunggu diluar.
"No, aku sudah mau pulang, mobilmu diap di lobi ya."
Namun ketika baru beberapa langkah meninggalkan kamar itu, dilihatnya seorang perempuan yang berjalan pelan, sambil membaca setiap nama yang ada dikamar-kamar pasien. Bu Suryo curiga karena perempuan itu berdiri didepan pintu kamar Arum. Ia kembali, dan mendekati perempuan itu. Bu Suryo tak mengenalnya.
"Kamu siapa?" tanyanya tiba-tiba, megejutkan perempuan itu.
"Saya.. saya Rini," jawabnya gugup.
Bu Suryo terkejut. Ia ingat perempuan yang menyebabkan Arum pergi dari rumahnya. Dan kemarahannya memuncak.

==========

Begitu mendekat, bu Suryo menatap Rini dengan tajam. Ada nyala dimatanya.
"Kamu yang namanya Rini? Aku ingat, sepertinya pernah melihat kamu didepan poliklinik." tanyanya tanpa nada ramah.
"Iy..iya... " jawab Rini gugup menyaksikan sikap ibu-ibu yang tidak ramah. Rini kemudian teringat, wanita inilah yang selalu bersama Arum.
"Mau apa kamu kesini?"
"Be..benarkah yang dirawat adalah bu ..bu Arum?"
"Kalau ya kenapa, kalau tidak juga kenapa? Ada maksud apa kamu datang kemari?"
"Anu bu, kalau.. kalau benar dia.. bu Arum.. saya ingin.. ingin.. membezoeknya.."
"Membesuknya, atau mau mencelakainya?"
"Tidak.. saya.."
"Kamu kan perempuan murahan yang telah merusak rumah tangganya?" mata bu Suryo terus menatap tajam. Ingin sekiranya pantas maka ia menghajar Rini>
"Saya.. saya.. mm.. ma'af.. tidak.. tidak kok.." Rini melangkah mundur, kemudian setengah berlari kabur dari hadapan bu Suryo.
"Wong eddan ! Pengecut !! " umpat bu Suryo yang kemudian masuk kembali kekamar. Dilihatnya yu Siti sedang menyuapi Arum yang memakannya dengan lahap. Bu Suryo tersenyum senang.
"Kok kembali bu?" tanya yu Siti.
"Iya yu, lupa berpesan sama kamu. Kamu harus hati-hati, jangan sampai ada orang asing memasuki kamar ini," tandas kata bu Suryo.
"Iya bu, tapi.. memangnya ada apa?"
"Tidak apa-apa, ninggalin pesan kan boleh saja, kita wajib ber-hati--hati."
"Baiklah bu."
"Arum, makan yang banyak ya, kalau perlu habiskan itu masakan yu Siti."
Arum tersenyum.
"Iya bu, masakan bu Siti sangat enak. Saya makan banyak."
Bu Suryo mengangguk kemudian berlalu. Meninggalkan yu Siti yang sedikit heran, atas pesan bu Suryo yang menyuruhnya berhati-hati.
***

Terengah Rini memasuki kamar kerja Wuri. Dilihatnya Wuri sedang berkemas, karena sa'atnya pulang."
"Dari mana saja kamu? Hampir aku tinggal pulang tadi."
"Iya, minum, mana minum?"
"Ada apa sih? Kamu melihat setan lagi? Buyutnya setan? Atau moyangnya setan?"
"Nggak, nggak ada apa-apa," jawab Rini sambil menenggak habis minumannya."
"Aku nggak mau ya, kalu kamu bertingkah aneh-aneh."
Rini tak menjawab. Dengan mulut terkatup ia membantu membereskan meja Wuri. Ia enggan mengatakan apa yang terjadi [ada dirinya, karena ykin bahwa Wuri pasti akan memarahinya.
"Masukkan saja berkas itu kedalam tas hitam."
Rini melakukannya tanpa menjawab sepatah katapun.
"Kunci pintunya setelah itu, aku menunggu di depan," kata Wuri dingin. Ia yakin Rini pasti melakukan hal yang membuatnya kesal.
Rini membereskan semuanya, mengambil kunci dan menutupkan pitunya. Pikirannya dipenuhi oleh beribu pertanyaan. Jadi benar yang dirawat itu Arum, lalu siapakah Arum yang dilihatnya dirumah juragan ganteng? Ini ajaib, atau mataku sudah nggak bisa melihat jelas? Tapi kan Angga berteriak memanggil 'ibu'. Lalu yang keluar adalah bu Arum. kata batin Rini sambil meyakinkan bahwa pintu ruang kerja sahabatnya sudah terkunci. Kemudian setengah berlari dia keluar, menemui Wuri yang sudah menelpon taksi online.
***

"Rin, aku sudah tau, di ruang VIP I ada pasien bernama Arumsari. Itu kan yang membuat kamu selalu ingin kesana?" kata Wuri ketika mereka beranjak kekamar dan bersiap tidur.
"Kamu kira aku ngapain? Cuma ingin tau saja. Salah??" jawab Rini sambil meringkuk memeluk guling.
"Menurut aku itu salah. Salahnya adalah itu bukan urusan kamu, mengapa sih kamu selalu ribut kalau tentang Arum? Ketemu dia lewat, kamu ribut. Melihat lagi periksa, kamu ribut, sekarang melihat dia opname jamu juga ribut."
Rini memejamkan matanya, tapi kupingnya masih terbuka. Ingin ditutupinya dengan bantal, tapi takut Rini mendampratnya.
"Sebenarnya apa sih yang kamu inginkan? Kamu ingin berbuat jahat apa lagi?"
"Iih, kok nuduhnya begitu," lama-lama Rini ingin membantahnya juga.
"Kalau kamu tidak ingin berbuat jahat, untuk apa kamu memata-matai terus?"
"Dengar ya Wur, sebenarnya aku tuh mau ngomong, tapi takutnya kamu tuh bawaannya marah terus kalau sama aku."
"Aku marah karena mengingatkan kamu. Kamu sudah berbuat salah, jangan menambah kesalahan itu dengan dosa yang lain."
"Bukan begitu, dengar, ketika aku dirumah pak Arya, aku melihat bu Arum, tapi ketika dirumah sakit, aku juga melihat bu Arum. Apa salah kalau aku jadi penasaran?"
"Salahnya adalah karena itu bukan urusan kamu."
"Menurut kamu, bagaimana mungkin ada Arum didua tempat dalam waktu yang bersamaan?"
"Mata bisa saja salah liat."
"Maksud kamu mataku yang salah?"
"Iyalah, kamu itu kapan bisa melakukan hal bener. Bicara juga salah, kelakuan salah. Melihat juga pasti salah."
Rini terdiam. Mungkin juga dirinya salah. Tapi mengapa Angga memanggilnya ibu?"
"Sudah, tidur saja, besok kita dinas pagi, jangan sampai terlambat," kata Wuri sambil menarik selimut lalu memejamkan mata. Membiarkan Rini berperang melawan batinnya sendiri. Sumpah aku masih penasaran. Kata batin Rini.
***

Setelah mendengar penjelasan Aryo tentang kejadian yang menimpa rumah tangganya, hati Ratih merasa trenyuh. Sebuah malapetaka terjadi ketika seseorang tak bisa menahan godaan.
Setiap ia menatap Aryo, dilihatnya mata penuh sesal dan duka yang tersembunyi. Apakah Arum tak mau mema'afkan ketika sesal sudah dikemukakan? Bukankah Aryo sudah berteriak minta ma'af?
Ada rasa ingin mengetahui dimana sebenarnya Arum berada. Aryo sangat mencintainya dan berharap Arum akan kembali. Tapi dimana? Hampir setiap kali Angga sedang bermain dihalaman sekolah, Ratih selalu mengawasinya, barangkali Arum akan datang untuk menemui Angga kembali. Namun berbulan berlalu, hal itu tak pernah terjadi.
Walau Angga tampak telah melupakan kejadian adanya "ibu ada dua' tersebut, tapi Aryo pasti masih mengharapkannya, seperti juga Ratih yang ingin melihat Aryo bahagia kembali.
"Nak Ratih, tadi sebelum berangkat mengantar Angga ke sekolah, saya memasak rendang kesukaan Aryo. Nanti kalau nak Ratih pulang dibawa ya, untuk bapak yang selalu ditinggalkan dirumah." kata bu Nastiti membuyarkan lamunan Ratih. Ia sedang duduk didepan rumah sambil mengawasi Angga yang asyik mengendarai mobil kecilnya.
 "Masih pagi, bagaimana ibu sempat memasak rendang?"
"Kemarinnya ibu nitip belanja sama ibu sebelah rumah. Daging dan beberapa bumbu, soalnya ibu nggak sempat belanja kan kemarin itu. Nah, daging sudah ibu presto sampai empuk, pagi tadi tinggal membumbui sampai matang."
"Oh gitu ya bu, ma'af tadi nggak bisa datang pagi karena bapak sedikit masuk angin dan minta dikerokin sebelum Ratih berangkat."
"Nggak apa-apa, untunglah Angga tidak rewel karena bapaknya sendiri yang mengajaknya mandi dan sarapan. Dan karena itu pula ibu sempat memasak."
"Syukurlah bu."
"Sudah ibu taruh didalam rantang, jangan lupa nanti dibawa ya."
"Ibu sudah sering membawakan makanan yang harus dibawa pulang Ratih. Nanti Ratih jadi keenakan karena sering nggak perlu memasak untuk keperluan bapak."
"Ya nggak apa-apa nak, kan nak Ratih juga selalu direpotkan oleh Angga, jadi apa salahnya ibu membantu sedikit saja."
"Terimakasih banyak bu."
Tiba-tiba terdengar suara mobil memasuki halaman, dan Angga berteriak senang.
"Horeee... bapak sudah pulang," teriak Angga sambil meminggirkan mobilnya."
Mobil Aryo berhenti. Angga turun dari mobil kecilnya dan menghampiri ayahnya.
"Bapak,kok sudah pulang. Apa ini sudah sore?"
Aryo turun lalu merengkuh anaknya, menggendongnya masuk kedalam rumah. Bu Nastiti berdiri diikuti Ratih.
"Tumben sudah pulang Yo?" tanya bu Nastiti.
"Iya bu, pengin makan siang dirumah, kan ibu tadi masak rendang kesukaan Aryo?"
"Oh, itu sebabnya ya? Baiklah, ayo kita makan sekarang saja. Ibu sudah siapkan dimeja."
"Angga turun dulu ya, bapak mau cuci tangan. Angga juga harus cuci kaki dan tangan sebelum makan," kata Aryo sambil menurunkan Angga.
"Ayo sama ibu.." katanya sambil lari mendekati Ratih dan ditariknya kekamar mandi.
Akhir-akhir ini Angga sudah terbiasa untuk tidak merengek apabi;a Ratih tidak datang dengan alasan bekerja.
Tapi siang itu Angga sangat gembira karena akan makan siang bersama ayahnya juga. Dan kembali Angga mengatur tempat duduk Ratih yang harus berdampingan dengan ayahnya.
"Bapak disini, ibu disini. Angga disini.. eyang disitu.." celotehnya yang tak bisa dibantah oleh Ratih.
Tapi lama kelamaan rasa kikuk Ratih sudah berkurang. Sudah biasa kalau Angga mengatur-ngatur begitu.Ia juga dengan cekatan mengambilkan nasi untuk Aryo dan bu Nastiti, lalu untuk Angga kemudian baru dirinya sendiri.
"Ini sebuah keluarga yang utuh," gumam Aryo tanpa disadari, membuat Ratih kemudian menoleh kepadanya. Tapi Aryo kemudian tersenyum dan meminta ma'af.
"Ma'af, memang seperti itu walau hanya tampaknya."
Ratih tersenyum, hanya tampaknya, memang. Tapi itu menyenangkan buat Ratih, walau Aryo pasti masih merasa bahwa itu hanya bayangannya saja.
"Bapak, kata ibu, Angga besok sudah hampir sekolah beneran."
"Lho, memangnya selama ini Angga sekolah pura-pura?"
"Sekolahnya namanya Taman Kanak Kanak. Iya kan bu?"
"Iya, sayang."
"Berarti Angga sudah semakin besar, dan kalau semakin besar itu kan nggak boleh nakal."
"Angga tidak nakal."
"Bagus kalau begitu."
"Mengapa ya, ibu yang satunya itu tidak datang lagi?" kata Angga tiba-tiba. Mengejutkan semua orang. Ternyata Angga masih memikirkannya. Mungkin ia masih penasaran karena tak pernah mendapat jawaban yang diharapkannya dari ayahnya, neneknya maupun dari 'ibu' Ratih.
"Angga, nanti setelah makan ibu akan menceritakan sesuatu."
"Tentang ibu yang satunya itu?"
Ratih mengangguk.
"Tapi habiskan dulu makannya ya."
***

Begitu Ratih selesai membersihkan meja makan dan mencuci piring kotor, Angga sudah menunggunya diteras bersama ayahnya.
"Ibuu... sini.." kata Angga sambil melambaikan tangannya.
Ratih mendekat.
"Ibu duduk didekat Angga sini.," lagi-lagi Angga mengatur dimana Ratih harus duduk.
Ratih duduk didekat Angga, sementara Angga berada ditengah tengah, diantara Aryo dan didirnya.
"Ibu bilang mau bercerita tentang 'ibu'"
"Oh, baiklah. Dulu itu kan Angga melihat seorang wanita cantik, yang wajahnya mirip ibu ini kan?"
"Itu ibu."
"Angga pernah mendengar dongeng waktu disekolah tentang seorang peri?"
"Peri itu kan seperti bidadari, cantik, suka menolong. Ya kan?"
"Peri itu suka pada anak baik, anak pintar, dan anak yang suka menurut."
"Iya benar.."
"Nah, ada seorang peri yang sangat suka kepada Angga. Karena Angga lah anak baik yang disukai peri."
"Benarkah?"
"Peri itu sangat sakti. Ia selalu tampak cantik dan bisa berubah ujud menjadi apa saja. Menjadi bunga, menjadi burung, menjadi manusia."
"Hebat ya?"
"Ia juga bisa mengubah wajahnya menjadi seperti ibu."
"Benar?"
"Iya. Nah, yang Angga lihat kemudian menciumi Angga itu, adalah peri yang sangat baik dan sayang kepada Angga."
"Ooh, jadi itu peri ?"
Aryo tertegun. Bagaimana Ratih bisa mendapatkan dongeng seperti itu? Ia gadis yang luar biasa, pikir Aryo.
"Benar. Jadi mulai sekarang jangan bilang lagi bahwa ada ibu dua ya?"
"Dia peri yang baik. Kapan dia datang lagi?"
"Pada suatu hari nanti."
Angga tampak termenung, tapi merasa bahwa apa yang dikatakan Ratih itu benar adanya. Dia didatangi peri cantik, dan itu karena dia anak baik.
"Peri itu baik seperti ibu," kata Angga sambil menjatuhkan kepalanya dipangkuan Ratih. Aryo berdiri sambil mengusap titik air matanya.
***

Siang itu bu Suryo hanya menunggu yu Siti datang menggantikannya menemani Arum. Ia sudah bisa duduk dan wajahnya tampak lebih segar.
Baru saja dokter Bram mengatakan, bahwa satu dua hari lagi Arum sudah bisa pulang.
Bu Suryo senang mendengarnya.
"Tapi bu Arum masih harus sering kontrol, minimal seminggu sekali.' kata dokter Bram. Dan entah mengapa, Arum senang mendengarnya. Eh, senang karena boleh pulang atau senang karena masih bisa bertemu dengan dokter muda yang menawan itu? Arum memarahi batinnya sendiri.
Ketika dokter itu pergi, Arum masih menelan rasa senang itu dalam senyuman yang selalu disunggingkannya.
"Ibu senang melihat kamu sudah lebih segar Arum. Jangan sakit lagi ya? Asalkan kamu selalu merasa gembira, bahagia, bisa melupakan hal-hal buruk yang telah lampau, maka kamu pasti akan sehat."
"Iya bu, semua ini karena ibu. Saya seperti berhutang nyawa pada ibu."
"Jangan lagi bilang begitu. Ibu tidak menghutangkan apa-apa sama kamu."
"Iya ibu, ma'af."
 Tiba-tiba pintu terbuka, dan yu Siti masuk.
"Nah, yu Siti sudah datang, ibu pulang dulu ya."
"Iya bu."
"Kamu bawa apa itu yu?"
"Bubur ayam. Nak Arum ingin bubur ayam kemarin, ini sudah saya buatkan."
"Baguslah. Ayo Arum, dihabiskan nanti masakan yu Siti ya."
"Ya ibu," jawab Arum senang.
Bu Suryo keluar dari kamar sambil memanggil Pono melalui ponselnya. Ia bergegas keluar karena ada suatu keperluan.
Ketika hampir sampai di lobi rumah sakit, Rini melihatnya.
"Eh, itu kan ibu-ibu galak yang memarahi aku? Hm, baguslah dia sudah pulang," gumam Rini yang kemudian berjalan kearah ruang dimana Arum dirawat.

Bersambung #9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER