Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 31 Desember 2020

Saat Hati Bicara #9

Cerita bersambung

Dita menyambut Santi sampai ke teras depan. Dalam hati bertanya tanya, apakah ada masalah lagi dengan Maruti.
"Hallo Dita," tapi Santi menyapa ramah.
"Dokter Santi? Silahkan masuk," sambut Dita tak kurang ramah.
"Terimakasih. Bagaimana keadaan ibu?"
"Baik dok, ibu lagi makan tuh didalam. Mau ketemu ibu?"
"Oh, tidak, tidak.. hanya ingin tau kesehatan ibu saja. Memang waktu kontrol ang terakhir ibu sudah dinyatakan sehat kan?Syukurlah."
"Iya dok."
"Terkejut ya, tiba2 aku datang kesini?"
"Iya, heran.. darimana dokter tau rumah kami..?"
"Mm... ya tau lah, kan di buku pasien ada alamatnya?"
"Ya, tapi kan nggak sangat detail.. artinya.. cuma rt rw aja.."
"Tapi pada tau rumah ini kok..."

"Terimakasih banyak dok, sudah repot2 mengabarkan kesehatan ibu saya. Dokter sangat baik ternyata ya."
"Itu sudah kewajiban saya... saya selalu begitu. Oh ya, namamu siapa, aku cuma tau Maruti."
"Nama saya Dita dok, Anindita."
"Oh, iya.. lupa atau kita memang belum pernah memperkenalkan nama ya. Nggak apa2, yang penting sekarang saya sudah tau."
"Saya buatkan minumn dulu dok," kata Dita sambil bangkit. Tapi Santi menolaknya.
"Tidak, jangan.. saya kan cuma mampir, ini cukup, saya pamit dulu ya, nggak usah panggil ibu, nanti bilang saja sama ibu kalau saya menanyakan kesehatannya."
Dokter Santi berjalan keluar, diiringi Dita.
"Oh ya, kamu deket ya sama mas Panji?" pertanyaan ini tiba2 mengejutkan Dita.
"Ya.. ya dok, artinya dia sering datang kemari."
"Oh ya, ada yang disukai diantara kalian pastinya," pancing Santi.
"Waah.. dokter ada2 saja, nggak tau lah saya," jawab Dita tersipu. Namun wajah kemerahan mengandung rasa malu itu tertangkap oleh dokter Santi yang kemudian menduga duga.
"Baiklah, karena saya harus kembali ke klinik, lain kali kita ketemu lagi dan ngobrol ya?"
Dalam perjalanan kembali ke klinik itu, dokter Santi menduga ada suka dihati Dita terhadap Panji, tapi Santi tau bahwa Panji lebih suka pada Maruti. Kelihatan sikapnya ketika mereka bertemu dirumah makan itu.
***

Maruti dan Laras sudah selesai makan, tapi mereka menunggu sampai Agus menyelesaikan makannya. Pembicaraan tentang Panji terhenti dengan hadirnya Agus. Tapi tiba2 Agus menanyakan sesuatu tentang Panji.
"Aku dengar Panji mau menikah.." kata Agus tiba2.
"Ngaaaak, siapa bilang?" kata Laras cepat2.
"Nggak ya, tapi calon isterinya sudah ngomong ke saya."
"Maksud mas Agus, dokter Santi? Ma'af, tapi mas Panji tidak suka pada dokter Santi."
"Ya, katanya begitu.. apa Panji sudah punya pacar?"
"Dia ini..."jawab Laras sambil menunjuk kearah Maruti. Maruti terkejut kemudian menepiskan tangan Laras.
"Ihh.. apa sih," tapi itu dengan senyum tersipu. Agus menangkap senyuman itu, ada guratan rasa kecewa ersungging dibibirnya, walau tampaknya tersenyum dan mengangguk angguk.
"Nggak usah malu Ruti, kamu kayak anak kecil saja."
Agus menghela nafas, dan menyuapkan nasi terakhirnya.
"Biar aku yang traksir kalian," Agus berdiri kearah kasir.
"Waah.. mas Kumis itu baik hati bener.." celetuk Laras yang kemudian dicubit oleh Maruti.
"Sst.. hati2 bicaramu, nanti dia dengar." dan kedua gadis itupun tertawa lirih.
***

Ketika Panji pulang kerumah siang itu, simbok menyambutnya dengan mengulurkan sebuah dompet.
"Apa ini mbok?"
"Ini punya bu dokter, semalam kemari, simbok nggak tau kalau dompetnya terjatuh. Padahal tas dan kunci mobil yang tadinya tertinggal sudah simbok susulkan. Rupanya dompet ini jatuh mas."
"Biarkan saja, kalau dia merasa kehilangan pasti diambil kemari."
"Lha kalau dia mbutuhkan .. kan kasihan mas.. "
"Itu bukan urusanku mbok, salah sendiri kalau sampai baragnya terjatuh . Suda mbok, aku mau mandi, siapkan baju bersih ya."
"Baik mas," simbok meletakkan kembali dompet itu dimeja, dan pergi kebelakang untuk menyiapkan baju momongannya.
Simbok berada dirumah itu sejak Panji masih kecil. Mereka saling menyayangi seperti keluarga saja, dan ketika bu Anjar meninggal, simboklah yang menggantikan merawat Panji seperti anaknya sendiri. Ia ingin bertanya mengenai dokter yang mengaku sebagai calon isteri momongannya itu, tapi ditahannya. Ia merasa Panji kurang suka pada dokter cantik yang selalu datang kemari tapi jarang bertemu Panji.
"Mas, tadi simbok masak rendang, saya siapkan dimeja ya?" teriak simbok dari luar kamar mandi setelah menyiapkan baju Panji dikamar.
"Wah, kangen aku sama masakanmu mbok, ya.. aku mau," jawab Panji dari dalam kamar mandi.
Simbok bergegas kedapur, menyiapkan nasi piring dan segala sesuatunya untuk makan momongannya. Gembira sekali simbok, karena Panji jarang sekali mau makan dirumah.
Namun ketika simbok sedang menata makanan dimeja .. tiba2 sebuah suara mengejutkannya.
"mBok.. kebetulan nih, aku belum makan."
Simbok menoleh dan dilihatnya dokter Santi sudah duduk disalah satu kursi dimeja makan itu.
"Bu dokter...?"
"Mas Panji ada kan? Ayo dong mbok, piringnya kurang satu, aku kan juga belum makan."
Simbok melangkah kebelakang dengan wajah cemberut. Tamu yang satu ini sungguh sangat lancang dan tak tau malu, pikirnya. Tiba2 ia terintat dompet yang terjatuh. Ia segera membalikkan tubuhnya menuju kearah meja dimana ia meletakkan dompet itu.
"Ini bu, milik ibu terjatuh semalam."
"Oh.. ya ampuun.. rupanya terjatuh disini? Pantesan aku cari dimana mana nggak ketemu, isinya cuma beberapa ratus ribu, tapi banyak surat2 pentingnya. Simbok nggak membuka buka isi dompet ini kan?" tanya Santi sambil membuka dompetnya, seperti sedang meneliti isinya.
"Ya ampun bu, selamanya simbok ini memang miskin, tapi sekalipun simbok belum pernah menginginkan sesuatu yang bukan menjadi milik simbok." jawab simbok sambil bersungut, lalu melangkah kebelakang.
Didepan kamar mandi tiba2 Panji keluar, hanya membalut tubuhnya dengan sehelai handuk.
"Ehhh... mas... berpakaian dulu, jangan lewat ruang makan sambil setengah telanjang begitu. Mengapa tadi mas Panji tidak mandi dikamar mandi yang ada dikamar saja sih?"
"Kangen sama kamar mandinya ibu, memangnya ada apa?" tanya Panji heran.
Tapi sebelum simbok menjawab, Santi tiba2 sudah muncul dihadapan mereka. Simbok serta merta menghadang didepan Panji, dan Panji melotot marah.

==========

Santi bukannya mundur karena malu, malah mendekat dan terkekeh senang.
"Ya ampun mas.. malu aku," pekiknya sambil menutup wajah dengan jari2 tangan, tapi terbuka lebar, sehingga dengan jelas bisa memandang kedepan.
Panji membalikkan tubuhnya dan kembali masuk kedalam kamar. Dulu kamar itu memang kamar bu Anjar. Entah mengapa tiba2 siang itu Panji ingin sekali mandi dikamar mandi yang ada dikamar ibunya, sementara simbok menyiapkan ganti pakaiannya dikamarnya sendiri dan itu memang harus melewati ruang makan dimana tadi Santi duduk disana.
Simbok bersungut sungut, menuju kamar Panji dan mengambil pakaian yang tadi disiapkannya disana, lalu memasukkannya kekamar bu Anjar, kemudian menutupnya rapat.
Santi masih tersenyum senyum ketika kembali duduk diruang makan, sementara wajah simbok gelap tertutup mendung. Menurutnya, sangat tidak pantas seorang wanita bersikap demikian bebas dihadapan priya yang hanya berbalutkan selembar kain, sementara priya itu bukan apa2nya.
"mBok, aku minta teh lemon ya, yang dingin."
Huh.. memangnya siapa dia .. main perintah saja. Majikan bukan, tamu juga bukan tamu yang diundang. Gerutu simbok, tapi dibuatkannya juga apa yang diminta Santi.
Ketika simbok membawa nampan berisi teh lemon dingin seperti yang diminta Santi, dilihatnya Panji sudah rapi dan berjalan kearah depan sambil menjinjing tas kerjanya.
"Mas..." sapa simbok, mungkin maksudnya bertanya, apa nggak jadi makan.
"Aku mau langsung kekantor mbok, ada rapat siang ini."
Dan Panji terus melangkah kedepan. Santi menghirup lemon tea didepannya, kemudian setengah berlari mengejar Panji.
"Mas, dengar mas, nggak selamanya bisa begini. Mas harus segera menghentikan semuanya dan menentukan hidup mas."
"Kamu yang harus menghentikan semua ini Santi.Aku sudah lelah."
"Mas, tunggu dulu mas.. apa mas lupa bahwa..."
"Bahwa apa, ibuku almarhum tidak menyebutkan kamu yang harus menjadi pasangan hidupku sesa'at sebelum meninggal, jadi jangan mengancamku dengan kejadian itu."
"Tapi mas..."
"Dengar Santi, dan ini yang terakhir, aku mohon jangan lagi menggangguku karena aku tidak ingin menjadikanmu isteriku."
"Sungguh ?"
"Sungguh !! Dan jangan lagi menggangguku."
"Mas, apa karena ada wanita lain?"
"Ya !" tegas kata Panji.
"Maruti?"
"Ya."
Lalu Panji terus melangkah, memasuki mobilnya dan memacunya keluar dari halaman.
Santi kembali kedalam, meminum lemon tea sampai habis lalu menyambar dompet yang ketinggalan, kemudian berlalu tanpa perduli pada simbok yang memandanginya sambil geleng2 kepala.
"Gara2 dia, momongan kesayanganku nggak jadi makan masakanku lagi," omelnya.
***

Agus dan Maruti kembali kekantor, tapi Laras masih mengikutinya. Ia lupa tadi membawa bungkusan belanjaan yang ditinggalkan dimeja Maruti.
"Nanti aku mau langsung pulang," kata Laras
"Disini dulu juga nggak apa2 kok, sambil menunggu Maruti pulang," tiba2 kata Agus.
"Kelamaan mas, nanti mengganggu."
Tiba2 terdengar langkah2 kaki mendekat, semua menoleh kearah pintu masuk. Santi dengan wajah kusut menuding kearah Agus.
"Mas ! Sebenarnya Sasa ada dimana? "
"Kamu ini kenapa? Datang2 tanpa permisi langsung marah2." omel Agus kesal. Ia tidak suka wajahnya dituding tuding seperti yang dilakukan Santi.
"Aku lagi pengin marah nih mas, tadi aku kerumah, kepengin ngajak Sasa jalan2.. tapi rumah dikunci. Apa mas selalu biarkan perawat itu membawa Sasa kemana dia suka? Itu nggak baik mas, dia hanya bisa keluar dengan ijin mas."
"Sasa bukan dibawa perawat semaunya, dia kerumah ibu, karena ibuku kangen. Jadi bukan kemauan perawat itu."
Laras dan Maruti menundukkan muka. Laras pura2 membuka hapenya dan berbicara dengan seseorang, sementara Maruti segera membuka buka laci seperti sedang mencari sesuatu. Sungkan rasanya mendengarkan pembicaraan yang tampaknya kurang enak didengar itu.
Mereka masih bersitegang sampai Agus masuk kedalam ruang kerjanya dan Santi masih juga mengikutinya.
"Mulai sekarang jangan pernah lagi datang kemari dan mempermalukan aku didepan karyawan2ku."
"Aku juga tidak akan datang kemari kalau tidak sedang mencari anakku."
"Baiklah, dia tidak ada disini, dan sekarang pulanglah. Ini yang terakhir kamu boleh datang ya, ingat itu." kata Agus sambil menunjuk kearah pintu keluar.
Santi melangkah kearah pintu. Sekali lagi ia menoleh dan mencibir.
"Apa mas suka pada Maruti dan takut dia cemburu padaku? Mas keliru, ada orang lain yang menyukai dia."
"Keluaarrr!!" hardik Agus dan terdengar bantingan pintu setelah Santi keluar dari sana.
***

Hari itu Santi seperti orang kalap. Tak ada tempat yang memberinya suasana bersahabat dengan dirinya. Keluar dari ruangan Agus dia juga tidak menoleh lagi pada Laras dan Maruti yang masih saja pura2 dengan kesibukannya.
Santi mengendarai mobilnya tak tentu arah. Ia merasa tak punya pegangan. Ia harus melakukan sesuatu yang akan membuatnya senang. Tiba2 ia melewati rumah yang siang tadi dikunjunginya, rumah keluarga bu Tarjo, Santi tau Maruti belum pulang dan dia ingin menemui Dita. Hanya gadis itu yang masih bisa bersikap baik padanya.
Ia menghentikan mobilnya didepan pagar, dan langsung masuk ke pekarangan yang tampak sepi. Mungkin Dita sedang tidur, atau ... ah tidak.. Santi melihat Dita sedang duduk diteras, kepalanya menunduk dan tampak sedang menulis sesuatu. Karena terpaku pada sesuatu yang dikerjakannya, maka Dita sama sekali tak tau bahwa seseorang sedang mendekatinya.
"Lagi nulis apa nih?"
Dita terkejut. Cepat dia menutup buku kecilnya lalu berdiri menyambut kedatangan Santi.
"Dokter Santi? Kok sudah sampai disini lagi?"
"Iya, lagi mencari alamat seseorang, tapi nggak ketemu." jawab Santi sekenanya.
"Oh, coba dimana alamatnya, barangkali saya bisa menunjukkan."
"Nggak usah, besok saja."
"Lho.."
"Tadi menoleh kesini, melihat kamu sedang menulis sesuatu. Apa tuh? Buku harian ya?"
"Ya," Dita tersipu.
"Kamu seperti orang lagi jatuh cinta. Pasti semua2 kamu catat dibuku itu."
Santi memungut buku kecilnya dan digenggamnya erat.
"Dokter tau aja."
"Benar kan?Kamu lagi jatuh cinta? O.. aku tau.. pasti yang kemarin malam makan bersama itu."
Dita terkejut. Kok dokter Santi tau ketika dia sedang makan malam? Dengan Panji kan? Bagaimana dia bisa tau.
"Kok tau dok, mas Panji bilang ya?" Dita nggak sadar bahwa dia sedang terkena pancingan dokter Santi.
"Nah, itu. Hm.. memang mas Panji laki2 yang menarik ya? Nggak aneh kalau Dita suka."
"Ah.. dokter.." Dita tersipu.
"Apa kamu yakin mas Panji juga suka sama kamu?"
"Dia... sangat perhatian sama aku.. " kata Dita polos.
"Tapi dia tidak suka sama kamu."
"Apa?" Dita terkejut.
"Dia itu sukanya sama kakak kamu, Maruti."

Bersambung #10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER