Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 01 Januari 2021

Saat Hati Bicara #10

Cerita bersambung

Mata Dita berkejap kejap, seakan tak percaya pada apa yang dikatakan Santi.
"Itu benar, jadi kamu jangan pernah mimpi bisa mendapatkannya," bagai pisau tajam kata2 Santi itu menusuk ulu hatinya. Perih, dan membuat matanya berlinang linang.
"Memang sih, dia baik sama kamu, perhatian sama kamu, tapi itu karena kamu adiknya Maruti, perempuan yang dicintainya. Bukan dia suka sama kamu, tidak Dita, kamu masih terlalu muda untuk memahami arti cinta," lanjut Santi seperti seorang tua sedang menasehati anaknya, tapi sebenarnya dia sedang mengucurkan cairan asam keatas luka2 yang menganga.
Dan air mta Dita pun menitik. Kelopak bunga2 yang bermekaran dihatinya, gugur lembar demi lembar.. dan pupus kering diterbangkan angin.
"Heiiii... mengapa menangis ? Ouuh.. sayang.. jangan menangis begitu, aku jadi ikutan sedih nih," dan dengan gerakan dibuat buat, Santi mengambil sehelai tisu dari dalam tasnya, kemudian diusapkannya ke pipi Dita yang basah oleh air mata.

"Kamu sedih? Ya ampun Dita, dengar, segala sesuatu bisa diraih dengan segala cara, jangan putus asa, aku akan membantumu."
Dita memandangi dokter Santi dengan mata berkaca kaca. Benarkah dia bisa membantuku? Pikirnya..
"Tapi jawab dulu pertanyaanku, apa kamu benar2 mencintai mas Panji?"
Dita mengangguk pelan. Ia tak tau apa itu cinta, tapi bahwa ia ingin memiliki Panji itu amat diyakininya. Alangkah bahagia bisa berada disamping lelaki yang gagah, mengagumkan, dan memiliki senyum yang sungguh memikat.
"Jangan khawatir Dita, kamu pasti bisa merebutnya dari kakakmu."
Mata Dita berkejap kejap. Merebutnya dari Maruti? Entahlah.. Maruti juga belum pernh mengatakan bahwa dia mencintai Panji. Tapi kalau Panji mencintai Maruti, ia baru saja mendengarnya dari Santi. Alangkah menyakitkan. Rupanya dia salah mengartikan sikap Panji selama ini.
"Dita, dengar, aku akan membantumu, sungguh, dan yakinlah bahwa kamu pasti berhasil memiliki mas Panji."
Santi meyakinkan Dita agar percaya padanya. Kalau dia tidak bisa memiliki Panji, maka Maruti pun tidak boleh, karenanya ia kemudian merencanakan sesuatu , dengan Dita sebagai senjatanya.
Dita memandangi Santi tanpa berkedip. Benarkah dokter cantik ini bisa membantunya?
***

"Sudah dua hari ini bu dokter tidak datang kemaari mas, mudah2an begitu seterusnya,"kata simbok smbil meladeni Panji makan disiang itu.
"Syukurlah mbok."
"Orangnya cantik, tapi kelakuannya kok begitu ya mas, kalau benar dia itu calon isteri mas Panji, simbok kok tidak setuju."
"Ya enggak lah mbok, simbok kan tau kalau aku selalu menolak dia."
"Bener itu mas, cari isteri itu ya jangan cuma cantik wajahnya saja, tapi hatinya juga harus cantik. Ya kan?"
"Iya mbok, nanti akan aku kenalkan simbok dengan gadis seperti yang simbok katakan itu. Cantik wajahnya, tapi juga cantik hatinya," kata Panji sambil mengacungkan jempolnya.
"Benar mas? Waduh... simbok pengin segera tau.. seperti apa pilihan cah bagusku ini."
"Pokoke sip mbok, besok ya...aku ajak dia kemari."
"Bener ya mas... dan mudah2an segera bisa diboyong kemari, biar rumah ini nggak sepi, simbok juga ada yang harus diladenin setiap hari, bukan seperti sekarang ini, mas Panji jarang pulang, jarang makan dirumah," keluh simbok.
"Iya..iya, nanti aku akan cepet2 ngelamar dia, kata Panji sambil menyendok suapan terakhirnya.
"Kok nggak nambah lagi mas? Nggak enak ya masakan simbok?"
"Enak buanget mbok, ini tadi sudah nambah kan, kalau nambah lagi ya bisa meletus perutku."
Simbok terkekeh senang.
***

Sore itu Panji benar2 menjemput Maruti dikantornya. Ketika Agus melihatnya, tak ada sedikitpun rasa kecewa karena Agus tau Panji seorang priya yang baik. Bahwa dulu ia tertarik pada Maruti, karena ada rasa ingin mencari ibu bagi Sasa anaknya, dan menurutnya Maruti lah yang cocog.
"Bukan jodohku..." bisiknya lirih.
Tapi jodoh itu kan ditangan Tuhan? Adakah yang menduga pada suatu hari nanti Maruti bisa berjodoh dengannya? Hanya Tuhan yang tau, eh.. hanya penulisnya yang tau.
Agus menyusuri jalanan ramai itu seorang diri. Sekilas dilihatnya Panji mengendarai mobilnya, dan Maruti disampingnya. Agus membelokkan mobilnya kearah kiri ketika sampai disebuah perempatan, untuk menghindari agar tidak beriringan dengan mobil Panji. Ketika itulah dilihatnya Sasa sedang berjalan didepan sebuah toko mainan, bersama susternya. Agus menghentikan mobilnya.
"Papaaaa..." teriak Sasa begitu melihat ayahnya.
Agus mendekat dan menggendong buah hatinya. Dipandanginya susternya dengan penuh tanda tanya.
"Mengapa kamu ajak dia kemari?" tegurnya tak senang.
"Bukan saya pak, itu sama ibu," jawab sang suster.
Agus melihat kearah yang ditunjuk susternya, Santi sedang menjinjing belanjaan dari toko disebelah toko mainan itu.
"Lho mas, kok lewat sini?" tegur Santi.
"Ya, biar Sasa aku ajak pulang sekalian," kata Agus tanpa melepaskan Sasa dari gendongannya.
"Iya..iya..aku ikut papa," teriak Sasa.
'Terserah mas saja. Ini boneka Sasa.. bawa sekalian sama mainan lainnya," perintah Santi pada suster anaknya.
Suster itu membawa boneka dan beberapa mainan lainnya kemobil Agus, sementara Santi membawa barang belanjaannya kemobilnya sendiri.
"Papa aku mau es krim," tiba2 Sasa menunjuk kearah penjual es krim. Mau tak mau Agus membawa Sasa kearah penjual es krim.
"Mas Agus?"
Agus menoleh kearah suara itu, dan dilihatnya Laras juga sedang membeli es krim.
"Eh, suka es krim juga ya?" sapa Laras sambil menowel pipi Sasa.
"Kamu juga suka es krim kan?"
"Iya mas, enak sih. Ayo Sasa mau yang mana?"
Laras mengangkat tubuh Sasa agar bisa memilih mana yang dia suka.
"Yang coklat... ama yang sstrowbery.... teriak Sasa senang."
"Okey.... biar tante ambilkan ya...."
Laras memilihkan es krim untuk Sasa, dan membayarnya sekalian.
"Eh.. eh.. nggak bisa begitu.. waduh tante.. mengapa jadi ngrepotin..," teriak Agus karena keduluan membayar es krimnya.
"Nggak papa mas, kan sesama penyuka es krim."
"Ayo.. bilang terimakasih sama tante Laras.."
"Terimakasih tante... "
"Kamu sama siapa?"
"Sendiri mas.. ayo.. aku duluan.."
"Tunggu... naik apa?"
"Banyak taksi disana mas, gampang,"
"Nggak bisa.. ayo aku antar sekalian.."
Laras berdebar senang. Memang itu maunya kan?
"Ngrepotin mas.."
"Nggak... mana aku bawakan belanjaan kamu."
***

Simbok senang sekali karena siang itu Panji benar2 menepati janjinya, membawa gadis cantik pilihannya, yang memang benar2 cantik dan menyenangkan. Berbeda dengan dokter Santi yang main perintah setiap kali datang, Maruti mau pergi kebelakang untuk membantu simbok membuat minuman buat Panji dan dirinya sendiri. Maruti juga sangat santun dan bersikap sangat manis.
"mBak, simbok senang sekali kalau nanti mbak bisa jadi isteri mas Panji," kata simbok sambil mengangkat nampan berisi minuman yang sudah dibuat Maruti.
Maruti tersenyum.
"Simbok bisa saja. Mana mau mas Panji punya isteri seperti aku?"
"Ya mau, kemarin mas Panji sudah bilang kalau mau membawa calon isterinya kemari."
Simbok meneruskan langkahnya kedepan, diikuti Maruti yang tersenyum senyum sendiri. Benarka Panji berkata begitu? Mengapa semua2 itu selalu orang lain yang berkata dan bukan Panji sendiri mengatakannya?
"Maruti, duduklah saja disini, biar simbok yang bikin minuman .. "
"Ini sudah selesai mas, saya minta nggak boleh," kata simbok sambil meletakkan minuman dimeja.
"Ya sudah, sekarang duduklah dulu .. aku ingin mengatakan sesuatu," kata Panji sambil menarik tangan Maruti agar duduk disebelahnya.
"Mau ngomong apa sih mas?"
"Minumlah dulu.."
Maruti meneguk minuman hangat yang ada didepannya. Hatinya berdebar debar, menunggu apa yang akan dikatakan Panji padanya. Apakah Panji akan melamarnya? Wouuw...
"Maruti, sesungguhnya.. sudah lama aku ingin....."
Kata2 Panji terputus ketika ponsel Maruti berdering.
"Angkat dulu saja."
"Dari ibu," bisik Maruti.
"Hallo... ya bu... ma'af.. Maruti terlambat pulang.."
"Nduk.. cepatlah pulang, adikmu sakit, kata bu Tarjo dari seberang sana.

==========

"Kenapa?" tanya Panji ketika melihat wajah Maruti tampak cemas.
"Aku harus segera pulang mas, ibu menelpon, Dita sakit."
"Sakit apa?"
"Entahlah, ibu hanya mengatakan itu kemudian menutup telponnya.
"Baiklah, ayo aku antar kamu pulang." kata Panji sambil berdiri.
***

Dalam perjalanan pulang itu Maruti hanya diam. Dalam hati ia bertanya tanya, sakit apa gerangan adiknya, sementara pagi tadi sebelum berangkat kerja tampak biasa2 saja. Iya sih, agak berbeda, sikapnya acuh, dan sedikit kethus. Maruti tak bergitu memperhatikannya karena ia harus segera berangkat kerja.
Tapi ada yang aneh memang.
"Katanya mau bangun pagi2... kok nggak jadi?" kata Maruti menggoda adiknya.
"Nggak... males,"
"Lho.. kok males, katanya mau belajar jadi isteri yang baik.."
"Nggaaaak... nggak jadi.." jawabnya ketus, sambil berlalu kebelakang. Dilihatnya Dita masuk kekamar mandi.
"Dita, kamu ini kenapa sih?" tanya Maruti yang kemudian menyiapkan sarapan pagi sendirian. Ia tak mengacuhkan sikap Dita yang tampak aneh, karena ia harus buru2.
"Masak apa pagi ini?" tiba2 tanya ibu yang keluar dari kamar.
"Nggak masak bu, opor yang kemarin masih ada.. sama sambel goreng. Ibu mau dimasakin apa?"
"Nggak.. itu cukup. Mana Dita?"
"Ada dibelakang, sepertinya lagi mandi bu."
"Ya sudah, nanti kamu sarapan saja dulu, bisa terlambat kalau menunggu Dita, dia kan kalau mandi lama sekali.
Maruti menghela nafas panjang. Bayangan ketidak ramahan Dita pagi tadi masih terbayang. Apakah waktu itu dia sudah mersakan sakit?
"Jangan cemas, nanti segera kita bawa adikmu kerumah sakit."
Maruti mengangguk.
***

Namun setiba dirumah, ternyata Dita menolak dibawa kerumah sakit. Dia justru marah2 karena melihat Marut datang bersama Panji. Kata2 dokter Santi kembali terngiang ditelinganya, bahwa Panji tidak menyukai dirinya tapi kakaknya. Dita memejamkan matanya.
"Dita, kalau kamu sakit, ayo kita ke dokter."
"Nggak, aku nggak akan kemana mana." Dita membalikkan tubuhnya membelakangi orang2 yang berdiri ditepi ranjangnya.
"Dita, kamu tadi kesakitan, ibu takut lalu menelpon mbakyumu."
"Sebetulnya apa yang dikeluhkan bu? Sudah minum obat apa?"
"Tadi bilang perutnya sakit sekali, sampai menangis.. ibu bingung. Tapi dia tidak mau minum apapun. Seharian dia tidak keluar dari kamarnya. Karena kamu terlambat pulang, lalu ibu menelpon."
Maruti, Panji dan bu Tarjo keluar dari kamar Dita. Bau minyak kayu putih tercium sangat menyengat.
Tanpa seorangpun tau, air mata menitik dipipi Dita.
***

"Bu, coba ibu yang minta supaya Dita mau dibawa ke dokter.Mungkin kalau ibu yang inta, dia akan mau," kata Panji.
"Sudah seharian ibu memintanya nak, tapi dia nggak mau. Tapi terus2an mengeluh perutnya sakit, dan hanya minyak kayu putih saja yang kemudian saya balurkan ke perut dan sekitarnya."
"Mengapa sikap Dita jadi aneh begitu?" keluh Maruti.
"Ibu juga heran.. "
"Tapi bagaimanapun dia harus dibawa kedokter." kata Panji.
"Mas, coba mas yang bicara sama dia, " pinta Maruti pada Panji.
"Baiklah... mudah2an aku bisa membujuknya."
Pelan Panji melangkah kearah kamar Dita. Dilihatnya gadis itu meringkuk, membelakangi pintu masuk, sehingga dia tidak tau bahwa Panji datang mendekatinya.
"Dita." panggil Panji pelan.
Tapi walau pelan.. itu cukup membuat Dita membalikkan tubuhnya. Mata basahnya berkejap kejap.. bibirnya menyunggingkan senyum, sangat tipis.
"Kamu sakit apa? Mana yang sakit?" lembut suara Panji, bagi Dita suara itu seperti sebuah kidung yang mengalun dari langit tingkat tujuhbelas.. lembut menggelitik hati dan jiwanya. Namun manakala diingatnya bahwa bukan dia yang membuat Panji tertarik, senyum itu tiba2 menghilang. wajah cantinya kembali pias, sendu dan redup.
"Mana yang sakit?"
Panji memegang tangan Dita. Aduhai, seandainya pegangan tangan ini tulus demi sebuah cinta, alangkah indahnya.
"TAPI MAS PANJI MENYUKAI MARUTI."

Suara itu kembali merobek robek hatinya.
"Dita, jawab pertanyaan mas ya," Panji mengulang pertanyaannya. Sebelah tangannya masih menggenggam tangan Dita. Kemudian Dita meletakkan tangan itu diatas perutnya yang tertutup selimut tipis.
"Disini? Mengapa kamu tidak mau diajak ke doktar? Kita orang2 awam yang tidak tau tentang penyakit, hanya dokter yang bisa menyembuhkanmu."
Dita menggeleng.
"Dita, kamu mau sembuh tidak?"
"Panggil dokter Santi," bisik Dita pelan. Dan Panji terkejut.
"Mengapa harus dokter Santi? Aku punya dokter pribadi yang baik. Kalau kamu ingin dokternya datang, aku bisa memanggilnya kemari."
"Aku mau dokter Santi," ulang Dita, dan kembali ia membelakangi Panji yang sudah duduk ditepi pembaringannya.
Apa boleh buat. Dia harus menelpon dokter Santi. Tapi..uppss.. dia tidak lagi memiliki nomor kontak dokter Santi.Panji telah membuangnya beberapa bulan lalu, begitu tau Santi mengejar kejarnya.
"Tapi Dita, aku tidak punya nomor kontak dokter Santi. Lagi pula apa dia tau alamat rumah ini?"
"Aku ada.. dia pernah mampir kesini," jawab Dita sambil meraih ponselnya dan mencarikan nmor dokter Santi untuk Panji.
Panji agak merasa heran mendengar Santi pernah mampir kesini, tapi ia tak ingin banyak bertanya, ditelponnya dokter Santi.
"Hallo, mas Panji? Tumben menepon, kangen ya sama aku?" jawab Santi dari seberang sana.
"Santi, datanglah kerumah Dita, dia sakit dan hanya kamu yang dia minta untuk memeriksa penyakitnya."
"Aku? Mengapa harus aku, bawa saja kerumah sakit," jawab Santi .
"Dia tidak mau dan hanya mau kamu yang memeriksanya, karena itu datanglah segera. Aku mohon."
Panji menutup telponnya.
"Aku sudah memintanya datang," kata Panji kepada Dita.
Panji beranjak keluar dari kamar itu, tapi Dita memanggilnya.
"Mas, tolong minyak kayu putih itu," pinta Dita.
"Dimana?"
"Diatas meja."
"Oh, ini.. baiklah," Panji mengulurkan minyak kayu putih itu.
"Mas, tolong.. perutku kembali sakit, sangat sakit.. disini," Dita merintih.
"Ini minyaknya," jawab Panji tak menerti.
"Tolong mas, gosokkan.."\
Panji terkejut, masa ia harus meraba raba perut Dita? Bergegas dia keluar.
"Maruti.. Maruti.."panggilnya. Maruti  berdiri dan menghampiri Panji.
"Apa mas? Dia kenapa?"
"Dia kesakitan lagi, minta digosok perutnya dengan minyak kayu putih."
"Oh, baiklah, aku kesana."
Maruti melangkah kekamar Dita, tapi dilihatDita sudah menggosok sendiri bagian perutnya .
"Mana Dita, biar mbak yang menggosokkannya, mana yang sakit?" tanya Maruti lembut.
Tapi Dita menggeleng dengan wajah muram.
"Nggak, biar aku saja. "
"Dita..."
"Dokter Santi sudah datang?"
"Apa?"
"Tadi aku minta mas Panji untuk memanggil dokter Santi kemari."
"Mengapa dokter Santi?"
"Aku hanya ingin dokter Santi," jawab Dita ketus, sambil kembali membetulkan selimut, kemudian membalikkan tubuhnya membelakangi Maruti.
Maruti menghela nafas panjang. Tak biasanya Dita bersikap seperti ini. Tapi tak ada yang bisa diperbuatnya. Ia keluar dari kamar dan mendengar Panji sedang berbicara dengan ibunya.
"Mungkin karena dokter Santi itu sangat baik, nak. Dia memang baik, kemarin dia mampir kemari hanya menanyakan penyakit ibu. Ia sangat akrab dengan Dita, walau baru beberapa kali bertemu."
Maruti duduk diantara mereka.
Dan mendengar pembicaraan itu ia yakin bahwa Panji sudah menghubungi dokter Santi.
Selang beberapa menit kemudian, dilihatnya Santi sudah datang. Ia menghentikan mobilnya tepat dibelakang mobil Panji.
Bu Tarjo dan Maruti Menyambutnya, tapi begitu naik ke teras, Santi langsung mendekati Panji yang masih saja duduk dikursi dan merangkulnya.

Bersambung #11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER