Cerita bersambung
Ia terus melangkah, tak perduli nanti mendapat marah. Ia hanya penasaran, bagaimana mungkin Arum bisa ada di dua tempat dalam waktu yang bersamaan?
Begitu tiba didepan kamar yang diketahuinya adalah kamar Arum, ia berhenti melangkah. Khawatir kalau ibu-ibu galak itu kembali datang dan memaki-makinya.
Ia menoleh kesana kemari. Sepi.. karena siang itu sudah lepas waktu bezoek. Namun ketika ia hampir memegang gerendel pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka. Dan lagi seorang ibu keluar dari dalamnya. Ibu itu adalah yu Siti.
Rini surut beberapa langkah, dan yu Siti teringat pesan bu Suryo yang menyuruhnya berhati-hati. Ia belum pernah melihat wanita yang tampak terkejut begitu ia keluar, dan ia menjadi curiga.
"Anda siapa?" tanya yu Siti.
"Saya... Murni." meluncur begitu saja kata-kata itu, karena ia tak berani lagi mengatakan nama aslinya.
"Murni? Mau apa?"
"Mm.. mau membezuk bu Arum.."
"Tapi ini bukan jam bezoek."
"Saua sudah minta ijin dari petugas kok, so'alnya saya dari luar kota."
Yu Siti walau tidak berpendidikan tinggi tapi ia tau gelagat mencurigakan dari orang yang ditemuinya. Apalagi kemarin bu Suryo sudah berpesan wanti-wanti agar berhati-hati dan tidak mengijinkan orang asing menemui Arum. Dan didepannya adalah orang asing baginya.
"Petugas sudah mengijinkan anda masuk, tapi saya tidak," katanya tegas.
"Tapi bu.."
"Ma'af, bu Arum sedang tidur, dan dokter tidak mengijinkan siapapun menemuinya."
"Oh.. begitu ya."
Yu Siti mengangguk, dan menunggu sampai Rini pergi jauh dari situ, lalu masuk lagi kekamar Arum.
"Bu, kok cepat sekali sudah kembali, katanya mau beli wedang jahe di depan?"
"Nggak jadi nak. Minum teh saja, tadi lupa sudah membawa bekal untuk minum."
"Kan beda?"
"Iya. Nak Arum kenal sama yang namanya Murni?"
Arum mengerutkan keningnya, mengingat-ingat. Murni..Murni.. Murni.. tidak, ada ibu-ibu di apotik langganan yang namanya Murni.
"Masa mbak Murni mau membezoek aku?"
"Jadi nakArum kenal sama yang namanya Murni?"
"Dia pegawai apotik?"
"Dia bilang dari luar kota, tapi saya kok curiga sama dia."
"Dari luar kota? Nggak bu Siti, saya nggak kenal."
"Ya sudah, sudah saya usir tadi."
"Diusir?"
"Ibu bilang harus berhati-hati, dan jangan membiarkan orang asing masuk. Karena dia asing bagi saya maka saya tidak mengijinkan dia masuk.Dan dia langsung pergi."
"Siapa ya kira-kita?"
"Orangnya sih cantik, tapi matanya seperti bukan mata orang baik-baik. Seperti gugup ketika melihat saya keluar dari kamar. Tapi dia tau bu Arum, begitu."
"Jangan-jangan dia."
"Dia siapa ya?"
"Rini.."
Yu Siti terkejut. Ia sudah tau perihal Rini dan kelakuannya, yang membuat Arum pergi dari rumah, karena bu Suryo selalu berbincang dengannya. Hanya yu Siti temannya berbincang dalam keluh dan suka hatinya.
"Oh, nama itu seperti yang pernah bu Suryo ceritakan pada saya. Perempuan genit yang kurangajar. Baguslah, tadi saya mengusirnya. Mau apa dia kemari. Pasti punya niyat yang tidak baik."
"Mungkin juga bu. Untunglah bu Siti sudah mengusirnya. Mudah-mudahan dia tidak akan kembali lagi kemari."
***
"Bapak, Angga mau dibelikan tas untuk sekolah bulan depan ya?" kata Angga pada suatu sore ketika ayahnya pulang dari kantor.
"Baiklah, nanti bapak belikan."
"Bolehkah Angga memilih sendiri?"
"Maksudnya .. Angga mau agar belinya sama Angga?"
"Iya bapak, sama ibu juga kan?"
Ratih yang ada didekatnya melirik sebentar, lalu pura-pura mengutak atik ponselnya.
"Tanya ibu, maukah ikut bersama kita.."
"Ibu.. mau kan? Beli tas buat Angga?"
"Mengapa terburu-buru? Kan masih bulan depan?"
"Masih lama?"
Ratih mengangguk.
"Jadi kapan boleh belinya?"
"Nanti ya, Kalau bapak bisa pulang agak siang."
"Besok?"
"Belum tau, nanti bapak kasih tau. Ya, sekarang bapak mau mandi dulu. Angga sudah mandi?"
"Sudah bapak. Ayo ibu, kita bermain mobil-mobilan lagi. Ibu tungguin disana."
"Sebentar saja ya, tadi kan sudah.."
Lalu Angga berlari-lari mengambil mobil kecilnya..
Dan tiba-tiba juga seseorang melintas sambil berjalan kaki, menatap kearah halaman. Angga yang asyik bermain tak memperhatikannya. Tapi Ratih melihatnya. Ia ingat gadis itu, namanya Rini, yang sudah menggoda Aryo dan membuat Arum pergi dari rumah.
Ratih berdiri, menatap tajam gadis itu. Tapi kemudian dilihatnya Rini melangkah cepat pergi dari sana.
"Tampaknya dia mengira aku adalah bu Arum. Tampak sekali dia ketakutan, seperti ketika dia menggendong Angga lalu melihat diriku,, kemudian lari terbirit -birit. Tiga kali sudah aku mengalaminya. " bisik Ratih sambil kembali duduk, mengamati Angga yang asyik bermain mobil-mobilan.
***
"Darimana saja kamu? Jangan bilang nemuin bu Arum.. atau orang yang kata kamu mirip dengannya," tegur Wuri ketika Rini masuk rumah dengan wajah masam.
"Nggak, cuma jalan-jalan saja kok," katanya berbohong. Ia bosan mendengar omelan sahabatnya yang selalu menyalahkannya.
"Ngapain ? Beli sesuatu.."
"Maksudnya iya, tapi dompetku ketinggalan."
"Mau beli apa sih?"
"Sabun," jawab Rini sekenanya.
"Dirumah masih ada sabun, mau beli sabun yang seperti apa lagi?"
"Iya aku lupa."
"Tiap hari dipakai kok bisa lupa."
"Namanya manusia ya bisa saja lupa."
"Ya sudah, bantuin angkat sayurnya, kemudian goreng tempenya ya, aku mau bersih-bersih rumah."
"Belum selesai masaknya?"
"Habisnya aku masak sendirian kamu malah pergi."
Dengan bersungut-sungut Rini pergi kedapur. Tapi pikirannya masih melayang kearah apa yang dilihatnya. Sudah jelas Arum ada disana, bersama Angga. Lalu yang dirumah sakit siapa?
"Aku harus berusaha melihat bu Arum yang dirumah sakit. Penasaran aku," gumamnya sambil mengentas sayur yang sudah matang dari atas kompor.
***
"Selamat pagi bu Arum.." sapa lembut itu mengejutkan Arum yang sedang merasa gelisah. Kata dokter dia segera boleh pulang, tapi belum diijinkan juga. Ia menoleh kearah dokter Bram yang menatapnya tajam sambil tersenyum. Entah mengapa, Arum suka tatapan itu. Ah, tidak, dia hanya seorang dokter, dia akan bersikap sama seperti kepada pasien lainnya. Tatapan yang sama, senyuman yang sama.
"Selamat pagi bu Arum, dokter itu mengulang sapaannya, karena dilihatnya Arum hanya bengong menatapnya.
"Oh.. eh.. ma.. ma'af dokter.. selamat.. pagi.." jawabnya gugup.
"Lagi mikirin apa?"
"Nggak dokter, mm.. lagi.. mikirin.. kapan saya boleh pulang?"
"Iya, justru sekarang saya mau memeriksa keadaan bu Arum, supaya saya bisa memastikan kapan bu Arum bisa pulang."
"Terimakasih dokter."
"Nggak kerasan ya, lama-lama disini?" goda dokter Bram sambil memasang stetoskupnya.
"Ah, dokter..." dan Arum pun tersenyum. Entah mengapa Arum merasa bahwa senyum yang disunggingkannya adalah senyum yang benar-benar terbawa perasaan lega.
"Kok nggak ada yang kerasan berlama-lama disini? Padahal dokternya baik lho."
Arum tertawa lirih.
"Hm, bagus semuanya, dan catatan yang saya baca juga bagus. Besok ya pulangnya? Nanti kalau infusnya habis sudah nggak usah dipasang lagi."
"Terimakasih dokter."
"Siapa yang nungguin hari ini?"
"Itu.. bu Siti.."
"Oh, baguslah. Makan yang banyak ya.. "
"Baik dokter."
Dan dokter itu pergi, meninggalkan senyum khasnya, yang terasa sangat menyejukkannya.
"Bagimana nak Arum, pak dokter bilang sudah boleh pulang?" kata yu Siti sambil mendekat.
"Iya bu, katanya besok sudah boleh pulang."
"Hm, lega saya nak, nanti kalau bu Suryo atau Pono kemari, saya akan membawa baju-baju dan semua yang sudah tidak diperlukan disini. Biar besok kalau pulang nggak kebanyakan bawanya."
"Iya bu, tinggalkan dua baju saja, untuk nanti sore dan besok."
"Benar nak, biar saya kemasi sekarang."
"Ibu kemarin bilang akan ke bank dulu, tapi nggak usah ditungguin, biar Pono menjemput saya kemari. Tapi kok belum sampai ya?"
"Mungkin sebentar lagi bu."
"Nanti Pono kan disuruh ngantar saya ke pasar sekaliyan, lalu menjemput ibu, lalu mengantar ibu kemari."
"Sebetulnya saya nggak perlu ditungguin bu, kan saya sudah baikan."
"Ibu nggak ngijinin nak, harus selalu ada yang bersama nak Arum. Takutnya ada orang jahat masuk kemari dan mencelakakan nak Arum."
"Oh, iya bu, tapi itu berlebihan kan, masa saya mau dicelakain, memangnya saya salah apa?"
"Namanya orang jahat ya nggak tau lah nak, tapi yang penting kan kita harus hati-hati."
"Benar bu."
Ponsel yu Siti berbunyi.
"Nah, ini Pono sudah siap nak."
"Hallo No, iya sebentar, aku sekalian ngepak baju2nya bu Arum. Tungguin," kata yu Siti kepada Pono melalui ponselnya.
Yu Siti membenahi semua yang bisa dibawa sekarang, menyisakan kebutuhan hanya untuk sore nanti dan besok pagi.
"Sudah nak, ini saya bawa dulu ya," kata yu Siti yang kemudian mencium kening Arum, lalu keluar dari ruangan.
Arum mengangguk terharu. Banyak cinta didapatkan dari keluarga bu Suryo, membuat segala derita yang dirasakannyaa menjadi ringan.
Kemudian Arum teringat akan ibunya sendiri. Ia belum ingin datang kesana. Ia tak mau Aryo mengetahui keberadaannya. Dan ia juga merasa sakit karena mengira ibunya menerima Rini sebagai pengganti dirinya. Kalau tidak, mengapa ibunya mau menerima kedatangan Rini ketika ia mau mengunjunginya dulu?
Tapi ia hanya akan mengabarkan keadaannya saja. Jadi ia cukup akan mengirim pesan.
"IBU, ARUM BAIK-BAIK SAJA DAN BERADA DITEMPAT YANG AMAN. IBU TAK PERLU MENGHAWATIRKAN ARUM. ARUM KANGEN SAMA IBU, TAPI BELUM SA'ATNYA ARUM PULANG. SALAM HORMAT DARI PUTERI IBU YANG SANGAT MENYAYANGI IBU. ARUM"
Itu bunyi pesan singkat yang dikirimkannya, kemudian ia mematikan ponselnya.
***
Aryo bergegas datang menemui bu Martono ketika mertuanya itu memanggilnya.
"Ada apa bu? Ada berita tentang Arum ?" tanyanya begitu bertemu.
"Tadi Arum mengirim pesan singkat."
"Dia mengatakan ada dimana sekarang?"
"Tidak, sebentar, ini bacalah," Bu Martono membuka ponselnya, lalu menyerahkannya pada Aryo.
"Ibu bisa menghubunginya kalau begitu," kata Aryo begitu selesai membaca pesan itu.
"Sudah ibu coba, tapi ponselnya dimatikan. Berkali-kali ibu mencoba tidak pernah berhasil. Tampaknya dia memang tak mau dihubungi.
Aryo mencatat nomor yang tertera, lalu menciba menelponnya.
"Tidak bisa bu, ponselnya dimatikan," kata Aryo putus asa.
"Mengapa dia begitu? Bilang kangen tapi belum mau menemui ibu."
"Mungkin dia takut kalau ibu mengetahui keberadaannya, lalu mengatakannya pada saya."
"Mungkin juga nak," kata bu Martono sedih.
"Dia benar-benar membenci saya, dan tak mau kembali pada saya."
"Kalau saja saya bisa berkomunikasi, tapi tidak, dia tak mau berkomunikasi.
"Apa yang harus saya lakukan bu?"
"Hanya menunggu sampai terbuka hatinya."
"Sampai kapan?"
"Kita harus bersabar nak, tak ada yang bisa kita lakukan, kecuali Tuhan sudah berkenan mempertemukan kita dengannya."
***
Aryo mengendarai mobilnya pulang dengan perasaan sedih. Pesan singkat yang diutarakan kepada ibunya, menunjukkan bahwa Arum memang tak mau lagi kembali. Sudah hampir setahun. Tak ada tanda-tanda Arum akan kembali. Ia juga hanya sekali menemui Angga, yang pada awalnya membuat dia bingung.
"Kapan lagi ibu peri menemui Angga?"
masih terngiang ditelinganya ketika Ratih membuat dongeng tentang ibu peri, dan mengatakan bahwa yang datang menemuinya adalah ibu peri yang berwajah sama dengan ibunya.
Aduhai. Aryo sangat mengagumi Ratih yang dengan tepat bisa mengalihkan perhatian Angga ketika bingung karena ditemui ibunya.
"Mengapa ibuku ada dua?"
Tapi pertanyaan itu tak lagi diutarakannya. Pertanyaannya berganti menjadi 'kapan ibu peri datang lagi' dan itu tak susah menjawabnya.
"Banyak anak-anak baik didunia ini yang harus ditemui ibu peri, jadi tidak setiap sa'at ibu peri bisa datang menemui Angga," jawab Ratih waktu itu.
Aryo merasa, tanpa ada Ratih, alangkah susahnya menghibur Angga yang merasa kehilangan ibunya.
"Apakah aku harus terus-terusan berharap pada Ratih? Maukah Ratih benar-benar menjadi ibunya Angga?" bisik hatinya yang kemudian ditepisnya jauh-jauh.
"Arum masih isteriku."
***
Pagi hari itu Arum sedang sendiri. Bu Suryo sedang menyelesaikan administrasi karena hari itu ia akan pulang.
Arum membereskan meja dan isi almarinya, barangkali ada yang ketinggalan. Ia bisa berjalan pelan, mengumpulkan barang-barang yang tersisa dan menaruhnya didalam keranjang yang ditinggalkan yu Siti.
Ia terkejut ketika tiba-tiba seseorang muncul dihadapannya.
"Rini?"
"Apa ini bu Arum?"
Kemarahan Arum memuncak.
"Mengapa kamu datang kemari?"
"Ini bu Arum bukan?"
"Pergilah dari sini !! Apa kamu pura-pura tidak mengenal aku setelah kamu menjadi isteri Aryo?"
Rini hampir kabur ketika Arum mengusirnya. Ia yakin bahwa dia memang Arum. Tapi ia terkejut mendengar bahwa Arum mengira bahwa dia sudah menjadi isteri Aryo. Ini mengejutkannya, tapi membuatnya bersorak dalam hati.
Rini melangkah keluar, tapi sebelum pintu dibukanya, bu Suryo muncul dari sana.
==========
Rini terkejut, mundur selangkah untuk memberi jalan bu Suryo masuk. Ia ingin segera kabur tapi bu Suryo berdiri menghadang jalan.
"Kamu lagi? Berani-beraninya kamu memasuki kamar anakku."
"Ma'af, hanya ingin membezoek kok," katanya lirih.
"Arum, apa yang dia lakukan disini?" tanya bu Suryo kepada Arum.
"Biarkan dia pergi ibu, eneg melihat wajahnya."
"Perempuan tak tau malu." umpat bu Suryo kemudian memberi jalan agar Rini keluar dari sana.
Rini melengkah cepat. Ia tak menduga Arum mengira dia menikah dengan Aryo.
"Aduhai, alangkah senangnya kalau itu benar. Bodoh !! Biar saja dia menganggapnya begitu," gumamnya sambil terus melangkah.
***
Ia tiba diruang kerja Wuri sambil tersenyum senyum sendiri. Senang sekali rasanya mendengat Arum mengatakan bahwa dia sudah menjadi isteri Aryo. Tapi tak habis pikir dia. Itu tadi benar Arum kan? Mengapa dirumah Aryo juga ada Arum? Sama-sama galak dan menatapnya penuh kebencian. Siapa dia? Mana yang asli? Yang tadi itu benar Arum, tapi kok ibunya beda? Rini memukul-mukul kepalanya sendiri.
"Kenapa kamu? Kenapa pula kepalamu?" tanya Wuri heran.
"Jangan tanya, paling juga kamu akan mengomeli aku," jawab Rini sambil menuju kemeja kerja Wuri, melanjutkan apa yang tadi dikerjakan.
"Kalau kelakuan kamu nggak bener, ya pastilah aku akan mengomeli kamu."
"Yang nggak bener itu yang mana, aku hanya menyelidiki tentang sebuah kebenaran."
"Kebenaran apa?"
"Ada yang kembar."
"Apa maksudmu?"
Rini diam, tapi ia sudah terlanjur keceplosan.
"Oo.. itu..."
"Itu apa?"
"Kamu masih penasaran tentang bu Arum? Menurutmu dia kembar?"
"Tuh kan, akhirnya kamu ingin tau juga kan?"
"Nggak, aku nggak ingin tau, bukan urusanku."
"Tapi ini sungguh menarik. Dia mengira aku sudah menjadi isterinya pak Aryo," katanya sambil tersenyum senang.
"Apa? Hanya orang yang nggak waras yang mau mengambil kamu isteri."
"Eeh, menghina ya.."
"Habisnya, kamu kan setengah gila."
"Wuri, jangan begitu dong, apa aku ini sudah menjadi sehina-hinanya orang?"
"Tanya saja pada hati kamu sendiri. Bagaimana kelakuan kamu, bagaimana polah tingkah kamu. Masa nggak sadar sih? Kamu tergila-gila sama orang yang nggak mungkin suka sama kamu."
"Ee.. bohong itu. Dia pernah suka sama aku lho."
"Suka karena kamu menggodanya. Dia hanya khilaf, tak mungkin suka beneran sama kamu."
"Eeh, nyakitin ya kata-kata kamu."
"Kalau dia suka beneran sama kamu, ya sudah pastilah kamu sudah diambilnya sebagai isteri. Kan kamu sudah pernah berhubungan jauh sampai....."
"Tidaaak, nggak sampai begitu lah, aku masih perawan, tau !!
"Baguslah kalau begitu."
"Dengar, permasalahannya sekarang bukan karena aku ingin berbuat tidak baik, aku tuh penasaran, bagaimana mungkin ada dua orang yang sama, dengan posisi yang juga sama, tapi ditempat yang berbeda."
"Posisi yang sama bagaimana?"
"Dua-duanya itu bu Arum, isterinya pak Aryo, ibunya Angga. Tapi yang satu dirumah, satunya lagi dirumah sakit."
"Kembar barangkali."
"Nggak, aku sudah tau keluarganya bu Arum. Dan ibunya bu Arum yang dirumah sakit itu beda lho. Bukan ibunya yang sering aku lihat ada di keluarganya pak Aryo."
"Ya sudah, aku pusing, pekerjaanku lagi banyak. Selesaikan pekerjaan kamu, karena sebelum pulang sudah harus siap."
"Huh, galak bener."
"Apa yang dia lakukan tadi?" tanya bu Suryo begitu mendekati Arum.
"Nggak tau ibu, dia datang dan bertanya ini bu Arum.. berkali-kali. Tapi saya mendampratnya lalu dia pergi. Kebetulan bertemu ibu tadi."
"Orang tak tau malu, berkali kali datang dan diusir masih saja datang kemari."
"Biarkan saja ibu, kan dia sudah pergi."
"Iya sih. Kamu sudah siap? Semuanya sudah selesai. Sebentar lagi Pono akan datang menjemput."
"Sudah ibu."
Tiba-tiba dokter muda itu masuk kedalam. Bu Suryo dan Arum terkejut.
"Bu Arum sudah siap?"
"Sudah dokter."
"Saya menulis resep ini, tadi saya lupa menyerahkannya pada perawat," katanya sambil mengulurkan selembar resep yang diterima bu Suryo.
"Nanti langsung saya belikan di apotik dokter. Disini kelamaan nunggunya, kasihan Arum."
"Iya bu, nggak apa-apa. Jangan lupa kontrol seminggu lagi ya bu Arum, itu obatnya untuk seminggu."
"Baiklah dokter," jawab Arum sambil tersenyum, mengimbangi senyum pak dokter yang teramat manis siang itu.
"Ibu mau pulang sama siapa? Kebetulan saya juga mau pulang, boleh saya antar sekalian?"
"Oh, terimakasih banyak dokter, saya dijemput sopir saya, dia sedang menuju kemari."
"Oh, baguslah kalau begitu. Selamat ya bu Arum, selamat pulang kerumah, dan selamat atas kesembuhannya.
"Terimakasih banyak dokter."
Dokter itu meninggalkan ruangan Arum, dan lagi-lagi meninggalkan senyum yang membekas dihati Arum.
***
Sesampai dirumah yu Siti telah menata kamar Arum dengan amat apik. Seprei baru, sarung bantal guling yang baru, ada bunga dalam vas besar terletah ditengah meja kamar. Itu bunga sedap malam.
"Hmm..."
Arum menghirup wanginya dengan nikmat. Didekatinya rangkaian bunga itu.
"Bu Siti sempat membeli bunga yang demikian harum dan indah?" tanya Arum kepada yu Siti.
"Bukan saya yang beli nak, ada yang mengirim kemari belum lama."
"Ada yang mengirim ?"
Arum mengamati lagi rangkaian bunga sedap malam itu, Oh ya, ada sebuah kartu terselip disana, bertalikan pita merah. Mengapa dia tadi tak melihatnya? Mungkin karena terbuai oleh harumnya.
Perlahan ditariknya kartu itu.
"Selamat menikmati hari-hari bahagia dirumah, semoga segera pulih. Dari Bramasto"
Aduhai. Hati Arum bagai terbang ke awang. Sebegitu jauh perhatian dokter Bram kepadanya.
Apakah dia memperlakukan semua pasiennya seperti ini? Diciumnya bunga itu sambil memejamkan matanya.
"Arum, itu bunga dari siapa?" tiba-tiba bu Suryo muncul dikamar, mengejutkan Arum.
"Ini, ibu.." Arum menunjukkan kartu itu.
Bu Suryo tersenyum mebacanya.
"Tampaknya dokter ganteng itu punya perhatian khusus sama kamu."
"Perhatian khusus bagaimana bu?" tanya Arum dengan hati berdebar.
"Jangan-jangan dia suka sama kamu. Buktinya dia mengirimkan bunga segala."
"Mungkin dia melakukan hal itu kepada semua pasiennya bu. Dia memang dokter yang baik," Arum mencoba membantahnya.
"Tidak mungkin. Setiap hari ada banyak pasien yang disembuhkannya, mana sempat dia membeli bunga-bunga untuk mereka semua?"
Arum tersenyum. Iya ya.. benarkah? Bisik batinnya.
Yu Siti masuk kedalam sambil membawa senampan makan siang.
"Wah, masak apa yu? Baunya sedap sekali."
"Soto ayam bu, ada perkedel, dan bakwan jagung," katanya sambil meletakkan makanan itu demeja kecil.
"Bu Siti, saya makan diruang makan saja."
"Tidak Arum, kamu cuci kaki tangan dan ganti bajumu, lalu kembali tiduran. Kamu belum pulih benar."
"Mari nak, yu Siti bantu, sudah ada air hangat untuk mandi."
"Hati-hati yu, jangan sampai luka bekas operasi basah terkena air,"
"Baiklah bu.."
"Gantikan verbandnya, dan obatnya sudah kamu siapkan belum yu?"
"Sudah semua bu."
"Baiklah, hati-hati jangan sampai lukanya tidak tertangani. Dan obat-obat yang harus diminum juga jangan sampai kelupaan."
Bu Suryo sangat menjaga dan memperhatikan Arum disetiap detail yang harus mendapat perhatian. Arum merasa bahwa bu Suryo memperlakukannya lebih dari seseorang yang baru setahunan ditemukannya. Ia merasa benar-benar menjadi anak kandung yang diguyur dengan kasih sayang. Itulah sebabnya dia bisa sedikit demi sedikit melupakan penderitaannya.
***
Siang itu bu Suryo sedang belanja disebuah supermarket. Banyak yang harus dibelinya untuk keperluan dapur dan lainnya. Biasanya ada yu Siti yang menemaninya, tapi karena yu Siti bertugas menemani Arum, maka bu Suryo berangkat sendiri. Ia sedang memilih-milih sayuran ketika tiba-tiba seseorang menyapanya.
"Belanja bu?" sapanya.
Bu Suryo menatap siapa yang menegurnya. Agak heran melihat seorang laki-laki muda tampan sedang mendorong sebuah troli yang berisi banyak sayur serta buah-buahan.
"Dokter Bram?"
Dokter Bram tertawa melihat bu Suryo menatapnya dengan pandangan sedikit keheranan, tampak pada matanya yang terbelalak.
"Iya ibu, ini saya. Ibu menatap saya seperti menatap orang asing?"
"Ya Ampun, nak dokter... apa-apaan ini?"
"Apanya ibu?" tanya dokter Bram masih dengan tawanya.
"Dokter belanja sayuran?"
"Iya, apa itu aneh?"
"Aneh lah,mengapa dokter belanja sendiri?"
"Ibu, saya selalu belanja sendiri, dan memasak semuanya sendiri. Maklum bu, saya kan bujangan yang nggak laku-laku."
"Mengapa nggak segera cari isteri?"
"Belum ada yang mau bu."
"Masa?"
"Ibu lihat sendiri kan, buktinya saya masih melakukan semuanya sendiri."
"Jangan terlalu memilih, nanti jadi bujang lapuk," goda bu Suryo.
Lagi-lagi dokter Bram tertawa.
"Oh iya nak dokter, terimakasih banyak atas bunganya untuk Arum."
"Oh iya, sukakah bu Arum?"
"Suka sekali, diciuminya bunga itu tanpa henti."
Mata sang dokter terbuka lebar, ada rona bahagia disana.
"Itu benar," kata bu Suryo meyakinkan.
"Senang mendengarnya."
"Kasihan dia itu, " gumam bu Suryo lirih, sambil mendorong troli kearah tempat yang lebih lapang karena takut menghalangi para pembelanja lainnya. Dokter Bram mengikuti, tampak mengharapkan kelanjutan kata-kata bu Suryo yang menggumamkan kata 'kasihan'
"Mengapa kasihan bu?"
"Ceritanya panjang."
Dokter Bram masih menunggu.
"Suaminya selingkuh dengan perawat anaknya."
Dokter Bram kembali membelalakkan matanya.
"Ia lari dari rumahnya, sudah setahun. Kabarnya suaminya sudah menikahi perempuan laknat itu."
Dokter Bram menghela nafas.
"Saya ikut prihatin bu," katanya lirih. Tampaknya ia benar-benar iba atas kejadian yang menimpa Arum.
"Ah, sudahlah nak, kok jadi cerita macam-macam, nanti nak dokter masak kesiangan."
"Nggak bu, cuma masak untuk sendiri saja, nggak harus terburu-buru."
"Atau kerumah saya saja, nanti makan siang dirumah saya."
"Terimakasih banyak ibu, lain kali kalau ada waktu luang saya akan datang kerumah ibu, dan menghabiskan masakan ibu."
"Benar?"
"Janji, ibu."
"Saya tunggu ya."
Mereka berpisah karena bu Suryo masih mau membeli beberapa barang.
***
"Ibu tadi ketemu dokter Bram," kata bu Suryo kepada Arum setelah meletakkan semua belanjaan didapur.
"Oh ya? Dimana?"
"Di mal, lagi belanja dia."
"Belanja apa bu?"
"Belanja sayur dan buah, dan entah apa lagi."
"Belanja sendiri?"
"Iya, dia bilang belanja sendiri, masak sendiri..maklum masih bujang."
"Kasihan."
"Ibu mengundangnya makan siang disini, tapi dia bilang lain kali saja."
"Saya lupa mengucapkan terimakasih sudah diberi bunga."
"Ibu sudah mengucapkannya tadi. Ibu bilang kamu suka bunganya. Tampaknya dia senang."
"Syukurlah bu, maksud saya mengucapkan terimakasih kalau nanti saya kontrol."
"Nggak apa-apa seandainya kamu menelponnya. Kamu mencatat nomornya bukan?"
"Nggah ah bu, nggak enak. Tapi kan ibu sudah mengucapkannya, ya sudah."
"Arum, bagaimana kalau seandainya dokter Bram suka sama kamu?"
Arum terkejut.
"Mengapa ibu bilang begitu?"
"Barangkali saja, kemungkinan itu kan ada, melihat bagaimana perhatiannya sama kamu."
"Ya nggak mungkin kan bu, saya kan perempuan bersuami/"
"Lhah suami yang tidak setia, tega menyakiti isterinya, apa masih kamu anggap dia suami kamu?"
Arum terdiam. Benarkah dia masih punya suami, dan nyatanya dia begitu cepat mengambil isteri orang yang tega menyakitinya?
"Ya sudahlah, lupakan saja semuanya. Bagaimana perasaanmu sekarang? Masih terasa sakitkah lukanya?"
"Nggak bu, sedikit gatal, tapi sepertinya sudah mulai mengering."
"Syukurlah. Dua hari lagi kontrol, jangan lupa."
"Iya bu, saya ingat."
***
Aryo baru saja memasuki rumahnya ketika bu Nastiti menyambutnya dengan wajah gelisah.
"Ada apa bu?"
"Kemari, duduklah disini dulu," kata bu Nastiti sambil menarik Aryo duduk di teras.
"Tadi ada surat untuk kamu."
"Surat? Dari siapa?
Bu Nastiti mengulurkan surat yang ternyata disembunyikan dibawah taplak meja diteras itu.
"Ini? Dari Kantor Pengadilan Agama?"
Aryo gemetar membuka surat itu. Arum menggugat cerai.
Bersambung #10
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel